Balutan kebaya swarovski berwarna putih yang dikenakan Anggi terlihat begitu anggun. Shesa mendesain sendiri kebaya itu untuk pernikahan adik semata wayangnya.
Ronce bunga melati kuncup terjuntai menghiasi kepala Anggi pagi itu. Riasan wajah yang simpel membuat wajahnya semakin cantik.
"Kalo udah cantik, tetap aja cantik mau diapain juga," ujar penata rias sambil merapikan kebaya pengantin itu.
"Bisa aja." Anggi ikut terkekeh.
"Nggi, udah siap? tanya Shesa yang baru masuk ke kamar Anggi.
"Udah, Kak," jawab Anggi.
"Oh, ternyata adiknya Shesa pantas saja cantik, kakaknya aja cantik dan seksi seperti ini," kata penata rias itu lagi.
"Bisa aja, "ujar Shesa terkekeh. "Nggi kalo udah siap, kita turun yuk ... calon suami kamu udah nunggu di taman hotel."
"Aku kok deg deg an ya Kak," ujar Anggi dengan wajah merona.
"Deg deg an gimana nih? malam pertama ya?" Penata rias itu menimpali.
"Haha ... kalo itu nan
Enjoy reading 😘
"Kenapa, Ma?" tanya Anggi menghampiri mereka. "Shesa sama Alvin, di cari-cari nggak ada tapi kaya Windu, mereka sudah masuk ke hotel," jawab Paula. "Biasalah mereka itu kan nggak bisa di kasih sela, yang ada ya mereka yang bulan madu," kata Pandu merangkul pundak istrinya. "Ndu, kita balik ya ... sekali lagi selamat pokoknya, doain gue," kata Windu. "Semangat, Win ... jalan masih terbuka lebar," ujar Pandu melirik Soraya. "Anggi, sekali lagi selamat ya, kita pulang dulu," pamit Soraya menautkan pipinya pada pipi Anggi. Anggi hanya tersenyum, entah mengapa dia masih belum percaya sepenuhnya dengan Soraya. Apalagi semenjak tahu Windu dan Soraya kembali menjalin hubungan. "Kenapa sih?" tanya Pandu saat Windu dan Soraya berlalu dari hadapan mereka. "Entah, aku masih curiga aja sama dia," kata Anggi. "Nggak baik curiga begitu, setidaknya Soraya sudah mempunyai niat untuk memperbaiki kesalahannya,
Anggi masih berada di dalam balutan selimut pagi itu, dekapan Pandu membuat tidurnya semakin pulas. Matahari kian lama semakin tinggi, namun pasangan pengantin baru itu masih saja terhanyut dalam mimpinya. Anggi menggerakkan tubuhnya, lengan kekar itu masih melingkar di dada nya. Diciumnya tangan lelaki yang sekarang sudah menjadi suaminya itu. Ditatapnya wajah pulas yang semalam menghentaknya tiada henti. "Selamat pagi, Sayang," bisik Anggi lembut di telinga Pandu. Tangannya merapikan alis tebal milik Pandu, lalu turun pada hidung mancung lelaki itu, dan perlahan Anggi usap bibir yang semalaman menyesapnya. "Mas," ucap Anggi menggoyangkan tubuh Pandu. "Hhmm ...." "Udah pagi, udah jam sembilan," ujar Anggi menarik selimutnya yang sudah turun ke perut. "Jangan di tarik," kata Pandu menahan selimut itu namun dengan mata yang masih tertutup. "Biar begini." Tangannya menangkup payudara Anggi yang polos. "Mas, ih." Anggi terkekeh lu
Soraya turun dari mobil, kala mereka sampai di sebuah klinik psikiatri khusus untuk para penderita tekanan kejiwaan. Windu mengulurkan tangannya pada Soraya, mereka berjalan beriringan masuk ke dalam klinik. Menemui seorang dokter untuk mengkonsultasikan keadaan sang Ibu. "Berarti keadaannya berangsur membaik ya, Dok?" tanya Soraya. "Iya, Ibu Citra termasuk pasien yang cepat penyembuhannya, tapi masih harus kita pantau oleh karena itu sebaiknya sementara waktu tetap berada di klinik saja sampai total penyembuhan," jelas dokter itu. "Baik, Dok. Saya bisa jenguk sekarang?" "Silahkan, sering di jenguk kemungkinan besar membantu pemulihannya." Wanita tua yang seharusnya masih terlihat cantik itu sekarang lebih terlihat kurus, pucat dan tanpa senyum. Pakaian berwarna putih seakan kontras dengan wajahnya. Soraya melangkah mendekati Citra yang duduk tepat di sebelah jendela, memandangi taman sore itu. "Mama," sapa Soraya memegang pundak
