Share

Sahabat Jadi Madu

Author: Elmietaka
last update Last Updated: 2024-02-19 16:59:30

Bukan perkara mudah menerima kenyataan yang pahit. Namun keputusan tak bisa diralat. Bukan salah orang lain, melainkan murni dari kesalahannya sendiri. Andaikan wanita itu mencari tahu siapa yang akan menjadi madu untuknya, pasti Una akan berpikir dua kali untuk mengizinkan sang suami menikah lagi.

Terlanjur, kayu sudah menjadi abu. Tak bisa dikembalikan agar menjadi kayu yang utuh. Kata terlambat pun belum bisa disebutkan, karena maaih ada waktu untuk merubah takdir yang memang tak diharapkan.

Namun setelah berpikir lebih jernih. Dengan segala pertimbangan dan keteguhan batin, Una akhirnya tetap bersikukuh dengan pilihannya.

"Jika Mas Fajrul tetap ingin membatalkan pernikahan dengan Qia, dengan terang-terangan saya minta berpisah!" sergah Una, cukup menentang mental suaminya.

Protes yang tak kunjung selesai. Fajrul tak tahu harus menyikapi Una dengan cara apa lagi. Kegundahan terus memihak pada lelaki yang akan beristri dua itu. Perceraian bukanlah jalan yang diinginkan, namun menikah lagi juga bukan pilihan yang diharapkan.

"Bagaimana bisa kamu meminta bercerai dariku, Dek? Bukankah Allah akan membenci wanita yang demikian?!" tandasnya, mencoba mengobrak-abrik istrinya yang tetap bersikukuh.

"Jika Mas Fajrul tidak ingin saya menjadi wanita yang dibenci Allah, jangan batalkan pernikahan itu, Mas! Ada nama besar yang harus dijaga. Ada perasaan wanita yang harus dilindungi."

"Dan ada kamu yang berhak mendapatkan kebahagiaan," potong Fajrul di tengah-tengah perkataan Una.

Mulut wanita itu seketika terbungkam. Kedua matanya makin panas. Jika ada satu kata yang keluar dari pita suaranya, tentu ada juga air mata yang ikut keluar.

Kehadiran Mbah Aab di antara mereka, sangat menguntungkan bagi Una. Dengan berbagai alasan, wanita itu bisa meloloskan diri dari hadapan suaminya. Gegas ia pamit, tanpa tujuan yang jelas.

Tanpa sepeda kesayangannya, Una semakin jauh dari rumah. Berjalan kecil dengan alas kaki yang berdebu, menyusuri jalanan sepi siang ini. Terlihat burung-burung berjajar di atas kabel listrik yang saling berhubungan. Gelantungan dengan tiang-tiang penyangga. Menghiasi atas atap rumah warga yang sedang tak ada penghuninya.

Ting!

Benda pipih yang dikantongi dalam saku baju tunik warna abu muda. Terdengar berdering disertai getaran ringan. Gegas sang tuan gawai merogoh sakunya, lalu mengeluarkannya dari dalam sana.

Satu pesan masuk dari aplikasi hijau. Nomor baru tanpa nama, membuat Una penasaran dengan si pengirim.

[Assalamualaikum, Rizqunaku yang lucu. Bagaimana kabarmu di kejauhan sana? Semoga kebaikan selalu menaungimu, aamiin. Emm, paket dariku sudah sampai, kah?]

Pesan yang pernah ditunggu-tunggu oleh Una. Karena, hampir satu tahun terakhir, ia kehilangan semua kontak teman lamanya. Namun mengapa, membaca pesan singkat yang terkesan biasa, begitu menggores batin Una.

Niat hati ingin membalasnya, namun jari-jemarinya masih gemetar hebat. Dadanya semakin sesak. Una memutuskan untuk istirahat sejenak, di bawah pohon jambu di tepi jalan.

Ponselnya kembali berbunyi. Masih dari orang yang sama. Qia mengirim pesan selanjutnya.

[Kalau sudah, tolong luangkan waktumu sehari saja ya, Riz. Aku ingin kamu menjadi bagian di hari bahagiaku. Semoga takdir jodohmu disegerakan juga, he he he.]

