Rani tiba di Citra Asmarayudha Residence, diantar oleh Tasya. Dari balik kaca mobil, ia menatap gerbang hitam menjulang. Satpam bernama Rahman memberi salam dengan sikap kaku, membuat Rani merasa kecil dan asing, seolah baru saja melangkah ke dunia lain.
Saat mobil berhenti di depan pintu masuk megah, mata Rani membesar melihat rumah yang berdiri anggun di hadapannya. Fasad marmer putih berkilau diterpa cahaya sore, sementara taman di sekelilingnya mekar penuh warna. Tasya melirik padanya dengan senyum puas. “Selamat datang di rumah, Rani,” ucapnya manis, meski terdengar palsu. Rani turun dari mobil dengan jantung berdebar. Udara di sekitarnya dipenuhi aroma bunga eksotis bercampur dengan segarnya rumput yang baru dipangkas. Ia menggenggam erat pegangan kopernya, merasa seperti orang asing di dunia penuh kemewahan ini. Sepatu hak Tasya berketuk pelan di jalan berbatu, memimpin langkah menuju pintu depan. “Aku yakin kamu akan betah di sini,” katanya sambil melirik sekilas pada adiknya dengan senyum seakan penuh pengertian. “Dimas sudah menyiapkan kamar untukmu.” Begitu masuk ke serambi, Rani tertegun melihat kemewahan yang menyambutnya. Sebuah tangga besar melingkar ke atas, sementara lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memantulkan cahaya pelangi di lantai marmer. Tiba-tiba, suara berat terdengar menggema di lorong. “Tasya, kau sudah kembali.” Dimas Elvano Satya muncul dari ruang kerjanya, tatapannya langsung tertuju pada Rani. Ia tampak nyaris sempurna dalam balutan jas yang rapi membentuk tubuh atletisnya, rambut hitamnya tertata tanpa cela. Kehadirannya begitu dominan, membuat jantung Rani berdegup kencang. “Jadi ini adikmu?” tanyanya, melangkah mendekat, gerakannya seperti predator yang sedang mengukur mangsa. Rani berdiri kaku, matanya terkunci pada pria itu. Dari dekat, ia bisa mencium aroma halus cologne, perpaduan kayu cendana dan sesuatu yang maskulin. Tatapannya tajam, seolah mampu menembus hingga ke dalam dirinya. “Rani,” sela Tasya, cepat-cepat meraih lengan Dimas dengan sikap posesif. “Bukankah dia manis? Aku yakin dia akan berguna di rumah ini.” Senyum tipis muncul di bibir Dimas. “Aku juga yakin begitu,” gumamnya tanpa mengalihkan pandangan dari Rani. “Ayo, biar kutunjukkan kamarmu.” Ia mengisyaratkan ke arah tangga, tangannya terulur menunggu. Rani ragu sejenak, lalu meletakkan tangannya di genggamannya. Jantungnya kembali berdegup kencang saat merasakan cengkeraman kuat dan menguasai itu. Ia menuruti langkah Dimas menaiki tangga, matanya tak lepas dari punggung lebar pria itu, dari cara jasnya jatuh mengikuti bahu kokoh setiap kali ia bergerak. Mereka melewati lorong panjang yang dipenuhi lukisan mahal dan karpet mewah. Rani merasa kian kecil, bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya menantinya dengan keputusan tinggal di rumah ini. Dimas berhenti di depan sebuah pintu, lalu mendorongnya terbuka. Sebuah kamar luas tersingkap, dipenuhi nuansa pastel lembut. Tempat tidur empat tiang besar berdiri di tengah ruangan, dihiasi tirai sutra dan bertumpuk bantal empuk. “Ini kamarmu,” ujar Dimas, menyingkir sedikit agar Rani bisa masuk. “Semoga sesuai dengan harapanmu.” Rani ragu di ambang pintu, matanya terbelalak menatap kemewahan di dalam. Ruangan itu lebih besar daripada