Jam sudah menunjuk ke angka delapan saat mobil Rajendra berhenti tepat di parkiran yang disediakan oleh rumah sakit ternama tengah kota. Ia merapikan dasi sebelum akhirnya matanya tertuju pada salah satu motor yang juga berada di area parkir yang sama.
Rajendra mengernyit, lantas mengingat-ingat di mana ia melihat motor yang serupa. Demi bisa menyelesaikan rasa penasarannya, Jendra beranjak. Ia turun dari mobil, lantas memperhatikan motor yang hampir seluruh bagian kanannya penyok dari depan hingga belakang.Rajendra bersedekap. Ia teringat tentang motor yang semalam mengantarnya pulang usai ditipu oleh sang ayah. Dijentikkannya jemari sebab benar-benar ingat bahwa motor yang dilihat di depannya adalah kendaraan yang sama.Rajendra meraih ponsel pada saku celana, lalu membuka aplikasi ojek online terkemuka. Benar saja, saat ia menekan tab riwayat, ada nomor plat yang sesuai dengan sopir bernama Ruslan."Dia benar-benar membawa suaminya berobat! Tapi kenapa kemari? Apa jangan-jangan, mata suaminya yang paling parah?"Tanpa menunggu lagi, Rajendra langsung bergegas. Ia langsung menuju lobi di mana para pasien akan diberi nomor antrean. Usia demikian, diedarkannya pandang.Sembari mengangguk-angguk sebab beberapa karyawan menyapa, kedua matanya tak bisa lepas untuk memperhatikan sekitar. Sayang, hingga sampai ke ujung ruangan pun, ia tak melihat sosok ibu yang semalam mengantarnya pulang.Karena khawatir yang tak berkesudahan, Jendra akhirnya memilih untuk pergi ke ruangan administrasi. Tak mungkin rasanya jika data para pasien yang baru masuk datang itu tak langsung berada dalam tabel rekam jejak informasi.Dengan tergesa, Rajendra masuk tanpa mengetuk pintu. Hampir saja beberapa karyawan lain mengumpat jika saja mereka tak langsung menoleh pada keberadaan sang tamu."A-ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya Gracia, karyawan tercantik yang menaruh hati pada sang direktur muda."Aku butuh data pasien secepatnya. Carikan datanya. Atas nama Ruslan. Segera!"Tanpa menunggu diperintah kali kedua, Gracia dan beberapa karyawan lain pun turut mencari nama yang diungkapkan oleh sang direktur. Beberapa di antaranya pun mencari pada tumpukan berkas yang belum diinput pada keranjang loket depan.Sayang, gelengan kepala menjadi jawaban yang membuat Rajendra tak puas. "Aku melihat motornya di luar. Mana mungkin tak ada pasien atas nama Ruslan?""Mungkin masih diobservasi di ruang pemeriksaan, Pak."Jawaban Gracia membuat Jendra mengangguk, lalu mengambil duduk pada sebuah bangku tak jauh dari tempatnya berada."Di ruang tunggu, aku tak melihatnya juga. Kemungkinannya hanya dua. Seperti yang kamu katakan atau sedang berada di toilet. Kalau begitu, kutunggu di sini."
Alih-alih merasa tak nyaman karena kehadiran yang pimpinan, Gracia malah senang. Hampir saja ia duduk tepat di samping Rajendra yang tengah menanti berkas rekam jejak pasien lainnya, saat salah seorang karyawan berceletuk begitu saja."Daripada nungguin di sini, kenapa enggak nunggu di kantor, Pak? Kami bisa memforward berkasnya pada email Bapak, nanti."Mendengar itu, Gracia melirik kesal. Sedangkan Rajendra menoleh dengan mengernyit heran. "Kalau begitu, segera kabari jika ketemu."Melihat sang pujaannya pergi begitu saja, Gracia mengepalkan kedua tangan sembari melirik pada salah seorang kawan. Ia berdecak, sebelum akhirnya mengentakkan kedua kaki dengan kesal.
Sekali lagi, Rajendra mencoba mencari pada ruang tunggu di lobi depan. Sayang, sejauh mata memandang ia tak menemukan sosok yang dicari sejak sepuluh menit belakangan. Meski hanya melihat kedua matanya yang tampak sekelam malam, setidaknya ia bisa mengenali dari suara, anak, atau mungkin kondisi suami yang bagian kanannya mengalami luka, seperti yang terjadi pada motor yang dilihatnya di parkiran.Namun, nihil. Tak ada pasien dengan ciri-ciri serupa.Terang saja Rajendra kian cemas. Alih-alih langsung naik ke atas, tempat di mana kantornya berada, Jendra memilih untuk memeriksa di toilet pasien. Namun, sekali lagi ia harus menelan pil pahit. Tak ada pasien di sana.Dengan penuh kekecewaan, akhirnya Rajendra bergegas naik ke lantai tiga. Diempaskannya badan saat tiba di ruang kerjanya yang begitu nyaman. Telah diraihnya komputer jinjing yang dibawa dalam tas, lalu mencari dalam laman pencarian."Kenapa bagian administrasi belum juga mengirim email?"
