Sampai di kamar Tasya, Rani dibuat kagum. Ruangan itu penuh pakaian dan aksesori desainer, kontras sekali dengan penampilannya yang sederhana. Tasya mulai mencoba gaun demi gaun, makin mewah satu dari yang lain.
Sambil menatap cermin, Tasya bertanya, “Menurutmu, Dimas akan suka yang ini, Rani?” Rani ragu sejenak. “Aku yakin, gaun apa pun akan terlihat cantik dipakai Mbak.” Ada kekecewaan singkat di mata Tasya. “Benar, Rani. Gaun apa pun akan indah di tubuhku. Tapi yang aku ingin tahu… apa yang disukai Dimas.” Ia mendekat, menatap Rani tajam. “Pernahkah kamu sadar, bagaimana cara Dimas memandangmu? Bagaimana matanya selalu mengikutimu di rumah ini?” Rani merinding. Ia mundur selangkah. “Aku… aku tidak tahu apa yang Mbak maksud. Aku hanya pembantu.” Tasya terkekeh pelan, dingin. “Oh, Rani… kamu polos sekali. Aku tahu cara dia menatapmu, ketika dia pikir tak ada yang melihat. Cara pandangannya menelusuri tubuhmu…” Tangannya terulur, jari-jarinya menyusuri garis rahang Rani. Sentuhan itu membuat tubuhnya kaku. “Kamu tidak tahu betapa berbahayanya diinginkan pria seperti Dimas. Dia posesif, suka mengendalikan… dan dia selalu mendapatkan apa yang dia mau.” Rani menegakkan punggung, berusaha tegar. “Aku tidak tahu apa yang Mbak maksud. Tapi aku pastikan, aku tidak tertarik pada suami Mbak. aku di sini hanya untuk membantu.” Senyum Tasya melebar, tapi matanya berkilat kejam. “Tentu saja. Kamu cuma pembantu. Tapi ingat kata-kataku… kalau kamu sampai memberi Dimas alasan untuk menginginkanmu…” Ia mencondongkan tubuh, berbisik, “… aku akan menghancurkanmu.” Ancaman itu menggantung di udara, membuat bulu kuduk Rani berdiri. Ia hanya bisa membeku, kata-kata Tasya bergema di kepalanya. Lalu Tasya mundur, kembali menatap dirinya di cermin, seolah tak terjadi apa-apa. “Baiklah. Jadi, bagaimana menurutmu gaun ini, Rani?” Rani menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “Ini… cantik, Mbak. Mbak terlihat memukau.” Senyum Tasya muncul lagi, dingin. “Bagus. Aku senang kamu setuju.” Rani menunduk, jantungnya masih berdebar. Saat Tasya pergi meninggalkan kamar, matanya jatuh pada tumpukan pakaian Dimas yang rapi di rak. Ada rasa familiar yang aneh di dadanya, gerakan, wangi kain, bahkan cara kemeja itu tersusun, seolah memanggil sesuatu dari masa lalu yang terlupakan. “Baiklah… waktunya membereskan ini juga,” bisiknya pelan, mencoba menenangkan diri. Ia turun ke ruang cuci, menarik napas dalam-dalam, tapi bayangan tatapan Tasya dan sudut foto yang hilang di rumah kaca itu terus menghantui pikirannya. Tangannya mulai meraih kemeja Dimas, melipatnya dengan gerakan yang anehnya begitu otomatis, seolah pernah dilakukannya berulang kali sebelumnya. Lipatan-lipatan itu rapi, simetris, sempurna, lebih sempurna daripada yang pernah ia lakukan sendiri. Suara langkah sepatu kulit terdengar mendekat. Dimas muncul di ambang pintu, wajahnya datar, mata menatap tajam. "Kau melipatnya… terlalu sempurna." Rani gugup, tersenyum canggung. "Oh… aku cuma mencoba sebaik mungkin." "Bukan. Ini bukan lipatan sembarangan. Kau pernah belajar cara ini." Rani terdiam. Ada getaran aneh di dadanya. Ia sendiri tidak tahu dari mana keterampilan itu muncul. Dimas melangkah lebih dekat, mengambil salah satu kemeja dari tangannya, lalu menyusuri lipatan dengan jari. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu yang lain, campuran rasa curiga dan pengakuan. "Aneh… rasanya kau sudah lama berada di sini." Suasana menjadi tegang. Rani menelan ludah, menunduk, pura-pura sibuk. Tapi kata-kata itu terus bergema di kepalanya. Mansion itu semakin membingungkannya. Dan Dimas yang seharusnya hanya iparnya tampak menyimpan rahasia tentang dirinya sendiri. Jantung Rani berdebar saat Dimas menatap kemeja yang terlipat sempurna di tangannya. Ia bisa merasakan tatapan yang menusuk, seakan mencari jawaban yang tak bisa ia berikan. Ketegangan di ruang cuci terasa tebal, cukup