Share

BAB 3

'Ting'

Suara denting botol wine beradu dengan gelas kristal yang digenggam Laura. Cairan berwarna merah pekat mengalir memenuhi setengah gelas kosong berkaki. Mungkin terlalu pagi bagi Laura yang hampir menghabiskan satu botol minuman beralkohol itu. Dia terpaksa membuat dirinya sedikit mabuk untuk mengumpulkan keberaniannya menggoda suami sedingin es yang sudah setahun dinikahinya.

Selama menjalani pernikahan Dean tak pernah menyentuh raganya. Tak mendapatkan kehangatan di atas tempat tidur, sehingga Laura memilih mencari pelampiasan dengan pria lain. Dean tentu tahu kebiasaan buruk istrinya itu yang kerap kali melakukan one night stand atau check in bersama selingkuhannya.

Setelah meneguk gelas terakhir, Laura yang berjalan sempoyongan menghampiri ruang kerja di dalam penthouse milik suaminya.

Dia menerobos pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Hal itu membuat Dean menatapnya dengan tajam.

"Tak bisakah tanganmu mengetuk pintu?" tanya Dean sinis sambil menyipitkan kedua matanya.

"Aku istrimu, Dean. Tak bisakah kau lebih lembut padaku?" kata Laura sambil memutar bola matanya.

Laura dengan lingerie sutra yang sewarna kulitnya mendekati Dean di meja kerjanya. Dia sedikit merunduk di belakang punggung suaminya, tangannya menyelinap masuk di balik kemeja Dean dengan kancing atas yang terbuka. Laura menikmati aroma musk bercampur feromon yang menguar dari tubuh Dean. Hal itu jelas semakin membangkitkan gairahnya.

"Singkirkan tanganmu, Laura!" Amarah Dean memuncak dan siap meledak. Dia melempar tangan Laura yang sempat meraba dada bidangnya.

Dean terburu-buru melipat beberapa lembar surat yang barus saja ditulis dan memasukannya ke dalam amplop. Dia lalu menuliskan nama penerima surat beserta alamatnya di sisi amplop. Hal itu menarik perhatian Laura yang masih berdiri di belakangnya. Laura tersenyum sinis melihat Dean menorehkan nama Hanna Kirana dengan sebuah pena. Sakit, tapi tidak berdarah, itulah yang dirasakan Laura kali ini.

Tanpa sepatah katapun Dean membawa surat itu dan menyambar jasnya yang tersampir di kursi. Bau alkohol dari tubuh Laura berhasil merusak mood Dean pagi ini, dan membuat Dean tak ingin berlama-lama satu ruangan dengan wanita yang sudah menjadi istrinya.

"Jadi ini perempuan jalang yang membuatku harus bersusah payah mengemis cinta dari seorang Dean Joos?" kata Laura sinis. Dia mengamati sosok gadis dalam bingkai akrilik di meja Dean, kedua tangannya mengepal karena kesal.

Laura menarik laci meja kerja Dean di hadapannya dan mendapati sebuah surat dengan amplop putih yang dikirim dari Indonesia. Setelah memastikan Dean sudah meninggalkan kediamannya, lantas Laura membawa surat itu ke kamarnya dan membaca sebagian isinya.

Terkadang kebencian akan membutakan mata seseorang. Bagi Laura, menyingkirkan Hanna adalah salah satu cara untuk menyelamatkan rumah tangga mereka. Entah bagaimana caranya, yang pasti jika tak bisa dengan cara halus maka Laura tak segan-segan akan melenyapkan Hanna dari muka bumi.

*****

Hanna masih memandangi dua amplop surat di atas meja kerjanya. Amplop pertama didapatnya tiga hari yang lalu, tertulis atas nama Dave Joos. Sedangkan amplop kedua dikirim atas nama Laura Joos dengan alamat yang sama seperti amplop pertama.

Benaknya dipenuhi tanda tanya, apakah gerangan hubungan Dave dengan Laura?

Berharap tak akan ada hal-hal yang mungkin mengejutkannya, Hanna segera membuka amplop dan membaca isi surat yang dikirim Laura Joos.

Hallo Hanna,

Senang bisa menulis surat untukmu. Izinkan aku memperkenalkan diri, Aku Laura Joos, istri dari Dave Joos yang selalu kau kirimi surat. Kami menikah setahun yang lalu di sebuah gereja Katedral di Washington DC.

Adapun tujuanku mengirim surat ini semata-mata untuk meminta padamu agar tidak melanjutkan hubungan dengan suamiku.

Dia banyak menghabiskan waktunya di ruang kerja hanya untuk membaca lalu menulis surat balasan untukmu.

Terus terang aku sangat cemburu melihat betapa perhatiannya dia padamu. Sedangkan dia selalu mengabaikanku selama setahun penuh.

Hanna, sebagai sesama perempuan tentu kamu memahami perasaanku. Aku sangat menghargai jika kamu bersedia memenuhi permintaanku. Lupakan Dave dan biarkan kami bahagia.

