Share

Sahabat Lama

Sekitar empat bulan yang lalu.

“Nanti kabarin aku kalau mau pulang, ya?” ujar Pilar sebelum masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan ke kantor.

Tepat pukul delapan lewat sepuluh pagi, Ninet sudah berada di depan rumah sahabat lamanya. Sahabat yang sudah lima tahun tidak ia jumpai karena kepindahannya ke luar kota. Rumah yang menyimpan banyak kenangan itu kini akan ia masuki tanpa harus memandangi dari luar jika ia kebetulan melewati. Pagar besi itu masih sama seperti dahulu, hanya kini lebih berkarat dan sedikit sulit didorong saat ia mencoba membukanya.

“SELAMAT PAGI IBU PRISILA ANINDYA HARIADI” Ninet sengaja mengeraskan suaranya tepat di depan pintu rumah. Tidak ada jawaban dari dalam. Ia mencoba mengetuknya berkali-kali. Masih tidak ada jawaban. Lebih dari lima menit Ninet menunggu sampai akhirnya ia mencoba menghubungi Sila lewat sambungan telepon.

“Yah, kok, nggak diangkat?” bisiknya.

Dua puluh menit berlalu ketika suara mesin motor berhenti tepat di depan pagar. Ninet yang sedang duduk di kursi yang ada di teras rumah langsung melirik ke arah suara itu berasal.

“Terima kasih, Pak” ucap wanita itu ketika turun dari motor.

“Sila!” teriak Ninet sambil melambaikan tangannya. Dengan mudah ia mengenali sosok tersebut. Wanita mungil yang ia kenal itu masih sama seperti dulu, hanya kini terbungkus pakaian panjang dan jilbab  yang menghiasi kepalanya.

“Eh, Ninet!” balas Sila beberapa detik setelah mengenali sosok yang kini berada di dalam rumahnya. Seorang wanita yang melambaikan tangan sambil berjinjit, seakan sadar tinggi badannya perlu diakali agar terlihat dengan jelas. Air mukanya yang lelah berubah menjadi ceria seketika.

Tidak sampai satu menit mereka sudah saling berpelukan bagai rekan satu tim yang baru saja memenangkan hadiah besar dalam sebuah perlombaan.

“Udah lama nunggu?” ucap Sila sesaat setelah pelukannya melonggar.

“Lama banget! Lima tahun!” jawab Ninet sembari menunjukan lima jari tangan kanannya ke Sila.

“Ah, kamu jangan bikin aku sedih, dong! Kangen banget!” Sila kembali mengingat, mereka benar-benar hilang kontak semenjak ia memutuskan untuk pindah ke luar kota lima tahun yang lalu. Dan saat ia berhasil mendapatkan kontak Ninet lalu menghubunginya semalam dengan maksud mengabari kepulangannya, Ninet langsung hadir keesokan paginya seperti seorang fan berat yang rela datang lebih awal untuk mengantre tiket konser sang idola.

“Kamu dari mana? Pagi-pagi gini udah naik ojek begitu” tanya Ninet penasaran.

“Ngobrolnya di dalam, yuk?” ajak Sila sembari mengambil kunci dari dalam dompet merahnya. Ia membuka pintu dan mempersilakan Ninet untuk masuk terlebih dahulu.

Ninet masuk diikuti Sila dari belakang. Matanya kerap memandangi satu persatu barang yang ada di sekitarnya, sibuk menggali beberapa memori yang ia miliki tentang rumah ini. Kursi kayu di ruang tamu, foto ka’bah dalam figura besar di dinding, lantai keramik berwarna biru awan, cat tembok krem, semuanya masih sama.

“Kamu belum sarapan? Makan, yuk, aku juga belum” Sila sekonyong-konyong mendahului Ninet yang berjalan sangat pelan. Ninet tahu ke mana arah Sila berjalan.

“Kamu masak apa?” tanya Ninet saat melihat Sila sedang menyiapkan makanan di meja makan.

“Sisa ini doang, sih, sengaja masak lebih untuk lauk makanku” Sila memindahkan masakannya dari panci perak ke dalam mangkuk plastik lumayan besar.

“Kamu masak soto pagi-pagi gini? Rajin banget” Ninet mendekat dan duduk di kursi yang dahulu sering ia duduki untuk makan berbagai macam masakan sahabatnya itu.

