“Supri, sialan lu, ngapain bawa cewek ke sini?” sergahku saat kepalanya nongol di tangga.“Mas sudah lihat?” Dia malah bertanya.Aku mengangkat dagu, tangan melipat di dada dan bersilang kaki. Menunggu jawaban.Supri memainkan kuping, duduk di kursi hitam kecil yang ada di samping sofa. “Sori, sebenarnya dia adikku, Mas.” Ia berbicara pelan.“Ta-tapi tenang saja. Malam ini kucarikan kos-kosan.” Pria putih berpipi cabi ini menunjukkan telapak tangan.Aku menghela napas panjang. Sukurlah ternyata bukan wanita simpanannya, meski begitu tetap ini keterlaluan. Memakai kamarku tanpa meminta izin."Dari kapan ade lu di sini? Tidur di kamar gue gak bilang-bilang.""Maaf Mas, kalau bilang dulu takut gak diizinkan. Jadi minta izin belakangan, biar nginep dulu." Dia meremas rambut, alisnya menegang hampir bertautan. Merasa bersalah, mungkin."Hih! Bisa lu bermain politik."Supri melambaikan tangan ke arahku. Aku nengok ke sisi lain. Adiknya Supri berdiri di belakangku."Kenalin de, ini bos Aa."
Part 12. Entakan Kaki Riri Riri tersenyum malu-malu, disimpannya segelas kopi itu di atas meja. Gadis berpipi bersih itu melihat ke arahku, “Terima kasih sudah diizinin tinggal di sini, A ... Eh! Mas.” Dia tersenyum lagi menunjukkan gigi-gigi. Matanya berbinar, bulu mata lentiknya terlihat jelas. “Makasihnya oke, tapi tanya dulu, emang siapa yang suka kopi cokelat begitu.” Alisku menegang. Anak ini aneh, semalam menyembunyikan muka, pagi ini so kenal so deket. Pake senyam-senyum segala lagi. “Ha? Emang gak suka?” dia ternganga, gak mingkem-mingkem. “Mas Pras sukanya kopi hitam, Neng,” timpal Supri yang sedang membongkar monitor di belakangku. “Buat Aa Anton saja atuh, Neng Riri,” canda Anton dari depan. Riri meruncingkan bibirnya, lalu menarik capucino yang baru saja disimpan itu. “Yaudah deh buat A Yana sajah.” Dia memindahkan gelas kopi ke dekat Supri. Lalu pergi hendak naik kembali. “Buat Aa Anton mana, Neng Riri? Aa Anton suka apa aja asal Neng Riri yang buatkan,” goda Anto
Bekerja seperti ini adalah satu hal menarik. Seperti tantangan yang harus dipecahkan. Ada rasa bahagia ketika bisa memecahkan masalahnya. Aku juga tidak terlalu pintar sebenarnya, tapi karena ‘suka’ meskipun tidak bisa, terus saja dipelajari. Bekerja seperti ini harus melek buku, soalnya setiap tahun perkembangan alat-alat elektronik terus meningkat. Pak Samsul orang yang rajin, tapi tidak mau membuka buku, senangnya langsung praktik. Mempelajari semuanya secara langsung tanpa panduan. Jadinya ya gini. Ada saja alat-alat yang tidak bisa diselesaikan. Kalau aku mengerti, langsung kuberitahu caranya, tapi kalau tidak, aku cari dulu buku yang sesuai, pelajari, baru praktik. Itulah kenapa Pak Samsul lebih nyaman kerja denganku. Beliau tidak usah repot-repot membaca buku. Padalah kalau dia buka tempat reparasi sendiri mungkin sudah maju tokonya. Tapi beginilah, lebih banyak orang yang suka jadi katak dalam tempurung. Dulu saat pertama kali buka jasa servis aku tidak pernah pasang tarif u
Part 13. Bisnis yang Menggiurkan Tak tahu lah apa yang terjadi dengan anak itu. Pagi-pagi sudah uring-uringan tidak jelas. Beres-beres ruko pakai teknik perang. Geser sana-geser sini, sapu ini-sapu itu. Gedebak-gedebuk terus. Bisa-bisa pecah semua barang-barangku. “PMS lu, Ri?” tanyaku pada gadis yang sedang menggeser etalase, lalu menyapu bersih bawahnya. Bagus, jadi bersih, tapi caranya itu membuat kami bergidik. Ah, bukan kami! Hanya aku dan Anton yang keheranan. Supri sepertinya sudah biasa, jadi dia tidak berkomentar. “Bukan, Om. Lagi kesel!” Gadis bermata bulat itu melirik menunjukkan muka kecut. “Om? Kemarin-kemarin bilang Aa, sekarang, Om.” “Hiih! Udah tua juga pengen dipanggil Aa. Ngaca mangkanya ... Om.” Dia memberikan penekanan saat menyebut kata ‘Om’. “Ampun dah, bocah!” Dari pada ngurusin keanehan Riri, lebih baik aku masuk ruang reparasi. Dan mulai memperbaiki barang-barang yang ada di sana. Tidak ada kopi panas hari ini. Anak itu disuruh beli sarapan pun ketus.