Terimakasih telah membaca suratku, sungguh kamu tak perlu membalasnya kembali. Aku harap kamu bisa merahasiakan hal ini dari Dean, tentu kamu tidak ingin kami bertengkar hanya karena aku mengirimi kamu surat, bukan?

Laura Joos

"Dave? Sudah menikah?" gumam Hanna pada dirinya sendiri. Dadanya terasa sesak mendapati fakta bahwa pria yang selama ini dikaguminya ternyata sudah beristri.

Lebih pahitnya lagi, Dean telah menyembunyikan kabar itu darinya. Akhirnya Hanna memutuskan untuk tidak pernah membalas surat dari Dean lagi meskipun pria itu masih rutin mengiriminya surat.

Di New York, Dean mulai frustasi karena dia tidak pernah lagi mendapat surat balasan dari Hanna. Dia lantas meminta Kevin untuk menyelidiki keberadaan Hanna dengan melacak alamatnya. Mengingat insiden saham perusahaan yang sempat anjlok karena kabar keislaman Dean, akhirnya Kevin memilih berbohong. Belum waktunya Dean bertemu Hanna.

"Hanna sudah pindah. Rumah itu sudah ditempati orang lain."

"Apa tetangganya tidak ada yang tahu ke mana dia pindah?" tanya Dean yang tak ingin kehilangan Hanna begitu saja.

"Tidak. Aku sudah menyelidikinya."

Ini pertama kalinya Kevin mengkhianati Dean, hal itu terpaksa dilakukannya demi menjaga stabilitas perusahaan. Kevin tahu bosnya akan mendadak bodoh jika sudah berhadapan dengan cinta. Sama halnya ketika Dean jatuh cinta pada Laura, dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya sudah dikhianati.

*****

"Permisi, Kak. Pesanan atas nama Hanna?" Seorang pelayan kafe menghampiri meja Hanna dengan sebuah nampan di tangannya. Dia meletakan segelas vanilla latte dan dua buah croissant di atas meja.

Hanna tersenyum menyambutnya, "Terimakasih, Mas. Karyawan baru ya? Kayanya saya baru lihat."

"Iya, Kak. Baru hari ini. Ada lagi Kak pesanannya?" tanya pelayan dengan ramah. Terdapat nametag yang tersemat di kemejanya, tertulis atas nama Alfarabi.

"Tidak ada, Mas."

"Kakak bisa panggil saya kalau butuh sesuatu. Saya permisi dulu ya, Kak," kata pelayan itu setelah memastikan pesanan Hanna tidak ada yang kurang. Hanna tersenyum dan mengangguk, sekali lagi dia mengucapkan terimakasih pada pelayan itu.

"Ra, pelanggan di meja nomor tiga sudah sering ke kafe kita ya?" tanya Alfarabi pada seorang wanita yang berdiri di belakang mesin kasir.

"Iya, Pak. Hampir tiap hari dia ke sini untuk makan siang atau ngopi. Dia guru di Montessori Kindergarten School. Kadang dia datang sendiri, kadang sama dua orang temannya sesama guru. Emangnya kenapa, Pak?" Dara melirik Hanna yang sedang membaca buku novelnya.

"Nggak apa-apa, nanti saya saja yang jaga kasir ya, Ra." Dara mengangguk menanggapi perintah atasannya.

Setelah menghabiskan vanilla latte dan croissant, Hanna bangkit dari kursi dan mendatangi meja kasir. Dia mendapati pria yang tadi mengantarkan makanannya sedang menulis sesuatu di buku nota.

"Meja tiga, Mas," kata Hanna sambil mengeluarkan dompetnya.

"Tiga puluh ribu, Kak", kata Alfarabi tanpa menatap Hanna.

"Loh? Bukannya enam puluh ribu ya?" Hanna tertegun di tempatnya berdiri, dia menautkan kedua alisnya.

"Saya kasih diskon, Kak. Khusus dari saya, karena Kakak pelanggan setia," Alfarabi tersenyum hingga menampakkan lesung pipinya lalu melanjutkan, "tapi ... saya boleh minta nomor HP nya nggak?"

"Kalau nggak boleh, gimana?" Hanna memberikan selembar uang pecahan seratus ribu rupiah berwarna merah. Ini bukan pertama kalinya dia digoda pria asing, tapi kali ini Hanna masih menghargai sikap sopan Alfarabi.

"Nomor HP itu seperti kebaikan, Kak. Tidak akan habis meski dibagi-bagi," jawab Alfarabi sambil menyerahkan uang pecahan lima puluh ribu dan dua puluh ribu beserta struk pembelian pada Hanna.

"Ha ha, Mas nya bisa aja," gelak Hanna.

"Jadi ... boleh kan, Kak?" tanya Alfarabi memohon, dia lalu menyodorkan selembar kertas dan sebuah bolpoin. Alfarabi tersenyum dan memiringkan kepalanya, berharap semoga Hanna mau memberikan nomor ponselnya.

