Share

🖤 EPISODE 3

last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-04 15:48:50

Danish mengedipkan mata nakal, sikap santainya membuat Rani merasa cepat nyaman.

“Dan siapa tahu,” ujarnya sambil tersenyum menggoda, “mungkin aku bisa mengajarimu sedikit tentang berkebun. Percaya deh, jauh lebih seru daripada mengelap peralatan makan.”

Rani terkekeh pelan, dadanya bergetar hangat mendengar celetukan genit itu. Ia menggigit bibir tanpa sadar, sadar betul bagaimana tatapan Danish begitu terfokus padanya—seakan menyerap setiap detail wajahnya.

“Mungkin aku akan ambil tawaranmu,” jawabnya nyaris berbisik. Udara di antara mereka terasa bergetar, penuh ketegangan tak terucap. Rani bahkan mendapati dirinya sedikit condong, seolah tertarik pada kehangatan Danish.

Namun seketika itu juga, suara lantang Tasya menerobos dari arah pintu Prancis yang terbuka, mematahkan suasana.

“Rani!” serunya kesal. “Kamu di mana? Aku butuh kamu masuk sekarang juga.”

Rani tersentak, rasa kecewa menusuk dadanya saat ia buru-buru menjauh dari Danish. Ia bergegas masuk, langkahnya terburu ke arah suara Tasya. Di serambi besar, ia menemukan kakaknya sedang mondar-mandir dengan wajah cemberut yang tetap terlihat sempurna.

“Kenapa lama sekali?!” bentak Tasya tajam begitu melihatnya. “Aku sudah memanggilmu dari tadi!”

“Maaf,” sahut Rani gugup, meremas tangannya sendiri. “Aku tadi melihat-lihat taman, sampai lupa waktu.”

Mata Tasya menyipit curiga. Ia melangkah maju, mendekat hingga jarak di antara mereka hampir lenyap.

“Taman?” ulangnya penuh nada tak percaya. “Dengan siapa?” suaranya meninggi, sarat kecurigaan. “Aku tidak ingat pernah memberimu izin untuk akrab dengan staf.”

Pipi Rani memanas oleh rasa bersalah. Ia menunduk, menghindari sorotan tajam kakaknya.

“A-aku tidak akrab…,” jawabnya pelan. “Aku hanya kebetulan bertemu Danish, tukang kebun. Dia menawarkan diri menunjukkan taman.”

Ekspresi Tasya langsung mengeras. Tangannya terangkat, mencengkeram dagu Rani dengan kasar hingga kepala adiknya terpaksa mendongak.

“Dengar baik-baik, adikku,” desisnya dingin, napas panas menyapu wajah Rani. “Kamu ada di sini untuk melayani keluarga ini, bukan untuk bersosialisasi dengan pekerja. Jelas?”

Rani hanya bisa mengangguk cepat, takut bersuara ketika cengkeraman Tasya makin sakit menekan rahangnya. Air mata menggenang di sudut matanya, tapi ia menahannya agar tidak jatuh.

Puas dengan ketakutan itu, Tasya melepas dagunya dengan kasar lalu melangkah mundur.

“Sekarang ganti baju yang pantas untuk makan malam,” perintahnya tegas. “Dan Rani… jangan sampai Dimas menunggu. Kamu tahu dia benci keterlambatan.”

Tanpa menoleh lagi, Tasya berbalik pergi.

Rani berdiri membeku di serambi, mengusap dagunya yang masih memerah bekas cengkeraman kakaknya. Napasnya bergetar, jantungnya berdebar cepat. Ia bisa merasakan sisa perih kuku Tasya yang sempat menekan kulitnya.

Dengan langkah tergesa, ia menaiki tangga menuju kamarnya. Cepat-cepat ia berganti ke gaun sederhana namun anggun—hitam selutut dengan garis leher berbentuk hati dan lengan tertutup. Rambutnya ia ikat rapi ke belakang, lalu menambahkan sedikit lip gloss. Ia ingin tampil pantas, setidaknya cukup layak, untuk menghadapi makan malam itu.

Saat Rani melangkah masuk ke ruang makan yang remang, matanya langsung tertumbuk pada kemegahan ruangan itu. Sebuah meja panjang dari kayu mahoni mengilap membentang di hadapannya, dihiasi lilin-lilin yang berkelip lembut dan peralatan makan berkilau. Di ujung-ujung meja, Tasya dan Dimas sudah duduk, berbincang pelan bersama Afqlah.

Rani menarik kursi dan duduk, hati-hati merapikan serbet di pangkuannya sambil menunggu hidangan pertama dihidangkan. Udara di ruangan terasa berat, dipenuhi ketegangan yang membuatnya merasa seperti orang asing di tengah kemewahan itu.

Begitu para pelayan mulai menyajikan makanan, Afqlah menoleh padanya dengan tatapan polos yang penuh rasa ingin tahu.

“Jadi, Tante Rani,” ujarnya, suaranya terdengar jelas di antara dentingan peralatan makan, “seperti apa hidupmu sebelum datang ke sini?”

Meja seketika hening. Rani merasakan tatapan semua orang tertuju padanya. Ia menelan ludah, berusaha mencari jawaban yang tepat.

