Share

3

Author: Rasyidfatir
last update Last Updated: 2025-09-18 18:31:13

Langkah kaki suamiku terdengar berat ketika menggiringku masuk ke dalam sebuah kamar hotel. Pintu ditutup rapat, udara dinginnya AC langsung menyambut. Mataku membulat sempurna begitu melihat pemandangan di depannya. Seorang penghulu duduk dengan kitab di pangkuannya, dan di sampingnya ada seorang pemuda tampan, masih sangat muda nyaris seperti anak kuliahan. Akupun spontan mundur setapak.Pemuda itupun terkejut.

"Siapa dia?!” tanyaku.

Suamiku menyeringai, wajahnya penuh kepuasan licik.

“Duduk, Rin. Hari ini kamu akan membuat anak dengan dia.”

Akupun menatap Mas Azzam tak percaya, lalu beralih ke arah pemuda itu yang tampak diam mematung.

“Kamu gila, Mas?! Aku masih jadi istrimu, kenapa kamu suruh aku buat anak dengan orang lain?!”

Azzam melangkah mendekat, nada suaranya dingin, penuh rencana.

“Kamu nggak perlu pura-pura bodoh. Kamu tahu aku butuh anak untuk dapat warisan dari Kakek. Lidya nggak mau hamil, dia nggak mau merusak tubuhnya. Jadi… satu-satunya cara, kamu yang harus melahirkan anak itu!”

Aku pun membeku, tubuhnya gemetar menahan amarah. Otakku masih berjalan lambat belum bisa mencerna sepenuhnya ucapan Mas Azzam.

“Anak… untukmu? Lalu Aku? Posisi aku sebagai istrimu di anggap apa?! Dan Mas menyuruhku berhubungan dengan lelaki ini yang jelas bukan suamiku! Otak Mas sudah nggak waras!" protesku.

Suamiku mendengus, menatapku dengan tatapan meremehkan.

l

"Sudahlah, jangan sok suci. Aku tahu kamu sangat ingin di sentuh olehku. Sayangnya, aku tidak mencintaimu. Jadi, sebagai suami yang baik dan pengertian aku sewa pemuda tampan untuk memuaskan istriku tersayang," ucap Mas Azzam sedikit meremehkan.

"Dan ingat, begitu anak itu lahir, kita bercerai. Aku bebas menikahi Lidya. Kau berikan anak itu untukku. Aku tidak akan mengusik kehidupanmu lagi," imbuh suamiku tersenyum puas.

Akupun menatap pemuda muda itu, perfect. Sangat tampan, tubuhnya bagus dan gadis manapun pasti akan tergila-gila padanya. Tapi aku masih waras, mana mungkin aku tidur dengan pria lain sementara aku masih bersuami. Ini gila, dan Mas Azzam sudah menyeret ide gilanya bersamaku. Aku kembali menatap Mas Azzam dengan mata berkaca-kaca, namun suaranya tetap tegas.

“Kamu benar-benar sudah kehilangan akal sehat, Mas. Menjadikan aku alat, menjadikan bayi yang bahkan belum ada sebagai senjata. Ini… gila!”

Mas Azzam meraih lenganku dengan kasar, mencengkeramnya erat. “Kamu nggak punya pilihan, Rin. Kalau kamu melawan, hidup keluargamu aku buat semakin hancur!”

Aku berusaha melepaskan lengannya, tapi cengkeraman Mas Azzam terlalu kuat. Nafasnya memburu, jantungnya berdentum keras menahan marah dan takut sekaligus.

Akupun beralih menatap tajam pada suamiku.“Dengar, aku tidak akan tidur dengan siapapun, Mas. Aku ini istrimu, bukan boneka yang bisa kamu atur-atur seenaknya!”

Mas Azzam mendekat, suaranya rendah tapi beracun. “Kalau kamu berani melawan… jangan salahkan aku kalau keluarga kamu yang jadi korban. Kamu tahu kan, aku bisa bikin usaha Ayahmu bangkrut? Aku bisa bikin adik-adikmu susah cari kerja. Sekali aku gerakkan jari, mereka semua hancur!” Ia kembali menekanku.

Nafasku tercekat, wajahku pucat. Ancaman itu menusuk tepat di titik lemahku. Mas Azzam tahu betul, keluargaku adalah segalanya. Aku pun gemetar, tapi tetap berusaha tegar .“Kenapa kamu begitu tega, Mas? Aku sudah berusaha jadi istri yang baik, tapi kamu balas dengan penghinaan seperti ini.”

