Share

BAB 4

Langit mulai gelap ketika Al baru kembali dari perjalanannya ke Kalimantan. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci Al Qur'an dari mulut seorang pria yang usianya menginjak tujuh puluh tahun. Meski di usianya yang sudah lanjut, tapi Sultan Syah Alam masih aktif mengawasi perusahaannya yang saat ini dipegang oleh putra sulungnya.

Mendengar seseorang mengucap salam, Sultan lalu menghentikan bacaan Al Qur'an nya. Al menghampiri ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu, dia mencium tangan ayahnya dengan penuh takzim.

Sultan kemudian bertanya pada putra sulungnya, "Sudah salat Isya, Al?"

"Sudah tadi di bandara. Al pamit ke kamar dulu ya, Pa?"

Sultan mengangguk lalu menjawab, "Kalau sudah rapi nanti kesini lagi, Papa mau bicara."

"Iya, Pa," jawab Al kemudian meninggalkan ayahnya seorang diri.

Al merasa segar setelah mandi dan mengenakan piyamanya. Dia tidak merasa lapar karena sudah makan malam di bandara. Kemudian dia menemui ayahnya kembali di ruang tamu.

"Usiamu sekarang berapa, Al?" tanya Sultan sambil menyelisik pria muda di hadapannya. Waktu rasanya cepat berlalu, dulu dia dengan susah payah melakukan program bayi tabung dengan istrinya. Kini bayi itu sudah bermetamorfosis sebagai seorang pemuda yang gagah dan cekatan.

"Tahun ini dua puluh delapan tahun," akui Al sambil menyugar rambutnya yang masih basah.

"Usiamu sudah cukup matang untuk menikah. Apa kamu sudah punya calon istri?" Sultan mengangkat satu alisnya, berharap mendapat kabar baik dari putranya.

Al memainkan jarinya seraya berkata, "Sebenarnya Al sedang dekat dengan seorang wanita, Pa, tapi belum sampai ke tahap serius. Dibilang pacaran, nggak. Dibilang teman tapi lumayan dekat lah. Al berencana ingin melamarnya, cuma belum tahu kapan waktu yang tepat."

"Kalau dia wanita baik-baik jangan terlalu lama menjalin hubungan tanpa ikatan, Al, takutnya malah jadi fitnah. Sebaiknya kamu lamar dia jika memang masih single," kata Sultan dengan tenang. Sultan tidak banyak memberikan kriteria untuk calon istri Al, dia yakin putranya tidak akan gegabah dalam memilih pasangan hidup.

*****

Hanna berguling di tempat tidurnya, menikmati weekend hanya di dalam rumah. Rayyan, adiknya pergi bersama teman-temannya, sedangkan ibunya berkutat dengan mesin jahit miliknya. Saat Hanna sedang menggulir media sosial tiba-tiba notifikasi pesan muncul. Nama Al tertera di atasnya.

[Assalamu'alaikum. Han, lagi sibuk nggak?]

Hanna lalu membalas,

[Wa'alaikumussalam. Nggak Mas Al, aku lagi senggang.]

[Han, makan di luar yuk! Aku tau tempat makan enak. Nanti aku traktir, mau nggak? Sekalian ada yang mau diomongin]

Hanna bangkit lalu bersandar pada sandaran tempat tidurnya. Dia menimang-nimang ponselnya sebelum membalas Al. Tumben Al mau ngomong saja mesti ketemuan. Biasanya cukup telepon atau chat.

[Boleh. Kita ketemu dimana?]

Akhirnya Hanna menyetujui tawaran Al. Toh, dia juga lagi senggang.

[Aku jemput di rumah kamu, Han. Tunggu aku tiga puluh menit lagi ya ....]

Al membawa Hanna ke sebuah restoran tradisional di daerah Bintaro. Dia memilih saung yang menghadap ke kolam ikan. Al memesan makanan, sedangkan Hanna sibuk melempar pakan ikan ke dalam kolam. Sejauh ini Al belum menyampaikan apa yang ingin dikatakannya meski sejak tadi Hanna bertanya-tanya di dalam hatinya.

"Mau makan apa, Han?"

"Terserah, aku nggak pilih-pilih makanan kok."

Selesai memesan, Al menatap siluet Hanna dan mengabadikannya dengan kamera ponsel.

"Ish, candid!" Hanna cemberut memergoki Al yang sedang mengambil fotonya. Dia meletakkan bungkus pakan ikan lalu kembali ke meja.

Al bertanya pada Hanna yang duduk di depannya, "Han, kamu punya pacar nggak?"

"Aku nggak pacaran," jawab Hanna singkat.

"Kalau calon suami?" tanya Al lagi.

