Beberapa saat kemudian, aktivitas makan malam pun usai. Caroline masih saja bergulat dengan pikirannya yang tak berkesudahan. Carol tampak sangat gelisah hingga membuat Anita sedikit heran.
“Carol, Kamu kenapa?” tanyanya.
Deg!
“Hah? hmm … ti-tidak apa-apa,” jawab Carol gelagapan.
Anita mengerutkan dahinya sembari mengedarkan pandangannya melirik ke yang lain. Kini, tak hanya Anita yang heran dengan sikap Carol yang demikian, semua yang ada di meja makan ikut merasa heran, lebih-lebih si Ben. Semua mata menatap Carol, membuat Carol sedikit terintimidasi.
“Atau jangan-jangan, Kamu sakit?” khawatir Ernanda.
“Nggak kok, Tan. Aku hanya ….”
“Hanya apa, Carol?” sambung Galih. “Tidak biasanya Kamu bersikap seperti ini,” sambungnya.
“Aku … aku mau ….” Carol menghentikan ucapannya, tatapannya tertuju pada Ben yang juga sedang melihat ke arahnya.
“Mau apa, Carol?” tanya Anita penasaran.
“Hmm ... Um ….”
Sikap Carol yang demikian pastinya sedikit membingungkan semua orang yang sedang berkumpul di meja makan. Mereka saling lirik satu sama lain, dan pada akhirnya semua mata tetap tertuju pada Carol, menantikan klasifikasi darinya mengenai sikapnya yang aneh itu.
“Kenapa kalian semua melihatku seperti itu?” protes Carol. Lagi-lagi tatapan Carol terhenti pada Ben.
Ben sedang menyipitkan matanya saat itu, kedua siku tangannya terletak di atas meja, kedua telapak tangannya saling bertemu terletak di bawah dagu menyangga wajahnya. Juga sedang menatap tajam ke arah Carol, membuat Carol semakin salah tingkah.
Ehem ….
Usai berdehem, Anita bersuara, “kalau ada masalah cerita saja, Carol.”
“Ti-tidak kok, Ma. Tidak ada masalah apa-apa."
Anita sebenarnya sangat ingin berkata, Kamu mungkin bisa membohongi yang lainnya, tapi tidak dengan mama. Namun karena tak ingin putrinya semakin terpojok dan merasa tak nyaman, Anita memutuskan untuk menyudahi topik ini. Dia memutuskan akan membicarakan ini 4 mata dengan Carol nantinya.
“Baguslah kalau begitu,” ucap Anita sambil tersenyum tipis. Carol ikut tersenyum, tapi gadis itu memperlihatkan senyuman yang sedikit aneh.
“Oh iya, kita pindah ke ruang tengah saja, yuk,” ajak Anita kemudian seraya melirik ke yang lainnya.
“I-iya, Ayo! Biar lebih santai, bisa sambil nonton juga,” sambung Carol.
Kemudian mereka semua pun beranjak dari tempat duduk mereka masing-masing, melangkah menuju ke arah ruang tengah. Urusan Caroline terlupakan sejenak.
***
Dari meja makan pindah lagi ke ruang tamu. Begitulah seterusnya tapi sepertinya ini yang terakhir terjadi.
Perbincangan santai kembali terjadi, yang mendominasi tetap para orang tua itu saja. Ernanda berbincang dengan Anita, sementara galih berbincang dengan Tristan. Sedangkan Carol dan Ben hanya saling diam, sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Ben sibuk dengan ponselnya, dan Caroline lebih kepada sibuk dengan pikirannya yang tidak jelas. Sesekali, Caroline juga menonton acara televisi yang sedang berlangsung.
Hari semakin larut, waktu terus berputar. Tak terasa, sekitar 1 jam hampir berlalu begitu saja. Ben yang mulai gelisah usai melirik jam tangannya pun mencoba berbicara,
“Ma, kita mau balik jam berapa? Ini sudah setengah 9 kurang 10 menit lagi,” ucap Ben tiba-tiba.
“Kalian mau pulang malam ini?” tanya Anita kaget.
“Kenapa tidak menginap saja?” sambung Galih.
“Iya, bener. Sudah malam begini, lebih baik nginep aja,” timpal Anita.
“Besok aku ada meeting. Meetingnya jam 10 lagi, jadi nggak mungkin bisa nginep.” Tristan yang menjawab.
Ernanda memanyunkan wajahnya, “baru juga sampai, masa pulang lagi? Ngobrol pun belum puas,” protesnya.