Mas Azzam menyeringai, semakin menekannya. “Karena kamu cuma alat, Rin. Kamu dipelihara hanya untuk satu tujuan yaitu melahirkan anak buatku. Setelah itu, kamu bebas. Mau pergi ke mana pun, terserah. Tapi ingat, kalau sekarang kamu menolak… keluargamu yang akan menanggung akibatnya," peringat Mas Azzam kembali.

Pemuda muda terlihat gelisah. Bahkan ia tak menyangka suami Airin begitu tega. Awalnya, ia cuma butuh pekerjaan. Azzam menawarkan bayaran besar. Fikar nama pemuda itu. Ia tertarik karena ia butuh uang banyak untuk pengobatan ibu angkatnya.

Aku kembali mengangkat wajahku menatap Mas Azzam lurus dengan air mata yang sudah menggenang. Kemudian air mataku menetes perlahan-lahan di pipi. Rasanya sesak sekali, suami sendiri memaksaku tidur dengan pria lain.

Akhirnya aku pun menyerah, tak ada alasan bagiku menolak. Karena nasib keluargaku di pertaruhkan. Saat ini aku tidak punya kekuatan apapun. Aku tengah di posisi lemah. Mas Azzam yang memiliki kuasa. Uang dan segalanya.

“Kalau aku menurut, itu bukan karena aku rela. Tapi karena aku tidak mau keluargaku jadi korban keserakahanmu. Ingat baik-baik, Mas… semua yang kamu lakukan hari ini akan berbalik menyakitimu suatu saat nanti.”

Mas Azzam tidak mempedulikan perkataanku. Ia hanya memperhatikan istrinya mulai duduk di sofa berdampingan dengan pemuda itu. Azzam berdiri di samping, wajahnya puas. Ia seolah tengah menikmati setiap detik penderitaan istrinya.

"Sekarang, nikmati hari kalian. Dan kamu Airin ... jangan coba-coba menentang keputusanku! Paham!"

Kata itu menghantam dadaku seperti palu godam. Tubuhku gemetar, napasku tercekat. Aku pun menunduk, menyeka air mataku dengan punggung tangan, namun tangisku tak bisa sepenuhnya ku sembunyikan.

Mas Azzam menepuk bahuku pelan, suaranya dingin. “Bagus. Sekarang jalani peranmu. Ingat, semua ini untuk kebaikan kita. Jangan coba macam-macam.”

Aku menoleh sesaat, menatap Azzam dengan mata sembab tapi menyala oleh bara yang kusimpan dalam hati.

“Kamu pikir aku lemah hanya karena aku diam? Kamu salah besar, Mas. Diamku hari ini… adalah awal dari luka yang akan berbalik melukai kamu," ucapku lirih namun tegas.

Mas Azzam hanya mendengus, tak menganggap serius. Sementara aku menunduk lagi, air mataku masih jatuh tanpa bisa ditahan. Hatiku hancur berkeping-keping.

"Alaah, tidak usah mendoakan yang jelek-jelek untukku. Kurang baik apa coba aku ini. Membiarkan istriku bercinta dengan pria lain. Bahkan aku memiliki selera bagus mencarikan selingkuhan yang tampan. Kamu harus berterima kasih padaku," ucap Mas Azzam menarik daguku lalu menghempaskannya.

"Ingat, kamu hanya bertugas sampai kamu hamil. Setelah itu, kalian tak ada hubungan lagi. Paham!" ucap Mas Azzam beralih kepada pemuda di samping Airin.

"Mengerti Pak," sahut pemuda itu patuh.

"Bagus, ini kartu untuk belanja dan ini tiket jalan-jalan kalian. Selamat bersenang-senang." Mas Azzam menepuk bahu pemuda itu. Lalu dirinya keluar dan tertawa penuh kemenangan.

Pintu tertutup. Sunyi.

Aku dan pemuda muda itu terjebak dalam ruangan yang sama. Pemuda itu tampak canggung, duduk di tepi sofa, tak berani menatap Airin. Sementara Airin hanya menatap kosong ke lantai, pikirannya berkecamuk.

Dalam hati ia berteriak.

'Mas Azzam, kamu pikir aku akan selamanya terperangkap di permainanmu? Tidak. Aku akan mencari jalan keluar, meski harus merangkak dengan luka. Suatu hari nanti, semua yang kamu lakukan ini akan kembali menghancurkanmu,' batin Airin.

Suasana kamar hotel itu terasa sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas. Pemuda muda itu duduk di kursi, menunduk, tangannya meremas celana panjangnya sendiri. Airin masih di sisi ranjang, menatap kosong ke arah jendela yang tirainya tertutup rapat.

Beberapa menit berlalu dalam diam. Akhirnya, pemuda itu memberanikan diri bicara.

