Share

Sahabat Jadi Madu

Bukan perkara mudah menerima kenyataan yang pahit. Namun keputusan tak bisa diralat. Bukan salah orang lain, melainkan murni dari kesalahannya sendiri. Andaikan wanita itu mencari tahu siapa yang akan menjadi madu untuknya, pasti Una akan berpikir dua kali untuk mengizinkan sang suami menikah lagi.

Terlanjur, kayu sudah menjadi abu. Tak bisa dikembalikan agar menjadi kayu yang utuh. Kata terlambat pun belum bisa disebutkan, karena maaih ada waktu untuk merubah takdir yang memang tak diharapkan.

Namun setelah berpikir lebih jernih. Dengan segala pertimbangan dan keteguhan batin, Una akhirnya tetap bersikukuh dengan pilihannya.

"Jika Mas Fajrul tetap ingin membatalkan pernikahan dengan Qia, dengan terang-terangan saya minta berpisah!" sergah Una, cukup menentang mental suaminya.

Protes yang tak kunjung selesai. Fajrul tak tahu harus menyikapi Una dengan cara apa lagi. Kegundahan terus memihak pada lelaki yang akan beristri dua itu. Perceraian bukanlah jalan yang diinginkan, namun menikah lagi juga bukan pilihan yang diharapkan.

"Bagaimana bisa kamu meminta bercerai dariku, Dek? Bukankah Allah akan membenci wanita yang demikian?!" tandasnya, mencoba mengobrak-abrik istrinya yang tetap bersikukuh.

"Jika Mas Fajrul tidak ingin saya menjadi wanita yang dibenci Allah, jangan batalkan pernikahan itu, Mas! Ada nama besar yang harus dijaga. Ada perasaan wanita yang harus dilindungi."

"Dan ada kamu yang berhak mendapatkan kebahagiaan," potong Fajrul di tengah-tengah perkataan Una.

Mulut wanita itu seketika terbungkam. Kedua matanya makin panas. Jika ada satu kata yang keluar dari pita suaranya, tentu ada juga air mata yang ikut keluar.

Kehadiran Mbah Aab di antara mereka, sangat menguntungkan bagi Una. Dengan berbagai alasan, wanita itu bisa meloloskan diri dari hadapan suaminya. Gegas ia pamit, tanpa tujuan yang jelas.

Tanpa sepeda kesayangannya, Una semakin jauh dari rumah. Berjalan kecil dengan alas kaki yang berdebu, menyusuri jalanan sepi siang ini. Terlihat burung-burung berjajar di atas kabel listrik yang saling berhubungan. Gelantungan dengan tiang-tiang penyangga. Menghiasi atas atap rumah warga yang sedang tak ada penghuninya.

Ting!

Benda pipih yang dikantongi dalam saku baju tunik warna abu muda. Terdengar berdering disertai getaran ringan. Gegas sang tuan gawai merogoh sakunya, lalu mengeluarkannya dari dalam sana.

Satu pesan masuk dari aplikasi hijau. Nomor baru tanpa nama, membuat Una penasaran dengan si pengirim.

[Assalamualaikum, Rizqunaku yang lucu. Bagaimana kabarmu di kejauhan sana? Semoga kebaikan selalu menaungimu, aamiin. Emm, paket dariku sudah sampai, kah?]

Pesan yang pernah ditunggu-tunggu oleh Una. Karena, hampir satu tahun terakhir, ia kehilangan semua kontak teman lamanya. Namun mengapa, membaca pesan singkat yang terkesan biasa, begitu menggores batin Una.

Niat hati ingin membalasnya, namun jari-jemarinya masih gemetar hebat. Dadanya semakin sesak. Una memutuskan untuk istirahat sejenak, di bawah pohon jambu di tepi jalan.

Ponselnya kembali berbunyi. Masih dari orang yang sama. Qia mengirim pesan selanjutnya.

[Kalau sudah, tolong luangkan waktumu sehari saja ya, Riz. Aku ingin kamu menjadi bagian di hari bahagiaku. Semoga takdir jodohmu disegerakan juga, he he he.]

Isinya lucu, tapi lebih menyesakkan kalbu wanita yang kini masih mengamati layar ponselnya. Sepenuh hati Una berusaha menerima kenyataan. Tak mau membalas pesan itu agar hatinya sedikit tenang.

Hampir saja ia mematikan benda pipih itu, namun sebuah panggilan dari Qia tak bisa ditolaknya.

"Huh, bismillah aku kuat," gumamnya sebelum menerima panggilan dari sahabat juga calon madu untuknya.

