Tangan kanan dengan permukaan kulit sedikit kasar, baru saja mendarat di pipi kiri Fajrul. Tak bisa mengendalikan kegusarannya, Luqman memberikan sebuah tamparan pada putra semata wayangnya.
Tak ada balas dendam. Hanya meninggalkan sebuah senyum manis juga ucapan terima kasih pada sang ayah. Begitulah kelembutan hati Fajrul, yang tak mau memperkeruh masalah dengan mengalah.
Masih bertolak pinggang dengan darah yang mendidih. Kepulan asap amarah masih bergerombol di kepala Luqman. Lelaki itu bahkan menepis tangan putranya yang hanya ingin bersalaman.
"Fajrul berangkat dulu, Bunda," pamitnya, lembut. Disertai tarikan sembir yang sebenarnya masih sakit akibat tamparan keras dari ayahnya.
"Hati-hati di jalan, Nak. Semoga Allah memberkahi perjalananmu," bisik Bu Fatimah dengan kedua netra yang berkaca. Tak lupa memeluk putranya walau hanya beberapa detik saja.
Dengan segala kesabaran yang tak terbatas, Fajrul melangkahkan kaki untuk kembali. Bukan karena tindak durhaka karena tak patuh dengan keputusan ayahnya. Ia hanya ingin menuntaskan apa yang masih menjadi tanggung jawabnya.
***
Kampung Sahara
Malam berlalu dengan tergesa. Sahutan ayam berkokok berhasil menggugah Fajrul yang tertidur pulas di atas tikar, tanpa kasur. Bangunan sempit yang dimanfaatkan sebagai rumah, kadangkala kamar tidur merangkap tempat sembahyang. Dapur disulap menjadi ruang belajar yang nyaman. Bagaimanapun caranya, pria berumur dua puluh tahun lebih satu windu itu mencoba bertahan hidup dengan kesederhanaan.
Rela meninggalkan rumah mewah yang hanya dihuni oleh kedua orang tuanya. Bersikeras untuk tidak menggantungkan hidup pada mereka.
Pagi cerah yang biasanya diisi dengan olahraga berlari kecil mengelilingi kampung. Kali ini, ia akan memulai pagi dengan cara yang berbeda. Ada istri yang harus dijumpainya di sana.
Walaupun sudah tiga tahun berjuang bersama. Hubungan suami istri mengubah segalanya. Degup jantung terus berlaju tak terkendali. Saat matanya berhasil memandang wanita cantik yang masih sibuk menjemur pakaian di samping rumah.
"Assalamualaikum."
Gegas Una menoleh ke arah sumber suara. Betapa ia terkejut melihat sosok suaminya kini berdiri tepat di belakangnya.
"Waalaikumsalam, loh, kok sudah pulang, Mas?" tanyanya, gelagapan.
Dua alis Fajrul terangkat cepat. Senyum tipis disertai rasa malu yang disembunyikan. Uluran tangan kanannya, dengan gemetar yang tak bisa ditahan.
Masih canggung, Una ragu untuk membalas uluran tangan suaminya. Dengan mata terpejam, wanita itu segera meraih tangan sang suami kemudian melekatkan hidungnya tepat di punggung tangan kanan Fajrul.
Tak mau menyembunyikan masalahnya, pria itu dengan tenang menjabarkan semuanya. Di atas bangku panjang, tepat di bawah pohon mangga yang rindang. Disertai sayup angin pagi yang sedikit dingin. Sepasang pengantin baru, duduk berdua di sana.
"Alhamdulillah, keadaan Ayah sangat sehat. Setidaknya, saya sudah memenuhi permintaan beliau untuk pulang walau sebentar," ujar Fajrul, masih tenang.
Una pun mendengarkan dengan semringah. Mencuri-curi pandang saat Fajrul tak menatap ke arahnya. Namun, senyum indah tak bertahan lama. Setelah sang suami mengutarakan sebuah berita yang tak diharapkan sebelumnya.
"Ayah menjodohkanku dengan wanita yang tak kukenal sama sekali. Kemarin, mereka datang tanpa sepengetahuanku. Bahkan, mereka rela berbohong agar saya mau pulang."
DUARRRR!
Hatinya tak baik-baik saja. Ibarat sebuah kaca baru saja dilempar batu besar. Membuat kaca hancur dan tak tahu bagaimana harus menyatukan kembali. Kalaupun bisa, tak akan semulus seperti sedia kala. Tetap retak, untuk mengaca pun tak bisa.
Masih berusaha tenang. Karena Una yakin, Fajrul bisa mengambil keputusan yang terbaik. Badannya sedikit bergeser, dua insan kini duduk berdekatan. Kepalanya mulai mendongak. Hingga terjadi adu pandang di antara mereka.