“Kak… saya minta maaf. Karena saya kakak jadi terpaksa melakukan sesuatu yang tidak kakak sukai. Maaf saya terpaksa menerima tawaran Pak Azzam," kata pemuda tersebut.

Aku pun menoleh perlahan, mataku masih sembab tapi tatapanku tetap saja dingin.

“Terpaksa?”

Pemuda itu mengangguk cepat. "Awalnya, aku butuh uang untuk pengobatan keluargaku. Karena aku cuma anak kuliahan yang pekerjaan sampinganku tidak bisa menutup biaya operasi ibu angkatku. Terpaksa aku menerima tawaran Pak Azzam. Maafkan aku Kak," ucapnya polos.

Aku menarik napas dalam, lalu menunduk, menahan air matanya yang hampir jatuh lagi.

“Jadi kita sama. Sama-sama korban.”

Pemuda itu menggigit bibir, rasa bersalah jelas tergambar di wajahnya.

“Saya nggak akan macam-macam. Tenang aja. Saya… akan tetap jaga Kak Airin sebisa saya. Walaupun keadaan kita begini, saya janji nggak akan memaksa menyentuh Kakak kalau Kakak belum siap."

Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba membaca ketulusan di mata pemuda itu. Ada keraguan, ada juga rasa takut, tapi juga ada kejujuran di sana. Aku tidak tahu apa yang harus di lakukan sekarang. Semua terjadi begitu cepat. Dan ini semua gara-gara suaminya. Ia berjanji tidak akan pernah memaafkannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   9

    Hari ini kami pulang dari hotel. Akhirnya kembali ke dunia nyata. Dimana aku di hadapkan keadaan yang sering membuatku terasa sesak. Aku melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan. Bersama Fikar yang membantuku membawa koper. Sesuai rencana, Mas Azzam menyuruhku tinggal di rumah ini bersama Fikar. Dan tentu saja rumah ini jauh dari keramaian. Rumah baru yang sengaja di pilih Mas Azzam untuk menjalankan rencananya. Tiba-tiba langkahku terhenti ketika mendapati sosok yang tidak asing sedang berdiri di ruang tamu. Mas Azzam bersandar santai di kusen pintu dengan ekspresi dingin.“Kamu akhirnya pulang juga,” ucap Mas Azzam pelan, suaranya datar namun sarat makna."Iya ... meski aku tahu kamu tidak pernah menginginkanku," jawabku asal."Benar ... tapi yang ku inginkan kamu hamil anak Fikar. Dan kalau sudah lahir serahkan padaku," petingatnya.Fikar terdiam membisu mendengarkan perkataan Mas Azzam."Fikar ... kamu tahu kan tugasmu? Kalau kamu berhasil membuat istriku hamil maka kamu ak

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   8

    "Semalam aku kelihatan takut ya?" tanyaku, mencoba terdengar ringan padahal dalam dada ada gugup yang menyerang. Mengingat mimpiku semalam begitu menekan hatiku.Fikar mengangguk pelan. “Iya. Aku dengar Kakak sesenggukan, terus… wajah Kakak kayak orang ketakutan. Aku khawatir, tapi aku nggak berani bangunin. Jadi… aku cuma biarin Kakak tetap tidur sambil… peluk aku.”Aku menggigit bibir bawahku, menahan perasaan yang mendadak menghangat di dada. “Maaf, ya. Aku bikin kamu repot.”“Bukan repot, Kak,” sahutnya cepat, lembut sekali. “Aku cuma pengen Kakak nggak merasa aman.”Kalimat itu menancap pelan di hatiku. Aku menarik napas panjang, menunduk sebelum akhirnya berbisik lirih. “Aku… mungkin kelihatan aneh ya. Semalam itu aku mimpi buruk. Rasanya nyata sekali… kayak aku kembali ke masa-masa yang paling menyakitkan.”Fikar diam mendengarkanku dengan seksama. Aku bisa merasakan tatapannya hangat, penuh perhatian.Ia menggenggam jemariku di pangkuan, mencoba menahan getaran suaraku. “Aku