Sebisa mungkin, menahan sesenggukan yang sebenarnya terasa sakit di ulu hati. Jiwa tegarnya memberontak, ia harus bisa melawan kesedihan yang tak semestinya berkelanjutan.

Saling bertukar rindu via suara. Terdengar suara wanita di balik telepon, begitu ceria nan antusias mengabarkan persiapan hari bahagianya. Kali ini, Una banyak diam. Hanya menjadi pendengar setia, demi membuat senang sahabat lamanya.

[Semoga kamu dapat suami yang tak kalah romantisnya dengan Mas Fajrul ya, Riz. Sekali lagi, kamu harus datang di acaraku besok!]

Kata-kata penutup yang tak disemogakan oleh Una. Membuat napas berat, berlagak tak ada apa-apa dengan hati juga fisiknya.

Sempat berpikir, kenapa ia harus pergi dari rumah. Sementara ada suami yang jauh-jauh ingin menemuinya. Una pun segera enyah dari sana. Kembali melewati jalan yang sudah dilewatinya beberapa saat lalu.

Begitu sampai di pelataran rumah, ia melihat pemandangan yang hangat. Dua lelaki yang menjadi tokoh penting dalam kisah hidupnya, tengah bercengkerama di teras. Gelak tawa yang renyah, entah mereka membahas apa.

"Una, kenapa kamu berdiri di situ? Kemarilah! Suamimu ini ternyata jago ngelawak, ha ha ha," tawa sang kakek membuat Una tersenyum lega.

"Wah, sepertinya asyik sekali obrolan hari ini. Silakan dilanjutkan, Una izin ke dapur dulu," pamitnya segera. Ia belum siap menatap Fajrul lebih lama.

Sebelum pulang, Una sempat mampir ke warung kecil yang tak jauh dari rumahnya. Sekadar membeli gula pasir satu kilo. Untuk alasan jika dua lelaki itu mencurigai kepergiannya yang tiba-tiba.

Air belum juga mendidih, Una harus menunggu hingga anomali air berubah menjadi buih yang berkepulan asap. Termenung di atas kursi plastik berhias burung Merak di bagian belakang.

Ceria dari Qia masih terngiang dalam benaknya. Sikap Fajrul yang jauh berbeda dengan sosok suami yang dikenal Una selama ini. Sebatas mengenali bahwa Fajrul adalah sosok pekerja keras. Tak suka pembahasan yang tak ada faedahnya. Lebih menutup diri juga bukan orang yang suka bercanda.

Sedangkan cerita Qia, berhasil menyulut api kecemburuan. Fajrul yang perhatian, selalu membuat Qia terbuai oleh kata-kata indahnya, juga sikapnya yang tak kalah baik dengan keluarga besar Qia.

Entah perasaan apa yang sedang dirasakan Una, yang jelas lebih dari rasa cemburu. Lamunan membawanya hanyut lagi dalam jurang kepedihan. Tak siap menghadapi hari-hari yang akan datang. Tentu akan lebih menyakitkan dari sekarang.

"Dek, pancinya gosong!" sambar Fajrul tanpa permisi.

Kepulan asap yang menghitam, memenuhi dapur di rumah minimalis itu. Sedangkan Una masih dikuasai lamunan semu. Hingga sang suami membawanya keluar ruangan, dada lelaki itu mulai sesak dan kesulitan bernapas.

"Ya Allah, untung nggak kebakaran, Dek," ucapnya terengah.

Wanita itu hanya bisa melihat ke sana ke mari. Bagaimana bisa ia lupa dengan air yang masih di masak di atas kompor. Untung saja, Fajrul datang di saat yang tepat.

"Maafkan aku, Mas," lirihnya sangat menyesal.

Andaikan si jago merah melahap satu-satunya aset yang dimiliki Mbah Aab dan juga Una. Entah bagaimana nasib mereka. Takdir selamat masih memihak pada Una dan sang kakek yang renta.

Fajrul menatap istrinya dengan mata awas. Rasa iba atas kepedihan yang harus diterima sang istri, membuat Fajrul berkecil hati. Bagaimana mungkin, ia akan berbahagia di atas kepedihan Una. Jalan terakhir yang harus ia lewati hanyalah mampu bersikap adil.

"Semoga diberi kelancaran, ya, Mas. Dengan berat hati, Una meminta maaf dari ujung kaki hingga ujung kepala. Karena kemungkinan besar, Una tidak bisa hadir dalam pernikahan Mas Fajrul besok," tuturnya lembut. Tanpa melihat kedua manik mata suaminya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status