"Vin," lirih Shesa dengan tatapan mata yang sayu.
Mereka saling bertatapan, Alvin masih berada di atas tubuh wanita itu. Alvin meraih tengkuk leher Shesa memulai pagutannya kembali kali ini mereka saling membalas, tanpa sadar Shesa melingkarkan tangannya pada leher Alvin. Alvin mulai menyusuri leher wanita itu perlahan tangannya membawa turun tali tank top yang dikenakan Shesa.
"Apa? Kamu mulai suka aku kan?" tanya Alvin menciumi dada Shesa yang sedikit demi sedikit terbuka.
"Vin,, aku gak bisa—"
Alvin masih tak memperdulikan ucapan Shesa, tubuhnya terus menuju perut Shesa yang terbuka. Kulit wanita itu begitu bening, Alvin menyentuhnya hingga masuk ke dalam celah-celah pakaian Shesa. Shesa bergerak tak beraturan, dadanya membusung ketika tangan Alvin masuk dan meremasnya. Alvin suka hal itu, payudara berukuran pas pada cengkraman tangannya itu, Alvin tersenyum.
"Aku suka ini, Sha ... Please jadi milik aku," bisiknya pada telinga Shesa.
<"Vin." "Iya," jawab Alvin yang masih menikmati permainan lidahnya pada dada Shesa. Shesa menjauhkan tubuh avin yang berada di atasnya perlahan. "Susu coklat kita keburu dingin." Shesa memunguti tank topnya yang berada di lantai lalu memakainya kembali. "Setelah sarapan ya?" "Apa?" "Kita lanjut lagi." Alvin tersenyum nakal. "Kamu itu." Shesa meninggalkan Alvin menuju meja bar yang sudah siap dengan sarapan yang dia buat tadi. "Alvin." Shesa terkejut ketika Alvin meletakkan bra miliknya di atas meja. "Kamu gak pake, jadi aku taruh di sini." "Ya gak di sini juga kali," ujar Shesa meraih pembungkus dadanya itu. "Kamu emang menggoda aku ya." "Apa?" "Kenapa gak pake?" "Astaga dibahas ... makan." Shesa menyuapkan potongan omelette ke mulut Alvin dengan tangannya. "Enak." Alvin menahan tangan Shesa, menyesapnya hingga membuat sensasi menggelitik di sekujur tubuh Shesa.
Ini adalah hari pertama Shesa berada di sebuah ruangan menduduki posisi sekretaris wakil direktur. Setelah berpamitan pada tim Humas yang selama ini banyak membantunya dalam mengerjakan pekerjaannya, Shesa sibuk mempelajari beberapa file yang harus dia berikan pada Alvin nanti. Pagi itu masih pukul setengah sembilan, Alvin belum juga datang. Sementara, Ibu Sinta sudah bolak-balik ke ruangan Shesa untuk memberitahukan urutan pekerjaan yang akan dia lakukan jika Alvin datang nanti. "Laporan tadi sudah di siapkan?" tanya Bu Sinta. "Kalau sudah, taruh di atas meja Pak Alvin, lalu nanti Pak Alvin datang, sebutkan jadwal dia hari ini. Sudah ada semua di tablet, kamu cukup pelajari saja susunannya, nanti terbiasa kok." Shesa mengangguk, "lalu, kalau nanti dibutuhkan kamu harus siap menemani kemana Pak Alvin pergi, ke proyek sekalipun." "Proyek?" "Iya, sudah dengarkan perusahaan kita membangun satu pabrik lagi di daerah Tasikmalaya?"
Shesa baru saja menyelesaikan masakannya, lasagna yang berisi daging, sayur-sayuran, serta olesan saos putih dan lelehan keju mozzarella begitu nikmat walau hanya di pandang mata. Bel pintu apartemen itu pun berbunyi, Shesa menanggalkan appron yang dia kenakan, dan melangkah menuju pintu, Alvin datang lebih awal dari yang dia kira, begitulah pikir Shesa. "Hai, Sha." "Catur?" Shesa terkejut begitu dia membuka pintu dan melihat Catur sudah berdiri di sana. "Ngapain kesini?" Shesa mengerutkan alisnya. "Kangen kamu." "Ngaco kamu ... lebih baik kamu pergi, sebelum aku panggil security." "Aku gak ngapa-ngapain kamu, cuma mau berkunjung aja, Sha." "Tapi aku gak mau terima kamu, aku gak mau ini terlihat dan jadi berita." "Makanya suruh aku masuk dong." Catur membuka pintu itu lebar dan melangkah masuk. "Gila! Pergi gak ... aku gak mau kamu ada di apartemen aku. Jadi, tolong pergi dari sini!" Shesa menarik tangan Catur aga
Lumatan ciuman yang memabukkan itu membuat tubuh Shesa menegang. Tangan Alvin tak berhenti hanya dengan menjamah dada kekasihnya saja, perlahan kancing-kancing kemeja itu terlepas, memperlihatkan tempat favorit Alvin untuk bermain lama di sana. Lenguhan Shesa semakin samar terdengar kala tangan Alvin mengarah ke pusat di bawah perutnya. "Mau gak?" tanya Alvin. "Kalo aku bilang gak, kamu mau berhenti?" Shesa tersenyum nakal. "Aku mau hapus semua bekas yang pernah orang lain jamah di tubuh kamu, Sha. Kita mulai lagi dari awal, ya." Mata Alvin begitu sendu, Alvin membenamkan kembali wajahnya ke dada sintal milik Shesa. Lidahnya bermain-main di sana, Shesa semakin membusungkan dadanya, mengacak-acak rambut lelaki itu. "Vin," lirih Shesa. "Apa, Sayang?" "Aku gak punya pengaman," ucap Shesa terbata pada saat jari jemari Alvin bermain di bagian inti tubuhnya. "Jadi?" "Jangan sekarang?" "Terus?
