"Bun, itu temen Revan. Revan mau ke sana boleh?""Iya, tapi jangan lama-lama. Kita mau pulang. Jam tujuh kamu harus ke acara ulang tahun, takutnya nanti terlambat," ucap Rania mengingatkan sang anak.Revan mengangguk lalu menemui temannya yang berada tidak jauh dari meja mereka."Ini punya anda," ucap Rania setelah menyerahkan sesuatu yang ia ambil dengan dompetnya."Apa ini?" Damar cukup tau apa itu, tapu ia tidak percaya kalau Rania akan mengembalikannya."Dulu aku pernah pakek uang kamu, tapi aku sudah mengembalikannya. Terimakasih atas bantuannya waktu itu, karena sekarang kita bertemu di sini jadi sekalian aku kembalikan ini." Rania memang selalu menaruh kartu itu di dompetnya, tidak tahu kapan bisa bertemu dengan Damar tapi dia memang sudah merencanakan jika bertemu dengan Damar akan langsung mengembalikannya."Kenapa harus dikembalikan, ini punya kamu," ujar Damar."Bukan, itu punya kamu. Aku sudah cukup dengan apa yang aku punya, terima dan jangan di tolak agar aku bisa tenan
"Bun, tadi ada undangan dari sekolah. Yang lain dihadiri sama Ayahnya, kerena Revan nggak punya Ayah jadi Bunda aja yang dateng," ucap Revan. Hal-hal seperti inilah yang kadang membuat Rania merasa bersalah, ia tidak bisa memberikan keluarga yang utuh untuk sang anak."Acaranya kapan?" tanya Rania. Mereka kini tengah duduk di taman belakang, Rania baru saja menyelesaikan pesanan kue sementara Revan baru pulang dari sekolah."Lusa, sama pengumuman libur sekolah. Bunda bisa kan?" Karena biasanya saat ibunya banyak pesanan maka akan diwakilkan."Iya, hari itu nggak ada pesanan kue ulang tahun. Kamu mau liburan ke mana?" Karena jarang sekali mereka bisa berlibur, waktu liburan sekolah kali ini Rania sengaja meluangkan waktu untuk sang anak."Emang Bunda bisa?" tanya Revan heran."Bisa, mbak Yati udah bisa gantiin Bunda hias kue. Emang kamu mau liburan ke mana?""Belum tau sih, belum kepikiran. Tapi Revan mau kita ke pantai, udah lama banget kita nggak ke pantai," ujar Revan antusias."Si
"Sakit apa?" Ada nada khawatir dari ucapan Rania, sedih itu menyelimuti hatinya yang beku."Darah tinggi sama lambungnya kambuh, minggu depan jadwal operasi kecil di rumah sakit," jelas Risa, "Ibu sering nanyain kamu."Deg. Jantung Rania berdetak lebih cepat, ia bingung harus berbuat apa. Satu sisi ia ingin sekali pulang menemui sang Ibu, tapi di sisi lain ia takut penolakan itu kembali ia terima saat ia membawa sang anak pulang."Ran," panggil sang Kakak setelah sekian menit adiknya tidak bersuara."Iya mbak," jawab Rania."Kami dengerin mbak ngomong kan?" tanya Risa memastikan, "kalau kamu belum siap nggak usah pulang, mbak nggak maksa. Tapi kamu harus mikirin juga kesehatan Ibu, beliau ingin ketemu kamu. Mbak cuma nggak mau kamu menyesal setelah Ibu tiada nanti," jelas Risa."Iya mbak, aku ngerti. Nanti aku ngomong sama Revan dulu."Apa yang harus Rania lakukan?**Ai**Dua hari setelah pembicaraan itu, Rania belum bisa mengambil keputusan karena Revan kecelakaan. Tidak begitu parah
"Rania," ucap sang ibu lemah.Rania segera menghampiri sang ibu yang tengah berbaring di ranjang, tubuhnya nampak kurus, lingkar mata menghitam dan rambut memutih. Air mata Rania tidak bisa di bendung, selama empat belas tahun mereka tidak bertemu."Maafin Rania bu, selama ini Rania terlalu keras kepala untuk menemui ibu. Rania nggak berusaha meminta maaf pada ibu, maafkan Rania." Rania mencium kaki sang ibu.Ibu Rania juga ikut menangis, selama ini ia baru sadar kalau dia sudah menjadi ibu yang egois. Seharusnya ia memberi dukungan pada sang anak, bukannya malah menyalahkannya. Rania harus berjuang hidup seorang diri, belum lagi dia harus membesarkan anaknya.Seringkali rindu menghinggapi, tapi karena emosi itu masih melingkupi akhirnya ia hanya menelan sendiri kerinduan itu.Akhirnya sang ibu berani mengucap rindu pada anak keduanya itu kala Risa menceritakan semua pada sang ibu, perjuangan Rania, pengorbanannya untuk membuat orang lain bahagia dan kiriman uang dari Rania yang bisa