Isinya lucu, tapi lebih menyesakkan kalbu wanita yang kini masih mengamati layar ponselnya. Sepenuh hati Una berusaha menerima kenyataan. Tak mau membalas pesan itu agar hatinya sedikit tenang.

Hampir saja ia mematikan benda pipih itu, namun sebuah panggilan dari Qia tak bisa ditolaknya.

"Huh, bismillah aku kuat," gumamnya sebelum menerima panggilan dari sahabat juga calon madu untuknya.

Sebisa mungkin, menahan sesenggukan yang sebenarnya terasa sakit di ulu hati. Jiwa tegarnya memberontak, ia harus bisa melawan kesedihan yang tak semestinya berkelanjutan.

Saling bertukar rindu via suara. Terdengar suara wanita di balik telepon, begitu ceria nan antusias mengabarkan persiapan hari bahagianya. Kali ini, Una banyak diam. Hanya menjadi pendengar setia, demi membuat senang sahabat lamanya.

[Semoga kamu dapat suami yang tak kalah romantisnya dengan Mas Fajrul ya, Riz. Sekali lagi, kamu harus datang di acaraku besok!]

Kata-kata penutup yang tak disemogakan oleh Una. Membuat napas berat, berlagak tak ada apa-apa dengan hati juga fisiknya.

Sempat berpikir, kenapa ia harus pergi dari rumah. Sementara ada suami yang jauh-jauh ingin menemuinya. Una pun segera enyah dari sana. Kembali melewati jalan yang sudah dilewatinya beberapa saat lalu.

Begitu sampai di pelataran rumah, ia melihat pemandangan yang hangat. Dua lelaki yang menjadi tokoh penting dalam kisah hidupnya, tengah bercengkerama di teras. Gelak tawa yang renyah, entah mereka membahas apa.

"Una, kenapa kamu berdiri di situ? Kemarilah! Suamimu ini ternyata jago ngelawak, ha ha ha," tawa sang kakek membuat Una tersenyum lega.

"Wah, sepertinya asyik sekali obrolan hari ini. Silakan dilanjutkan, Una izin ke dapur dulu," pamitnya segera. Ia belum siap menatap Fajrul lebih lama.

Sebelum pulang, Una sempat mampir ke warung kecil yang tak jauh dari rumahnya. Sekadar membeli gula pasir satu kilo. Untuk alasan jika dua lelaki itu mencurigai kepergiannya yang tiba-tiba.

Air belum juga mendidih, Una harus menunggu hingga anomali air berubah menjadi buih yang berkepulan asap. Termenung di atas kursi plastik berhias burung Merak di bagian belakang.

Ceria dari Qia masih terngiang dalam benaknya. Sikap Fajrul yang jauh berbeda dengan sosok suami yang dikenal Una selama ini. Sebatas mengenali bahwa Fajrul adalah sosok pekerja keras. Tak suka pembahasan yang tak ada faedahnya. Lebih menutup diri juga bukan orang yang suka bercanda.

Sedangkan cerita Qia, berhasil menyulut api kecemburuan. Fajrul yang perhatian, selalu membuat Qia terbuai oleh kata-kata indahnya, juga sikapnya yang tak kalah baik dengan keluarga besar Qia.

Entah perasaan apa yang sedang dirasakan Una, yang jelas lebih dari rasa cemburu. Lamunan membawanya hanyut lagi dalam jurang kepedihan. Tak siap menghadapi hari-hari yang akan datang. Tentu akan lebih menyakitkan dari sekarang.

"Dek, pancinya gosong!" sambar Fajrul tanpa permisi.

Kepulan asap yang menghitam, memenuhi dapur di rumah minimalis itu. Sedangkan Una masih dikuasai lamunan semu. Hingga sang suami membawanya keluar ruangan, dada lelaki itu mulai sesak dan kesulitan bernapas.

"Ya Allah, untung nggak kebakaran, Dek," ucapnya terengah.

Wanita itu hanya bisa melihat ke sana ke mari. Bagaimana bisa ia lupa dengan air yang masih di masak di atas kompor. Untung saja, Fajrul datang di saat yang tepat.

