Ben Sander Susanto, anak dari pasangan Tristan Susanto dan Ernanda Pratiwi bertumbuh menjadi seorang pria dewasa dengan karakter yang buruk. Terjebak dalam pergaulan bebas, pulang mabuk-mabukan sudah menjadi kesehariannya. Melihat putra satu-satunya pewaris tunggal Emerald Green Village, sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di bidang properti ini semakin tak terkendali, kedua orang tuanya pun memutuskan untuk menjodohkan Ben Sander dengan seorang gadis desa, anak dari sahabat baik mereka. Lalu apa yang akan terjadi? Akankah Ben menerima perjodohan itu? Jika iya, bagaimanakah kisah perjalanan pernikahan yang tanpa berlandaskan cinta itu akan berlangsung?
View MoreDedication
"For those who believe in love and know how scary it can be, don't run away, face the barriers if there's someone reaching out to you from the other side."
⁂
KATE
Lisa pinched my arm and tilted her head towards the tall, muscular guy who had just entered the bar.
"You didn't go out with Mitchel last night? You're quick," I teased her, raising an eyebrow.
"Five minutes, that's all I have to say in my defense," she laughed, and I joined in.
We were getting drunk at some random bar in Manhattan, celebrating the end of classes. Earlier, we had taken the final test, which would select one student from my class to join one of the country's biggest companies, Ryan Enterprises. It's the first time Ryan has offered a program in partnership with our university.
Although Columbia had partnerships with several other important companies in the market, this position offers the opportunity to work directly with the CEO. It would be amazing, not only because of the possibility of using this experience to build our final project, which we would have to present but also because I couldn't imagine a better way to start my career. For me, it represents an important step toward the future. The results will be out in a week.
When I mentioned we were getting drunk, I forgot to mention that my friends were more so than me.
"Where are we celebrating tonight?" Brad asked, raising his glass with a loose smile, then taking another sip of his beer. We had barely arrived, and he was already drunk. How did he still manage to surprise me?
"Yes! Where are we going, after all?" Lisa drummed her fingers on the bar counter, displaying her usual impatience.
"Edge club?" Sarah suggested excitedly, letting out a squeal. Was she already drunk too? She used to be the most reserved, even worse than me when it came to socializing.
"I think that's a great idea," Matt agreed. "The place is always crowded." He winked at Brad.
"Great!" Brad concurred. They turned to me, awaiting confirmation.
"Kate?" Lisa gave me that look.
"Sure, it's fine by me. Actually, I'm so tired after all the stress from the test that..."
"No. Absolutely not. Don't you dare. Even Sarah is excited." She scowled at me, while Sarah narrowed her eyes at her, indignant. "Don't worry, guys, I'll take care of her. Let's meet at ten in front of the nightclub. Don't be late." She warned.
After saying our goodbyes, she grabbed my hand and pulled me out of the bar, towards her car. We got in, and Lisa stared at me, narrowing her eyes. I sighed, showing my best-tired face. I was truly exhausted after spending the last few weeks studying like crazy.
"Don't even think about it, Collins! We both know you've spent the past few weeks cooped up at home studying for this test and how hard you've worked, okay? But now that it's over, you're going out and having fun."
"Fine, Lisa." I gave up because I knew it was useless to argue with her. It was always a lost battle.
I dozed off during the short ride back to the apartment I shared with Lisa. We had been living together for about two and a half years. I moved into her apartment shortly after starting at the university. She sort of invited me, mostly because when I say you can't say no to Lisa, it's absolutely true. So, since I was paying a somewhat exorbitant rent, I accepted.
Lisa became my best friend; I had never had one before I met her. She made me feel less lost and alone in a strange city since I moved to New York three and a half years ago. I had never been out of Texas, so it was quite a change. But I couldn't imagine a better place than New York to start a promising career.