"Sudah di dalam?" tanya Alvin pada Shesa saat dia baru saja tiba di kantor. "Iya di dalam, ada apa?" tanya Shesa dengan sedikit berbisik. "Biasa ... aku tinggal dulu ya, aku gak ada jadwal kan?" Shesa menggeleng lalu membiarkan Alvin masuk ke dalam ruangannya. Paula Atmaja berdiri di dekat jendela kaca gedung bertingkat itu, memandangi aktivitas hectic jauh di bawah sana. "Ma," sapa Alvin. "Kamu masih ingat gak sama Mama?" Ekspresi wajah Paula terlihat kesal. "Ya masih lah Ma, masa aku lupa sama ibu sendiri." Alvin mencium pipi ibunya. "Jarak antara apartemen kamu ke rumah itu paling cuma 45 menit, Vin ... gak bisa kamu kunjungi Mama sebentar aja gitu. Heran Mama sama kalian ini, yang satu minggat karena nggak mau di jodohin, yang satu ngambek karena harus terima perjodohan." Paula menghenyakkan tubuhnya di atas sofa. "Mama juga aneh, sudah tau anak-anaknya nggak suka dijodohin, masih aja dilakukan." "Coba
"Mama cuma nggak mau kamu bertindak gegabah ... lagi," ujar Paula lembut. "Tapi, bukan dengan perjodohan Ma. Pandu saja pergi bagaimana dengan aku? Aku lagi yang harus merasaka ketidakadilan di keluarga ini?" Alvin menghentikan kata-katanya saat ketukan pintu terdengar. "Masuk," ujar Alvin. Shesa masuk dengan beberapa laporan yang harus di tandatangani oleh Alvin. Shesa sedikit menundukkan kepalanya pada Paula lalu beralih menatap Alvin dengan kening yang berkerut. "Laporan yang harus Bapak tanda tangani," ujar Shesa meletakkan laporan di atas meja Alvin. "Kamu yakin saya nggak ada jadwal keluar hari ini?" tanya Alvin memastikan lagi. "Belum ada perubahan, Pak. Jadwal masih seperti biasa." "Kita ke Tasikmalaya, saya mau sudah sejauh mana proyek berjalan." Alvin menyerahkan laporan yang sudah di tandatangani. "Hari ini, Pak?" Shesa merasa Alvin sedang tidak baik-baik saja. "Iya, setelah makan siang kita berangkat."
"Kamu belum jawab pertanyaan aku," ujar Shesa masih dengan tangan melingkar pada leher Alvin. Alvin merebahkan tubuh kekasihnya, membelai lembut pipi Shesa lalu mengecup bibirnya. "Kami belum menikah, rencana pernikahan itu ada setelah anak kami lahir. Kiara menunggu saat itu dengan suka cita, hingga kejadian itu terjadi." Alvin terdiam. "Sakit banget ya," ujar Shesa meraba dada Alvin, seakan merasakan kehilangan terdalam lelaki itu. "Banget, Sha ... perlu waktu bertahun-tahun aku untuk perlahan menutup masa laluku." "Tapi setidaknya meraka berdua akan selalu menempati hati kamu," ujar Shesa memandang wajah kekasihnya. "Kamu nggak marah?" "Buat apa? Bagaimana pun itu masa lalu, dan akan selalu menjadi bagian dari hidup kamu, begitupun aku ... aku bukan manusia sempurna, Vin." "Aku rasa, aku semakin cinta sama kamu." Alvin menautkan bibirnya pada Shesa. Ciuman itu sungguh memabukkan, Alvin mulai menyusuri l
Alvin menarik dirinya menjauh. "Enggak apa-apa kan? Maksud aku, kamu lagi masa subur?" Shesa menggeleng. "Aku nggak tau." Shesa mengulum senyum, wajah Alvin terlihat lucu jika sedang kebingungan. "Kok senyum? Aku harus secepatnya membatalkan pertunangan itu," ujarnya. "Kamu takut ya? Takut kejadian lagi seperti Kiara?" tanya Shesa. "Bukan cuma itu, sekarang masalahnya lebih melebar, Sayang ... aku pasti menyelesaikannya segera. Kamu sabar, ya." Shesa hanya terdiam, saat ini dia hanya ingin Alvin terus bersamanya, menikmati waktu mereka berdua, sampai permasalahan semua selesai. Namun, Shesa belum menceritakan semua tentang dirinya, itulah yang ditakutkan boleh Shesa jika harus menjalin hubungan serius dengan seseorang. "Kok ngelamun? Kamu mau kan menunggu sebentar lagi? Setelahnya kita berjuang sama-sama." Alvin mengeratkan pelukannya. "Tidur, Sayang ... pekerjaan kita besok pagi menanti." Shesa menarik tangan Alvin hingg