Karena penasaran, bukannya mulai bekerja memperhatikan tabel dalam Ms Excel, Jendra malah mencari pada laman pencarian. Hanya butuh kata kunci plat motor yang ia dapatkan dari riwayat pemesanan ojek semalam. Sayang, tidak ada apa pun yang bisa ditemukan."Sial! Kecelakaannya enggak diberitakan?"Merasa membuang waktu, Jendra akhirnya memilih fokus. Sayang, betapa kuat ia mencoba, ia kembali memikirkan kedua mata yang berkaca-kaca semalam saat diliriknya dari spion motor. Ia yakin, mata itu tak berbohong walau sebentar.Betapa terkejutnya Jendra saat bayangan akan kedua mata kelam milik sopir ojek online semalam, berubah menjadi sosok yang beberapa hari silam membuatnya baik pitam. Mata yang hampir serupa dengan sosok yang dimakinya usai melihatnya mengiba. Ia menghela napas panjang, terlebih saat mengingat taruhan keduanya."Jika aku kalah, bukan hanya rumah seni yang kudirikan bersama seniman senior yang akan malu, tetapi juga harga diriku yang akan runtuh. Sial. Bisa-bisanya aku tar
Rajendra menggebrak meja. Kedua matanya yang bulat kecokelatan membeliak dipenuhi angkara murka. Diabaikannya sambungan telepon yang masih terhubung demi pergi ke area HRD dengan langkah tergesa.Sembari berjalan dengan geram, dihubunginya salah seorang tim panitia pelaksanaan audisi pada sanggar seni tempo hari. "Kirimkan padaku, semua data perempuan yang pernah datang terlambat dan minta perpanjangan waktu. Kirim dengan cepat!"Beberapa karyawan yang melihat kemarahan badan gurat wajah Rajendra, tampak menunduk seolah-olah tak melihat apa pun. Mereka lebih memilih diam daripada menggunjingkan banyak bahan pembicaraan.Bukan tanpa sebab, mereka menahan diri untuk tak membicarakan hal-hal yang bersinggungan langsung dengan sang direktur. Pernah sekali, saat kali pertama Rajendra diangkat menjadi direktur, demi menggantikan mendiang sang kakak, banyak orang yang menggunjing meragukan.Lantas, tak perlu waktu lama bagi Rajendra untuk membalas seluruh gunjingan orang dengan cara yang leb
Jam sudah menunjuk ke angka delapan tiga puluh saat ketukan pada pintu membuat Rajendra menggeram. Alih-alih menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda sebab melihat motor hitam atas nama Ruslan, ia memilih untuk meluapkan segala amarah pada yang bersangkutan.Jemari tangan Jendra telah menekan salah satu tombol yang bisa langsung terhubung dengan bagian HRD melalui sambungan interkom. "Kemari dan bawakan surat pemutusan hubungan kerja sekarang juga."Usai memutuskan panggilan, Rajendra pun berseru pada sosok yang ada di balik pintu ruang kerja. "Masuk!"Benar saja dugaannya. Ia melihat Ganes yang tengah membawa bungkusan air kelapa segar. Kedua matanya menatap tajam seolah-olah siap menembus jantung siapa saja di hadapan.Melihat aura yang tak biasa, Ganes pun menunduk sembari melewati Rajendra. Ditujunya salah satu meja di ujung ruangan demi bisa menyalin air kelapa muda pada gelas tinggi yang disediakan.Setelah itu, dibawanya segelas besar air penuh elektrolit tinggi pada sang e
Ganes telah membeliak tak percaya. Kedua matanya yang lentik nan kecokelatan itu menatap tajam pada gurat wajah Rajendra yang lebih menakutkan daripada sebelumnya.Untuk sesaat, dadanya terasa begitu sesak sebab ketakutan. Namun pada detik berikutnya, ia yang telah menguasai keadaan, tertawa sembari bersedekap. "Anda sudah lihat, bukan? Akan selalu ada yang mau mempekerjakanku. Tak butuh waktu tiga bulan bagiku untuk memberikan slip gaji pertamaku, Pak. Lantas, kenapa tak mengaku kalah mulai sekarang?"Keoptimisan Ganes membuat Rajendra mengernyit heran. Ia mundur, lalu duduk di tepian meja kerja sembari bersedekap."Aku tak tahu, ada perempuan setangguh kamu. Tapi, jangan sebut aku Jendra jika tak bisa menendangmu dari sini. Detik ini juga. Aku seorang direktur. Mudah bagiku untuk membuatmu dipecat dan tak akan pernah lagi bekerja di mana pun setelah ini."Alih-alih ketar-ketir sebab diancam sedemikian rupa, Ganes memilih membuang muka."Apa jadinya jika seorang direktur menyalahi at
