Part 29. Gubuk yang Disulap Jadi Kraton*POV AuthorKembali ke Gunungkidul.Para pekerja cekatan itu membangun rumah Mamak dengan cepat. Sebulan waktu yang mereka butuhkan. Rumah usang berdinding batu bata itu disulap menjadi rumah joglo modern.Perpaduan antara bangunan khas Jogja yang memiliki atap tinggi, dipadukan dengan gaya modern yang memiliki kaca-kaca lebar di bagian depannya.Ubinnya terang mengkilat, Cat cokelat terang di tiang-tiang dan bilik kayu bagian depan. Rumah itu dibuat lebih tinggi dari dasar yang sebelumnya. Perlu melewati tiga tangga untuk menginjak lantai itu.Gorden tebal membentang, lampu-lampu kristal tertempel di dinding sekitar rumah. Tak menunjukkan kemewahan, tapi dari perpaduan antara klasik dan modern yang pas, membawa nuansa seni yang indah. Semua mengakui, biaya pembangunan rumah itu pasti tak murah.Memasuki dalam rumah. Ruangan depan terbentang luas. Kursi-kursi jati berukiran indah menyambut. Ada tiga kamar dan satu dapur, juga dapur tungku di bag
Di rumah bercat kuning itu. Jamiatun menatap nanar ke arah hamparan sawah. Di ujung sana, terlihat besarnya rumah Prasetio."Sari, opo kamu ora bisa dekati Pras lagi. Nelongso nasib kamu. Lihat Pras sukses begitu!"Sari meruncingkan bibirnya. Memainkan ponsel seraya duduk bersila. Dari belakang rumah, atap bangunan Prasetio terlihat cukup jelas. Seperti kraton yang ada di tengah sawah."Gara-gara Mas Doni. Aku jadi kehilangan Mas Pras.""Bukannya gara-gara Doni. Gara-gara kamu sendiri. Jadi perempuan itu harus setia toh. Bukannya selingkuh sana selingkuh sini. Mentang-mentang ganteng kamu mau saja.""Mamak juga awal dia ke sini suka sama Mas Doni. Kok, aku yang disalahin, toh.""Lah kamu kan yang tahu sendiri Usaha Pras di sana sebesar apa. Bandingkan sama usaha Doni. Lebih bagus yang mana. Jadi perempuan itu harus pintar. Jangan kayak Mamak, dapat bapakmu yang blangsak itu." Jamiatun berbicara dengan peragaan tangan juga."Mana kutahu, Mak. Orang ketemu Mas Doni juga di acara nikahan
Part 30. Gadis Luar BiasaVivian gadis yang pintar. Sekali diberitahu dia langsung mengerti. Tidak pernah ribet bertanya ini-itu. Cara bicara pada konsumen pun lancar. Tidak banyak basa-basi. Serius tapi ramah.Dia juga mudah bergaul. Anton dan Supri terlihat nyaman bekerja dengannya. Vivian bukan hanya menjaga toko, tapi juga membantu pekerjaanku. Kalau ada barang yang baru datang, ia langsung mendatanya dan membuat pembukuan.Ini bagus untuk toko. Tapi tidak bagiku, berada di sampingnya aku seperti ‘tidak dibutuhkan’..Tiupan angin AC di leher belakang terasa dingin. Jam menunjukkan pukul dua belas kurang tiga puluh menit. Aku sedang membujuk wanita di hadapanku untuk makan siang bersama. Tapi dia menolak karena jam istirahat setengah jam lagi.Peraturan dari mana itu? Aku tidak pernah membuat peraturan semacam itu.Vivian fokus memandangi layar. Sesekali membuka buku di sampingnya. Lalu menekan huruf-huruf. Aku duduk tumpang kaki seraya memainkan ponsel.“Supri, coba lihat bos kit
Kami berdua melangkahkan kaki seirama di atas trotoar. Berpayungkan langit malam yang berhiaskan bulan sabit dan ribuan bintang. Sisi kiri merupakan bahu jalan yang sering digunakan untuk parkir mobil mendadak. Biasanya pemiliknya turun untuk berkunjung ke salah satu toko. Sebelah kirinya lagi merupakan jalanan empat jalur, dengan pembatas tengah yang dihiasi bunga-bunga. Sebelah kanan jajaran ruko. Rerata punya halaman parkir yang luas. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya kondisi di sini.Tak ada yang bicara sampai kami menaiki jembatan penyebrangan.“Ibu ada di rumah, Vi?” seruku mengawali bicara.“Sekarang masih jualan, agak malam pulangnya.” Gadis dengan tunik berwarna sama dengan kerudung itu memegang pagar pembatas.“Sekarang mau ke tempat mangkal ibu atau mau ke rumah?”“Langsung ke rumah. Ibu dibantu ade-ade.”“Anak pertama harus kuat, ya, Vi.”“Banget, Mas.”“Suka ngeluh, enggak?”“Namanya manusia, ngeluh, sih, pasti Mas. Tapi bukan mengeluh karena tanggung jawab, tapi ya ...