“Ya … habisnya mau gimana lagi, Ma? Lagian Kamu juga sih yang memaksa ke sini. Bukannya aku sudah bilang ke Kamu Sabtu malam kemarin, Senin aku ada meeting. Nunggu sampai minggu depan pun Kamu tidak mau,” sindir Tristan.
Ernanda tersenyum malu, lalu menjawab, “itu karena aku tidak sabar mau cepat-cepat menjodohkan Ben dengan Caroline.”
Deg!
Caroline yang tadinya mulai melupakan perihal perjodohan, kini kembali diingatkan oleh Ernanda. Carol menggigit bibir bawahnya sembari menunduk.
“Nyatanya, Nak Carol juga belum bisa memberikan jawaban padamu, Kan?” Tristan kembali menyindir.
“Iya, iya … aku yang salah terlalu memaksakan diri. Ayolah kalau mau pulang sekarang.” Ernanda beranjak dari tempat duduknya.
Setelah itu yang lainnya juga ikut beranjak, termasuk Carol.
“Kenapa cepat sekali?” protes Anita. “Atau Kamu menginap saja disini, Da, 1 minggu. Minggu depan baru balik,” sarannya.
“Maunya sih gitu … tapi ….”
“Tapi tidak sampai hati meninggalkan suami sendirian?” potong Anita tersenyum mengejek.
“Hahaha … kamu tau aja, Nit,” tanggap Ernanda sambil membenarkan posisi rambutnya yang panjangnya sebahu.
“Ya sudah, yuk mau pulang!” alihnya melirik Tristan dan Ben.Ben dan Tristan melangkah lebih dulu menuju pintu keluar, sementara Ernanda menghampiri Carol, melingkarkan tangannya pada punggung Carol penuh kasih.
“Tante,” sebut Carol sambil tersenyum tipis, Ernanda tersenyum balik.
“Sayang, tante harap Kamu bisa memberikan jawaban pada tante tentang perjodohan itu secepat mungkin, dan tante harap Kamu mau menerima perjodohan itu, Sayang,” bujuk Ernanda. Carol terdiam dengan ekspresi yang tak dapat diartikan.
Untungnya Ernanda tidak sedang melihat ke arah Carol, tak ada satupun dari mereka yang melihat ke arahnya. Saat itu, Carol dan Ernanda juga berbicara sambil berjalan dengan langkah perlahan menuju pintu keluar menyusul Tristan dan Ben. Galih juga sudah melangkah lebih dulu bersama Tristan dan Ben. Sedangkan Anita ngacir ke dapur, menyiapkan sedikit oleh-oleh yang ada untuk dibawa balik keluarga Susanto ke Jakarta.
Carol kembali berperang dengan pikirannya sekarang, beradu argumen dengan dirinya sendiri. Jika saja dia akan menjawab, Carol pasti akan menerima perjodohan itu. Hanya saja, sangat sulit bagi Carol untuk menyampaikan jawabannya. Carol sangat bimbang saat ini. "Gimana ini?"
Ben lari terbirit-birit saat Carol melangkah ke arah pintu utama gedung apartemen. Dia memasuki gedung dengan langkah seribu, lalu menuju lift dan mulutnya komat-kamit berharap pintu lift menutup cepat.Ungtungnya pintu lift tertutup persis saat Carol memutar badan menghadap lift. Gadis itu masih bisa melihat kilas sosok yang ada di dalam sana.“Bukankah itu Ben? Ah mungkin aku salah lihat.”Ting!Ketika tiba di atas, Ben bergegas keluar dari dalam lift kembali ke unitnya.Brak!Saking terburu-burunya dia, Ben menutup pintu dengan membanting pintu tersebut hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Usai itu, ia bersandar di balik pintu untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan.Perlahan pikirannya membawanya menuju kejadian barusan, kejadian yang dia saksikan di luar tadi.“Siapa pria tadi? Jadi dia telat pulang karena pergi dengan pria itu?“Atau jangan-jangan itu pacarnya? Berani sekali dia ber
