Sebab kebanjiran, hampir seluruh seragam Ganes kebasahan. Ia yang belum tahu betul jika ada insiden tak terduga bisa meminta bantuan dari unit lain, mau tak mau membersihkan segalanya sendirian.Berbekal cikrak dan wiper lantai, ia membersihkan semuanya. Diabaikannya ponsel yang terus berdering agar bisa segera menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan tambahan yang sengaja diberikan oleh sang direktur utama.Beruntung, tinggi lantai kamar mandi tak sama dengan tinggi lantai bangunan. Ada perbedaan tinggi lantai di antara keduanya sebesar sepuluh sentimeter. Namun meski hanya sepuluh senti, jika dikalikan dengan banyaknya volume air yang memenuhi kamar mandi pun tak akan mampu dikerjakan Ganes sendirian dalam waktu yang singkat.Faruk yang tiba giliran untuk segera pulang, merasa janggal sebab tak melihat Ganes sedari pagi. Ia juga menunggu kemejanya yang dikenakan Ganes sebagai pengganti seragam pagi tadi.Lantas, dengan langkah tergesa ia naik ke lantai tiga. Betapa terkejutnya Faruk sa
"Apa? Kenapa enggak pernah cerita sih, Nes? Ke mana aja kemaren? Kenapa baru sekarang kamu cerita? Gila! Enggak bisa gitu, Nes. Kejadian itu bukan salahmu! Harusnya, si Jendra itu taruhannya sama aku. Orang yang udah minta kamu buat ke sana hanya agar dapat tambahan waktu!"Diana telah mondar-mandir di hadapan sang kawan. Ia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran Ganes yang tak membicarakan hal ini sebelumnya.Melihat itu, Ganes hanya bisa pasrah. Ia memang salah. Terlebih, ia sama sekali tak menceritakan hal itu pada Diana."Sorry, Di. Bukannya enggak nganggep kamu sebagai teman, tapi aku enggak mau kamu ngerasa banyak berhutang. Toh, itu juga salahku karena nerima taruhan tanpa pikir panjang. Tau sendiri, kalo masalah uang aku lebih parah daripada pria bermata keranjang."Diana mengernyit. Ia telah berhenti mondar-mandir hanya demi menatap Ganes dengan nyalang. Didekatinya sang tetangga sembari menatap penuh tanda tanya."Pas tanda tangan kontrak kerja, gajimu berapa katany
Jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam saat ponsel Rajendra berdenting. Ia menoleh sekilas dari layar komputer jinjing. Entah kenapa setelah membayangkan bagaimana ekspresi Ganes yang sibuk menguras air di kamar mandi, ia bisa lebih memfokuskan diri.Seluruh pekerjaan yang tertunda sebelumnya, ia selesaikan dengan cepat. Bahkan, saat kesimpulan yang dituliskan Gracia kembali ia pelajari dengan seksama demi bisa menyetujui RAB yang diajukan serta segala denah dan konstruksi tiap sudut bangunan, dalam waktu yang cukup singkat.Jendra meraih ponselnya di nakas, lantas membuka dokumen yang dikirimkan. Tiba-tiba, kedua alisnya mengernyit heran. Sembari terus membaca tiap informasi yang disajikan, Jendra mulai menimbang-nimbang. Dihelanya napas panjang setelah akhirnya mendapat gambaran."Jadi, tentang tetangganya tempo hari itu memang benar adanya? Lalu tentang dia yang ngojek itu, ternyata sebelumnya emang udah jadi kerjaannya? Kalo begitu, bukan pekerjaan keras lagi yang harus kuberi
Jam sudah menunjuk ke angka tujuh kurang beberapa menit saat Ganes terlihat berlarian. Derap langkah kakinya terdengar menggema di seluruh lorong rumah sakit yang dilalui.Napas Ganes tersengal-sengal. Ia benar-benar tak habis pikir jika harus terlambat masuk di hari keempatnya bekerja. Alih-alih menunjukkan etos kerja yang tinggi, hal itu akan menjadi celah bagi para petinggi untuk memperhitungkan kinerjanya. Beruntung, pagi itu hampir tak terlihat pasien di lobby rumah sakit. Oleh sebab itu, Ganes berani menderap langkah tergesa, menaiki anak tangga dengan kecepatan di atas rata-rata.Betapa terkejutnya ia saat tiba di tempatnya harus stand by. Bayangan akan berleha-leha demi bisa menarik napas lega, nyatanya berubah bak mimpi buruk setelah melihat ruangan di ujung lantai tiga itu telah terbuka tirainya. Ganes memejam, lantas berusaha berpikir positif untuk mengawali harinya.Sayang, tepat saat ia berbalik arah menuju ke toilet karyawan, sosok Jendra telah berdiri sembari berkacak p
