Part 8. Grup Goib
Ke lautan lepas mataku tertuju. Hamparan air sejauh mata memandang. Ombak berburu menerpa karang. Membawa suara deburan yang menenangkan. Di sepanjang pantai selatan memang ombak selalu besar, konon katanya ada Ratu Kidul di tengah lautan sana. Itu cerita orang tua jaman dulu, sekarang aku tahu ombak besarnya dikarenakan laut selatan adalah samudera.
Hembusan angin menghantam tubuh, membawa turut serta angan-anganku melayang jauh. Ke masa bertahun-tahun lalu.
Prasetio hanyalah anak dari keluarga miskin, yang berada di lingkungan keluarga kaya. Tidak mudah menjalani semuanya, karena si miskin di antara keluarga mayoritas kaya hanyalah menjadi orang yang dikucilkan. Lulus sekolah aku tidak punya uang sepeser pun, sedangkan tidak mau hidup melulu seperti itu, harus ada perubahan. Ada tawaran menarik dari Bulik Retno, adik bungsu bapak. Ia menawarkan aku tinggal di sana sebelum mencari pekerjaan.
Senang sekali aku menyambutnya, tapi kala itu tidak punya uang sepeser pun, untuk berangkat ke Jakarta aku menjadi kuli bangunan sampai uang terkumpul dan bisa berangkat ke kota. Sebulan dua bulan membantu Bulik Retno, bekerja di rumah makan miliknya sebagai tukang bantu-bantu. Dari pagi sampai sore bekerja tanpa diberi upah, tapi santai saja karena merasa punya harapan yang besar, dapat bekerja di pabrik seperti yang lain.
Aku sering dimaki-maki karena hal sepele, seperti saat menumpahkan galon ke dispenser. Mana ada di rumahku dispenser, pertama kali melakukan pekerjaan itu airnya berceceran ke mana-mana, aku dimarahi habis-habisan. Dan banyak lagi hal sepele yang selalu dibesar-besarkan.
Sebulan dua bulan ternyata malah berlangsung sampai setahun, tidak diberi upah hanya makan saja. Itu pun dia masih sering mengungkit kalau aku hanya numpang tinggal di sana. Parah memang.
Sekarang aku mengerti, kalau kita kaya, orang lain pun bisa jadi saudara. Sedangkan kalau kita miskin, saudara pun jadi orang lain. Dulu sering menahan diri kalau ingin melawan, sekarang tidak. Aku bisa berdiri sendiri, makan enak dari hasil keringat sendiri. Untuk apa berlama-lama mengalah, bukankah mereka juga harus dibuat sadar.
Kuambil kembali ponsel yang kugeletakkan di samping tempat duduk. Ingin melihat berapa banyak ikan yang muncul setelah kulempar pancingan tadi. Dan, ‘wow’ tiga puluh delapan pesan baru di grup.
Diawali oleh chat dari Bulik Retno. Dalam grup keluarga ini memang dialah yang paling dituakan. Satu-satunya adik bapak yang masih menggunakan WA, usianya sekitar lima puluh tahunan, sedangkan yang lain walaupun gabung di grup WA tapi sudah jarang aktif.
[Di mana tenggang rasamu Pras. Saudara lagi sakit malah kirim video liburan.]
Aku jadi tersenyum membaca itu. Dia berbicara tentang tenggang rasa, seakan mereka paling pandai mengerti perasaan orang lain. Padahal kalau bagian keluargaku yang sakit, mereka cuek saja.
[Di keep sendiri saja Pras, tidak usah dipamerin.]
Respons kedua dari anak Bulik yang lain. Memang benar cermin saja tidak cukup untuk berkaca diri. Semut diujung lautan terlihat gajah di pelupuk mata tidak terlihat, begitu kata pepatah. Mereka tiap jalan, tiap liburan, makan-makan enak selalu pamer foto, aku yang baru sekali ini dibilang ‘pamer’.
[Iya nih Mas Pras. Seperti baru saja main ke pantai]
[Memang baru kali.]
[Mbo ya keterlaluan, Paklik sedang sakit, sudah sudara tetangga pula.]
[Bukannya bantu Bulik di rumah sakit malah liburan.]
[Mamakmu itu tidak sadar atau bagaimana, sering dibantu tapi tidak tahu diri.]
Setelahnya banyak lagi yang melontarkan argumen mengarah pada bullyan. Tidak tertinggal Ambar dan Hartanto ikut berkomentar juga.