“Aku… masih kuliah,” katanya terbata, jemarinya menggulirkan potongan makanan di piring.

“Jurusan apa?” Afqlah bertanya lagi, seakan tak sadar ia baru saja menyinggung kecanggungan.

Rani ragu-ragu. Kenangan samar tiba-tiba melintas, membuat pikirannya kosong. Ia bisa merasakan tatapan Dimas dari seberang meja menusuk tajam, seolah ingin menembus pikirannya.

“Administrasi bisnis,” jawabnya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku baru lulus bulan lalu.”

Tasya menyipitkan mata, lalu melirik cepat ke arah Dimas. Rani bisa merasakan atmosfer di meja semakin berat, membuatnya gelisah di kursi.

“Kalau begitu, apa yang membuatmu memilih tinggal bersama kami daripada mulai meniti karier?” tanya Tasya dengan nada pura-pura ramah. Tapi Rani bisa menangkap nada curiga di balik kata-katanya.

“Aku… hanya merasa ini kesempatan baik untuk lebih dekat dengan keluarga,” jawabnya pelan, menghindari tatapan Dimas. “Dan… memberi waktu untuk memikirkan langkah selanjutnya.”

Tasya menatapnya tajam, seolah mencari celah kebohongan. Setelah beberapa detik, ia mengangguk singkat dan kembali pada makanannya.

Namun sepanjang makan malam, Rani terus merasakan mata Dimas mengawasinya. Tatapannya begitu intens, membuat bulu kuduknya berdiri. Ia berusaha menunduk pada makanan atau percakapan yang mengalir, tapi sulit mengabaikan beban sorotan itu.

Di tengah makan, Afqlah kembali bersuara dengan polos, membuat Rani kaku di tempat.

“Tante Rani, kamu masih ingat banyak tentang masa kecilmu?” tanyanya, keningnya berkerut penuh rasa ingin tahu.

“Tidak… tidak terlalu,” jawabnya ragu, jemarinya sibuk meremas serbet. “Kenapa tanya begitu?”

Afqlah mengangkat bahu ringan. “Aku cuma pikir, pasti menyenangkan kalau kamu masih ingat saat kita tumbuh bersama.” Ia menghela napas kecil, terdengar kecewa.

Semakin malam, Rani makin gelisah dengan sorot mata Dimas yang tak henti-hentinya menelusuri setiap geraknya. Tatapan itu terasa seperti ingin membongkar sesuatu dalam dirinya—sesuatu yang bahkan tak sepenuhnya ia mengerti.

Menyadari kegelisahan itu, Tasya menimpali dengan nada manis yang menyembunyikan sindiran.

“Rani kelihatannya lelah. Mungkin lebih baik dia beristirahat saja malam ini.”

Rani segera mengangguk, bersyukur atas celah untuk kabur dari ruang makan yang menyesakkan itu.

“Selamat malam,” ucapnya lirih sebelum bergegas bangkit dan melangkah keluar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 66

    Elano bersandar santai di dinding kamar pribadi Tasya, tangannya dilipat di dada sambil memperhatikan Tasya yang berjalan gelisah bolak-balik. "Kamu terlalu memikirkan hal ini," katanya dengan suara tenang, sangat kontras dengan energi gelisah Tasya. Tasya berbalik menatapnya, matanya berkedip marah. "Terlalu banyak mikir? Bentaknya. "Pelacur kecil itu mencoba mencuri suamiku dari bawah hidungku, dan kamu bilang aku terlalu memikirkannya?" Elano mengangkat bahu santai, tidak terganggu oleh kemarahan Tasya. "Dia cuma seorang gadis," ujarnya datar. "Gadis naif dan bodoh yang nggak tahu tempatnya." "Dan bagaimana dengan Dimas?" Tasya menuntut, suaranya meninggi. "Dia yang menyemangatinya, memberi harapan bahwa mungkin ada sesuatu di antara mereka." Ekspresi Elano jadi gelap, senyum kejam menyungging di bibirnya. "Mungkin sudah saatnya mengingatkan Dimas tentang tugasnya," katanya lembut, melangkah dari dinding dan mendekati Tasya. "Mengingatkannya bahwa kesetiaannya ada di keluarga,

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 65

    Rani menelan ludah, pikirannya berpacu mencari alasan yang masuk akal. "Aku nggak tahu apa yang kamu omongin, Tasya." Mata Tasya menyipit berbahaya saat Rani terus menyangkal. Ia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan yang mengancam. "Jangan bohong sama aku," desisnya. "Aku tahu ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan Dimas." Darah Rani membeku saat mendengar nama Dimas, dan ia berusaha tetap tenang. "Itu nggak masuk akal," ucapnya, berusaha meyakinkan. "Dimas itu suami kamu. Kenapa aku harus ada hubungan sama dia?" Bibir Tasya menyunggingkan senyum sinis, tatapannya tak pernah lepas dari wajah Rani. "Karena kamu itu cewek bodoh yang ngira bisa dapetin semuanya," ejeknya. "Kamu pikir aku nggak tahu soal tatapan-tatapan curi pandang itu? Percakapan bisik-bisik? Cara dia ngeliatin kamu pas aku nggak merhatiin?" "Dan kamu cemburu cuma karena dia ngeliatin aku? Aduh, bukan salahku kalau dia ngelakuin itu, kan kamu sendiri yang bawa aku ke rumah ini." Wajah Tasya memerah karena