When we arrived home, Lisa went to her room, and I knew she wouldn't come out for another two or three hours after she finished getting ready. I went to the fridge and looked for something to eat. I grabbed an apple and a bottle of water and collapsed on the couch in front of the TV, ready to watch any mindless program that was on.
Was my life always boring, or was it getting worse now? Maybe it was just my paranoia, thinking that I was the only twenty-one-year-old woman who had never had a real relationship. It doesn't matter, Kate. Dating isn't important. I had already mentalized this mantra and absorbed it. I always thought relationships weren't for me, or that I would never find someone who made me want to be in one. Maybe I had too high expectations, and maybe it was the fault of the romances I read to pass the time and escape a bit from reality.
*
"Kate!" I opened my eyes, finding Lisa with an annoyed expression.
"What?" I blinked, adjusting myself on the couch.
"What do you mean, 'what'? You were supposed to be ready, but you were sleeping. It's almost nine!"
I chuckled, and she widened her eyes at me but stopped when she furrowed her brow. Then she grabbed me by the arm and led me to my room.
"I hope you're fast."
"Yes, ma'am," I saluted, mocking her.
An hour later, I walked out of my room. Freshly showered, wearing a slightly tight black dress, but still able to breathe. I laughed to myself. Lisa appeared in the living room shortly after.
"You see, not all women need five or six hours to get ready," I said.
She was wearing a short red dress with thin straps that fit her perfectly, matching her dark hair, her smile, and her pair of black eyes. She also had her hair in a ponytail and silver heels.
"You look beautiful," I approached her, standing in front of her.
"So do you. But... you need to know when to stop being so basic, Kate," she analyzed me and took out a lipstick from her purse, an extremely red lipstick.
"Put it on," she ordered, and I rolled my eyes at her, but once again, I knew I had no choice. "It'll match your eyes."
"Okay," I surrendered. It's not that I didn't like makeup, designer clothes, fancy lingerie, and expensive shoes—I actually loved them—but lately, my enthusiasm had disappeared.
Ben lari terbirit-birit saat Carol melangkah ke arah pintu utama gedung apartemen. Dia memasuki gedung dengan langkah seribu, lalu menuju lift dan mulutnya komat-kamit berharap pintu lift menutup cepat.Ungtungnya pintu lift tertutup persis saat Carol memutar badan menghadap lift. Gadis itu masih bisa melihat kilas sosok yang ada di dalam sana.“Bukankah itu Ben? Ah mungkin aku salah lihat.”Ting!Ketika tiba di atas, Ben bergegas keluar dari dalam lift kembali ke unitnya.Brak!Saking terburu-burunya dia, Ben menutup pintu dengan membanting pintu tersebut hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Usai itu, ia bersandar di balik pintu untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan.Perlahan pikirannya membawanya menuju kejadian barusan, kejadian yang dia saksikan di luar tadi.“Siapa pria tadi? Jadi dia telat pulang karena pergi dengan pria itu?“Atau jangan-jangan itu pacarnya? Berani sekali dia ber
“Sayang, kamu mau minum apa? Jus jeruk atau alpukat?” tanya Gaby sambil membuka kulkas.Ben tidak menjawab, yang ada juga sih Ben sedang sibuk mikirin Carol.Mau kemana dia? Pakai acara dandan segala lagi.Rumah masih berantakan, udah main pergi ajaa, dia pikir dia siapa?Awas kalau pulang malam. Telat masak, dia yang aku masak!“Sayang … Sayang …,” panggil Gaby berulang. Karena Ben tak kunjung menjawab, Gaby pun memekiknya. “Sayang!”“I-iiiya. Kenapa?”“Aku yang harus bertanya, Kamu kenapa ngelamun gitu? Dari tadi aku manggil-manggil Kamu tapi Kamu nggak jawab-j
Perlahan Carol mengangkat wajahnya, dan ternyata itu adalah Leon. Pria yang menolongnya pagi tadi.“Loh, Kamu mau kemana?” tanya Leon heran.“A-aku mau … akum au pergi karena barusan aku dipecat karena datang terlambat,” jelas Carol.“Dipecat? Sama siapa?”“Sama Bu Riris.”Leon mengangkat kedua alisnya.“Aku permisi ya. Makasih udah nganterin aku tadi!”Carol kembali menunduk, dan melangkahkan kaki.“Tunggu!” tahan Leon.“Jangan pergi, ayo ikut aku kembali!” Leon bahkan langsung menarik tangan Carol mengajaknya kembali ke gedung kantor. Jelas hal itu membuat Carol sangat terkejut.“Kamu mau bawa aku kemana? Lepaskan!” berontak Carol. “Aku udah dipecat, buat apa kembali? Lepaskan aku!”“Tenang aja, aku akan mengurus semuanya. Kamu nggak akan dipecat,”“Maksudmu?”
