Shane mengusap wajahnya dengan satu tangan lalu memijat pelipisnya seakan mencari sisa-sisa kesabaran untuk menghadapi Aluna. "Gak ada yang bilang kamu gila. Kamu hanya butuh mengkonsultasikan keadaanmu ke dokter, itu saja."Bibir Aluna sedikit mengerucut. Shane mengenali respon tubuh itu sebagai bentuk kekesalan Aluna yang sejak dulu selalu terlihat menggemaskan.Lama mereka sama-sama terdiam hingga akhirnya Aluna melirik Shane, masih dengan raut cemberut. "Kalau aku nurutin permintaan kamu, kamu janji gak bakal ngasih tahu Bu Ratna tentang pekerjaanku 'kan?""Bukan cuma ke dokter. Aku juga mau kamu berhenti dari pekerjaan itu. Baru setelah itu aku akan janji untuk tidak memberitahu Bu Ratna tentang kebohonganmu."Ekspresi Aluna semakin masam. "Kok kamu semakin demanding gini? Lagian juga apa salahnya pekerjaanku? Aku gak disentuh sama sekali oleh orang-orang yang menontonku."Rahang Shane mengeras, bibirnya tertarik membentuk garis lurus. Ia menarik nafas panjang, mencoba menahan d
Aluna memijat keningnya, tak habis pikir dengan kelakuan Shane yang menurutnya tidak masuk akal. Mereka tidak saling kenal, tapi pria ini bertingkah seolah-olah mereka adalah keluarga. Meski tidak akan mengakuinya di depan siapapun, Aluna akui ada desiran asing di hatinya tiap kali melihat Shane bahkan di saat pertama kali Aluna melihat wajah pria itu di majalah. Dan sekarang sifat Shane yang aneh ini berhasil membuat Alena hilang rasa. "Aku gak merasa punya kewajiban untuk menjelaskan apapun pada Pak Shane," ucap Aluna untuk memperjelas batas di antara mereka. Shane menghunuskan tatapan tajam Pada Aluna. "Bu Ratna membiarkan kamu melakukan pekerjaan itu?" Mendengar nama Bu Ratna disebut, nyali Aluna seketika digambarkan seperti gulali yang disiram air. Dia hampir lupa bahwa Shane bisa saja mengadukan yang dilihatnya pada Bu Ratna. "Bu Ratna gak tahu dan jangan sampai dia tahu," sahut Aluna. Dia memberanikan diri membalas tatapan nyalang Shane. "Pak Shane lebih baik gak usah iku
Berbekal informasi dari Bu Ratna yang mengatakan bahwa Melody setiap harinya berangkat ke tempat kerja pukul tujuh malam, Shane pun akhirnya mendatangi hotel Alaris. Hotel ini merupakan hotel bintang tiga. Di kota Lindara, belum terdapat hotel tingkat mewah. Shane sendiri hanya menginap di hotel lain yang termasuk kategori hotel tingkat menengah.Kalau perlu, Shane akan pindah ke hotel Alaris agar dia bisa memantau kegiatan Melody. Shane penasaran jenis posisi apa yang didapatkan Melody di sebuah hotel sedangkan dalam kondisi masih mengingat semuanya seperti dulu saja Melody tidak pernah mengerjakan pekerjaan apapun di rumah.Shane duduk cukup lama di lobby. Para pegawai hotel mulai menatapnya penuh curiga karena sedari tadi mereka sudah berkali-kali menanyakan apa yang Shane butuhkan, tapi Shane selalu menjawab dengan 'saya sedang menunggu seseorang'.Akhirnya, sang manajer hotel berinisiatif menghampiri Shane. Si manajer hotel memiliki pengelihatan cukup tajam dalam menilai seseoran
Aluna baru saja selesai mandi dan bersiap-siap hendak pergi bekerja ketika Bu Ratna muncul di depan pintu kamar yang dibiarkan terbuka. Sambil mengeringkan rambutnya, Aluna menghampiri Bu Ratna."Gimana tadi pembicaraannya dengan Pak Shane?" tanyanya.Bu Ratna terdiam selama beberapa detik sembari memperhatikan wajah Aluna dengan seksama seakan sedang menilai kebenaran dari informasi yang disampaikan Shane mengenai Aluna. Atau yang kemungkinan besar adalah benar Melody."Bu? Kok malah melamun sih?" tegur Aluna bingung.Bu Ratna sedikit tersentak lalu berusaha tersenyum. "Pak Shane ternyata baik banget orangnya. Beliau setuju untuk membiarkan kita untuk tinggal di sini selagi perusahaannya melakukan persiapan pembangunan dan renovasi."Alih-alih senang, Aluna malah merasa ragu. "Segampang itu? Kok rasanya aneh ya?"Bu Ratna buru-buru mengalihkan pembicaraan sebelum Aluna berpikir terlalu jauh. "Lun, kamu udah mau berangkat kerja? Kalau masih ada waktu, Ibu mau ngobrol sebentar. Bisa?"
Shane sedang sibuk berkutat dengan beberapa dokumen pekerjaannya ketika tiba-tiba Tasya menghubunginya. Sekretarisnya itu sangat jarang menelepon kecuali untuk keadaan genting. Oleh karena itu, Shane tahu pasti ada sesuatu yang mendesak. Ia segera mengangkat panggilan Tasya."Ya, Sya? Is everything okay?" tanya Shane memastikan."Saya menemui beberapa kendala kecil, tapi bukan itu yang ingin saya sampaikan kepada Bapak," jawab Tasya.Shane mengerutkan keningnya. "Ada apa?""Barusan waktu saya baru saja turun dari mobil dan sedang mengobrol dengan seorang warga lokal mengenai bangunan yang akan dibeli oleh perusahaan, saya melihat perempuan yang mirip dengan Nyonya Melody."Shane berdiri dari duduknya seketika. Sudah lama dia tidak mendengar nama itu diucapkan dari mulut orang lain selain kedua orang tuanya dan Bu Nani. Bahkan ketiga orang itu juga mulai mengurangi frekuensi membahas tentang Melody karena mereka telah menyaksikan bagaimana selama hampir satu tahun belakangan Shane teru
Matahari baru saja terbit seutuhnya ketika Aluna terbangun. Mimpi itu datang lagi dan semakin lama, terasa semakin nyata seolah itu bukanlah sebuah mimpi melainkan sebuah kenangan yang Aluna pernah lewati dalam masa hidupnya. Mimpi itu bukan mimpi buruk, hanya seperti cuplikan-cuplikan kehidupan seorang perempuan yang Aluna lihat mirip dengan dirinya sendiri. Anehnya, meskipun bukan mimpi buruk yang menakutkan, Aluna tetap merasa tidak nyaman ketika menyaksikan semua itu. Masih sambil berbaring di ranjang susun yang membuatnya tidur dekat dengan langit-langit kamar, Aluna menyentuh dadanya sendiri. Rasa sesak yang ia rasakan ketika menyaksikan mimpinya masih dia rasakan sampai sekarang. Tanpa Aluna sadari, tangannya bergerak turun dan menyentuh perutnya tepat di bagian yang memiliki bekas luka jahitan. Kata dokter yang kala itu menanganinya, bekas luka itu adalah bekas operasi sesar. Aluna bukannya tidak tahu bahwa pasti ada banyak hal dari masa lalunya yang tidak dapat ia ing