"Kayak Mama sama tante Rania pas baru ketemu waktu itu?" tanya Rima lagi."Iya, ya sudah kita ke belakang dulu siapin makan. Kasian nanti tante sama dek Revan lapar," ucap Risa lalu mengajak sang anak pergi dari kamar yang penuh haru itu."Revan sudah kelas berapa?" tanya ibu Rania pada sang cucu saat mereka sudah mengurai pelukan."Kelas tujuh nek, mau naik kelas delapan," jawab Revan. Senyum tidak hilang dari bibirnya, ia begitu bahagia bisa bertemu dengan sang nenek."Mau sekolah di sini?" "Nggak tau, Revan nurut kata Bunda aja," ucap Revan seraya menatap sang ibu."Nggak bisa bu, kerja Rania kan di sana. Kalau Rania pindah ke sini, kerjaan Rania gimana? Atau ibu aja yang mau ikut Rania tinggal di sana?" tanya Rania pada sang ibu."Ibu udah sakit-sakitan, nanti malah ngerepotin kamu," jelas sang ibu."Rania malah seneng kalau ibu mau tinggal sama Rania, ibu kan seneng masak," ujar Rania."Nanti kalau ibu sudah sembuh, ibu mau main ke sana. Ibu pengen lihat usaha kamu, katanya kamu
Mereka sekarang tengah duduk di teras depan, sementara Revan dan Rima bermain handphone di halaman yang masih lumayan luas."Rania," sapa salah satu tetangga ibu Rania."Bu Salma, apa kabar?" "Baik. Ya ampun, ini bener Rania. Tambah cantik ya sekarang, kapan dateng?" ujar bu Salma antusias."Baru bu, ibu mau ke mana?" Dilihatnya bu Salma sudah membawa tas dan memakai baju rapi."Mau berangkat arisan, nanti ibu ke sini lagi ya.""Bunda."Belum sempat bu Salma pergi, Revan sudah mendekat pada sang ibu."Ini siapa Ran?" tanya bu Salma, ia memandang lekat wajah Revan."Anak saya bu," jawab Rania, ia lalu beralih pada Revan, "salim dulu nak."Bu Salma masih terpaku dengan wajah Revan, berbagai asumsi berkeliaran dalam otaknya. Ia sudah punya rencana untuk menyampaikan apa yang ia lihat pada ibu-ibu kampung, pasti berita ini akan menggemparkan kampungnya."Oh, iya. Ibu permisi dulu ya, takut telat." Bu Salma segera berlari menuju motornya."Bunda, charger di mana? Baterai Revan habis," uca
Siang ini mereka makan bersama, suami dan anak Risa juga ikut berkumpul. Keluarga besar Roni sudah bisa menerima kehadiran Rania, entah apa yang Roni dan Risa katakan pada mereka.Makan siang yang begitu meriah, gelak tawa memenuhi ruang makan kecil itu. Ibu Rania juga terlihat lebih baik dari sebelumnya, lebih banyak senyum yang menghias bibirnya."Makan yang banyak Ki, biar cepet tinggi kayak Revan," ucap Roni pada sang anak."Iya, Riki mau kayak dek Revan. Biar nanti bisa jadi polisi. Riki mau punya tembak sama motor gede," ujar Riki menanggapi ucapan ayahnya."Kalau Revan mau jadi apa?" tanya Roni pada keponakannya."Mau jadi pilot, mau bawa Bunda keliling dunia," jawab Revan antusias."Kalau Rima?""Mau jadi dokter, biar bisa obatin Kak Riki sama dek Revan kalau sakit," ujar anak perempuan berusia sembilan tahun itu."Wah, hebat semua ya cucu nenek. Semoga cita-cita kalian terwujud semua," doa Risa untuk cita-cita anak-anak."Amin," ucap semua serempak."Budhe, di depan ada tamu,
"Saat itu saya tidak tau kalau dia punya pacar," ucap Rania."Jangan bohong kamu! Bagaimana bisa kamu nggak tau kalau Andra punya pacar, sementara kami sudah berpacaran dua tahun?"Sania mulai meninggikan suaranya. Kehidupan rumah tangganya sedang tidak baik, ditambah dengan kehadiran Rania dan anak mereka yang begitu tampan dan sempurna. Hal itu membuat Sania semakin murka."Apakah Anda datang ke sini untuk menyalahkan saya atau mendapat jawaban saya?" tanya Rania.Sania duduk kembali, ia ingin mengetahui fakta yang terjadi, karena jika ia bertanya pada adik ipar dan suaminya ia yakin tidak akan mendapat jawaban yang benar."Baiklah. Aku harap kamu tidak berbohong.""Saya berusaha menceritakan kejadian sebenarnya, tapi semua itu tergantung Anda percaya atau tidak pada ucapan saya?" ucap Rania.Sania menghela nafas berat, ia hanya mengangguk untuk mendengarkan cerita Rania."Saat itu Sinta yang meminta saya untuk menjalin hubungan dengan Kakaknya, saya yang sudah bersahabat cukup lama