Dua bulan berlalu, kehidupan kembali seperti biasanya. Perut Shesa sudah terlihat semakin membesar, usia kandungannya kini sudah lima bulan lebih, tubuhnya semakin berisi bahkan Alvin saja lebih menyukai penampilan Shesa saat ini. "Kamu jadi ke Malang besok?" tanya Shesa masih di atas tempat tidur memperhatikan gerak gerik suaminya yang baru saja tiba dari kantor. "Jadi, kamu jadi ikut?" Alvin membuka helai demi helai pakaiannya. "Aku di minta hadir fashion show lusa, gimana kalo aku nyusul kamu?" "Sendirian? naik pesawat?" "Iya, tapi aku nggak mau naik pesawat. Boleh ya kalo aku naik kereta, please." Shesa memohon. "Janji deh ini ngidam aku terakhir, setelahnya nggak minta apa-apa lagi," ujar Shesa mengacungkan dua jarinya berbentuk V. "Nggak ah, ntar kenapa-kenapa." "Kan cuma di kereta, Vin. Nggak bakalan kenapa-kenapa. Ya, boleh ya." Shesa memohon. "Aku kabulin, asal—" Alvin jalan mendekat. "Apa?" tanya Shesa
"Iya, gue minta tolong lo selidiki. Mungkin lo punya temen di sini juga buat jaga-jaga istri gue, Win. Gue masih kurang lebih tiga hari di sini dan masih ngurusin pabrik baru, gimana? bisa bantu gue kan?" tanya Alvin pada Windu melalui sambungan telepon. "Gue coba hubungi temen gue di sana, mudah-mudahan bisa jaga Shesa ya. Dan masalah pria yang nabrak Shesa tadi, gue bakal pantau." "Maaf banget, Win. Cuma masalahnya, Anggi adik Shesa masih curiga dengan Soraya. Bukan gimana-gimana juga sih, cuma kan kita nggak tau yang ada di dalam hati dia bagaimana," jelas Alvin yang sebenarnya juga masih merasakan sesuatu dengan Soraya. "Gue ngerti, ngerti banget. Soraya serahin ke gue, semoga tidak seperti yang kita bayangkan." "Sayang," panggil Shesa. "Sudah dulu, Win, besok gue hubungi lagi," kata Alvin mengakhiri percakapan mereka. "Sayang," panggil Shesa lagi. "Iya," jawab Alvin masuk ke dalam kamar hotel. "Kenapa?"
"Awas, Sha!" Teriakan Soraya mengagetkan semua pengunjung di sana. Hanya tinggal empat anak tangga, harusnya sebentar lagi Shesa sampai di bawah dengan selamat. Lelaki bertopi hitam itu berlari entah kemana setelah menabrak Shesa dari belakang. Shesa terjatuh ke bawah, Soraya menjerit berlari menuruni anak tangga dengan wajah panik. Pelipis wanita hamil itu mengeluarkan darah, meringis memegangi perutnya. "Ya, an—ak a—ku," ujarnya terbata. "Tolong ... tolong, tolong teman saya," Isak Soraya. "Tolong ...." Soraya semakin panik saat melihat Shesa sudah tidak sadarkan diri. Beberapa orang berdatangan, membantu mengangkat Shesa hingga naik ke taksi yang membawa mereka menuju rumah sakit. Soraya meraih ponsely, bercepat mengabari Windu agar menghubungkan Alvin segera. Namun, sambungan telepon yang di tuju Soraya pun tidak ada jawaban sama sekali. "Ya Tuhan," lirih Soraya memandangi wajah Shesa. "Bapak tolong lebih cepat lagi!"
"Apa yang mau kamu urus! HAH?! kamu lihat istri aku, hampir saja nyawanya dan anak yang dia kandung melayang, dan itu semua karena ayah kamu, Soraya!" "Apa yang mau kamu bantu? APA!" Emosi Alvin benar-benar sudah tidak lagi dapat dia tahan. "Sayang, please kasih kita waktu untuk mencari jalan keluar dari kasus ini," ujar Windu mengusap punggung kekasihnya. "Tapi hanya ini satu-satunya ca—" Belum selesai Soraya meneruskan kata-katanya ponselnya bergetar. "Halo," jawab Soraya. "Selamat sore, dengan Ibu Soraya?" tanya suara di seberang sana. "Iya, saya sendiri," ujarnya lagi. "Kami dari kepolisian, mengabarkan bahwa ayah Anda ditemukan sudah tidak bernyawa dengan luka tusuk di dada di dalam selnya, hasil penyelidikan sementara Bapak Chandra Adhiyaksa melakukan penusukan sendiri atau lebih tepatnya beliau bunuh diri," jelas pihak kepolisian. Tubuh Soraya meremang, Soraya mundur beberapa langkah dengan ponsel yan
"Ya Tuhan, Shesa." Wulan dan Anggi menghampiri Shesa yang masih tertidur dengan posisi miring pagi itu. "Sha, kamu baik-baik, kan?" Wulan mencium kening putrinya. "Kok kamu ada di sini, Nggi? Bukannya sama Mas Pandu di Singapura?" "Malah nanya aku, sih. Kak Shesa gimana? udah enak kan?" "Aku nggak apa-apa, udah baikan. Baby juga baik, barusan tadi abis tendang-tendang perut aku. Cuma ya itu tidurnya masih posisi miring dan nggak boleh banyak gerak." "Terus rencana pulang ke Jakarta kapan, Vin?" tanya Paula "Beberapa hari lagi, Ma. Shesa harus istirahat total dulu di sini, kalo baby sudah kuat kita pulang ke Jakarta." "Kalo gitu Papa telpon temen Papa dulu, biar kita sewa apartemen mereka, selama kalian berada di sini." Budiman melangkah keluar ruangan ketika sambungan teleponnya terhubung. "Mama lihat di tivi kemarin, Chandra Adhiyaksa meninggal dunia? Bener, Vin?" Wulan memberikan jeruk yang sudah terkupas