"Maafkan aku, Mas," lirihnya sangat menyesal.

Andaikan si jago merah melahap satu-satunya aset yang dimiliki Mbah Aab dan juga Una. Entah bagaimana nasib mereka. Takdir selamat masih memihak pada Una dan sang kakek yang renta.

Fajrul menatap istrinya dengan mata awas. Rasa iba atas kepedihan yang harus diterima sang istri, membuat Fajrul berkecil hati. Bagaimana mungkin, ia akan berbahagia di atas kepedihan Una. Jalan terakhir yang harus ia lewati hanyalah mampu bersikap adil.

"Semoga diberi kelancaran, ya, Mas. Dengan berat hati, Una meminta maaf dari ujung kaki hingga ujung kepala. Karena kemungkinan besar, Una tidak bisa hadir dalam pernikahan Mas Fajrul besok," tuturnya lembut. Tanpa melihat kedua manik mata suaminya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Buah Hati Cahaya Mata

    *Beberapa bulan kemudian* Perut Una kian membesar. Wanita itu jauh lebih sehat dari sebelumnya. Semua keluarga besar Una dan Fajrul tak sabar menantikan kehadiran malaikat kecil di tengah keluarga mereka. Pipinya yang sempat tirus, kini makin berisi nan menggemaskan. Aura kecantikan terpancar dari wajah Una yang berseri. Hari-hari dihabiskan bersama sang suami juga Sulaiman yang mulai mengerti bahwa ia akan dikaruniai adik dari rahim bundanya. Malam semakin sunyi, sepasang suami istri masih bercengkerama di dalam kamar dengan pencahayaan remang. Duduk berdua sembari bersenandung kecil melantunkan salawat. Fajrul tergugah dari duduk bersandarnya. Rona kebahagiaan muncul saat tangannya merasakan gerakan kecil dari perut Una. "Nendang-nendang, Dek," girang Fajrul sambil meraba perut istrinya. Una tersenyum tipis, lalu memainkan anak rambut sang suami dengan lembut. Tatapan Una begitu dalam, dengan perasaan campur aduk dalam dada. Haru, bahagia, takut, khawatir, cemas dan l

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Bahagia Selepas Lara

    "Loh, Mbak Laila!" panggil Una dengan raut tak menduga. Wanita yang berdiri di samping lelaki paruh baya itu gegas menoleh ke arah Una. Ia juga terkejut bisa bertemu Una secara tak sengaja. "Ya Allah, Rizquna. Akhirnya kita bertemu di sini," girang wanita itu sembari merentangkan dua tangan ingin melepas kerinduan dengan berpelukan. Tubuh keduanya langsung menyatu di atas halaman berkabin. Pelukan mereka begitu erat, membuat Fajrul langsung turun dari mobilnya. Gegas berlari menghampiri Una dan Laila. Lalu memberi peringatan untuk mereka, agar tak kegirangan berlebihan. "Jangan lupa, Dek. Kamu sedang hamil, dijaga perutnya!" seru Fajrul sebelum berhenti di dekat mereka. Laila pun langsung melepaskan pelukannya. Ia tak berhenti meminta maaf atas kelalaian yang ia lakukan. Una pun menganggapnya bukan masalah serius, tak perlu khawatir berlebih dengan kondisi perut yang memang sedikit terhimpit. Ada satu hal yang membuat Una merasa kecewa. Saat mendapati Laila s

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Ar-Rahmah

    Tiga purnama berlalu penuh haru biru. Wanita yang tengah berbadan dua itu merasakan kenikmatan yang tiada tara. Tiap pagi disambut rasa mual yang berkepanjangan. Tiap satu suap makanan yang masuk lewat mulutnya, hanya berhenti di kerongkongan kemudian muntah dengan sendirinya. Beberapa kali Una harus jatuh pingsang karena metabolisme menurun secara tiba-tiba. Belum lagi kandungan yang ada dalam rahim, mengalami perkembangan yang lemah. Tak jarang istri dari Fajrul itu harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi yang mengkhawatirkan. Semua dilewati Una dengan sabar. Tak pernah sekalipun ia mengeluh atas kondisinya yang tengah hamil muda. Syukurlah, dalam dua minggu terakhir ini, kondisi Una makin membaik. Wanita itu tak harus lagi memaksa diri untuk makan. Tubuhnya yang kurus perlahan menggembul. Pipi Una yang tembam membuatnya semakin menggemaskan. "Mas … bagaimana perkembangan pembangunan madrasah di kampung Sahara?" tanya Una saat keduanya tengah bersantai ria d