Sementara itu, Ganes yang sudah dibakar amarah sebab memasang wajah manis di depan Rajendra, mau tak mau harus bertahan. Diteriakkannya amarah yang mulai meletup-letup dalam dada.Bukan tanpa sebab ia begitu marah. Alih-alih melampiaskan, ia harus menahan diri demi bisa tetap kembali bekerja.Dengan cepat, ia melangkah menuju gudang demi bisa mengambil alat kerjanya. Sembari demikian, dientakkannya kedua kaki sembari mengetatkan rahang hingga bunyi gemeletuk giginya terdengar.Beruntungnya, Faruk yang tengah berkeliling demi melihat situasi yang ada, mewujud pahlawan bagi Ganes hanya dalam sekejap mata."Nes? Kenapa basah kuyup? Kamu mandi?"Disindir sedemikian rupa tak membuat Ganes tertawa. Ia mencebik, lalu mengedikkan bahu dengan kesal. "Diudani!"Faruk yang memang jomlo dan suka jajan melalui aplikasi ajang kenakalan pun, mau tak mau menangkap konotasi buruk pada kata yang diucapkan oleh Ganes. Ia mendelik, sebelum akhirnya mengedar pandang."Siapa? Siapa yang berani nelanjangin
Faruk tengah mondar-mandir di depan toilet yang dijaga Ganes di lantai tiga. Kedua tangannya telah saling bertaut satu sama lain sebab gelisah.Kebiasaan yang tak akan pernah bisa dilepas begitu saja. Tangan kanan Faruk telah menggenggam tangan kirinya. Namun dari arah dalam, tangan kirinya keluar melalui celah yang tercipta di antara jempol dan telunjuk tangan kanan.Sesekali, Faruk akan berdecak kesal. Tepat saat terdengar bunyi langkah kaki dari toilet, ia langsung menghadang sang kawan dengan berdiri di tengah pintu dengan wajah garang."Apa yang kamu lakukan, Nes?"Melihat kecemasan dalam gurat wajah Faruk, Ganes pun menelan ludah susah payah. Ia menunduk, lantas menggigit bibir atasnya dengan pelan sebelum membela diri."Masih ingat apa yang kukatakan tempo hari? Tentang aku yang punya masalah pribadi dengan Dirut muda itu?"Alih-alih marah, Faruk memilih untuk menebak-nebak apa yang telah terjadi sebelumnya."Dia melihatmu? Dia mengenalimu? Itu sebabnya dia terlihat begitu ingi
"Jiangkrik!" maki Rajendra kesal. Tangannya menggebrak meja, lalu ia berdiri dengan kedua mata yang membeliak dipenuhi amarah.Sontak saja, para petinggi kontraktor dan pihak rumah sakit yang tengah menghadiri rapat kerja langsung menoleh pada Rajendra. Masing-masing dari mereka mulai mengernyit, lantas mempertanyakan apa yang menjadi beban pikiran sang direktur utama."Apa yang terjadi, Pak?""Bapak tak suka dengan konsepnya? Bagaimana jika kita ubah kembali? Unit rawat inap di lantai yang lebih tinggi bersama ruang lasik misalnya?"Tanya demi tanya kian membuat Rajendra tergeragap. Ia menelan ludah, lantas menggeleng sembari kembali duduk dengan gusar."Maaf. Lanjutkan saja sesuai rencana. Aku tak mempermasalahkan hal itu."Sadar ada yang tak beres, sekretaris dadakan Rajendra pun berdeham. "Mari lanjutkan," ajak Gracia. Ia mempersilakan para petinggi kontraktor untuk meneruskan penjelasan mengenai denah bangunan.Mengalami ketidakbiasaan, Rajendra pun berdecak. Bahkan, kala ia digu
Sebab kebanjiran, hampir seluruh seragam Ganes kebasahan. Ia yang belum tahu betul jika ada insiden tak terduga bisa meminta bantuan dari unit lain, mau tak mau membersihkan segalanya sendirian.Berbekal cikrak dan wiper lantai, ia membersihkan semuanya. Diabaikannya ponsel yang terus berdering agar bisa segera menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan tambahan yang sengaja diberikan oleh sang direktur utama.Beruntung, tinggi lantai kamar mandi tak sama dengan tinggi lantai bangunan. Ada perbedaan tinggi lantai di antara keduanya sebesar sepuluh sentimeter. Namun meski hanya sepuluh senti, jika dikalikan dengan banyaknya volume air yang memenuhi kamar mandi pun tak akan mampu dikerjakan Ganes sendirian dalam waktu yang singkat.Faruk yang tiba giliran untuk segera pulang, merasa janggal sebab tak melihat Ganes sedari pagi. Ia juga menunggu kemejanya yang dikenakan Ganes sebagai pengganti seragam pagi tadi.Lantas, dengan langkah tergesa ia naik ke lantai tiga. Betapa terkejutnya Faruk sa