Diam, kurang lebih lima menit. Mereka saling tatap tanpa mengeluarkan suara apapun. Kecuali suara tertegun karena saliva memenuhi mulut mereka.
Tiba-tiba Fajrul menggeleng dengan tempo lamban. Gerakan tubuh yang sulit ditafsirkan oleh seorang Rizquna.
"Sungguh, saya tidak berniat menyakiti hatimu, Dek. Mas hanya ingin kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mas akan menolak perjodohan itu, saat kamu sudah siap bertemu dengan Bunda dan Ayah di kota," tutur Fajrul, membuyarkan pandangan istrinya.
Kini tertunduk, makin dalam. Rasanya, cairan di kedua netranya memberontak ingin keluar. Tapi Una tak mau menangis di hadapan suaminya.
Mengambil napas dari hidung, lebih dalam. Lanjut mengeluarkannya lewat mulut hingga merasa lega. Saatnya Una beraksi. Melontarkan usulan di luar dugaan.
"Saya rasa, tak baik menentang sesuatu yang datangnya dari orang tua. Apalagi, Mas seorang lelaki yang sampai kapanpun harus tunduk dan patuh pada kedua orang tua, khususnya Bunda. Una tidak mau, menjadi penghalang hingga Mas Fajrul menolak perjodohan itu. Sementara ada wanita yang menunggu keputusan dari Mas Fajrul."
Entah apa yang ada di pikiran Una saat ini. Seolah-olah tanggapan darinya tak sejalan dengan pemikiran sang suami.
Perhelatan batin dimulai. Keduanya adu pendapat demi mendapat sebuah keputusan yang tak berat sebelah.
"Baiklah, jika Mas tetap ingin menolak perjodohan itu, silakan! Tapi, saya tidak mau jika suatu saat nanti kedua orang tua Mas Fajrul tahu tentang hubungan kita. Tentu mereka akan sangat membenci saya, terlebih Ayah. Mas harus mempertimbangkan kembali," tandas Una dengan berani.
"Sebentar … jadi maksudmu, saya harus bagaimana, Dek?" Kebingungan Fajrul bisa terbaca dari raut wajah yang muram.
"Menikahlah, Mas! Saya bersedia untuk dimadu. Tapi dengan satu syarat, hubungan ini harus dirahasiakan."
"Bagaimana kamu bisa berpikir sejauh itu, Dek? Kita baru menikah dua hari, dan kamu sudah menyuruhku menikah lagi. Atau jangan-jangan …."
Jawaban yang sukar diterima oleh Fajrul. Mana mungkin ada wanita yang rela melihat suaminya menikah dengan wanita lain. Kalaupun ada, hanya satu banding satu juta wanita di dunia ini.
Dengan kondisi santai, penuh ketenangan. Wanita itu mengulangi kata-katanya yang belum dipercaya oleh suaminya. Dengan tulus, wanita itu tak keberatan jika suaminya menikah dengan wanita lain.
Fajrul yang selama ini tak pernah menuruti amarahnya, kini harus diuji dengan sikap istrinya yang cenderung membebaskannya. Ia merasa bahwa wanita itu tak menganggap rumah tangga mereka suatu hal yang berharga. Hingga dengan mudahnya, Una menerima hati lain untuk masuk dalam keluarga yang baru akan dibinanya.
"Aneh, kamu benar-benar aneh, Dek!" celetuk Fajrul, merasa jengkel.
Wanita itu terlihat cengengesan tanpa beban. Membuat Fajrul semakin gemas dan ingin mencubitnya. Tapi, kedua manik mata Una tak bisa berbohong. Ada rasa sakit yang ditahan.
"Mas, coba lihat saya baik-baik. Apakah saya terlihat sedang bercanda? Tidak, 'kan?! Tak ada salahnya jika seorang lelaki menikahi lebih dari satu wanita. Asalkan Mas bisa berlaku adil. Saya akan melanjutkan perjuangan mengabdi di sini. Jika Mas berkenan, Mas Fajrul bisa membuka usaha di kota bersama maduku nanti. Bagaimana? Ide bagus, 'kan?"
Penyampaiannya sungguh menggelitik jantung Fajrul. Wajah sang istri yang tetap ceria saat mereka membahas hal yang tentu melukai batinnya, membuat Fajrul semakin berbunga.
'Ya Allah, ternyata masih ada wanita sebaik ini,' gumamnya dalam hati. Tatapan penuh arti Fajrul berikan. Kagum dengan wanita yang masih meringis di hadapannya.