untuk dipotong dengan pisau. Ia ingin mengalihkan pandangan, memutus kontak mata yang intens itu, tapi tubuhnya seakan terjebak oleh sorot mata Dimas. Seolah dia bisa melihat langsung ke dalam dirinya, menyingkap rahasia yang terkubur jauh di ingatannya. "Rani… kau pernah tinggal di sini sebelumnya?" Suaranya rendah dan serak, membuat tulang punggung Rani merinding. Nafasnya tercekat saat ia berjuang mencari kata. "Aku… aku tidak berpikir begitu, Kak Dimas. Aku pasti akan ingat jika pernah." Meski berkata begitu, keraguan merayap ke dalam pikirannya. Kedekatan dengan rumah kaca ini, gerakannya yang begitu otomatis melipat pakaian Dimas, semuanya terasa familiar, seperti kenangan yang hilang. Dimas menyipitkan mata, tatapannya semakin tajam. Ia meraih kemeja dari tangan Rani yang gemetar. Jarinya menyapu tangan Rani saat mengambilnya, mengirim sensasi aneh ke seluruh tubuhnya. Dia membawa kain itu ke hidung, menarik napas dalam-dalam seakan mencoba menangkap aroma yang tertinggal di bahan itu. "Baunya… seperti parfummu. Atau… ini hanya imajinasiku?" Mata Rani melebar, jantungnya berdetak kencang. Ia mundur selangkah, merasa kewalahan dengan kedekatan Dimas dan makna kata-katanya. "Aku… aku tidak memakai parfum, Kak Dimas. Setidaknya, tidak yang aku ingat." Ia melingkarkan lengan di tubuhnya sendiri, tiba-tiba merasa terbuka dan rentan. Udara di antara mereka berderak dengan ketegangan dan rahasia yang siap meledak. Dimas meletakkan kemeja itu di rak terdekat, tapi matanya tak lepas dari wajah Rani. Ia mengamati, seolah ingin menyingkap misteri yang disimpan Rani. "Mungkin kau sudah tidak mengingatnya… tapi aku ingat baunya. Menghantui." Ia melangkah lebih dekat, menutup jarak di antara mereka. Rani bisa merasakan panas dari tubuhnya, melihat kilatan sesuatu yang primitif dalam tatapannya. "Rani," ia mengucap namanya seperti doa, atau kutukan. "Siapa kamu sebenarnya?"Keesokan paginya, Rani bangun lebih awal. Sejak semalam pikirannya dipenuhi rasa penasaran tentang liontin itu. Ia pun memutuskan untuk menanyakannya langsung pada Tasya. Saat masuk ke dapur, ia menemukan Tasya sedang duduk santai, menyeruput kopi sambil menggulir ponselnya.“Selamat pagi, Mbak Tasya. Boleh aku tanya sesuatu?” Rani membuka percakapan hati-hati.Tasya mendongak, wajahnya tampak agak jengkel. “Apa? Cepat saja, aku sibuk hari ini.”Rani sempat ragu, lalu mengeluarkan liontin yang ditemukannya. “aku menemukan ini tadi malam di tepi kolam renang. Mbak tahu ini milik siapa?”Mata Tasya sempat melebar sebelum kemudian menyipit curiga. “Kamu menemukannya di mana?”“Di tepi kolam renang,” jawab Rani pelan. “Ada inisial kita di sini… RP dan DES.”Tasya tiba-tiba meraih liontin itu dengan kasar. “Berikan padaku!”Rani terkejut oleh sikapnya yang mendadak agresif. “M-Mbak Tasya? Kenapa? Apa ini milik Mbak?”Tasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Bukan. Itu b
Dimas mengambil ponsel dari Rani, rahangnya menegang saat menatap layar. "Ini semakin sering terjadi," jawabnya pelan, nada muram. "Tasya banyak berpesta akhir-akhir ini. Pulang terlambat, kadang bahkan tidak pulang sama sekali." Dia meletakkan ponsel di atas meja, kemudian mengusap rambutnya dengan frustrasi. "Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana," katanya, suaranya berat karena kekhawatiran. "Dia tidak mau mendengarkanku. Dia… dia terus mendorongku menjauh." Rani menaruh tangan secara naluriah di lengan Dimas, memberi sentuhan yang menenangkan. "Maaf," gumamnya lembut. "Pasti sangat sulit bagimu." Dimas tampak mengalami sesuatu yang aneh di dadanya, kehangatan yang sepertinya sudah lama hilang darinya. Matanya menatap Rani benar-benar menatapnya dan Rani bisa merasakan kepedulian dan empati yang tulus di sorot matanya. Sesuatu yang begitu berbeda dari sikap dingin dan egois Tasya. Dimas mengulurkan tangannya dan dengan lembut mengambil gelas dari tangan Rani yang gemetar.
