LOGINMataku sulit terpejam, bagaimana tidak suara dari sebelah kamar cukup mengusikku. Sesekali terdengar canda tawa mesra, pujian, dan suara ranjang berdecit, berulang-ulang, seirama dengan tawa dan desahan yang tak asing di telinganya. Aku cukup dewasa untuk menebak apa yang mereka lakukan di dalam sana.
Tubuhku menegang, dadaku serasa sesak sulit untuk bernafas. Aku seperti orang asing yang di rumahku sendiri. Membiarkan perbuatan menjijikan itu berlangsung di kamar utama kami. Ironis sekali, tapi aku tidak memiliki kuasa untuk mencegahnya. Tak ada yang bisa aku lakukan di kamar ini selain menangisi kebodohanku dengan menutup telingaku dengan bantal, berharap bisa meredam semua, namun tetap saja suara itu menusuk masuk melukai hatinya. Airin menyesal mengapa ia dulu setuju di jodohkan dengan Azzam. Ia pikir dari waktu ke waktu dirinya dapat meluluhkan hati Azzam. Hingga pria itu dapat mencintainya tulus. Namun sepertinya harapannya itu tidak akan pernah terwujud selama cinta pertama Azzam selalu saja nempel ke sana kemari. Pernikahan tiga tahun itu tidak ada artinya. Ia sudah berusaha sebisa mungkin menjadi istri yang baik dan mandiri. Meskipun Azzam seorang pengusaha kaya raya, tidak serta merta membuat Airin silau harta. Ia tahu Azzam tidak pernah mencintainya. Maka dari itu dia harus mempersiapkan diri jika kelak Azzam menceraikannya. Airin menjadi seorang dosen Bahasa Inggris di universitas terkemuka di kota. Ia tidak mau menghabiskan waktunya seharian di rumah. Karena Azzam juga jarang pulang. Ia sering mampir ke apartemen kekasihnya dan jarang pulang tepat waktu. Airin tidak pernah menuntut, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri di tengah kesibukannya sebagai dosen pengajar. Dan ia selalu memasak makanan kesukaan Azzam, menyiapkan keperluannya mulai baju dan hal sekecil apapun. Kecuali ranjang, karena Azzam tidak pernah menginginkannya. Dan Airin tidak menuntut. Ia paham betul hati Azzam sudah sepenuhnya milik Lydia. Malam pun tiba, Airin keluar dari kamarnya. Langkah kakinya ringan menuju ke dapur. Ia hendak memasak buat makan malam Azzam. Meski Airin marah karena Azzam berselingkuh di hadapannya, ia tetap tidak bisa mengabaikan tugasnya sebagai istri. Dan sialnya, perempuan perusak rumah tangganya itu ternyata belum pulang. Canda tawa mereka terdengar riang di ruang keluarga. Sesekali nada manja Lidya menusuk telinga, namun Airin tidak menoleh sedikit pun. Wajahnya datar, matanya fokus pada sayatan pisau di papan talenan. Seolah suara itu hanya riak kecil di tengah lautan kesabarannya. Airin tahu dirinya sedang dipermainkan, tapi ia bukan perempuan lemah yang akan menunjukkan luka pada orang yang menikamnya. Semua sakit ia simpan rapat-rapat dalam dadanya. Yang tampak di luar hanya ketegaran seorang wanita yang mampu tersenyum meski hatinya berdarah. Meja makan akhirnya tersaji lengkap. Airin meletakkan hidangan satu per satu dengan tenang, tanpa banyak bicara. Aroma masakan memenuhi ruangan, namun suasana tetap berat sebelah. Azzam duduk di samping Lidya, menaruh lauk di piringnya dengan penuh perhatian. “Sayang, coba ini. Enak banget pasti,” ucapnya sambil menyendokkan ayam ke piring Lidya. Lidya tersenyum manja, menatap Azzam penuh kemenangan. “Makasih, Mas. Kamu baik banget sih.” “Airin, kamu nggak marah kan? Soalnya Mas Azzam lebih peduli sama aku.” Airin mengangkat wajahnya, tersenyum tipis tanpa emosi.“Kenapa harus marah? Aku malas memperebutkan hal yang tidak penting." Azzam sempat tersinggung dengan ucapan istri sahnya. Tapi ia tidak mau merusak suasana makan Lidya hari ini. Dalam hatinya dia akan membuat perhitungan pada Airin setelah ini. Airin hanya menunduk sebentar, lalu mulai makan dengan tenang. Gerakannya anggun, sendok dan garpu di tangannya tak bergetar sedikit pun. Seakan tak peduli dengan drama di hadapannya. Ia menikmati setiap suapan, meski tenggorokannya terasa tercekat oleh kenyataan pahit. Sekilas, tatapan Airin menyinggung ke arah Azzam dan Lidya. Namun bukannya cemburu atau marah, hanya ada dingin yang tersimpan rapi. Hening hanya diisi oleh suara sendok garpu. Airin terus makan, menjaga martabatnya, sementara Azzam