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Positif

    Masih berdiri dengan benda pipih di tangan. Tiba-tiba kepala pening, mata kunang-kunang. Gegas meraba tembok dan bersandar di sana. Ringis kesakitan karena tak biasanya ia seperti itu. Sejenak menenangkan diri, Una merasa pening di kepala sudah berkurang. Beranjak menemui Rani yang sudah menunggunya di luar. Tak enak hati belama-lama meninggalkan tamunya, dengan langkah tertatih Una menuju taman. Wajah cantik tak lagi memancarkan rona kebugaran, Una tampak pucat pasi. Perubahan jelas dapat dilihat Rani. Gegas wanita berbadan dua itu memapah Una dengan cekatan. "Ada apa, Mbak?" tanya Rani, khawatir. Una menggeleng, berlagak dirinya baik-baik saja padahal kepalanya kembali pusing. Rani berinisiatif meminta bantuan pada Bu Fatimah. Tanpa permisi, wanita bercadar itu mencarinya sambil berteriak memanggil. Terlihat Pak Luqman dan istrinya panik, menenuhi panggilan Rani. Langsung membawa anak menantunya ke rumah sakit karena takut terjadi apa-apa. Pak Luqman menge

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Pasal Cemburu

    Langkah wanita itu semakin lamban. Masih dengan tatapan kosong ke depan. Sulaiman terduduk di atas ubin yang disusun rapi menutupi tanah di pelataran. Tangisnya sudah reda, namun ia masih mengamati pintu gerbang yang terbuka. Berharap sosok ayahnya segera kembali dalam dekapannya. Rani, berjalan menghampiri Una yang tampak terperangah. Tetap dengan jubah besar warna hitam dilengkapi nikab yang menutupi parasnya nan ayu. "Assalamualaikum, Mbak," salamnya dengan uluran kedua tangan untuk bersalaman. Una gegas menyalaminya. Namun senyum belum muncul dari sudut bibirnya yang bungkam. Rani merasa tak enak hati, karena dirasa ia datang disaat yang tidak tepat. Ia bisa menafsirkan keadaan, jika di dalam rumah itu baru saja terjadi pertikaian. "Waalaikumsalam," jawab Una, singkat. Tak ada imbuhan kata lain untuk sekadar menanyakan kabar. Detik terus berlalu, Una masih dengan keadaan yang sama. Membuat Rani makin serba salah. Ia pun beranjak pamit. Karena Una tak menyamb

  • Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri   Murka Sang Suami

    Tit … tit! Takdir tak sesuai harap. Bayangan hangat dari bibir lembut Handanu kini lenyap. Belum sampai sang buah hati terlahir ke dunia, sang ayah lebih dulu berpulang tanpa berpamitan. Sesak, dada Rani semakin kesulitan mengatur napasnya. Tubuh tak bernyawa belum sempat ditangani. Namun kematian menghampiri tepat di gerbang rumah sakit yang ramai. Tangan Fajrul gemetar setelah mematikan mesin mobilnya. Menoleh ke bangku belakang. Jasad dalam pangkuan wanita bercadar terlihat melotot sempurna. Sedetik kemudian, Rani mengusap wajah Handanu untuk terakhir kalinya. Dua netra tertutup bersamaan. "Innalillahi wainnailaihi rajiun." Sepenggal kalimah Tarji terdengar lirih dari mulut Una yang hanya berkecamuk. Untuk kali pertama, ia menjadi saksi nyata manusia mengembuskan napas untuk terakhir kalinya. Sementara Rani masih memeluk jasad lelaki yang semakin lemas. Perut besarnya terhimpit namun tak dihiraukan. Gegas Fajrul turun dari mobilnya. Memanggil petugas untuk memban

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status