"Belum punya," jawab Hanna sambil memainkan ponselnya. Jantungnya mulai berpacu memikirkan arah pembicaraan Al. Pasalnya selama ini Al tidak pernah menyinggung hal itu, persahabatan mereka mengalir begitu saja tanpa mempertanyakan urusan pribadi.

"Kamu mau jadi istriku, Han?" tanya Al dengan tenang tanpa melepas tatapannya dari wajah Hanna.

"Istri? Jangan bercanda deh ...." Hanna mengerucutkan bibirnya, dia takut Al hanya ingin menggodanya.

"Aku serius. Kita nikah, yuk? Kita udah cukup lama saling kenal, aku merasa cocok sama kamu," kata Al meyakinkan Hanna.

"Aku pikirin dulu ya ...." Hanna menatap Al sekilas, debar jantungnya yang semakin berisik membuat dia tak berani berlama-lama menatap Al.

"Jangan lama-lama mikirnya, nanti aku keburu ubanan," goda Al yang membuat Hanna terpingkal. Dalam benaknya Hanna membayangkan seluruh rambut Al yang memutih persis salah seorang tokoh politik di negaranya. Al memang selalu berhasil membuat Hanna melupakan rasa gugupnya.

*****

Al tak kunjung mendapat jawaban dari Hanna, tapi beberapa kali dia bertanya pada Rayyan nampaknya Hanna akan memberinya lampu hijau. Dibantu Puti-adiknya, Al hendak membuat surprise party untuk melamar Hanna. Tentu Al juga sudah mengkonfirmasi Rayyan dan ibunya.

Di meja sekretaris depan ruangan CEO, Tania meremas ponselnya setelah membaca pesan dari bosnya. Baru saja Al mengirim pesan, meminta Tania untuk mereservasi hotel bintang lima di kawasan puncak yang tak jauh dari Taman Safari. Pasalnya, yang membuat geram wanita itu adalah rencana Al untuk melamar seorang gadis yang belum lama dikenalnya. Padahal sudah lima tahun Tania memendam rasa untuk Al, tapi sayangnya dia bertepuk sebelah tangan.

Desas desus kabar Al akan bertunangan bahkan sudah menyebar di antara karyawan, tentu saja Puti pelakunya. Memangnya siapa lagi?

"Sabar ya, Tan! Kudengar Pak Al mau tunangan," kata Reva yang tiba-tiba muncul sambil mengusap bahu Tania. Reva tahu jika selama ini sahabatnya memendam rasa untuk bosnya.

Kemunculan Reva membuat Tania tak mampu lagi membendung air matanya. Dia beranjak meninggalkan Reva lalu terisak di dalam bilik toilet kantor.

Al datang tak lama setelah Tania pergi ke toilet, di depan ruangannya dia hanya mendapati Reva. Staf divisi personalia itu lalu menyapa bos nya.

"Tania belum datang?" tanya Al pada Reva.

"Lagi ke toilet, Pak," jawab Reva.

Setelah berbincang dengan Reva lalu Al masuk ke ruangannya. Dia mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor Hanna. Tak perlu menunggu lama, Hanna menjawab panggilan Al.

"Ada apa, Mas Al?"

"Minggu besok ada acara, nggak?" Al menyalakan komputernya.

"Nggak ada, Mas. Sekolah lagi liburan semester," kata Hanna sambil menatap dirinya di depan cermin. Dia baru saja selesai mandi ketika Al meneleponnya.

"Mau temani aku ke Taman Safari? Puti minta diajak kesana," kata Al mengutarakan maksudnya. Agak aneh memang, Puti yang usianya sudah di atas dua puluh tahun minta diajak ke Taman Safari. Bukankah dia lebih suka traveling ke tempat-tempat eksotis?

Hanna meneguk salivanya, pasalnya dia belum pernah melakukan perjalanan jauh dengan seorang pria. Apalagi pria itu adalah orang yang pernah memintanya menjadi istri. Ah, dia jadi ingat belum menjawab lamaran Al. Merasa tidak enak jika menolak, akhirnya Hanna menyetujuinya.

"Iya, Mas ...."

"Oke, nanti aku kabari lagi."

Al memeriksa beberapa surel di kotak masuk email perusahaan. "Oh, satu lagi. Kita akan menginap. Kamu jangan lupa bawa pakaian ya."

Hah? Menginap? Mana pernah Hanna menginap dengan pria.

"Menginap?" Hanna tampak ragu.

"Iya, Hanna. Kumohon jangan menolak, kita cuma menginap satu malam kok. Tolong temani Puti, aku nggak mau sekamar sama dia. Puti tuh pengecut banget, Han."