Dua purnama berlalu diiringi awan kelabu. Hari-hari Una terasa biasa saja, tak ada yang istimewa. Sejak sang suami menuruti permintaannya untuk menikah dengan wanita yang dijodohkan dengannya. Hanya lewat panggilan telepon juga pesan singkat, sekadar menanyakan kabar kesehatan. Sedikit mengobati rindu yang tak berani diungkap. Untung saja, tawa anak-anak kampung yang selalu bersemangat untuk mengaji. Menjadi obat bagi Una yang tengah diuji kekuatan cintanya. Hanya kesetian juga rasa saling percaya, yang bisa melanggengkan hubungan jarak jauh yang sedang dijalaninya. Sementara hari-hari Fajrul disibukkan dengan berbagai persiapan. Pesta megah seorang putra jutawan itu, pasti membutuhkan persiapan yang matang. "Bu, Pak Fajrul lama sekali perginya. Apa beliau lupa sama kita?" Pertanyaan yang selalu menghampiri telinga Una. Tiap sore ia harus menjawab desakan anak-anak yang memang merindukan sosok guru sebaik Fajrul. Tak jarang mereka menangis, merengek di hadapan U
Bukan perkara mudah menerima kenyataan yang pahit. Namun keputusan tak bisa diralat. Bukan salah orang lain, melainkan murni dari kesalahannya sendiri. Andaikan wanita itu mencari tahu siapa yang akan menjadi madu untuknya, pasti Una akan berpikir dua kali untuk mengizinkan sang suami menikah lagi. Terlanjur, kayu sudah menjadi abu. Tak bisa dikembalikan agar menjadi kayu yang utuh. Kata terlambat pun belum bisa disebutkan, karena maaih ada waktu untuk merubah takdir yang memang tak diharapkan. Namun setelah berpikir lebih jernih. Dengan segala pertimbangan dan keteguhan batin, Una akhirnya tetap bersikukuh dengan pilihannya. "Jika Mas Fajrul tetap ingin membatalkan pernikahan dengan Qia, dengan terang-terangan saya minta berpisah!" sergah Una, cukup menentang mental suaminya. Protes yang tak kunjung selesai. Fajrul tak tahu harus menyikapi Una dengan cara apa lagi. Kegundahan terus memihak pada lelaki yang akan beristri dua itu. Perceraian bukanlah jalan yang diing
Ratusan tamu undangan memenuhi rumah yang disulap menjadi istana pernikahan. Hiasan bunga putih dan merah yang dirangkai menjadi senada. Alunan piano menggema di tiap sudut ruang tertutup. Tak sembarang orang bisa masuk ke sana. Bapak-bapak dengan jasnya yang klimis. Ibu-ibu sosialita yang tak kalah mewahnya. Duduk tenang di kursi mewah dengan meja bundar yang dipenuhi aneka hidangan lezat. Sungguh, Fajrul tak menyukainya sama sekali. Kemewahan dunia yang membuatnya semakin enggan pulang ke rumah. Juga kehidupan keluarga besar yang mengedepankan kekayaan harta juga penampilan. Lelaki itu tertunduk di depan penghulu. Netranya mengembun tatkala teringat wajah Una yang terus menghantui pikirannya. Pikir mereka, wajah mempelai pria yang tampak menangis tangis haru. Terbuai akan hari bahagia yang diimpikan banyak manusia. Pesta mewah, juga semua yang serba ada. Siapa yang tak menginginkan resepsi dengan budget ratusan hingga milyaran juta? Dua hari sebelum hari ini, Fajr
Dua pasang mata terperanjat tak percaya. Mendengar pengakuan dari sepasang calon pengantin yang akan melangsungkan akad untuk mengikat hubungan keduanya. Murka, Mbah Aab belum bisa menerima sikap pasangan yang baru saja tiba. Terlalu berlebihan dan melampaui batas. Mereka belum halal, namun dengan santai dan tanpa merasa bersalah, bergandengan mesra di tempat umum. Wanita yang empat tahun lebih tua dari Una. Sudah lama ia tak kembali ke kampung Sahara yang asri. Kedatangannya membuat Una cemas. Khawatir jika tiba-tiba Fajrul datang saat kakak perempuannya berada di rumah. Sementara mereka memiliki kesepakatan, bahwa Una tak akan menikah sebelum kakaknya pensiun dari status lajangnya. Niswa, begitulah orang-orang memanggilnya. Anak pertama dari sepasang suami istri yang kini hanya meninggalkan nama. Mengembara ke tanah seberang, untuk mengabdikan diri demi agama. Kepulangannya dengan menggandeng pria yang dikenalkan sebagai calon suami, membuat Mbah Aab jengkel. Sela
