Part 10. Pras Pergi Setelah keributan itu aku jadi lebih tenang untuk meninggalkan Mamak. Kalau ada apa-apa tinggal telepon saja Suroto. Biar kubuka semua kartunya. Mengingatkan orang sombong itu kadang tidak cukup dengan nasihat saja. Apa lagi nasihat dari orang miskin, jangankan didengar menengok saja dia tidak akan mau. Harus seperti ini, duit dulu berbicara baru dia mau berkaca. Mamak boleh memilih sabar bertahun-tahun diperlakukan seperti itu. Tapi tidak bagiku. Kenapa? Karena kesabaran Mamak pun tidak bisa membuat mereka sadar. Yang ada semakin menginjak saja. Aku sudah kenyang sekali dengan sikap menyepelekan, hinaan, cibiran. Di luar sana orang-orang dibully oleh orang lain. Aku? Sama keluarga sendiri. Itulah sebabnya aku memacu diri ... ‘harus kaya’. Akan kutunjukkan pada mereka, suatu hari nanti bisa satu level dengan mereka. Siapa tahu dengan aku kaya mereka bisa melihat Mamak dengan kedua mata. Aku mau sebelum Mamak kembali pada pangkuan pencipta, semua adik iparnya bi
Part 11. Wanita di Kamar Pras Kendaraan melaju terus menjauhi Gunungkidul, meliuk di bukit bintang sampai turun ke Jogja. Alunan musik dari Sheila On Seven menemani. Dulu, pulang pergi naik motor mio butut, malam-malam kehujanan di jalanan. Kalau berangkat memang selalu pilih malam hari. Pulang pun tidak bisa sering, paling cepat setahun sekali ketika lebaran saja. Pernah juga bertahun-tahun tidak pulang, saat awal-awal tinggal di sana. Wah, seru sekali setiap mudik lebaran itu, karena ribuan kendaraan motor berangkat searah. Kalau kelelahan, istirahat, tidur di mana saja. Sekarang pertama kalinya pulang pergi pakai mobil sendiri, kadang masih merasa tidak percaya, tapi inilah jerih payah selama ini. Andai aku seperti katak dalam tempurung, sudah nyaman kerja di pabrik, cukup pendapatan bisa memenuhi kebutuhan, mungkin kehidupanku hari ini seperti kakak-kakak. Punya rumah subsidi, kendaraan cicilan, ngasih ke orang tua pikir-pikir dulu. Beruntung dulu diberi ujian, punya cambuk untu
“Supri, sialan lu, ngapain bawa cewek ke sini?” sergahku saat kepalanya nongol di tangga.“Mas sudah lihat?” Dia malah bertanya.Aku mengangkat dagu, tangan melipat di dada dan bersilang kaki. Menunggu jawaban.Supri memainkan kuping, duduk di kursi hitam kecil yang ada di samping sofa. “Sori, sebenarnya dia adikku, Mas.” Ia berbicara pelan.“Ta-tapi tenang saja. Malam ini kucarikan kos-kosan.” Pria putih berpipi cabi ini menunjukkan telapak tangan.Aku menghela napas panjang. Sukurlah ternyata bukan wanita simpanannya, meski begitu tetap ini keterlaluan. Memakai kamarku tanpa meminta izin."Dari kapan ade lu di sini? Tidur di kamar gue gak bilang-bilang.""Maaf Mas, kalau bilang dulu takut gak diizinkan. Jadi minta izin belakangan, biar nginep dulu." Dia meremas rambut, alisnya menegang hampir bertautan. Merasa bersalah, mungkin."Hih! Bisa lu bermain politik."Supri melambaikan tangan ke arahku. Aku nengok ke sisi lain. Adiknya Supri berdiri di belakangku."Kenalin de, ini bos Aa."