[Mas Pras keterlaluan, ibuk minta tunggui di rumah sakit malah liburan]
Lanjut komentar dari Hartanto.
[Semakin belagu kamu Pras].
Aku menggeleng. Keluarga ini. Kapan mereka sadar? Atau mungkin tidak akan pernah. Baiklah setelah semua muncul, baru kutekan huruf-huruf sebagai balasan.
[Coba kalau posisinya dibalik, ibuku yang sakit, bagaimana cara kalian? Adakah namanya tenggang rasa. Tidak! Tenggang rasa tidak berlaku untuk ibuku.]
[Maksud kamu apa Pras?] Bulik Retno kembali membalas.
[Maksudku begitulah cara kalian memperlakukan ibuku, apa tidak sadar?]
[Ngada-ngada kamu Pras]
[Tidak mengada-ada Bulik, itu KENYATAAN]
Setelahnya tidak ada yang membalas lagi, yang muncul malah Mas Abimanyu, kakakku.
[Kamu benar, Pras. Sekali-kali bawa Mamak jalan-jalan, tidak perlu memikirkan orang lain. Titip salam untuk Mamak dan keluarga.]
Mas Abi tentu saja sudah khatam bagaimana peranan adiknya-adiknya bapak. Sayangnya keadaan ekonominya juga tidak baik, jadi diam saja tidak bisa berbuat apa-apa.
Baru kali ini aku berani bersuara. Tidak suka sebenarnya harus melawan mereka, buang-buang waktu saja. Tapi ini harus kulakukan agar mereka sedikit menahan diri saat akan menghina Mamak. Sekarang Mamak punya anak yang siap pasang badan.
***
Keputusan untuk berangkat esok pagi sudah bulat. Semoga tidak ada halangan lagi. Khawatir sebenarnya meninggalkan Mamak sendiri, kasihan harus kesepian di masa tuanya.
Dua kardus bekas indomie berisi oleh-oleh sudah dipersiapkan, aura perjalanan sudah di depan mata.
Mamak duduk di karpet dengan kaki selonjoran, ekspresi bahagia selepas jalan-jalan tadi berubah menjadi gurat lelah.
"Sebaiknya Mamak ikut sama Pras, dari pada di sini sendiri. Mendoakan bapak bisa dari mana saja." Lagi-lagi aku membujuk wanita yang masih memakai mukena itu. Tasbih masih melekat di tangannya.
Aku beserta kedua kakak tinggal di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Andai Mamak mau ikut tidak perlu jauh dari ketiga anak lelakinya.
"Kalau rumah dibiarkan kosong, akan cepat rusak, Ragil." Mamak beralasan kembali. Irisnya tertuju pada layar.
"Biarkan saja, toh rumah sudah jelek," tandasku seraya mengangkat gelas kopi, dan meminumnya perlahan.
"Memangnya kalau Mamak ikut sama kamu mau tinggal di mana? Kamu saja tinggal di ruko."
"Kita ngontrak rumah."
"Bukannya kamu mau buka toko ke tiga, lagian kalau bisa jangan ngontrak terus. Lebih baik beli, biar punya sendiri."
Sejenak aku berpikir, mencari solusi terbaik. Membiarkan suara televisi mendominasi. "Kalau begitu ikut Mas Abi atau Mas Tio. Dari pada di sini kesepian, di sana tinggal sama anak cucu," ucapku merasa mendapatkan ide terbaik.
"Ragil, Ragil. mereka itu sudah berumah tangga, sudah punya anak istri. Tinggal di rumah kecil. Kalau Mamak numpang di sana, hanya akan merepotkan. Lebih baik di sini, luas, adem, tenang. Selama Mamak masih sehat Mamak tidak mau merepotkan anak mantu."
"Kalau Pras punya rumah besar Mamak mau ikut?"
"Ya, kalau istri kamu boleh, Mamak mau ikut." Kini Mamak melihat padaku.
"Nanti Pras cari istri yang sayang sama Mamak."
"Aamiin." Mamak mengangguk.
"Doain Pras punya rumah yang besar di Jakarta," lanjutku.
"Aamiin, mudah-mudahan rumah kita yang dulu terjual bisa terganti dengan yang lebih bagus," tandas Mamak.
Beginilah untungnya orang tua masih ada, walau tinggal ibu saja. Minta doa tidak harus jauh-jauh. Sambil ngopi pun jadi.