sibuk meladeni Lidya. Makan malam berlanjut dalam hening. Sesekali hanya terdengar suara sendok dan garpu beradu dengan piring. Azzam masih terlihat sesekali menoleh ke arah Airin, seolah mencari celah untuk melampiaskan kekesalannya. Sementara Lidya sibuk bersandiwara dengan senyum manisnya. Airin menaruh sendoknya, menyeka bibir dengan tisu, lalu bangkit berdiri dengan anggun. "Silahkan kalian teruskan adegan perselingkuhannya. Aku sudah selesai makan." Tanpa menunggu tanggapan, Airin merapikan piringnya sendiri dan melangkah pergi menuju kamar. Langkahnya ringan, tegak, seolah tak terbebani sedikit pun oleh kehadiran pasangan itu. Azzam menatap punggung Airin yang menjauh, rahangnya mengeras.'Sialan, mulutnya tajam sekali.' Lidya menempelkan tangannya ke lengan Azzam, berusaha menenangkan. "Biarin aja Sayang, lumayan kan dia ada di sini ada yang masak enak buat kita. Biarkan saja dia seperti itu." Namun di dalam hati Azzam justru tersulut. Semakin Airin terlihat tenang dan tak tergoyahkan, semakin harga dirinya terasa ditantang. Begitu pintu kamar tertutup, keheningan menyelimuti. Airin bersandar di balik pintu, napasnya berat. Wajah tenang yang ia tunjukkan di meja makan tadi perlahan runtuh. Ia berjalan ke arah ranjang, duduk di tepi dengan tubuh yang tiba-tiba terasa lelah. Tangannya menggenggam sprei erat-erat, mencoba menahan air mata yang sudah mendesak keluar. Airin menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Isak kecil akhirnya lolos juga, namun segera ia usap dengan cepat. Ia tak ingin terlalu lama larut dalam kesedihan. Tidak ada yang boleh melihat kelemahannya, bahkan dirinya sendiri pun ia paksa untuk tetap kuat. Ia berbaring miring, memeluk bantal erat-erat, menatap kosong ke arah dinding. Ia meratapi nasibnya yang sangat menderita. Pagi pun tiba, tak seperti biasa hari minggu Azzam pagi-pagi ada di rumah. Tapi Airin tak peduli, ada tidaknya dia tak ada pengaruhnya. Airin keluar dari kamar dengan pakaian santai, menenteng cangkir kopi tanpa sedikit pun menoleh ke arah suaminya. Azzam melirik Rin, nanti siang ikut aku, ya.” Airin berhenti sejenak, menoleh dengan tatapan datar. "Ikut? Ke mana?” Azzam bangkit, mendekatinya, suaranya datar tapi tegas. “Ada pesta temenku. Aku nggak mau datang sendirian. Aku sudah menyiapkan gaunnya." "Harusnya kamu ajak Lidya saja. Lagi pula aku tidak tertarik acara begituan," balas Airin cuek. Azzam menahan amarah, suaranya merendah namun penuh ancaman. “Airin, jangan bikin aku hilang kesabaran. Ini bukan sekadar pesta. Ada orang penting yang harus kamu temui di sana. Airin menatapnya tajam, berusaha membaca gelagat. Ada sesuatu yang disembunyikan Azzam, tapi ia memilih diam. Ia tahu percuma berdebat dengan lelaki yang keras kepala. “Baik. Tapi ingat, aku nggak suka dipermainkan. Kalau ternyata alasannya bukan seperti yang kamu bilang… kamu akan menyesal sudah menyeret aku ke sana.”Hari ini kami pulang dari hotel. Akhirnya kembali ke dunia nyata. Dimana aku di hadapkan keadaan yang sering membuatku terasa sesak. Aku melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan. Bersama Fikar yang membantuku membawa koper. Sesuai rencana, Mas Azzam menyuruhku tinggal di rumah ini bersama Fikar. Dan tentu saja rumah ini jauh dari keramaian. Rumah baru yang sengaja di pilih Mas Azzam untuk menjalankan rencananya. Tiba-tiba langkahku terhenti ketika mendapati sosok yang tidak asing sedang berdiri di ruang tamu. Mas Azzam bersandar santai di kusen pintu dengan ekspresi dingin.“Kamu akhirnya pulang juga,” ucap Mas Azzam pelan, suaranya datar namun sarat makna."Iya ... meski aku tahu kamu tidak pernah menginginkanku," jawabku asal."Benar ... tapi yang ku inginkan kamu hamil anak Fikar. Dan kalau sudah lahir serahkan padaku," petingatnya.Fikar terdiam membisu mendengarkan perkataan Mas Azzam."Fikar ... kamu tahu kan tugasmu? Kalau kamu berhasil membuat istriku hamil maka kamu ak