Enggan melanjutkan kalimatnya. Sekali lagi, wanita itu mengamati bibir merah milik suaminya. Bayangan melayang-layang ke arah sana. Kembali merasakan tekanan batin yang tak bisa disembunyikannya. Kepala Una merunduk, pilu. Entah karena apa, wajah sahabat lamanya terus memenuhi kelopak matanya. Ia tak bisa menatap sang suami dengan ketulusan hati. Ternyata, seperti ini rasanya dimadu. Pantas saja, Allah telah menyiapkan ganjaran istimewa bagi para wanita yang ikhlas jika suami menikah kembali. Nyatanya, Una belum setulus itu. Masih saja terpukul dengan kenyataan yang terasa pahit. Ikhlas, mudah dikata namun sangat sulit dijalankan. 'Mereka sudah menikah cukup lama. Pasti tiap malam mereka sedekat ini. Dan bibir itu ….' gumam Una dengan segala prasangka yang menyayat hatinya. Cemburu itu nyata, walau tanpa melihat dengan kedua mata. Membayangkan hari-hari sang suami bersama wanita lain, adalah hal paling menyesakkan. "Dek, bukankah tadi kita salat berjamaah? Itu a
Keluarga kecil tak sehangat beberapa hari lalu. Tawa bahagia yang selalu menaungi rumah tangga Fajrul dan Qia, seketika lenyap entah ke mana. Dengan balutan piyama bermotif bunga mawar merah yang menggoda, wanita itu tetap bermanja tanpa sadar jika dirinya telah melakukan sebuah kesalahan. Alih-alih cemas akan sikap suaminya yang tiba-tiba berubah, Qia malah tersenyum genit pada lelaki yang sedari tadi bertolak pinggang. Rautnya yang memerah, belum menyadarkan sang istri bahwa Fajrul marah padanya. Tangan kekar yang biasa membelai lembut oipi istrinya, terus mengepal hingga otot-otot terlihat dari sisi luar. Sekejap, Fajrul mengelus dada bidangnya. Melambungkan istighfar untuk meredam emosi yang sempat menganak. Kepalanya dibenamkan di samping ranjang tidur Qia. Gegas wanita itu mendekati Fajrul seusai merapikan rambut yang terurai berantakan. Memainkan ujung kepala Fajrul, dengan belaian lembut. Sebelum akhirnya ia menanyakan sesuatu yang membuat sang suami mati ga
Sejak kejadian malam itu, Qia terus menguatkan rasa kepercayaan pada Fajrul. Fokus pada dirinya juga calon bayi yang masih dalam kandungan. Walau wajah Fajrul yang tak bisa berbohong atas keresahannya. Namun, sang istri tak berani membahas hal tersebut. Tak kalah panasnya, kehidupan Una harus dilalui di atas jalanan yang terjal. Fajrul yang tak kunjung datang, sementara kabar pernikahan siri telah menyebar. Mendatangkan segala macam fitnah dan tudingan tanpa pembuktian. Janda, istri tanpa bukti tertulis, wanita penggoda dan masih banyak panggilan baru untuk Una. Tak jarang, bebatuan kecil menyambar tubuhnya tatkala ia berangkat mengajar. Lebih parahnya, ada juga manusia yang bersikeras agar Una segera angkat kaki dari kampung Sahara. Seberapa hinanya istri yang masih sah secara agama? Apakah aku harus menghilang dari sini? Pertanyaan yang selalu berlalu-lalang dalam benak. Membuat cucu dari Mbah Aab dilanda kepedihan yang dalam. Tubuhnya tak sebugar dulu. Sering sakit,
Tuan Handanu Nugroho, biasa dipanggil Tuan Danu. Pria beristri tiga dengan kekayaan yang melimpah ruah. Pewaris tahta tunggal dari Nugroho, sang tuan tanah di kampung Sahara. Beliau pemilik sah dari separuh wilayah di kampung yang lumayan besar. Semenjak kepulangannya pada Sang Maha Pemilik Hidup, harta benda dan semua aset berpindah tangan pada putranya. Sangat berbanding jauh dengan sang ayah, Tuan Danu tipe manusia yang keras kepala. Siapa yang tak takut dengan manusia yang satu ini? Dia banyak uang. Bisa melakukan apapun sesuai kemauan hati. Pernah ada yang melawannya karena dinilai tak punya hati nurani. Tak lama setelah itu, orang yang berani melawan Tuan Danu, diusir dari kampung tanpa membawa benda apapun kecuali seperangkat baju lusuh yang dikenakan. Lelaki itu menatap Una sekelebat. Setelah mengusap ujung sembirnya yang merah. Tamparan yang tak tanggung-tanggung. Semua tenaga Una keluarkan, karena merasa dilecehkan. Siapapun dia, jika tak menghargai kehor