seluruh apartemennya dulu, lantainya tertutup karpet lembut, ada area duduk dengan sofa dan kursi mengelilingi meja kopi, meja rias berukir indah menempel di dinding, dan jendela setinggi langit-langit menampilkan pemandangan taman hijau yang menakjubkan. “Ini… indah sekali,” bisiknya, melangkah masuk. Ia meletakkan koper di sisi ranjang, merasa canggung dengan gaun hitam sederhana yang dikenakannya di tengah ruangan penuh kemewahan. Saat ia masih berdiri kikuk, Dimas berdehem. “Aysha akan mengajakmu berkeliling dan menjelaskan aturan rumah ini,” katanya, nada suaranya tak memberi ruang untuk membantah. “Ikuti instruksinya dengan baik.” Belum sempat Rani menjawab, seorang wanita masuk. Pakaian hitam dengan celemek putih membalut tubuhnya, rambutnya disanggul rapi. Rani langsung menebak: Aysha, kepala staf rumah tangga. “Selamat datang, Rani,” sapa Aysha dengan senyum ramah. “Saya Aysha. Hari ini saya akan menemanimu berkeliling.” Dimas hanya mengangguk singkat, lalu berbalik keluar dan menutup pintu di belakangnya. Rani menoleh pada Aysha, diliputi campuran lega sekaligus gugup. “Mari kita mulai dari dapur,” kata Aysha ceria, memberi isyarat padanya untuk ikut. “Penting bagimu memahami bagaimana segalanya berjalan di sini.” Mereka menuruni tangga besar menuju dapur luas yang dipenuhi peralatan modern. Rani nyaris terpana melihat ukurannya. Segala sesuatu dari baja tahan karat berkilau di bawah cahaya terang, sementara sebuah meja marmer besar berdiri di tengah ruangan. Rani tak tahan untuk menyusuri permukaannya dengan jemari, kagum pada kehalusannya. “Pertama-tama,” Aysha menunjuk panel di dinding, “di sinilah semua aturan dan jadwal rumah tercatat.” Ia mengetuk layar sentuh, dan daftar instruksi muncul. “Kamu harus hafal. Tuan Dimas menuntut kesempurnaan.” Rani mengangguk sungguh-sungguh. Kata-kata seperti kebersihan, ketepatan waktu, dan kerahasiaan terasa membebaninya. Ia sadar tanggung jawab yang dipikulnya jauh lebih berat dari perkiraannya. Tur berlanjut ke ruang tamu, penuh barang antik dan karya seni mahal. Rani mendengarkan dengan tekun, berusaha menyerap setiap detail. “Sekarang, biar saya tunjukkan cara menata meja makan,” kata Aysha sambil menuntunnya ke ruang makan besar. Meja mahoni panjang terbentang, cukup untuk menampung dua puluh orang. Ia mulai mengeluarkan peralatan makan dan gelas kristal, menjelaskan aturan penempatan satu per satu. Rani memperhatikan seksama, mencoba menirukan. Namun saat ia meraih gelas, sikunya tanpa sengaja menyenggol vas di dekatnya. Vas itu jatuh dan pecah berantakan di lantai. Rani membeku, jantungnya berdegup kencang. Pecahan porselen berkilau menyebar di atas lantai kayu. Senyum Aysha sempat memudar, tapi ia segera menguasai diri. “Tidak apa-apa,” katanya lembut namun tegas. “Kecelakaan bisa terjadi. Tapi di rumah ini, kita harus selalu berhati-hati.” Ia berlutut, memunguti pecahan besar, lalu memberi isyarat agar Rani mengambil sapu dan pengki. Saat mereka membersihkan bersama, Aysha terus berbicara dengan nada menenangkan. “Saya tahu ini terasa berat, Rani. Rumah ini punya aturan dan tuntutannya sendiri. Tapi sekarang kamu bagian dari keluarga, dan kami akan membantumu menyesuaikan diri.” Rani mengangguk penuh rasa terima kasih. Ada kelegaan yang menyeruak, meski hatinya