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   7

    Langit malam terasa begitu sunyi. Hanya detik jam dinding yang terdengar di kamar. Aku menggeliat gelisah di atas ranjang, napasku memburu. Entah kenapa, dadaku terasa sesak dan keringat dingin mulai mengalir di pelipis. “Jangan… jangan dekati aku…” gumamku dalam mimpi yang menakutkan. Bayangan wajah Mas Azzam muncul begitu jelas, membuat tubuhku menggigil. “Aku benci kamu! Jangan ganggu keluargaku!” teriakku, hingga suaraku memecah kesunyian malam. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang hangat, seseorang memelukku, lembut tapi kokoh. Tubuh itu bergetar, namun menghadirkan rasa aman. Aku tak tahu apakah ini mimpi atau nyata. Dalam ketakutanku aku hanya bisa bergumam, “Jangan pergi… aku takut…” Dan aku merasa pelukan itu mengerat, diiringi suara lembut di telingaku. “Aku di sini, Kak. Jangan takut, nggak ada apa-apa.” Pelan-pelan napasku mulai tenang. Kegelapan di dalam mimpiku perlahan memudar, dan aku pun terlelap lagi dalam kehangatan. ** Saat mataku terbuka pagi harinya, sinar

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   6

    "Bagaimana?Kalian sudah melakukannya?" tanya Mas Azzam di telepon. "Sudah," jawabku pendek."Kalau begitu bagaimana hasilnya? Kamu beli tespek, kan?" tanya Mas Azzam lagi."Belum," jawabku malas."Tunggu apa lagi! Beli sekarang di apotek!" perintah suamiku di telepon."Oke."Aku pun mengakhiri telepon. Malam-malam suamiku sudah menggangguku. Aku merasa Mas Azzam itu bodoh, misal aku melakukannya dengan Fikar tidak mungkin juga sehari langsung ada garis merahnya. Bodo amat! Lama-lama tahu begini dia jadi makin enggan pulang ke rumah. Pria itu makin lama makin gila saja."Ada apa Kak? Mengapa Kakak cemberut?" tanya Fikar."Tidak ada apa-apa, kamu tidur saja," jawabku. "Kak, kita ini teman. Kakak tidak boleh menyimpan masalah sendiri. Sekarang Kakak punya teman cerita yaitu aku. Aku tidak akan membiarkan Kak Airin tenggelam dalam kesedihan sendirian," ucap Fikar.Aku terdiam sejenak. Kata-kata Fikar membuat dadaku terasa hangat, tapi sekaligus perih. Aku tak terbiasa ada seseorang yang

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   5

    Aku membuka pintu perlahan. Seorang petugas hotel berdiri dengan troli makanan lengkap dengan penutup peraknya. Senyumnya ramah, tapi mataku tak benar-benar fokus padanya. Aku hanya ingin semuanya cepat selesai. “Silakan taruh di sini,” ucapku pelan sambil menunjuk meja kecil di dekat jendela. Petugas itu menata semua dengan rapi sebelum pamit. Begitu pintu tertutup, aroma sup hangat dan lauk menggoda memenuhi kamar. Suasana mendadak terasa berbeda hangat tapi juga asing. Aku melihat Fikar menelan ludah, matanya berbinar seperti anak kecil. “Wah, enak banget keliatannya,” katanya dengan nada polos. Aku tersenyum kecil. “Ya sudah, ayo kita makan. Nanti keburu dingin.” Ia buru-buru menarik kursi, canggung, seolah takut bersikap salah. “Silakan duluan, Kak. Aku nanti aja.” Aku menatapnya sekilas, geli melihat sikap sopan yang berlebihan itu. “Santai aja, Fikar. Kita makan bareng.” Begitu ia duduk, kami mulai menyendok makanan masing-masing. Aku memandangi sendokku yang penu

  • Berondong Sewaan Pilihan Suamiku   4

    “Siapa namamu?” tanyaku setelah Mas Azzam pergi. Aku mencoba tenang meski suasana kamar ini terasa begitu canggung. “Namaku Fikar,” jawabnya lirih. Pemuda itu terlihat tidak nyaman menatapku. Ia buru-buru memilih melihat ke arah lain. Mungkin aku terlihat menyedihkan sekali. Suamiku saking tidak inginnya menyentuhku sampai menyuruh pria lain menghamiliku. Ironis bukan? “Baiklah, Fikar… aku harap kamu tidak memintaku melakukan hal di luar kehendakku,” ucapku pelan. Aku menoleh sebentar ke arahnya, lalu kembali mengalihkan pandangan. Bibirku mengerjap pahit. Senyum getir yang bahkan aku sendiri tak yakin artinya apa. “Aku tahu… situasi ini aneh untukmu.” Ia mengangguk gugup dan memilih duduk di sudut kamar, menjaga jarak. “Iya… jujur aja, aku nggak pernah bayangin bakal kenalan dengan cara seperti ini. Apalagi dengan seseorang yang….”Kalimatnya terhenti. Aku bisa menebak sisa ucapannya. “Dengan seseorang yang lebih tua darimu, begitu?” tanyaku tersenyum tipis. Ia buru-bur

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status