Pertanyaan itu menggantung, berat dan penuh makna yang tak terucap. Tatapan Dimas semakin dalam, lengannya menegang seolah takut melepaskan. "Baik?" ia mengulang, dengan senyum tipis yang getir. "Itu yang kamu pikir ini? Sekadar baik?" Ia menggeleng, lirih. "Tidak, Rani. Jauh dari sekadar baik." Tangannya terangkat, menyentuh wajahnya. Ibu jarinya menyapu pelan bibir bawahnya, membuat napas Rani tercekat. "Kamu sadar nggak, apa yang kamu lakukan padaku?" suaranya semakin rendah, nyaris berbisik. "Setiap kali aku melihatmu... rasanya seperti ada yang menghantam dadaku. Setiap senyummu, tawamu, semua tentangmu... membuatku gila." Dimas tampak menyadari ketegangan momen itu, lalu cepat-cepat menjauh sambil berdehem. "Ayo," katanya dengan nada kasar, berdiri sambil menawari tangannya pada Rani. "Mari kita hangatkan tubuhmu dengan sedikit makanan." Rani menggenggam tangannya, membiarkannya membantunya berdiri. Dia bersandar padanya, kaki yang berdenyut nyeri membuatnya bergantung
Pagi itu cerah. Rani menyapu halaman dengan tenang, poni jatuh ke wajah hingga ia menggulung rambut memakai jepit plastik bening. Dimas yang hendak berangkat kerja terhenti di ambang pintu, menatapnya dengan sorot aneh, seolah pernah melihat gerakan itu sebelumnya. “Kau selalu rapi,” ucapnya singkat, suaranya dingin. Rani menoleh cepat, kaget mendengar suaranya. “Oh… maaf kalau aku menghalangi jalan Kak Dimas.” “Tidak.” Tatapan Dimas bertahan sedikit terlalu lama sebelum akhirnya ia berbalik menuju mobilnya. Rani mengikuti punggungnya dengan pandangan penuh tanya. Dadanya berdebar karena intensitas sorot mata itu. "Kenapa dia melihatku seperti itu? Seolah aku… lebih dari sekadar orang baru di rumah ini." Degup jantung Rani masih berderu saat bayangan Dimas menghilang. Kata-katanya terngiang, membuatnya yakin tatapan itu menyimpan sesuatu yang tak ia mengerti. Sambil menyapu, matanya jatuh pada jepit rambut plastik bening di tangannya, tiba-tiba terasa berat, seolah menyimpan
Dimas berlutut di sampingnya. Tubuh tegapnya menghalangi cahaya, membuat Rani merasa terkurung dalam ruang kecil hanya berisi mereka berdua. Ia membuka balutan seadanya, meneliti luka dengan kening berkerut. “Cukup dalam,” gumamnya sambil mengambil kapas antiseptik. “Kamu beruntung tidak terluka lebih parah.” Rani terdiam, memperhatikan setiap gerakannya. Cekatan, telaten, tapi juga lembut. Kontras dengan sikap kerasnya yang biasanya dingin. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanyanya akhirnya, lirih. “Aku bisa membersihkannya sendiri.” Dimas sempat terhenti, lalu menautkan tatapannya pada mata Rani. Degup jantung Rani makin kacau. “Kamu tidak seharusnya melakukannya sendirian,” ucapnya dalam. “Selama kamu di bawah atapku, aku yang bertanggung jawab menjagamu.” Kata-kata itu membuat Rani menggigil tipis. Ia menunduk, berbisik, “Tapi aku hanya saudara iparmu… Aku bukan tanggung jawabmu.” Namun genggaman Dimas justru mengencang. Tatapannya tajam. “Kamu bukan sekadar adik ipark
Dimas mendekat, mengambil pisau lain untuk memotong bawang di sebelahnya. Ruang di antara mereka terlalu sempit. Sesekali lengan pria itu menyentuh bahunya. Rani menahan napas. Lalu, tanpa sengaja jari mereka bersentuhan saat sama-sama meraih piring kecil di meja. Waktu seolah berhenti. Pisau di tangan Dimas berhenti bergerak. Rani refleks menarik tangannya, tapi gerakan itu justru membuat pisau menyayat ujung jarinya. Rani berbisik pelan, menahan perih. “Ah…” Setetes darah muncul di ujung jarinya. Dimas langsung meraih tangannya tanpa ragu. Genggamannya hangat, kuat, terlalu intim untuk dapur yang dingin itu. “Kau ceroboh. Jangan biarkan darahmu menodai meja ini,” katanya dingin tapi tegas. Kalimatnya terdengar keras, tapi caranya menekan luka dengan tisu justru sangat teliti. Rani menatap wajahnya, dingin dan serius, namun ada sesuatu di balik sorot mata itu… sesuatu yang membuat dadanya bergetar. Rani buru-buru menarik tangannya kembali, berusaha menenangkan diri. Tapi ra