Ganes telah membeliak tak percaya. Kedua matanya yang lentik nan kecokelatan itu menatap tajam pada gurat wajah Rajendra yang lebih menakutkan daripada sebelumnya.Untuk sesaat, dadanya terasa begitu sesak sebab ketakutan. Namun pada detik berikutnya, ia yang telah menguasai keadaan, tertawa sembari bersedekap. "Anda sudah lihat, bukan? Akan selalu ada yang mau mempekerjakanku. Tak butuh waktu tiga bulan bagiku untuk memberikan slip gaji pertamaku, Pak. Lantas, kenapa tak mengaku kalah mulai sekarang?"Keoptimisan Ganes membuat Rajendra mengernyit heran. Ia mundur, lalu duduk di tepian meja kerja sembari bersedekap."Aku tak tahu, ada perempuan setangguh kamu. Tapi, jangan sebut aku Jendra jika tak bisa menendangmu dari sini. Detik ini juga. Aku seorang direktur. Mudah bagiku untuk membuatmu dipecat dan tak akan pernah lagi bekerja di mana pun setelah ini."Alih-alih ketar-ketir sebab diancam sedemikian rupa, Ganes memilih membuang muka."Apa jadinya jika seorang direktur menyalahi at
Sementara itu, Ganes yang sudah dibakar amarah sebab memasang wajah manis di depan Rajendra, mau tak mau harus bertahan. Diteriakkannya amarah yang mulai meletup-letup dalam dada.Bukan tanpa sebab ia begitu marah. Alih-alih melampiaskan, ia harus menahan diri demi bisa tetap kembali bekerja.Dengan cepat, ia melangkah menuju gudang demi bisa mengambil alat kerjanya. Sembari demikian, dientakkannya kedua kaki sembari mengetatkan rahang hingga bunyi gemeletuk giginya terdengar.Beruntungnya, Faruk yang tengah berkeliling demi melihat situasi yang ada, mewujud pahlawan bagi Ganes hanya dalam sekejap mata."Nes? Kenapa basah kuyup? Kamu mandi?"Disindir sedemikian rupa tak membuat Ganes tertawa. Ia mencebik, lalu mengedikkan bahu dengan kesal. "Diudani!"Faruk yang memang jomlo dan suka jajan melalui aplikasi ajang kenakalan pun, mau tak mau menangkap konotasi buruk pada kata yang diucapkan oleh Ganes. Ia mendelik, sebelum akhirnya mengedar pandang."Siapa? Siapa yang berani nelanjangin
Faruk tengah mondar-mandir di depan toilet yang dijaga Ganes di lantai tiga. Kedua tangannya telah saling bertaut satu sama lain sebab gelisah.Kebiasaan yang tak akan pernah bisa dilepas begitu saja. Tangan kanan Faruk telah menggenggam tangan kirinya. Namun dari arah dalam, tangan kirinya keluar melalui celah yang tercipta di antara jempol dan telunjuk tangan kanan.Sesekali, Faruk akan berdecak kesal. Tepat saat terdengar bunyi langkah kaki dari toilet, ia langsung menghadang sang kawan dengan berdiri di tengah pintu dengan wajah garang."Apa yang kamu lakukan, Nes?"Melihat kecemasan dalam gurat wajah Faruk, Ganes pun menelan ludah susah payah. Ia menunduk, lantas menggigit bibir atasnya dengan pelan sebelum membela diri."Masih ingat apa yang kukatakan tempo hari? Tentang aku yang punya masalah pribadi dengan Dirut muda itu?"Alih-alih marah, Faruk memilih untuk menebak-nebak apa yang telah terjadi sebelumnya."Dia melihatmu? Dia mengenalimu? Itu sebabnya dia terlihat begitu ingi
"Jiangkrik!" maki Rajendra kesal. Tangannya menggebrak meja, lalu ia berdiri dengan kedua mata yang membeliak dipenuhi amarah.Sontak saja, para petinggi kontraktor dan pihak rumah sakit yang tengah menghadiri rapat kerja langsung menoleh pada Rajendra. Masing-masing dari mereka mulai mengernyit, lantas mempertanyakan apa yang menjadi beban pikiran sang direktur utama."Apa yang terjadi, Pak?""Bapak tak suka dengan konsepnya? Bagaimana jika kita ubah kembali? Unit rawat inap di lantai yang lebih tinggi bersama ruang lasik misalnya?"Tanya demi tanya kian membuat Rajendra tergeragap. Ia menelan ludah, lantas menggeleng sembari kembali duduk dengan gusar."Maaf. Lanjutkan saja sesuai rencana. Aku tak mempermasalahkan hal itu."Sadar ada yang tak beres, sekretaris dadakan Rajendra pun berdeham. "Mari lanjutkan," ajak Gracia. Ia mempersilakan para petinggi kontraktor untuk meneruskan penjelasan mengenai denah bangunan.Mengalami ketidakbiasaan, Rajendra pun berdecak. Bahkan, kala ia digu