"Tapi Pras tidak suka kalau Mamak dihina terus sama keluarga bapak. Mamak melawanlah jangan diam saja," pintaku. Kalau aku tidak di sini, siapa yang akan membela Mamak. Mana mulut mereka pedas sekali.
"Kalau itu Mamak sudah kebal Pras, Wes ora po-po. Memang Bulikmu seperti itu. Tapi kalau sudah kamu lawan biasanya mereka jadi takut."
Memang benar kalau sudah ada huru-hara biasanya mereka sedikit tahan diri. Walau pun ujung-ujungnya seperti itu lagi.
"Kalau ada apa-apa bilang, biar Pras telepon dari sana," ucapku, lalu kami berbincang panjang. Tentang ini dan itu.
Setiap malam, sebelum tidur kami sering ngobrol seperti ini. Mungkin ini jarang dilakukan oleh anak laki-laki, tapi karena dari kecil paling dekat dengan Mamak rasanya biasa saja.
Mamak memutuskan masuk kamar setelah waktu menunjukkan pukul delapan lewat lima belas. Aku masih menonton TV, menikmati kopi dan singkong goreng. Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar cukup berisik.
Cepat kubuka, entah siapa yang datang malam-malam, mengetuk pintu berisik tanpa etika. Saat hendel kutarik ternyata wajah garang itu yang ada di depan rumah.
Part 46. EpilogBeberapa tahun lalu.Matahari sudah berada di barat, kala sepatu usang itu menginjak daun-daun kering bercampur ranting. Embusan angin dan suara burung di kejauhan sesekali memecah hening. Langkah kaki itu semakin cepat tatkala tonggeret berteriak semakin nyaring.Waktu sudah sore, sang surya yang sedari tadi bersembunyi di antara pohon-pohon kini tidak terlihat lagi, waktu Magrib akan segera menghampiri, sedangkan pemuda berseragam putih-abu itu masih membelah hutan jati.Jangan sampai kelewat malam di dalam hutan, karena itu bahaya, ia akan kesulitan berjalan dalam gelap.Saat berangkat ia hanya membutuhkan waktu dua jam dengan berlari. Namun, ketika pulang, dua jam belumlah apa-apa karena ia memilih berjalan biasa.Lapar, haus, lelah. Rasa itu mendera sejak siang tadi. Suara perutnya bukti kalau hari ini tidak diisi. Tunggulah dulu wahai perut, sebentar lagi sampai.Prasetio memacu langkah, kembali berlari sebelum gelap menyelimuti.Jam lima sore, Prasetio sudah ada
Lain halnya dengan Bulik Endah. Karier Daryata meninggi, anaknya berhasil menjadi anggota DPR daerah. Selama tiga tahun hartanya semakin berlimpah. Tentu sebagai ibu ia ikut menikmati.Dokter pribadi dan perawat pribadi selalu siaga menangani, sayangnya itu tak lama. Daryata hancur karena ditangkap KPK. Berita penangkapannya disiarkan di mana-mana.Istrinya kabur membawa apa saja benda-benda berharga yang bisa dibawa pergi. Rumah disita negara. Tinggallah Bulik Endah, wanita tua yang duduk di kursi roda.Siapa yang mau mengurusnya, bahkan semua asisten rumah tangganya pergi begitu saja.Wanita tua yang hampir menyentuh tujuh puluh lima tahun itu memutar kursi rodanya, tak tahu harus pergi ke mana. Air matanya berlinang, tangannya bergetar, takut, juga sudah tidak bertenaga.Perlahan kursi rodanya menjauhi pintu gerbang tinggi itu. Menembus siang yang terik, melaju di pinggir jalan ibu kota. Daryata bukan anak satu-satunya. Tapi untuk mengabari anaknya yang lain, tentu saja ia membutuh