Carol melangkah ragu menuju gedung seraya menundukkan wajah, dia hanya mengangkat wajah sesekali saja.“Selamat pagi, Mbak Carol!” Seorang pria yang berprofesi sebagai satpam di kantor itu menyapanya. Si satpam ini membuat Carol agak terpelanggat.“Eh … pagi, Pak!” balas Fiona.“Baru datang?”“I-iya … hehehe.”“Itu kenapa pakaiannya kotor begitu, Mbak? Habis terjatuh atau gimana?”“Hm … oh, ini tadi kecipratan,”“Oh … kurang ajar banget yang melakukan itu,”Carol mengangguk, menyetujui perkataan bapak satpam.“Tapi nggak apa-apa, nanti saya coba cuci di toilet. Saya … masuk dulu ya, Pak!”“Oh … iya. Silakan, Mbak!”“Mari!”Carol bergegas memasuki gedung, dan berjalan secepat mungkin menuju ruangan para admin. Beruntung mejanya terletak
Ben meneriaki Carol setelah Carol melewatinya. Carol tak menghiraukan teriakan Ben hingga ia mencapai pintu keluar dengan langkah seribu.“Maaf, aku harus pergi. Aku sudah terlambat!” sahut Carol setelah ia selesai mengenakan sepatu flat di rak sepatu yang ada di dekat pintu dengan tergesa-gesa.“Kau!”“Aaargh!! Sial!! Dia sungguh berani padaku!”Ben hanya bisa megumpat kesal seraya menatap kepergian Carol. Akhirnya bukan dia yang pergi duluan, tapi Carol yang pergi duluan.***Di pinggir jalan, Carol menunggu angkot dengan hati gelisah. Sebenatar-sebentar Carol melirik jam tangannya sekedar ingin tau seterlambat apa dia saat ini. Padahal apa yang dilakukannya itu justru membuatnya semakin gelisah saja.“Gimana ini? Kenapa nggak ada angkot yang lewat?” keluhnya seraya memiringkan badan ke arah depan berharap menemukan angkot yang lewat.Namun bukan angkot yang lewat, j
Pagi-pagi sekali, Carol sudah bangun. Sebelum pergi kerja, ia harus menyiapkan sarapan untuk Ben, juga mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, seperti membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci pakaian, Ben telah memperingatinya sejak awal memasuki apartemen.Tidak ada asisten rumah tangga disana, jadi sebagai seorang istri yang baik, Carol harus bisa melakukan semua itu. Padahal, Ben sengaja memecat Bi Ondang yang biasa membantu disana. Ben ingin mengerjai Carol, membuat wanita itu lebih cepat menyerah dengan pernikahan palsu itu.Carol sangat penurut, sesuai dengan pesan mamanya, dia akan menuruti semua keinginan suaminya. Sekalipun pernikahannya tidak sesuai dengan keinginan, dia tetap akan melakukan kewajibannya selama statusnya dengan Ben masih menikah.“Masak apa, ya?”
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments