Dua purnama berlalu diiringi awan kelabu. Hari-hari Una terasa biasa saja, tak ada yang istimewa. Sejak sang suami menuruti permintaannya untuk menikah dengan wanita yang dijodohkan dengannya.
Hanya lewat panggilan telepon juga pesan singkat, sekadar menanyakan kabar kesehatan. Sedikit mengobati rindu yang tak berani diungkap.
Untung saja, tawa anak-anak kampung yang selalu bersemangat untuk mengaji. Menjadi obat bagi Una yang tengah diuji kekuatan cintanya. Hanya kesetian juga rasa saling percaya, yang bisa melanggengkan hubungan jarak jauh yang sedang dijalaninya.
Sementara hari-hari Fajrul disibukkan dengan berbagai persiapan. Pesta megah seorang putra jutawan itu, pasti membutuhkan persiapan yang matang.
"Bu, Pak Fajrul lama sekali perginya. Apa beliau lupa sama kita?" Pertanyaan yang selalu menghampiri telinga Una. Tiap sore ia harus menjawab desakan anak-anak yang memang merindukan sosok guru sebaik Fajrul.
Tak jarang mereka menangis, merengek di hadapan Una karena ingin belajar bersama Fajrul seperti dulu.
"Emm, bukannya Pak Fajrul sudah berjanji akan segera kembali? Pasti beliau tidak akan mengingkari janjinya, 'kan?! Nah, kita tunggu sampai beliau kembali, ya. Kita doakan semoga Pak Fajrul tetap diberi kesehatan di manapun beliau berada."
Dengan senyum kepalsuan, Una berusaha tegar di hadapan muridnya. Selama Fajrul pergi, Una harus merangkap dua kelas. Menggantikan posisi suaminya, karena tak ada tenaga lain yang rela berbagi ilmu secara cuma-cuma.
Mengaji telah usai, gegas Una kembali ke rumahnya. Hari ini pulang lebih awal, karena Una merasa tak enak badan.
"Ada kiriman paket untukmu," sambut Mbah Aab sembari memijat kakinya yang linu.
"Paket … dari siapa, Kek?" tanya Una bingung. Perasaan, ia tak memesan barang apapun akhir-akhir ini.
Kakek menggeleng genit. Beliau selalu bertingkah lucu untuk menghibur cucunya yang baru saja pulang mengajar. Beliau paham betul, Una pasti letih setelah bergelut dengan teriakan anak-anak yang memang cenderung ramai.
Una bergegas menuju kamarnya. Meraih sebuah paket dengan bungkus warna hitam, lengkap dengan kertas bertuliskan nomor resi pengiriman. Tersemat nama pengirim yang tak asing lagi di mata Una.
Antusias ingin membukanya. Dibarengi senyum bahagia karena sudah lama ia tak berkomunikasi dengan si pengirim.
Begitu paket berukuran sedang itu terbuka, mulut Una sontak menganga. Kedua matanya pun ikut membulat kaget.
"Undangan pernikahan!" teriaknya, histeris.
Masih tak percaya jika sahabat karibnya saat duduk di bangku kuliah, akan melangsungkan pesta pernikahan dalam waktu dekat. Namun, ada satu barang yang lebih membuat Una kegirangan.
Plastik bertuliskan "Bridesmaid", lengkap dengan tulisan nama lengkap Rizquna Salsabila. Tak menyangka, jika sahabatnya yang sudah jarang berjumpa, menginginkan Una sebagai bagian penting dari resepsi pernikahannya.
"Cantik sekali gaun ini, sangat mewah. Pasti harganya mahal. Apa tubuhku cocok dengan pakaian yang terlalu elegan ini?"
Berdiri di depan cermin, sembari menjembreng gaun warna Nude dengan balutan mutiara mewah di bagian depan. Terlihat pas di badan Una yang memang ideal itu. Sambil bergaya manja, Una melebarkan senyumnya karena kagum dengan gaun yang indah untuknya.
Saking bahagianya, Una bahkan belum sempat membaca isi undangan yang tak kalah mewah itu. Kertas warna perak, dihiasi pita kuning keemasan. Menorehkan kesan bahwa pesta itu pasti akan berlangsung meriah.
Wanita itu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Dalam posisi tengkurap, Una bersiap untuk membaca undangan dari sahabatnya. Matanya bergerak cepat, membaca tiap huruf indah yang dirangkai menjadi kata-kata yang memukau.
Hingga kedua bola matanya berhenti pada sebuah nama yang mulai mengganggu konsentrasinya.
"Muhammad Fajrul Falah, putra dari Bapak Luqmanul Falah?" gumam Una sebelum melanjutkan membaca pada baris selanjutnya.
Deg! Senyum bahagia sontak berubah menjadi petaka. Setelah wanita itu berhasil menuntaskan membaca undangan pernikahan dengan degup jantung yang semakin kencang.
Awalnya, ia mengira bahwa nama calon mempelai pengantin pria, hanya kebetulan mirip dengan nama sang suami. Namun, alamat yang tertera sama persis dengan alamat yang ada pada tanda pengenal Fajrul. Tak tanggung-tanggung, Una bahkan mencocokkannya dengan berkas berisi data para pengajar di madrasah Al-Khidmah.
"Astaghfirullah, jadi calon istri Mas Fajrul …," ucapnya tersendat.
Sesak di dada tak bisa dikendalikan. Kedua kakinya seketika lemas tak berdaya. Una tersungkur di atas lantai kamarnya yang sempit. Rasanya, jauh lebih sakit dari apapun. Untuk pertama kalinya, hidup Una terasa hancur tanpa harapan pulih.
"Qia, kenapa harus kamu yang menjadi maduku? Kenapa? Hiks … hiks," rintihnya dalam tangis yang tertahan. Ia tak mau jika sang kakek mendengar suara isak tangis dari kamarnya.
Rifqiatul Istiqomah, sahabat yang kerap disapa Qia. Wanita seperjuangan yang menemani hari-hari Una saat di kampus. Bak saudara kandung, bahkan mereka sering dikira kembar karena wajahnya yang sama-sama cantik dan mirip.
Sepenuh hati Una berusaha tulus mengizinkan sang suami menikah karena dijodohkan. Namun, kenyataan pahit yang tak bisa diterima Una. Saat mengetahui bahwa wanita yang akan menjadi istri muda Fajrul adalah Qia—sahabatnya sendiri.
Jarum-jarum tajam terasa menancap dalam. Tepat mengenai relung kalbu Una. Sangat sakit, hingga menjalar pada sekujur tubuhnya.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu dari luar, membuyarkan tangis Una. Gegas ia menyeka pipinya yang basah. Tak lupa mengeringkannya dengan handuk yang digantung di belakang pintu kamar bagian dalam.
"Iya, Kek. Sebentar!" sahut Una dari dalam. Menahan suara agar tak sesenggukan di depan orang lain.
Pintu dibuka dengan pelan. Una masih tertunduk karena takut jika kakeknya curiga dengan wajahnya yang sembab. Namun, pemandangan mengejutkan kembali mengusik matanya. Sandal kulit warna hitam legam di kedua kaki pria yang kini berdiri di depan pintu kamar Una.
"Assalamualaikum, Dek. Ini saya, bukan Kakek, he he he," salam pria itu, cengengesan.
Enggan untuk mendongak, tangis Una seketika pecah. Ia langsung balik badan dan kembali ke dalam kamar. Ia bahkan lupa tak menutup pintunya kembali. Memudahkan pria itu membuntutinya masuk dengan leluasa.
Pria itu adalah suaminya sendiri. Kedatangan Fajrul membuat perasaan Una makin tak karuan. Fajrul yang tak tahu apa masalahnya, hanya bisa diam sembari menunggu sang istri tenang.
Di dalam kamar yang baru pertama kali dipijaknya, Fajrul menelisik ke semua arah. Hingga ia dikagetkan dengan sebuah kertas yang tergeletak di atas lantai.
"Undangan? Kenapa bisa sampai di sini, Dek?" tanyanya, sangat tak menyangka.
Tak bisa ditahan lagi. Una meraung dalam posisi duduk meringkuk. Memeluk kedua kakinya dengan erat. Tangis membanjiri pipinya yang berseri.
Fajrul mencoba mencari tahu sendiri. Tanpa harus menunggu sang istri menjelaskan semuanya. Karena ia yakin, wanita itu tak akan sanggup berbicara dalam keadaan terpuruk seperti saat ini.
Gaun bridesmaid menjelaskan semuanya. Detik ini, Fajrul paham apa yang membuat Una menangis. Tubuh pria itu juga tak berdaya. Ia tak menyangka bahwa dua wanita yang akan menjadi istrinya, adalah wanita yang saling mengenal, bahkan bersahabat sejak lama.
"Saya akan membatalkannya, Dek. Aku tak bisa meneruskan semua ini, sebelum terlambat!" lirihnya dengan nada yang melas.
Bukan perkara mudah menerima kenyataan yang pahit. Namun keputusan tak bisa diralat. Bukan salah orang lain, melainkan murni dari kesalahannya sendiri. Andaikan wanita itu mencari tahu siapa yang akan menjadi madu untuknya, pasti Una akan berpikir dua kali untuk mengizinkan sang suami menikah lagi. Terlanjur, kayu sudah menjadi abu. Tak bisa dikembalikan agar menjadi kayu yang utuh. Kata terlambat pun belum bisa disebutkan, karena maaih ada waktu untuk merubah takdir yang memang tak diharapkan. Namun setelah berpikir lebih jernih. Dengan segala pertimbangan dan keteguhan batin, Una akhirnya tetap bersikukuh dengan pilihannya. "Jika Mas Fajrul tetap ingin membatalkan pernikahan dengan Qia, dengan terang-terangan saya minta berpisah!" sergah Una, cukup menentang mental suaminya. Protes yang tak kunjung selesai. Fajrul tak tahu harus menyikapi Una dengan cara apa lagi. Kegundahan terus memihak pada lelaki yang akan beristri dua itu. Perceraian bukanlah jalan yang diing
Ratusan tamu undangan memenuhi rumah yang disulap menjadi istana pernikahan. Hiasan bunga putih dan merah yang dirangkai menjadi senada. Alunan piano menggema di tiap sudut ruang tertutup. Tak sembarang orang bisa masuk ke sana. Bapak-bapak dengan jasnya yang klimis. Ibu-ibu sosialita yang tak kalah mewahnya. Duduk tenang di kursi mewah dengan meja bundar yang dipenuhi aneka hidangan lezat. Sungguh, Fajrul tak menyukainya sama sekali. Kemewahan dunia yang membuatnya semakin enggan pulang ke rumah. Juga kehidupan keluarga besar yang mengedepankan kekayaan harta juga penampilan. Lelaki itu tertunduk di depan penghulu. Netranya mengembun tatkala teringat wajah Una yang terus menghantui pikirannya. Pikir mereka, wajah mempelai pria yang tampak menangis tangis haru. Terbuai akan hari bahagia yang diimpikan banyak manusia. Pesta mewah, juga semua yang serba ada. Siapa yang tak menginginkan resepsi dengan budget ratusan hingga milyaran juta? Dua hari sebelum hari ini, Fajr
Dua pasang mata terperanjat tak percaya. Mendengar pengakuan dari sepasang calon pengantin yang akan melangsungkan akad untuk mengikat hubungan keduanya. Murka, Mbah Aab belum bisa menerima sikap pasangan yang baru saja tiba. Terlalu berlebihan dan melampaui batas. Mereka belum halal, namun dengan santai dan tanpa merasa bersalah, bergandengan mesra di tempat umum. Wanita yang empat tahun lebih tua dari Una. Sudah lama ia tak kembali ke kampung Sahara yang asri. Kedatangannya membuat Una cemas. Khawatir jika tiba-tiba Fajrul datang saat kakak perempuannya berada di rumah. Sementara mereka memiliki kesepakatan, bahwa Una tak akan menikah sebelum kakaknya pensiun dari status lajangnya. Niswa, begitulah orang-orang memanggilnya. Anak pertama dari sepasang suami istri yang kini hanya meninggalkan nama. Mengembara ke tanah seberang, untuk mengabdikan diri demi agama. Kepulangannya dengan menggandeng pria yang dikenalkan sebagai calon suami, membuat Mbah Aab jengkel. Sela
Enggan melanjutkan kalimatnya. Sekali lagi, wanita itu mengamati bibir merah milik suaminya. Bayangan melayang-layang ke arah sana. Kembali merasakan tekanan batin yang tak bisa disembunyikannya. Kepala Una merunduk, pilu. Entah karena apa, wajah sahabat lamanya terus memenuhi kelopak matanya. Ia tak bisa menatap sang suami dengan ketulusan hati. Ternyata, seperti ini rasanya dimadu. Pantas saja, Allah telah menyiapkan ganjaran istimewa bagi para wanita yang ikhlas jika suami menikah kembali. Nyatanya, Una belum setulus itu. Masih saja terpukul dengan kenyataan yang terasa pahit. Ikhlas, mudah dikata namun sangat sulit dijalankan. 'Mereka sudah menikah cukup lama. Pasti tiap malam mereka sedekat ini. Dan bibir itu ….' gumam Una dengan segala prasangka yang menyayat hatinya. Cemburu itu nyata, walau tanpa melihat dengan kedua mata. Membayangkan hari-hari sang suami bersama wanita lain, adalah hal paling menyesakkan. "Dek, bukankah tadi kita salat berjamaah? Itu a
Keluarga kecil tak sehangat beberapa hari lalu. Tawa bahagia yang selalu menaungi rumah tangga Fajrul dan Qia, seketika lenyap entah ke mana. Dengan balutan piyama bermotif bunga mawar merah yang menggoda, wanita itu tetap bermanja tanpa sadar jika dirinya telah melakukan sebuah kesalahan. Alih-alih cemas akan sikap suaminya yang tiba-tiba berubah, Qia malah tersenyum genit pada lelaki yang sedari tadi bertolak pinggang. Rautnya yang memerah, belum menyadarkan sang istri bahwa Fajrul marah padanya. Tangan kekar yang biasa membelai lembut oipi istrinya, terus mengepal hingga otot-otot terlihat dari sisi luar. Sekejap, Fajrul mengelus dada bidangnya. Melambungkan istighfar untuk meredam emosi yang sempat menganak. Kepalanya dibenamkan di samping ranjang tidur Qia. Gegas wanita itu mendekati Fajrul seusai merapikan rambut yang terurai berantakan. Memainkan ujung kepala Fajrul, dengan belaian lembut. Sebelum akhirnya ia menanyakan sesuatu yang membuat sang suami mati ga
Sejak kejadian malam itu, Qia terus menguatkan rasa kepercayaan pada Fajrul. Fokus pada dirinya juga calon bayi yang masih dalam kandungan. Walau wajah Fajrul yang tak bisa berbohong atas keresahannya. Namun, sang istri tak berani membahas hal tersebut. Tak kalah panasnya, kehidupan Una harus dilalui di atas jalanan yang terjal. Fajrul yang tak kunjung datang, sementara kabar pernikahan siri telah menyebar. Mendatangkan segala macam fitnah dan tudingan tanpa pembuktian. Janda, istri tanpa bukti tertulis, wanita penggoda dan masih banyak panggilan baru untuk Una. Tak jarang, bebatuan kecil menyambar tubuhnya tatkala ia berangkat mengajar. Lebih parahnya, ada juga manusia yang bersikeras agar Una segera angkat kaki dari kampung Sahara. Seberapa hinanya istri yang masih sah secara agama? Apakah aku harus menghilang dari sini? Pertanyaan yang selalu berlalu-lalang dalam benak. Membuat cucu dari Mbah Aab dilanda kepedihan yang dalam. Tubuhnya tak sebugar dulu. Sering sakit,
Tuan Handanu Nugroho, biasa dipanggil Tuan Danu. Pria beristri tiga dengan kekayaan yang melimpah ruah. Pewaris tahta tunggal dari Nugroho, sang tuan tanah di kampung Sahara. Beliau pemilik sah dari separuh wilayah di kampung yang lumayan besar. Semenjak kepulangannya pada Sang Maha Pemilik Hidup, harta benda dan semua aset berpindah tangan pada putranya. Sangat berbanding jauh dengan sang ayah, Tuan Danu tipe manusia yang keras kepala. Siapa yang tak takut dengan manusia yang satu ini? Dia banyak uang. Bisa melakukan apapun sesuai kemauan hati. Pernah ada yang melawannya karena dinilai tak punya hati nurani. Tak lama setelah itu, orang yang berani melawan Tuan Danu, diusir dari kampung tanpa membawa benda apapun kecuali seperangkat baju lusuh yang dikenakan. Lelaki itu menatap Una sekelebat. Setelah mengusap ujung sembirnya yang merah. Tamparan yang tak tanggung-tanggung. Semua tenaga Una keluarkan, karena merasa dilecehkan. Siapapun dia, jika tak menghargai kehor
Masih berdiri menggenggam benda pipih di tangan kanan. Dahi wanita yang tengah berbadan dua itu mengerut. Kepercayaan yang sudah dibagun kokoh, ternyata masih goyah setelah menerima panggilan dari nomor wanita lain di ponsel suaminya. Gegas Qia menanyakan nama asing yang tak pernah diceritakan padanya selama ini. Menghampiri Fajrul di taman belakang, lelaki itu sibuk menaburkan butiran hitam kecokelatan untuk makanan ikan hias yang dipelihara beberapa minggu terakhir. Langkah Qia tak secepat dulu. Ada calon bayi di rahim yang mengharuskannya bergerak dengan hati-hati. Bukan tanpa sebab, kandungan Qia cukup lemah. Hampir seminggu sekali, ia harus memeriksakan kandungannya pada dokter spesialis ternama. "Mas, tadi ada telepon masuk. Tapi langsung terputus saat Qia menerimanya," tunjuk Qia sembari menyerahkan ponsel pada suaminya. Deg! Netra lelaki itu membulat sempurna. Senyum yang sempat terbesit, kini luntur dalam sekejap. Gegas meraih benda pipih dari tangan dang i