Sebab kebanjiran, hampir seluruh seragam Ganes kebasahan. Ia yang belum tahu betul jika ada insiden tak terduga bisa meminta bantuan dari unit lain, mau tak mau membersihkan segalanya sendirian.Berbekal cikrak dan wiper lantai, ia membersihkan semuanya. Diabaikannya ponsel yang terus berdering agar bisa segera menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan tambahan yang sengaja diberikan oleh sang direktur utama.Beruntung, tinggi lantai kamar mandi tak sama dengan tinggi lantai bangunan. Ada perbedaan tinggi lantai di antara keduanya sebesar sepuluh sentimeter. Namun meski hanya sepuluh senti, jika dikalikan dengan banyaknya volume air yang memenuhi kamar mandi pun tak akan mampu dikerjakan Ganes sendirian dalam waktu yang singkat.Faruk yang tiba giliran untuk segera pulang, merasa janggal sebab tak melihat Ganes sedari pagi. Ia juga menunggu kemejanya yang dikenakan Ganes sebagai pengganti seragam pagi tadi.Lantas, dengan langkah tergesa ia naik ke lantai tiga. Betapa terkejutnya Faruk sa
"Apa? Kenapa enggak pernah cerita sih, Nes? Ke mana aja kemaren? Kenapa baru sekarang kamu cerita? Gila! Enggak bisa gitu, Nes. Kejadian itu bukan salahmu! Harusnya, si Jendra itu taruhannya sama aku. Orang yang udah minta kamu buat ke sana hanya agar dapat tambahan waktu!"Diana telah mondar-mandir di hadapan sang kawan. Ia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran Ganes yang tak membicarakan hal ini sebelumnya.Melihat itu, Ganes hanya bisa pasrah. Ia memang salah. Terlebih, ia sama sekali tak menceritakan hal itu pada Diana."Sorry, Di. Bukannya enggak nganggep kamu sebagai teman, tapi aku enggak mau kamu ngerasa banyak berhutang. Toh, itu juga salahku karena nerima taruhan tanpa pikir panjang. Tau sendiri, kalo masalah uang aku lebih parah daripada pria bermata keranjang."Diana mengernyit. Ia telah berhenti mondar-mandir hanya demi menatap Ganes dengan nyalang. Didekatinya sang tetangga sembari menatap penuh tanda tanya."Pas tanda tangan kontrak kerja, gajimu berapa katany
Jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam saat ponsel Rajendra berdenting. Ia menoleh sekilas dari layar komputer jinjing. Entah kenapa setelah membayangkan bagaimana ekspresi Ganes yang sibuk menguras air di kamar mandi, ia bisa lebih memfokuskan diri.Seluruh pekerjaan yang tertunda sebelumnya, ia selesaikan dengan cepat. Bahkan, saat kesimpulan yang dituliskan Gracia kembali ia pelajari dengan seksama demi bisa menyetujui RAB yang diajukan serta segala denah dan konstruksi tiap sudut bangunan, dalam waktu yang cukup singkat.Jendra meraih ponselnya di nakas, lantas membuka dokumen yang dikirimkan. Tiba-tiba, kedua alisnya mengernyit heran. Sembari terus membaca tiap informasi yang disajikan, Jendra mulai menimbang-nimbang. Dihelanya napas panjang setelah akhirnya mendapat gambaran."Jadi, tentang tetangganya tempo hari itu memang benar adanya? Lalu tentang dia yang ngojek itu, ternyata sebelumnya emang udah jadi kerjaannya? Kalo begitu, bukan pekerjaan keras lagi yang harus kuberi
Jam sudah menunjuk ke angka tujuh kurang beberapa menit saat Ganes terlihat berlarian. Derap langkah kakinya terdengar menggema di seluruh lorong rumah sakit yang dilalui.Napas Ganes tersengal-sengal. Ia benar-benar tak habis pikir jika harus terlambat masuk di hari keempatnya bekerja. Alih-alih menunjukkan etos kerja yang tinggi, hal itu akan menjadi celah bagi para petinggi untuk memperhitungkan kinerjanya. Beruntung, pagi itu hampir tak terlihat pasien di lobby rumah sakit. Oleh sebab itu, Ganes berani menderap langkah tergesa, menaiki anak tangga dengan kecepatan di atas rata-rata.Betapa terkejutnya ia saat tiba di tempatnya harus stand by. Bayangan akan berleha-leha demi bisa menarik napas lega, nyatanya berubah bak mimpi buruk setelah melihat ruangan di ujung lantai tiga itu telah terbuka tirainya. Ganes memejam, lantas berusaha berpikir positif untuk mengawali harinya.Sayang, tepat saat ia berbalik arah menuju ke toilet karyawan, sosok Jendra telah berdiri sembari berkacak p