Hanna terkekeh lalu mengambil kertas dan bolpoin pemberian Alfarabi, kemudian menuliskan nomor ponsel di atasnya. Dia lalu mengembalikan kertas dan bolpoin itu pada Alfarabi.

"Jangan spam ya, Mas. Ntar saya blokir loh! Oia, panggil Hanna saja. Kita bukan kakak adik."

Setelah memasukkan kembali dompetnya ke dalam tas, kemudian Hanna pamit pada Alfarabi.

"Terimakasih, Hanna."

Hanna mengangguk lalu berjalan hendak meninggalkan kafe. Alfarabi menatap sosok Hanna yang menghilang dari balik pintu kafe. Dia mengambil ponsel dari saku celana dan menyimpan nomor Hanna di dalamnya.

"Ciye ... Bapak, ternyata mau modus. Pantesan minta jaga kasir," ejek Dara pada atasannya seraya menaik turunkan alisnya.

"Hush! Anak kecil diam saja!" Alfarabi memukul kening Dara dengan buku nota, lalu Dara mengerucutkan bibirnya.

*****

Hanna sedang menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran ketika sebuah notifikasi pesan muncul di layar ponselnya.

Hanna kemudian membuka pesan yang dikirim oleh nomor asing.

[Assalamu'alaikum Hanna. Saya Abi, karyawan di Kafe Kayu]

[Wa'alaikumussalam. Abi yang mana ya? Saya taunya Alfarabi]

[Iya, itu saya. Kadang dipanggil Abi, kadang dipanggil Al. Hanna panggil Abi aja, biar nanti saya panggil Hanna 'Umi', supaya kita jadi Abi Umi he he ....] balas Alfarabi dengan menyematkan emoticon senyum.

Hanna terpingkal membaca balasan Alfarabi.

"Apaan sih? Dasar garing," gumam Hanna. Lalu dia mengirimkan sticker kartun yang menutup kepalanya dengan ember. Tak mau kalah, Alfarabi membalasnya dengan sticker pentol yang sedang menari.

Hanna mengirim pesan lagi,

[Aku panggil Al aja]

[Boleeehhh ... apalagi panggil Al Love You boleh banget kok]

Hanna tak henti-hentinya tertawa membaca setiap chat yang dikirim Al, pria berdarah Minang itu sangat pandai menggombal.

Tak sulit bagi Al untuk mendekatkan diri pada Hanna. Terbiasa menghadapi rekan bisnis membuat Al merasa mudah menjalin komunikasi dengan orang yang baru dikenalnya.

Beberapa kali mereka bertemu dan duduk bersama di Kafe Kayu. Hingga suatu ketika Hanna tidak mendapati Al di kafe itu.

"Mas Al kemana, Mba?" tanya Hanna pada Dara.

"Oh, Bos lagi ke Kalimantan," kata Dara yang kedua tangannya sibuk menari di atas cash register.

Bingung dengan sebutan 'Bos', lantas Hanna bertanya lagi, "Bos?"

"Iya, Pak Al yang punya Kafe Kayu," jelas Dara.

"Oooh ..., saya kira dia karyawan," desah Hanna. Dia tidak menyangka bahwa ternyata Al pemilik kafe ini.

"He he, baru tau ya, Mba?" tebak Dara yang dibalas anggukan oleh Hanna.

"Pak Al kalo lagi monitoring suka nyamar jadi pelayan, Mba. Supaya bisa melihat langsung kinerja karyawannya. Soalnya nggak semua karyawan mengenal Pak Al," tutur Dara lagi.

"Emangnya karyawan Pak Al banyak ya?" tanya Hanna ragu. Semoga Dara tidak salah paham dengan pertanyaannya, sehingga Hanna dicap terlalu kepo dengan urusan orang.

"Yaaah, sekitar tiga ratusan lah. Kafe Kayu kan punya beberapa cabang di Indonesia."

"Owh, banyak juga ya." Hanna jadi merasa malu pada dirinya sendiri karena salah menduga tentang profesi Al.

"Oia, Mba. Kayanya Pak Al suka deh sama Mba Hanna. Soalnya tiap hari nanyain mulu," goda Dara sambil terkekeh geli.

Hanna mengabaikan ucapan Dara lalu memesan makanannya. Mengingat dirinya tak sekaya Al, sehingga dia tidak ingin berharap banyak pada pria itu. Hanna dan Al seperti bumi dan langit, Al terlalu tinggi untuk dijangkau.

Hanna meninggalkan Kafe Kayu setelah menghabiskan makan siangnya. Dara mengeluarkan ponsel dari kantong apron lalu mengirimkan pesan ke nomor Al.

[Pak Al dicariin Mba Hanna]

Al tersenyum membaca pesan yang dikirim pegawainya. Nampaknya misi dia berhasil untuk mendapatkan perhatian gadis itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status