Setiap pagi kusempatkan untuk menelepon Sari, hari ini rasanya aku ingin melihatnya. Setelah menatap layar cukup lama akhirnya kutekan panggilan video call. Sebentar merapikan rambut, berkaca di layar yang sudah terhubung. Memastikan kalau rambut tidak dalam keadaan kacau.Dering telepon keluar terdengar cukup lama. Layar memperlihatkan notifikasi menunggu. Padahal kalau telepon biasa cepat sekali anak itu mengangkat.“Assalamualaikum.” Wajah dari sana terlihat, suara ucapan salamnya masih putus-putus karena sinyal yang belum stabil.“Waalaikumsallam. Sedang apa?” Lagi-lagi aku merapikan rambut.“Biasa, baru bangun,” jawab pemilik wajah tanpa riasan itu, meski natural dia terlihat cantik. Mirip artis Angelina Mahameru. Tahu tidak? Tahu? Tidak? Ah sudahlah, aku pun tak tahu.“Emmm ....” Kaku, aku tidak dapat melanjutkan perkataan. VC dengan panggilan suara ternyata berbeda.“Hari ini mau ke mana?” Kulontarkan pertanyaan yang terasa bodoh.“Tidak ke mana-mana di rumah saja, Mas. Itu Mas
Part 14. Tawaran Lain “Korupsi.” Aku mengangguk seraya tersenyum miris. “Tidak! Bukan! Ini bukan korupsi Pras. Alokasi dana itu memang diperuntukkan pengadaan barang. Jika tidak diambil maka akan dipertanyakan. Intinya uang itu memang harus diserap,” kilah Daryata. Sungguh miris, orang yang punya idealis, berkarakter paling nasionalis, karena uang berubah jadi iblis. Apa matanya sudah buram. Masih berkilah kalau bukan korupsi padahal sudah jelas. “Terserah kata, Mas. Tapi mengambil uang diluar fungsinya itu jelas korupsi. Di luar sana banyak warga miskin jangankan melihat uang ratusan juta bahkan ada yang dua puluh rubu saja tidak punya. Kenapa pemerintah mengalokasikan dana lebih dari kebutuhan. Seharusnya alokasi dana dari pemerintah juga sudah jelas tujuannya. Atau bagaimana sistemnya? Apa pemerintah menghambur-hamburkan uang begitu saja?” “Pras!” Daryata menyebut namaku seperti sedang memberi peringatan agar aku menghentikan ucapan. “Atau mungkin pengajuannya yang sengaja d
Setiap minggu aku keliling Mangga Dua untuk belanja memenuhi kebutuhan toko. Hari ini Bu Anggi—salah satu pemilik toko memberi tahu kalau barang yang aku minta untuk memperbaiki laptop milik laki-laki berkumis tebal itu sudah ada.Kubawa tas dan list barang-barang yang akan kubeli.“Supri, gue belanja dulu. Lu stand by di sini jangan ke toko dua,” titahku pada laki-laki yang bersila di ruang reparasi itu. Riri ada di sampingnya menyaksikan kakaknya membongkar barang-barang. Entah sedang belajar atau sedang mengganggu.“Siap, Mas!” timpal Supri.Aku berjalan ke depan, menuju mobil di parkiran.“Riri boleh ikut enggak?” Gadis itu nongol di pintu kaca, terlihat kesulitan menahan pintu yang menutup otomatis itu.“Ngerepotin enggak?”“Enggak. Riri mah pengen jalan-jalan ajah, bosen di sini terus.”“Dandan dulu enggak? Sekarang nih berangkatnya!”“Enggak. Ambil jaket ajah, suer.” Dia menunjukkan dua jari ‘V’.“Yaudah cepetan!”Gadis berambut panjang itu berlari ke lantai dua, menit berikutn
Part 15. Ada yang Menebar Fitnah.Aku menatap kartu nama itu. Masih mempertimbangkan apa kesempatan ini perlu di ambil atau tidak. Bu Anggi berdiri di hadapan, etalase menjadi pembatas antara kami. Riri yang sedari tadi mengikuti diam saja di sampingku, memperhatikan."Ambil saja, Pak, kalau ada uang. Selama perusahaannya masih berdiri, bapak aman," jelas Bu Anggi tampak mengerti kekhawatiranku."Saya belum berpengalaman yang begini, takut berisiko," seruku jujur. Beginilah kalau pengusaha kecil, berani ambil risiko untuk hal-hal kecil saja. Kalau berbicara nominal besar harus berpikir seribu kali. Uangku mungkin ada seratus juta di bank. Kalau diinvestasikan semua itu berarti kandas, jika tertipu sudah pasti aku akan bangkrut. Jika masih sendiri, aku berani main hantam. Sekarang ada karyawan yang bergantung, jadi banyak pertimbangan."Kalau tidak bapak tanya saja sama Ko Acong. Pembayaran mereka selama ini bagaimana. Kalau toko kami memang tidak memberikan tempo." Bu Anggi menyebut n