Part 12. Entakan Kaki Riri Riri tersenyum malu-malu, disimpannya segelas kopi itu di atas meja. Gadis berpipi bersih itu melihat ke arahku, “Terima kasih sudah diizinin tinggal di sini, A ... Eh! Mas.” Dia tersenyum lagi menunjukkan gigi-gigi. Matanya berbinar, bulu mata lentiknya terlihat jelas. “Makasihnya oke, tapi tanya dulu, emang siapa yang suka kopi cokelat begitu.” Alisku menegang. Anak ini aneh, semalam menyembunyikan muka, pagi ini so kenal so deket. Pake senyam-senyum segala lagi. “Ha? Emang gak suka?” dia ternganga, gak mingkem-mingkem. “Mas Pras sukanya kopi hitam, Neng,” timpal Supri yang sedang membongkar monitor di belakangku. “Buat Aa Anton saja atuh, Neng Riri,” canda Anton dari depan. Riri meruncingkan bibirnya, lalu menarik capucino yang baru saja disimpan itu. “Yaudah deh buat A Yana sajah.” Dia memindahkan gelas kopi ke dekat Supri. Lalu pergi hendak naik kembali. “Buat Aa Anton mana, Neng Riri? Aa Anton suka apa aja asal Neng Riri yang buatkan,” goda Anto
Bekerja seperti ini adalah satu hal menarik. Seperti tantangan yang harus dipecahkan. Ada rasa bahagia ketika bisa memecahkan masalahnya. Aku juga tidak terlalu pintar sebenarnya, tapi karena ‘suka’ meskipun tidak bisa, terus saja dipelajari. Bekerja seperti ini harus melek buku, soalnya setiap tahun perkembangan alat-alat elektronik terus meningkat. Pak Samsul orang yang rajin, tapi tidak mau membuka buku, senangnya langsung praktik. Mempelajari semuanya secara langsung tanpa panduan. Jadinya ya gini. Ada saja alat-alat yang tidak bisa diselesaikan. Kalau aku mengerti, langsung kuberitahu caranya, tapi kalau tidak, aku cari dulu buku yang sesuai, pelajari, baru praktik. Itulah kenapa Pak Samsul lebih nyaman kerja denganku. Beliau tidak usah repot-repot membaca buku. Padalah kalau dia buka tempat reparasi sendiri mungkin sudah maju tokonya. Tapi beginilah, lebih banyak orang yang suka jadi katak dalam tempurung. Dulu saat pertama kali buka jasa servis aku tidak pernah pasang tarif u
Part 13. Bisnis yang Menggiurkan Tak tahu lah apa yang terjadi dengan anak itu. Pagi-pagi sudah uring-uringan tidak jelas. Beres-beres ruko pakai teknik perang. Geser sana-geser sini, sapu ini-sapu itu. Gedebak-gedebuk terus. Bisa-bisa pecah semua barang-barangku. “PMS lu, Ri?” tanyaku pada gadis yang sedang menggeser etalase, lalu menyapu bersih bawahnya. Bagus, jadi bersih, tapi caranya itu membuat kami bergidik. Ah, bukan kami! Hanya aku dan Anton yang keheranan. Supri sepertinya sudah biasa, jadi dia tidak berkomentar. “Bukan, Om. Lagi kesel!” Gadis bermata bulat itu melirik menunjukkan muka kecut. “Om? Kemarin-kemarin bilang Aa, sekarang, Om.” “Hiih! Udah tua juga pengen dipanggil Aa. Ngaca mangkanya ... Om.” Dia memberikan penekanan saat menyebut kata ‘Om’. “Ampun dah, bocah!” Dari pada ngurusin keanehan Riri, lebih baik aku masuk ruang reparasi. Dan mulai memperbaiki barang-barang yang ada di sana. Tidak ada kopi panas hari ini. Anak itu disuruh beli sarapan pun ketus.
Setiap pagi kusempatkan untuk menelepon Sari, hari ini rasanya aku ingin melihatnya. Setelah menatap layar cukup lama akhirnya kutekan panggilan video call. Sebentar merapikan rambut, berkaca di layar yang sudah terhubung. Memastikan kalau rambut tidak dalam keadaan kacau.Dering telepon keluar terdengar cukup lama. Layar memperlihatkan notifikasi menunggu. Padahal kalau telepon biasa cepat sekali anak itu mengangkat.“Assalamualaikum.” Wajah dari sana terlihat, suara ucapan salamnya masih putus-putus karena sinyal yang belum stabil.“Waalaikumsallam. Sedang apa?” Lagi-lagi aku merapikan rambut.“Biasa, baru bangun,” jawab pemilik wajah tanpa riasan itu, meski natural dia terlihat cantik. Mirip artis Angelina Mahameru. Tahu tidak? Tahu? Tidak? Ah sudahlah, aku pun tak tahu.“Emmm ....” Kaku, aku tidak dapat melanjutkan perkataan. VC dengan panggilan suara ternyata berbeda.“Hari ini mau ke mana?” Kulontarkan pertanyaan yang terasa bodoh.“Tidak ke mana-mana di rumah saja, Mas. Itu Mas
Part 14. Tawaran Lain “Korupsi.” Aku mengangguk seraya tersenyum miris. “Tidak! Bukan! Ini bukan korupsi Pras. Alokasi dana itu memang diperuntukkan pengadaan barang. Jika tidak diambil maka akan dipertanyakan. Intinya uang itu memang harus diserap,” kilah Daryata. Sungguh miris, orang yang punya idealis, berkarakter paling nasionalis, karena uang berubah jadi iblis. Apa matanya sudah buram. Masih berkilah kalau bukan korupsi padahal sudah jelas. “Terserah kata, Mas. Tapi mengambil uang diluar fungsinya itu jelas korupsi. Di luar sana banyak warga miskin jangankan melihat uang ratusan juta bahkan ada yang dua puluh rubu saja tidak punya. Kenapa pemerintah mengalokasikan dana lebih dari kebutuhan. Seharusnya alokasi dana dari pemerintah juga sudah jelas tujuannya. Atau bagaimana sistemnya? Apa pemerintah menghambur-hamburkan uang begitu saja?” “Pras!” Daryata menyebut namaku seperti sedang memberi peringatan agar aku menghentikan ucapan. “Atau mungkin pengajuannya yang sengaja d