masih diliputi kecemasan. Setelah semuanya beres, Aysha berdiri dan menepuk bahunya dengan hangat. “Kamu akan baik-baik saja,” ujarnya sambil tersenyum. Tangan hangat Aysha di bahu Rani menghadirkan sedikit rasa nyaman, seperti jeda singkat di tengah hari yang penuh tekanan. “Terima kasih,” gumam Rani pelan, matanya tertunduk. “Aku berusaha sebaik mungkin untuk mengerti semuanya.” “Kamu baik-baik saja,” balas Aysha lembut, nadanya menenangkan. “Kalau ada yang membingungkan atau kamu butuh bantuan, jangan ragu untuk bertanya. Kami semua ada untuk mendukungmu.”Saat cahaya fajar pertama menyaring melalui celah-celah pintu, tatapan Dimas melayang di atas tubuh Rani, menangkap banyak bekas ciuman dan gigitan cinta yang menghiasi kulitnya. Gelombang posesif menyelimuti dirinya, kepuasan primal menyebar saat melihat jejaknya padanya. Ia menggerakkan jarinya perlahan di atas memar, mengagumi kontras antara kulit halus dan bukti pertemuan mereka. Rani bergerak di sisinya, matanya terbuka untuk bertemu tatapan intens Dimas. “Dimas…” gumamnya, rona merah merayap di pipinya. “Apa yang… kamu lihat?” Dimas tersenyum nakal, membungkuk untuk mencium tulang selangkanya. “Mahakaryaku,” bisiknya di kulitnya. Namun, ketenangan itu segera terganggu. Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar dari luar ruangan. Rani dan Dimas membeku, jantung mereka berdegup kencang, telinga mereka menangkap setiap hentakan. Langkah itu semakin keras, berhenti tepat di luar pintu. Napas Rani tersangkut saat ia mengenali suara polos itu. “Tahte Rani?” Afqlah memanggil
Jantung Rani berdebar hebat mendengar kata-katanya. Ia mendekat tanpa ragu, lalu melingkarkan tangannya ke leher pria itu, menempelkan tubuhnya erat. “Aku merindukanmu,” bisiknya di dada Dimas. “Malam ini kacau. Tasya menyuruhku mengantarkan paket, dan ternyata… itu semacam dokumen pemerasan.” Lengan Dimas menegang, memeluknya lebih kuat. Rahangnya mengeras saat mendengar nama Tasya. “Pemerasan?” suaranya pelan tapi berbahaya. “Paket macam apa itu?” Rani ragu sejenak sebelum mundur sedikit, menatap Dimas dengan hati-hati. “Aku tidak tahu,” akunya pelan. “Tapi Meisya memperingatkanku… katanya paket itu berisi informasi yang bisa menghancurkan perusahaanmu kalau jatuh ke tangan yang salah. Dia bilang Tasya mencoba memeras seseorang.” Mata Dimas menggelap saat nama Meisya disebut. Otot di rahangnya menegang. “Meisya?” ulangnya dengan nada dingin. “Apa hubungannya dengan semua ini?” Rani menggeleng, alisnya berkerut. “Aku juga tidak yakin,” katanya jujur. “Tapi dia terlihat b
Rani ragu sejenak, terbelah antara tugasnya kepada Tasya dan kerinduannya untuk bertemu Dimas. Ia tahu tidak bisa mengabaikan paket itu begitu saja, tetapi mungkin ada cara untuk menyelesaikannya dengan cepat dan tetap sampai ke pertemuan mereka. “Aku akan kembali sesegera mungkin,” gumamnya pada diri sendiri, menyelipkan paket itu dengan aman di bawah lengannya. Dengan napas dalam-dalam, ia menyelinap keluar rumah, hati-hati agar tidak terlihat oleh pelayan yang masih berada di sekitar. Udara malam yang sejuk menyentuh kulitnya saat Rani bergegas menuju gerbang. Ia menundukkan kepala dan melangkah cepat, berharap tidak menarik perhatian. Leganya terasa saat Zafla, yang sedang sibuk dengan ponselnya, hampir tidak menoleh saat ia melambaikan tangan. Jantung Rani berdebar kencang saat ia melangkah ke jalan-jalan yang gelap, paket berat di pelukannya. Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari bayangan: “Ya?” Nada itu hati-hati, penuh waspada. Rani menelan ludah, genggamannya pada