Baiklah, rasanya tidak masalah jika sekamar dengan Puti. Memangnya mau sekamar dengan Al? Ah, dasar Hanna saja yang pikirannya mesum.

"Oh, baiklah."

"Alhamdulillah, terimakasih Hanna."

*****

Hanna yang sudah siap dengan tasnya hendak pamit pada ibunya. Begitu juga Al, dia berpamitan pada Bu Yana lalu mencium tangannya.

"Titip Hanna ya, Al," bisik Bu Yana pada Al.

Bu Yana yang sudah mengetahui rencana Al meloloskan putrinya pergi begitu saja. Diapun sebenarnya sudah disiapkan mobil oleh Al untuk menyusul ke hotel bersama Rayyan.

Mobil SUV berwarna putih membawa empat orang penumpang menuju tempat pariwisata di kaki gunung Pangrango. Al duduk di kursi depan bersama sopir, sedangkan Hanna duduk di baris kedua bersama Puti.

Mereka sangat menikmati perjalanan melintasi sejumlah satwa yang dilepas dengan bebas. Wortel yang mereka beli di pinggir jalan habis diberikan pada hewan-hewan yang menghampiri mobil mereka.

Puas dengan berbagai pertunjukan satwa, tujuan terakhir mereka adalah mengunjungi Istana Panda. Di lantai atas Istana Panda, Hanna menghampiri jendela besar yang menghadap pegunungan. Hanna mengagumi pemandangan hijau sejauh mata memandang. Tanpa disadarinya, Al mengambil foto bagian belakang gadis itu.

"Sini, Kak!" bisik Puti pada Al.

Puti merebut kamera yang dipegang Al, lalu memberi isyarat kakaknya untuk menghampiri Hanna, dengan begitu dia bisa mengambil foto mereka. Ketika Al berdiri disamping Hanna kemudian wanita dengan jilbab navy itu menoleh, hingga kedua mata mereka saling bertemu tatap. Tepat saat itu Puti mengambil foto mereka.

Foto yang diambil Puti sangat estetik, bahkan dia memuji dirinya sendiri karena keahliannya.

Hari mulai sore dan mereka bersiap meninggalkan Taman Safari. Mereka akan menginap di hotel bintang lima yang tak jauh dari lokasi tempat pariwisata itu.

Hanna dan Puti akan menempati satu kamar secara bersama, sedangkan Al akan menempati sebuah kamar seorang diri.

Puti pamit keluar pada Hanna setelah menunaikan salat isya. Sejujurnya Hanna merasa tidak nyaman berada di kamar yang begitu besar sendirian.

Ponsel Hanna berdering, di layarnya yang berpendar dia melihat nama Al sedang memanggilnya. Dia sangat senang akhrinya Al menghubunginya, setidaknya dia tidak merasa kesepian dengan adanya teman ngobrol.

"Mas Al, Puti kemana ya? Kok belum balik?" tanya Hanna gusar.

"Puti ...," gumam Al ragu.

"Ehm, Hanna," panggil Al mengalihkan pembicaraan, "keluarlah ke balkon!"

"Tapi di luar gelap banget, Mas. Cuma ada lampu balkon. Aku takut." Hanna menatap pekatnya malam dari jendela balkon, dia tidak mengerti kenapa hotel semewah ini belum juga menyalakan lampu taman mereka.

Al hanya terkekeh mendengar jawaban Hanna. Takut? Memangnya apa yang dia takutkan? Apa dia takut akan ada penampakan?

"Aku di bawah balkon," kata Al sambil mengulum bibirnya. Dia berhasil menghilangkan rasa takut Hanna dan membujuk wanita itu agar keluar.

Hanna membuka pintu kaca balkon yang terletak di lantai tiga hotel mewah itu, angin dingin pegunungan berembus membelai wajahnya. Dia memeluk dirinya sendiri dan merapatkan sweaternya. Hanna mendekati pagar balkon dan mendapati Al yang sedang melambaikan tangan ke arahnya.

"Kamu melihatku?" mereka masih melekatkan ponselnya di telinga agar tetap terhubung.

"Ya," jawab Hanna tersenyum. Dia bisa melihat dengan baik sosok Al yang sedang melambai dalam gelapnya malam. Pria itu sangat menawan dengan balutan kemeja warna terang yang dilapisi sweater. Sempat Hanna merasa heran kenapa sudah larut begini Al masih mengenakan kemeja rapi? Bukankah seharusnya dia sudah bersiap untuk tidur?

Al memberi isyarat dengan mengangkat ibu jarinya pada seseorang yang sedang menunggu aba-aba darinya. Tiba-tiba seberkas cahaya lampu menyala. Hanna terperanjat melihat susunan lampu itu membentuk sebuah kalimat.

WILL YOU MARRY ME?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status