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 64

    Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk bagi Rani. Ia merasa Tasya terus mengawasinya, memperhatikan setiap gerakannya dengan intensitas yang membuatnya merinding. Bisik-bisik mulai terdengar di antara para staf rumah tangga, percakapan yang tiba-tiba berhenti saat Rani masuk ke ruangan, tatapan curiga yang mengikutinya saat ia berjalan di lorong. Rani berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman itu, dan fokus pada tugasnya dan hubungannya dengan Dimas. Namun, semakin sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, karena setiap sel dalam tubuhnya berteriak untuk lari, menjauh dari suasana curiga dan tidak percaya yang mencekik itu. Suatu malam, saat Rani membantu Afqlah mengerjakan pekerjaan rumah di perpustakaan, ia melihat Tasya berdiri di ambang pintu, mengamati mereka dalam diam. Bulu kuduk Rani meremang saat merasakan tatapan Tasya yang dingin dan menusuk. Rani berusaha fokus pada soal matematika di hadapan Afqlah, tangannya sedikit gemetar saat meraih p

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 63

    "Apa yang mau kamu omongin?" tanya Rani hati-hati, berusaha menenangkan diri. Tasya menatap Rani dengan tajam, seolah bisa melihat menembus dirinya. "Aku perhatiin ada yang berubah dari kamu belakangan ini," ucapnya perlahan sambil duduk di kursinya dan meletakkan jari-jarinya di bawah dagu. Rani menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Berubah?" tanyanya, berharap suaranya terdengar acuh tak acuh. "Iya," lanjut Tasya sambil bersandar di kursinya. "Kamu kelihatan... beda. Lebih gelisah. Dan kamu jadi deket banget sama Afqlah." Rani merasakan keringat dingin di lehernya. Ia tahu ia harus berhati-hati agar Tasya tidak semakin curiga. "Aku... mungkin lagi banyak pikiran belakangan ini," aku Rani hati-hati. "Tapi nggak ada yang perlu dikhawatirin kok... cuma stres karena harus menyesuaikan diri sama peran baru di sini," lanjut Rani sambil tersenyum kecil. "Dan Afqlah itu anak yang manis. Gampang banget sayang sama dia." Tasya menyipitkan matanya, menatap wajah Rani. "Sayang?" ulangny

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 62

    "Selamat pagi," sapa Rani sambil tersenyum, berusaha menghilangkan sisa-sisa hasratnya dan fokus pada tugasnya. Aysha mendongak dan membalas senyum Rani. "Pagi, Rani. Nyenyak tidurnya?" Rani mengangguk, mendekati Aysha. "Iya, makasih." Ia terdiam sejenak sebelum bertanya, "Ada yang bisa kubantu?" "Sebenarnya ada," jawab Aysha, menyodorkan semangkuk buah ke Rani, "Bisa tolong buat salad buah? Kayaknya enak kalau dimakan sama pancake." "Boleh," jawab Rani, mulai memotong stroberi dan pisang. Sambil bekerja, ia berusaha fokus pada tugasnya dan tidak memikirkan Dimas. Tapi itu sulit, sentuhan Dimas masih terasa di kulitnya, bisikannya terngiang di telinganya "Rani?" Suara Aysha membuyarkan lamunan Rani, dan Rani tersadar bahwa ia sedang menatap talenan tanpa memotong apa pun. "Ya?" jawabnya, memaksakan senyum. "Maaf, aku cuma... lagi banyak pikiran." Aysha menatap Rani dengan khawatir. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya lembut. "Kamu kelihatan nggak fokus hari ini." "Aku b

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 61

    Pagi itu, Rani terbangun dengan rasa pegal di sekujur tubuhnya dan rasa ngilu di antara kedua kakinya, kenangan indah dari malam sebelumnya. Ia menggeliat malas, meringis kecil saat merasakan otot-ototnya tertarik. Di sampingnya, Dimas masih terlelap, tangannya melingkari pinggang Rani. Rani tersenyum lembut, mengamati wajah Dimas. Bahkan saat tidur, ia terlihat gagah dan berwibawa. Dengan hati-hati, agar tidak membangunkan Dimas, Rani melepaskan diri dari pelukannya dan diam-diam pergi ke kamar mandi. Ia menyalakan shower, merasakan kelegaan saat air hangat itu membasahi tubuhnya dan meredakan rasa pegal. Sambil mandi, pikiran Rani melayang ke pertemuan mereka semalam, tangan Dimas di kulitnya, bibirnya menjelajahi setiap inci tubuhnya, dan tubuhnya yang mengisi dirinya sepenuhnya. Ia merinding membayangkan semua itu. Tangan Rani menyentuh perutnya yang masih rata. Di bawah telapak tangannya, ia seolah bisa merasakan kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya, hasil dari cin

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status