Penthouse rahasia itu adalah tempat perlindungan bagi Rani, tempat ia bisa melarikan diri dari suasana rumah utama yang mencekik dan dari kesendirian pikirannya sendiri. Dimas telah menyiapkannya dengan segala kenyamanan yang ia sukai: sofa mewah, TV layar datar besar, dapur kecil lengkap, dan kamar tidur luas dengan kamar mandi dalam. Di sinilah Rani dan Dimas bisa benar-benar jujur satu sama lain, tanpa takut dihakimi atau dibalas dendam. Rani duduk di sofa, menyeruput segelas anggur sambil menatap lampu kota yang berkelap-kelip melalui jendela dari lantai hingga langit-langit. Ia tidak bisa menahan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Ia tahu apa yang dilakukannya salah—mengkhianati kepercayaan saudara perempuannya dan merusak fondasi keluarga mereka. Namun, di sisi lain, cintanya pada Dimas terlalu kuat untuk ditolak. Suara pintu penthouse yang terbuka menarik Rani keluar dari pikirannya. Ia menoleh dan melihat Dimas masuk, tubuhnya yang tinggi bersiluet di lorong. Ia mengu
Afqlah keluar dari kamar, wajahnya masih berkerut karena baru bangun tidur. Dia mendekati Ayah yang sedang membaca koran di ruang tamu, tangan mungilnya memeluk boneka beruang. "Ayah," kata Afqlah mengantuk sambil menggosok matanya dengan tangan yang bebas, "kenapa Tante Rani selalu menghabiskan lebih banyak waktu denganku daripada Mommy?" Dimas menurunkan korannya perlahan, menatap Tasya yang duduk di meja makan, asyik dengan ponselnya seperti biasa. Ia menghela napas pelan sebelum kembali menoleh ke Afqlah. "Baiklah, sayang," katanya lembut. "Ibumu sangat sibuk. Dia punya banyak tanggung jawab yang menyita waktunya." Afqlah mengangguk perlahan, mencerna kata-kata ayahnya. "Tapi Tante Rani sepertinya tidak sibuk," katanya, alis mungilnya berkerut kebingungan. "Dia selalu di sini, bermain denganku dan membantuku mengerjakan pekerjaan rumah." Ekspresi Dimas melunak mendengar pengamatan polos Afqlah. Ia tahu Rani memang menghabiskan jauh lebih banyak waktu dengan putrinya dibandingk
Dimas dan Rani duduk di ruang tamu, tenggelam dalam percakapan tenang ketika suara sepatu hak tinggi beradu dengan marmer menandakan kedatangan Tasya. Ia melangkah masuk dengan anggun—gaunnya berkilau, riasannya sempurna—namun ada sedikit goyangan di langkahnya yang menandakan ia sudah terlalu banyak minum di pesta tadi. “Wah, wah,” ucapnya dengan suara tidak jelas, matanya menyipit melihat Dimas dan Rani yang duduk begitu dekat. “Apa yang kita punya di sini?” Dimas berdiri dengan tenang, ekspresinya tetap netral. “Hanya membicarakan beberapa urusan rumah tangga,” katanya datar. “Rani sangat membantu di rumah… sesuatu yang tampaknya sering kamu lupakan.” Bibir Tasya melengkung sinis. “Oh, begitu? Dia?” tanyanya tajam. “Saya yakin dia senang sekali bermain peran sebagai pengurus rumah tangga kita.” Mata Dimas menajam menanggapi nada meremehkannya. “Rani bukan sekadar pengurus rumah tangga,” ucapnya tegas. “Dia keluarga—sesuatu yang sepertinya sudah kamu lupakan dalam usahamu men