Part 31. Andai Mas Pras Bisa Kumakan.*Pov Vivian“Nikah, yu, Vi!”“Nikah, yu, Vi!”“Nikah, yu, Vi!”Perkataan itu mengaung terus di telinga. Tidak bisa hilang meskipun aku sudah mengalihkan konsentrasi berkali-kali. Sedangkan mata dipenuhi bayangan Mas Pras yang begitu ringan mengatakannya. Pria tinggi dengan bibir seksinya. “Nikah, yu, Vi!”Duh, mana mungkin aku bisa menolak. Buat gadis miskin, jelek, dan bodoh, ini seperti ketiban durian runtuh. Dia gagah, tampan, pekerja keras, dan manis. Oh may God. Mimpi apa aku. Kucubit tangan untuk memastikan takut hanya ilusi.“Aw.” Aku menggosok tangan. Ternyata sakit juga.Oh, Mas Pras. Aku kelepek-kelepek. Teringat begitu manisnya dia. Apalagi saat teleponan dengan ibunya. Ya ampun itu amazing banget. Dia sopan dan lembut. Jarang di dunia ini ada orang seperti itu. Hanya satu yang tidak aku sukai darinya. Sesekali kadang dia merokok, mungkin bisa kujadikan syarat kalau aku mau menikah dengannya.Hey, Vivian, sadar. Buka mata kamu lebar-leb
“Ah, itu. Dia bercanda saja, Bu.” Aku menghempas angin di depan wajah. Orang itu. Apa yang sudah dia lakukan?“Dia serius, Vi. Tadi Pras datang ke tempat mangkal membicarakan hal ini.“Hah? Dia? Ke sana?”“Iya.” Ibu menjeda. “Perasaan kamu gimana?”“Ya, ya, gimana ya, Bu. Ya, gak gimana-gimana sih. Vivian belum kepikiran ke arah sana.”“Bohong, orang Kakak suka sama dia. Sering curhat, kok, sama aku,” tandas Bianka. Aku melotot ke arahnya, lancang sekali anak ini membeberkan curhatku.“Kalau kamu suka, ibu restui kalian menikah. Ibu sudah lihat Pras laki-laki baik dan sopan. Bisa dilihat dari caranya bersikap pada orang tua. Ibu setuju kalian menikah.”Aku tertawa, tawa yang dipaksakan. “Ibu ada-ada aja. Emang karena suka harus langsung menikah gitu. Aku pengen lulus kuliah dulu, Bu. Cari kerja kantoran, jadi wanita karier, punya uang banyak. Aku pengen lihat Bianka kuliah, Fitri, Vikri. Aku ingin semua bisa kuliah.”“Sudah lama kamu mengutamakan adik-adik terus. Giliran kamu memikirk
Part 32. Sebuah Jawaban*Masih Pov Vivian.Siang malam, hariku tak baik-baik saja. Selalu dibayang-bayangi Mas Pras. Tidur ada Mas Pras, Makan ada Mas Pras, bahkan ketika salat aku harus mengulang-ulang niat karena bayangannya cukup mengganggu.Menikah. Aku mau, siapa yang tak ingin hidup berkasih sayang dengan orang yang kita sayang. Tapi banyak pertanyaan dalam benak. Apa aku mampu menjalani mahligai itu? Jujur saja, wajah pernikahan agak menakutkan bagiku. Karena melihat bagaimana berantakannya hubungan rumah tangga ibu dan ayah.Aku salat, meminta petunjuk. Lalu beberapa menit berzikir. Setelahnya kembali ke ranjang, menimbulkan bunyi decitan karena ranjang terbuat dari kayu.“Kak,” ucap Bianka yang ternyata tidak tidur.“Apa?”“Apa sih yang buat kakak bingung. Dia ganteng loh, Kak, manis, baik juga. Cowok lain dekati cewek ngajak pacaran. Mas Pras langsung ngajak nikah. Apa kurangnya?”Aku melihat langit-langit rumah. Sama juga meresapi bagaimana Mas Pras. Benar yang dikatakan Bi
Pengamatan kedua. Siang ini aku mengajak Mas Pras makan di luar. Sengaja kuajak teman yang paling cantik agar datang ke kafe. Ingin tahu bagaimana cara Mas Pras bicara dengan cewek cantik.“Hey, Vi.” Sofia teman satu kampus melambaikan tangan. Rambutnya tergerai dengan pakaian cukup seksi.Mas Pras yang sedang menyantap makanan jadi terhenti.“Udah lama?” tanyanya.“Baru. Ayo gabung!”“Siapa ini?” Sofia melihat Mas Pras.“Bos gue.”Mas Pras tersenyum. Lalu melanjutkan makan. Sepanjang obrolanku dengan Sofia, Mas Pras tidak ikut bicara. Hanya sesekali bersuara ketika ditanya, ‘hm, ya, oh,' dan terakhir ‘pulang, yu!’**Aku memberikan tanda celis pada poin ke tiga. Sikap Mas Pras pada perempuan tidak ganjen sama sekali.Sekarang poin pertama. Sikap Mas Pras pada ibunya.Aku menghampiri Mas Pras di lantai dua. Ragu-ragu melangkahkan kaki ke arahnya yang sedang fokus membaca berkas. Ketika langkah kakiku mengeluarkan suara, irisnya langsung menatap ke sini.“Ada apa? Kangen?” Ia tersenyum