“Ini empal gentong, Net. Khas Cirebon” terang Sila mengoreksi.

“Tunggu, deh, kamu masak banyak? Itu apa?” Ninet baru saja melihat tumpukan sayuran dan bermacam-macam sampah bekas masak yang belum dibuang semua.

“Aduh, aku belum sempat bersih-bersih, tadi dikejar waktu” Sila terkekeh. “Aku jualan, Net. Sejak seminggu setelah aku di sini, kalau ada yang pesan biasanya aku masak sesuai permintaan. Sekalian menyalurkan hobi” Sila melanjutkan dengan semangat.

Ninet memperhatikan Sila yang terlihat lahap menyantap makanannya. Wangi kuahnya sempat membuat Ninet tergoda, tetapi sisa-sisa rasa manis dari roti panggang berisikan meses yang ia santap bersama Pilar sebelum datang ke sini seakan menghalanginya

“Kamu nggak makan?” Sila melirik Ninet yang sedang memperhatikannya.

“Aku udah sarapan, Sil” jawab Ninet jujur.

“Ya sudah nanti makan siang di sini saja, masih cukup, tuh” Sila mengerucutkan bibirnya ke arah mangkuk tersebut.

“Lalu tadi naik ojek itu?” Ninet kembali menanyakan pertanyaan menggantung yang sempat ia tanya di teras barusan.

“Oh, iya,  itu aku habis nganterin pesanan, buat Tante Dora, mau ada arisan jam sepuluh” jawab Sila.

“Tante Dora? Yang sering ngomelin kita, ya?” Ninet menebak satu-satunya nama Dora yang ia kenal. Adik sepupu dari Marlina, ibunya Sila.

“Iya! Kamu inget, ya? Tapi beliau masih sedikit nyebelin, sih” ucap Sila.

Ninet menunggu Sila melanjutkan.

“Waktu itu, pas aku baru datang ke sini, aku iseng tanya kontak kamu ke Tante Dora, eh, beliau malah ngomong, ngapain nyariin anak itu, dia aja nggak nyariin kamu” Ujar Sila sembari menyontohkan gaya bicara tantenya.

Ninet terdiam. Ia merasa terhakimi.

“Eh, kamu jangan mikir yang nggak-enggak, ya, Net. Aku nggak dengerin apa yang Tante omongin, aku juga ngerti kamu pasti sibuk ngurusin suami, jadi ibu rumah tangga” “Seorang Anindita Prameswari, yang manja dan mager, eh, tiba-tiba harus berteman dengan cucian kotor, perabotan kotor, lantai berdebu” Sila menyebutkan alasan yang ia pikir paling logis. Ia yakin sahabatnya menjadi lebih sibuk setelah menikah.

Ninet hanya mengangguk pelan. Ia jadi bertanya pada dirinya sendiri. Sesibuk itukah? Atau memang selama ini ia merasa takut untuk menghubungi Sila lagi? Takut jika sahabatnya tahu bahwa ia menyembunyikan sesuatu.

Bincang-bincang mereka berlanjut hingga ke ruang tamu. Ninet menanyakan bagaimana kehidupan Sila lima tahun kebelakang. Mulai dari pekerjaan hingga percintaannya.

“Aku nggak habis pikir” Ninet terlihat emosi.

“Sudahlah, aku sudah ikhlas” ucap Sila menenangkan.

“Ikhlas bagaimana? Luka di hati kamu mana bisa secepat itu sembuh” Ninet benar-benar kesal. Baru saja ia mendengar fakta bahwa kepulangan Sila ke sini adalah karena ingin menyembuhkan diri akibat ditinggal menikah oleh kekasih yang sudah berhubungan dengannya selama empat tahun lebih. Dada Ninet terasa sesak.

“Iya, kalau mau sembuh, kan, harus ikhlas dulu, toh?” Sila menjawab.

“Tapi, harus ada penjelasan dari pihak si cowok, dong” Ninet menimpali “Masa, sih, tiba-tiba nikah, nggak ada kalimat putus?” sambungnya.

“Lalu aku bisa apa, Net?” suara Sila terdengar pasrah “Kalau memang nasibku di urusan cinta nggak bagus, aku harus apa? Aku nggak mungkin iri sama para wanita lain yang lebih beruntung dari aku”

“Aku minta maaf” ujar Ninet.

“Untuk apa? Aku nggak ada niat menyinggung siapapun, ini cuma masalah takdir saja, Net” Sila meyakinkan. “emang sudah takdirku sedari dulu” lanjutnya.

 “Andri?” Ninet menyebutkan nama seseorang yang sudah lama tidak muncul di kepala Sila.

“Ada angin apa tiba-tiba kamu sebut nama itu? Tanya Sila heran.

“Nggak, aku asal tanya, kok” jawab Ninet.

“Hmm, mungkin kalau waktu itu aku jadi bertemu Andri, mungkin kami sudah menikah lalu punya anak, ya?” canda Sila.

“Bisa jadi” Ninet menjawab singkat.

“But maybe he’s too good to be true, atau mungkin kalau jadinya kami bersama, dia malah nyakitin aku? makanya Tuhan nggak mengizinkan kami untuk bertemu” Sila mencoba berpikiran positif.

“Iya,  mungkin juga, sih” Ninet menimpali.

“Kamu bagaimana? Is married life for you? Aku masih salut kamu memutuskan untuk menikah saat itu” Ingatan Sila terlempar jauh ke beberapa tahun silam. Saat itu Ninet sangat menggebu-gebu membawa kabar bahwa ia dilamar oleh seorang pria yang baru dikenalnya tiga bulan.

“Iya” Ninet berkata singkat. “Awalnya sulit tapi aku beradaptasi” Ninet melanjutkan.

“Maaf ya”

“Hah, kenapa kamu jadi minta maaf?”

“Aku nggak ada di sisi kamu ketika kamu mungkin butuh teman curhat saat awal-awal pernikahanmu”

“Ah, it’s okay, aku nggak mau egois nahan kamu pergi, sementara itu kewajiban kamu untuk jagain Bapak yang sedang sakit” ucap Ninet. Pernyataan Sila barusan memancing sebuah perasaan aneh di batin Ninet. Ia yang seharusnya bersalah, bukan Sila.

“Bapakku nggak sakit, Net. Beliau memang mau menghabiskan waktu di tanah kelahirannya saja” Sila masih ingat betapa semangatnya sang ayah, Hariadi, ketika ia memutuskan untuk membawanya dan menetap di Solo. Meskipun harus meninggalkan karirnya yang baru dimulai, namun Sila merasa itu keputusan terbaiknya. Kenyataannya Hariadi wafat dua tahun setelah mereka tinggal di sana.

“Aku salut sama kamu. you sacrifice your life, Sil” Ninet menepuk bahu Sila.

“Bapakku, beliau itu hidupku”

“Sorry, aku masih belum peka, ya”

“Nggak apa-apa, kok, memang agak sulit memutuskan antara keluarga dan karir” “eh, tunggu, kayaknya kita sama, deh, bedanya kamu pilih menikah, aku pilih jaga Bapak, we’re both ruined our dear life!” Sila tertawa lepas.

“Cucian kotor setiap hari, bangun pagi untuk menyiapkan keperluan suami, bersih-bersih rumah, sapu halaman, oh god, I think you’re right!” Ninet menimpali. Mereka bersama-sama larut dalam gelak tawa.

____________________________________________________________________________

Pilar baru saja keluar dari elevator ketika Ninet menghubunginya.

“Halo, Net. Aku sudah turun, nih, menuju tempat parkir.” ucap Pilar.

Kondisi kantor saat jam pulang sudah pasti ramai. Satu persatu karyawan dari berbagai divisi berjalan menuju satu tujuan, pintu keluar.

“Kak Pilar?”

Suara itu menghentikan langkah kaki Pilar. Ia mencari sumber suara tersebut.

“Kak!” Seseosok lelaki muda itu menghampiri.

“Hans?” Pilar agak meragu dengan tebakannya tetapi lelaki itu kemudian mengangguk. “Wah, beneran ini kamu? Beda banget.” Pilar tidak henti-hentinya memandangi Hans dari atas sampai bawah. Hans yang ia kenal dahulu berbobot dua kali lipat dari yang sekarang ada di depannya.

“Hidup sehat, Kak.” jawab Hans

“Kamu di sini?” tanya Pilar

“Iya, aku baru masuk bulan lalu, nggak tahu kalo kak Pilar kerja di sini juga.”

“Sudah jalan empat tahun.” jawab Pilar.

“Ninet apa kabar, kak?”

“Baik, kok, ini aku lagi mau jemput.”

“Oh, memang dia kerja di mana sekarang?”

“Di rumah saja, sejak menikah dia yang ambil keputusan mau jadi ibu rumah tangga, cuma sekarang lagi main ke rumah temannya, itu si Sila.” terang Pilar.

“Sila? Wah, si kembar masih akrab ya sampai sekarang.”

“Lagi reuni mereka, sudah lima tahun nggak bertemu.”

“Hebat, ya, Ninet bisa ambil keputusan menikah secepat itu. Kalau ingat jaman kuliah nggak bakal sangka kalau dia bisa kayak sekarang.”

“maksudnya?”

“Itulah kenapa mereka akrab, Kak. Ninet itu sudah kayak adiknya, eh, bukan, kayak anaknya Sila!” jawab Hans yang mengundang kebingungan di wajah Pilar. “Ninet tuh bergantung banget sama Sila, selalu paling manja, kebetulan Sila juga mandiri banget, dia yang selalu melindungi Ninet”

Pilar teringat pesan Sila saat hadir di pernikahan mereka berdua. “Jagain Ninet” sesingkat itu namun ternyata penuh arti dan keseriusan. Saat itu adalah kali pertama dan terakhir ia bertemu Sila. Hubungan pacaran singkatnya dengan Ninet membuat ia tidak banyak bertemu orang-orang terdekat Ninet. Tidak lama setelah mereka menikah pun ia dengar Sila pindah ke luar kota. Hari ini mungkin akan menjadi pertemuan keduanya dengan Sila.

“Kalau begitu aku pamit duluan, Kak. Salam buat Ninet sama Sila, ya!” ucap Hans.

“Oke, sampai bertemu di lain waktu, Hans.” Pilar meneruskan langkah kakinya ke area parkir di sebelah gedung utama.

Hanya ada beberapa mobil yang saat ini terparkir, salah satunya mobil sedan hitam metalik milik Pilar, bekas milik mendiang kakaknya.

Langit Jakarta senja yang berwarna jingga adalah pemandangan lazim bagi Pilar saat perjalanan pulangnya dari kantor. Lautan manusia tumpah ruah memenuhi jalan raya. Mayoritas berada di dalam kendaraan roda dua dan empat, sisanya adalah pejalan kaki yang hendak lewat dan menyebrang. Saat laju kendaraannya dipaksa berhenti oleh lampu merah, tiba-tiba matanya terpaku pada satu baliho besar yang menggambarkan keindahan Pulau Komodo, lengkap dengan kalimat promosi Pesona Indonesia. Ia teringat akan sesuatu di masa lalu. Tiba-tiba muncul sebuah ide yang membuatnya mengambil ponsel untuk mengecek sesuatu. “Ninet pasti senang.” batinnya

____________________________________________________________________________

Waktu sudah menunjukan pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Ninet dan Sila baru saja selesai menyantap makan malam. Mie ayam dekat rumah Sila yang selalu menjadi favorit mereka berdua. Menurut Ninet, mie ayam di sana adalah makanan terenak nomor dua setelah masakan Sila, karena baginya apapun yang Sila masak adalah makanan terenak nomor satu di dunia.

“Masih belum?” Sila bertanya pada Ninet yang terlihat fokus pada ponselnya.

“Kayaknya aku pukang pakai taksi online, deh.” Ninet mengetik sesuatu di ponselnya. Ia sedang membalas sebuah pesan dari Pilar, “ban mobil Mas Pilar, bocor.” terang Ninet.

“Aduh, terus bagaimana, sudah panggil bantuan?” Sila ikut panik.

“Tenang, katanya sudah aman, cuma kayaknya dia nggak bisa jemput. Baru saja Mas Pilar kasih kabar kalau dia sudah pesankan taksi online.” ucap Ninet menenangkan.

Sila hanya tersenyum mendengar ucapan Ninet.

“Kenapa senyum-senyum?” Ninet bingung.

“You’re married the right guy.” ujar Sila.

Ninet hanya membalas ucapan Sila dengan senyuman. Senyum getir yang tercipta dari sebuah kebimbangan. Senyum yang melindungi sebuah rahasia yang seharusnya tidak ia sembunyikan dari sahabat lama. “Should’ve been you” batin Ninet.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status