“Sayang, kamu mau minum apa? Jus jeruk atau alpukat?” tanya Gaby sambil membuka kulkas.Ben tidak menjawab, yang ada juga sih Ben sedang sibuk mikirin Carol.Mau kemana dia? Pakai acara dandan segala lagi.Rumah masih berantakan, udah main pergi ajaa, dia pikir dia siapa?Awas kalau pulang malam. Telat masak, dia yang aku masak!“Sayang … Sayang …,” panggil Gaby berulang. Karena Ben tak kunjung menjawab, Gaby pun memekiknya. “Sayang!”“I-iiiya. Kenapa?”“Aku yang harus bertanya, Kamu kenapa ngelamun gitu? Dari tadi aku manggil-manggil Kamu tapi Kamu nggak jawab-j
Perlahan Carol mengangkat wajahnya, dan ternyata itu adalah Leon. Pria yang menolongnya pagi tadi.“Loh, Kamu mau kemana?” tanya Leon heran.“A-aku mau … akum au pergi karena barusan aku dipecat karena datang terlambat,” jelas Carol.“Dipecat? Sama siapa?”“Sama Bu Riris.”Leon mengangkat kedua alisnya.“Aku permisi ya. Makasih udah nganterin aku tadi!”Carol kembali menunduk, dan melangkahkan kaki.“Tunggu!” tahan Leon.“Jangan pergi, ayo ikut aku kembali!” Leon bahkan langsung menarik tangan Carol mengajaknya kembali ke gedung kantor. Jelas hal itu membuat Carol sangat terkejut.“Kamu mau bawa aku kemana? Lepaskan!” berontak Carol. “Aku udah dipecat, buat apa kembali? Lepaskan aku!”“Tenang aja, aku akan mengurus semuanya. Kamu nggak akan dipecat,”“Maksudmu?”
Carol melangkah ragu menuju gedung seraya menundukkan wajah, dia hanya mengangkat wajah sesekali saja.“Selamat pagi, Mbak Carol!” Seorang pria yang berprofesi sebagai satpam di kantor itu menyapanya. Si satpam ini membuat Carol agak terpelanggat.“Eh … pagi, Pak!” balas Fiona.“Baru datang?”“I-iya … hehehe.”“Itu kenapa pakaiannya kotor begitu, Mbak? Habis terjatuh atau gimana?”“Hm … oh, ini tadi kecipratan,”“Oh … kurang ajar banget yang melakukan itu,”Carol mengangguk, menyetujui perkataan bapak satpam.“Tapi nggak apa-apa, nanti saya coba cuci di toilet. Saya … masuk dulu ya, Pak!”“Oh … iya. Silakan, Mbak!”“Mari!”Carol bergegas memasuki gedung, dan berjalan secepat mungkin menuju ruangan para admin. Beruntung mejanya terletak
Ben meneriaki Carol setelah Carol melewatinya. Carol tak menghiraukan teriakan Ben hingga ia mencapai pintu keluar dengan langkah seribu.“Maaf, aku harus pergi. Aku sudah terlambat!” sahut Carol setelah ia selesai mengenakan sepatu flat di rak sepatu yang ada di dekat pintu dengan tergesa-gesa.“Kau!”“Aaargh!! Sial!! Dia sungguh berani padaku!”Ben hanya bisa megumpat kesal seraya menatap kepergian Carol. Akhirnya bukan dia yang pergi duluan, tapi Carol yang pergi duluan.***Di pinggir jalan, Carol menunggu angkot dengan hati gelisah. Sebenatar-sebentar Carol melirik jam tangannya sekedar ingin tau seterlambat apa dia saat ini. Padahal apa yang dilakukannya itu justru membuatnya semakin gelisah saja.“Gimana ini? Kenapa nggak ada angkot yang lewat?” keluhnya seraya memiringkan badan ke arah depan berharap menemukan angkot yang lewat.Namun bukan angkot yang lewat, j
Pagi-pagi sekali, Carol sudah bangun. Sebelum pergi kerja, ia harus menyiapkan sarapan untuk Ben, juga mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, seperti membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci pakaian, Ben telah memperingatinya sejak awal memasuki apartemen.Tidak ada asisten rumah tangga disana, jadi sebagai seorang istri yang baik, Carol harus bisa melakukan semua itu. Padahal, Ben sengaja memecat Bi Ondang yang biasa membantu disana. Ben ingin mengerjai Carol, membuat wanita itu lebih cepat menyerah dengan pernikahan palsu itu.Carol sangat penurut, sesuai dengan pesan mamanya, dia akan menuruti semua keinginan suaminya. Sekalipun pernikahannya tidak sesuai dengan keinginan, dia tetap akan melakukan kewajibannya selama statusnya dengan Ben masih menikah.“Masak apa, ya?”