Ganes berlarian kecil di sisi lain jalan. Kedua tangannya menggenggam erat belanjaan yang beratnya bukan kepalang.Alih-alih menghentikan angkutan umum untuk mempermudahnya tiba di tujuan, ia memilih berjalan kaki sebab lupa meletakkan di mana dompetnya terakhir kali.Bukan tanpa sebab. Jika bukan karena perintah atasan dengan gold card, ia tak akan mau disuruh tanpa diberi uang saku. Terlebih, karena yang memberinya perintah adalah sang direktur. "Sialan itu direktur! Mana hp sama dompet lupa di mana naro! Katanya aja barangnya enggak banyak! Enggak taunya seberat galon buat masing-masing tas belanjaan! Niat bener ngerjainnya!"Peluh membanjiri kening Ganes yang mulai licin. Napasnya mulai tersengal-sengal. Tak adanya angin yang berembus, makin membuat Ganes merasa kepanasan. Ditambah dengan terik mentari yang tiada habisnya.Ganes telah melewati belokan terakhir sebelum tiba di rumah sakit saat diletakkannya kedua tas belanjaan di aspal. Ia duduk berselonjor kaki di bahu jalan.Ali
Usai Ganes menyebut nama sang direktur utama seenak jidat, alih-alih mendapat dompet dan ponselnya yang hilang, ia malah dibekap oleh Faruk, kawan sekaligus supervisor di tempatnya bekerja. Ia membeliak, lantas mengangguk saat Faruk mengisyaratkan untuk tetap diam."Jangan sembarangan ngomong, Nes! Sadar enggak sih, kamu? Dia itu direktur utama. Namanya bak larangan untuk disebut dengan semena-mena! Buat bertatapan aja udah kayak larangan minum miras, apalagi maki dia, Nes!"Ganes membuang muka, mengempas tangan Faruk yang sebelumnya membekap mulutnya kuat-kuat."Aku enggak peduli, Ruk. Kalo cuma masalah kerjaan yang dibikin rumit, aku enggak masalah. Aku bisa terima! Tapi, beda lagi saat apa yang dipermainkan oleh si Jendra adalah uangku! Aku mengumpulkannya siang dan malam, diterpa panas dan hujan! Dia tak berhak untuk mencuri satu rupiah pun dariku, Pak Faruk!"Hampir saja Ganes beranjak, meninggalkan Faruk yang diperam gelisah saat tiba-tiba saja terdengar ucapan seseorang di loro
Ganes tengah terbahak-bahak setelah mengingat apa yang ia masukkan dalam bungkusan mi ayam dan es kelapa muda yang ia berikan pada Jendra. Alih-alih memberikan makanan layak untuk membangkitkan semangat, ia memilih untuk membalas dendam. Telah ia campurkan banyak sambal dalam mi ayam, lantas banyak garam pada air kelapa muda.Beruntung, penjual mi ayam yang kala itu tengah berbincang dengan orang lain tak melihat kelakuannya yang absurd. Tak adanya bukti dan saksi mata, akan membuatnya terbebas dari banyak praduga.Meski ia yakin, Jendra tak akan melakukan hal lain yang bisa mencemarkan nama baiknya sendiri, tetap saja ada rasa was-was yang sedari tadi menghantui. "Kalo dimakan ya syukur, dia kena batunya. Enggak pun, enggak papa. Aku rela."Sembari terus melahap mi ayam yang nikmat, Ganes terus tertawa. Tawa yang bahkan tak pernah ia sungging selain pasca mendapatkan uang lebih banyak dari yang diharapkan.Diana, sang tetangga yang paham betul bagaimana watak Ganes pun hanya bisa ber
Ganes mengernyit. Ia telah mendekat di balik bangku yang dekat dengan suara yang tengah mempertanyakan mengenai hubungannya dengan Rajendra. Ditundukkannya kepala, lantas memberi isyarat pada Diana untuk duduk di sampingnya.Diana yang baru usai memesan, langsung duduk sembari bertanya-tanya. Hampir saja ia melempar tanya jika Ganes tak langsung meletakkan telunjuk di depan bibir."Dengarkan saja. Coba klik fitur rekaman di ponsel."Permainan Ganes yang diucapkan dengan nada rendah itu membuat Diana langsung bertindak. Diberikannya ponsel pada Ganes, lantas turut mencoba mendengarkan.Ganes telah mengangkat ponsel Diana setinggi telinga, berusaha bersandiwara seolah-olah tengah menghubungi seseorang nun jauh di sana."Setauku, Rajendra memang tak pernah punya hubungan baik dengan perempuan. Bahkan dengan ibunya. Ada sesuatu yang mungkin sedang ia pikirkan atau bahkan ada sesuatu yang mungkin menjadi momok tersendiri baginya. Yang jelas, dia juga enggak sakit seperti yang banyak orang