Part 45. PenyesalanPak Nugroho menarik lengan istrinya cukup keras. Membawa wanita itu pulang secara paksa.“Sudah jadi hak milik orang lain, mbok, ya, masih mau di minta-minta. Opo nafkah yang bapak kasih kurang, Bu?” Nugroho bertolak pinggang.“Sopo sing minta, wong aku Cuma ikut-ikutan, kok. Bapak dengar sendiri. Pras yang mau balikin warisannya.”“Pras mau balikin karena tersinggung, Bu. Mikir! Warisan sedikit minta dibagi, keterlaluan namanya. Kalau ibu ikut-ikutan sama mereka, ibu ikut dapat dosa, bapak juga dosa. Nanti kamu kena azab, mau? Jadi orang, kok, keterlaluan. Harta gak dibawa mati, Bu.” Nada bicara Pak Nugroho semakin tinggi. Tiap kali emosinya naik, kepalanya ikut pusing. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Pria itu tergopoh masuk rumah seraya memijat pelipis.“Pak, koe ra po-po.”“Ra, po-po bagaimana. HAH! Cari masalah saja!”***Di ruangan luas itu orang-orang berkumpul, Suroto dan anak cucunya ikut hadir melihat musyawarah keluarga besar ini.Di teras rumah, Bul
Suara takbir menggema di mana-mana. Membawa rasa haru yang berbeda. Bulik Endah meminta kami berkumpul malam itu. Aku, kedua kakak, dan Mamak, berjalan bersama menuju rumah Bulik Hasma. Di sana sudah banyak orang berkumpul.Kami memasuki ruang tamu luas di mana tikar membentang sebagai alasnya. Orang-orang berkumpul, duduk melingkar.Yang paling berkuasa di sini. Wanita tua yang duduk di atas kursi roda, mulai berbicara, “Seperti permintaan Prasetio, kita semua berkumpul di sini. Dia akan mengembalikan semua harta warisan yang diterima Ningrum. Sulastri sekarang tidak punya rumah, saya meminta anak-anak Ningrum mengembalikan setengah dari warisan untuk Sulastri. Tapi Prasetio berbesar hati akan mengembalikan semuanya.”Pak Nugroho beringsut dari tempatnya.“Bagaimana bisa. Itu sudah menjadi hak mereka.”“Diam saja, Pak!” sergah istrinya.“Kamu tidak perlu ikut campur, Nugroho, karena ini urusan putra-putri keturunan Sujono,” tegur Bulik Endah.“Saya ikut campur karena Pertiwi istri sa
Part 44. Hari TerakhirSetahun ini usahaku maju pesat. Ada tiga proyek besar yang kukerjakan sepanjang tahun ini. Aku sudah bisa membeli beberapa mobil operasional juga mencicil apartemen yang kami tempati sekarang.Semuanya bukan tentang uang. Bukan pula tentang rumah dan tanah. Andai mereka meminta baik-baik, akan kuberikan suka rela, silakan saja.Namun, yang tidak bisa kuterima adalah, bagaimana sikap mereka pada ibuku. Mamak yang selalu sabar pada mereka selama ini, tetap mengakui keluarga meskipun selalu dihina dan tidak diakui. Sayangnya sikap mereka tidak berubah sedikit pun.Aku sudah berusaha. Mengangkat kehidupan Mamak dengan caraku. Sayangnya mereka tetap seperti itu. Mungkin sekarang sudah waktunya kuakhiri semua. Mamak akan selalu tersakiti selama menginjakkan kaki di tanah milik keluarga Sujono.Satu-satunya solusi, Mamak harus pergi dari sana. Biarlah rugi-rugi sekalian, yang penting Mamak bisa hidup tenang.“Sayang, belum tidur?” Wanita berpiama cantik itu keluar dari
"Kebiasaan buruk kamu Prasetio. Orang tua belum selesai bicara kamu sudah memotong."Akhirnya aku diam, perasaan mulai tak enak karena pasti ada sesuatu yang buruk akan dikatakannya."Bukan saya ingin mengungkit yang telah lalu. Sudahlah, toh hidup kami lebih makmur daripada bapak ibu kalian yang serakah dan ternyata malah jatuh miskin."Aku melihat ke sisi lain, menyembunyikan ekspresi tak suka, jelas saja siapa yang bisa menerima perkataannya begitu saja. Untuk mengurus Mbah, Mamak dan Bapak menjual rumah dan tanah di Jakarta. Agar bisa hidup di sana sambil mengurus Mbah. Sampai harta Mamak dan Bapak habis, untuk Mbah cuci darah tiap Minggu.Wajar kalau Mbah membagi waris lebih besar untuk bapak, sebagai ganti uangnya yang sudah banyak digunakan. Tapi mereka tidak mau tahu berapa dana yang bapak habiskan. Yang mereka ingat kalau bapak diberi warisan paling besar, itu saja."Jadi begini. Abi, Tio, Pras. Bulik Sulastri usahanya bangkut di Kalimantan, suaminya telah berpulang. Sementar