"Semalam aku kelihatan takut ya?" tanyaku, mencoba terdengar ringan padahal dalam dada ada gugup yang menyerang. Mengingat mimpiku semalam begitu menekan hatiku.Fikar mengangguk pelan. “Iya. Aku dengar Kakak sesenggukan, terus… wajah Kakak kayak orang ketakutan. Aku khawatir, tapi aku nggak berani bangunin. Jadi… aku cuma biarin Kakak tetap tidur sambil… peluk aku.”Aku menggigit bibir bawahku, menahan perasaan yang mendadak menghangat di dada. “Maaf, ya. Aku bikin kamu repot.”“Bukan repot, Kak,” sahutnya cepat, lembut sekali. “Aku cuma pengen Kakak nggak merasa aman.”Kalimat itu menancap pelan di hatiku. Aku menarik napas panjang, menunduk sebelum akhirnya berbisik lirih. “Aku… mungkin kelihatan aneh ya. Semalam itu aku mimpi buruk. Rasanya nyata sekali… kayak aku kembali ke masa-masa yang paling menyakitkan.”Fikar diam mendengarkanku dengan seksama. Aku bisa merasakan tatapannya hangat, penuh perhatian.Ia menggenggam jemariku di pangkuan, mencoba menahan getaran suaraku. “Aku
Langit malam terasa begitu sunyi. Hanya detik jam dinding yang terdengar di kamar. Aku menggeliat gelisah di atas ranjang, napasku memburu. Entah kenapa, dadaku terasa sesak dan keringat dingin mulai mengalir di pelipis. “Jangan… jangan dekati aku…” gumamku dalam mimpi yang menakutkan. Bayangan wajah Mas Azzam muncul begitu jelas, membuat tubuhku menggigil. “Aku benci kamu! Jangan ganggu keluargaku!” teriakku, hingga suaraku memecah kesunyian malam. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang hangat, seseorang memelukku, lembut tapi kokoh. Tubuh itu bergetar, namun menghadirkan rasa aman. Aku tak tahu apakah ini mimpi atau nyata. Dalam ketakutanku aku hanya bisa bergumam, “Jangan pergi… aku takut…” Dan aku merasa pelukan itu mengerat, diiringi suara lembut di telingaku. “Aku di sini, Kak. Jangan takut, nggak ada apa-apa.” Pelan-pelan napasku mulai tenang. Kegelapan di dalam mimpiku perlahan memudar, dan aku pun terlelap lagi dalam kehangatan. ** Saat mataku terbuka pagi harinya, sinar
"Bagaimana?Kalian sudah melakukannya?" tanya Mas Azzam di telepon. "Sudah," jawabku pendek."Kalau begitu bagaimana hasilnya? Kamu beli tespek, kan?" tanya Mas Azzam lagi."Belum," jawabku malas."Tunggu apa lagi! Beli sekarang di apotek!" perintah suamiku di telepon."Oke."Aku pun mengakhiri telepon. Malam-malam suamiku sudah menggangguku. Aku merasa Mas Azzam itu bodoh, misal aku melakukannya dengan Fikar tidak mungkin juga sehari langsung ada garis merahnya. Bodo amat! Lama-lama tahu begini dia jadi makin enggan pulang ke rumah. Pria itu makin lama makin gila saja."Ada apa Kak? Mengapa Kakak cemberut?" tanya Fikar."Tidak ada apa-apa, kamu tidur saja," jawabku. "Kak, kita ini teman. Kakak tidak boleh menyimpan masalah sendiri. Sekarang Kakak punya teman cerita yaitu aku. Aku tidak akan membiarkan Kak Airin tenggelam dalam kesedihan sendirian," ucap Fikar.Aku terdiam sejenak. Kata-kata Fikar membuat dadaku terasa hangat, tapi sekaligus perih. Aku tak terbiasa ada seseorang yang
Aku membuka pintu perlahan. Seorang petugas hotel berdiri dengan troli makanan lengkap dengan penutup peraknya. Senyumnya ramah, tapi mataku tak benar-benar fokus padanya. Aku hanya ingin semuanya cepat selesai. “Silakan taruh di sini,” ucapku pelan sambil menunjuk meja kecil di dekat jendela. Petugas itu menata semua dengan rapi sebelum pamit. Begitu pintu tertutup, aroma sup hangat dan lauk menggoda memenuhi kamar. Suasana mendadak terasa berbeda hangat tapi juga asing. Aku melihat Fikar menelan ludah, matanya berbinar seperti anak kecil. “Wah, enak banget keliatannya,” katanya dengan nada polos. Aku tersenyum kecil. “Ya sudah, ayo kita makan. Nanti keburu dingin.” Ia buru-buru menarik kursi, canggung, seolah takut bersikap salah. “Silakan duluan, Kak. Aku nanti aja.” Aku menatapnya sekilas, geli melihat sikap sopan yang berlebihan itu. “Santai aja, Fikar. Kita makan bareng.” Begitu ia duduk, kami mulai menyendok makanan masing-masing. Aku memandangi sendokku yang penu
“Siapa namamu?” tanyaku setelah Mas Azzam pergi. Aku mencoba tenang meski suasana kamar ini terasa begitu canggung. “Namaku Fikar,” jawabnya lirih. Pemuda itu terlihat tidak nyaman menatapku. Ia buru-buru memilih melihat ke arah lain. Mungkin aku terlihat menyedihkan sekali. Suamiku saking tidak inginnya menyentuhku sampai menyuruh pria lain menghamiliku. Ironis bukan? “Baiklah, Fikar… aku harap kamu tidak memintaku melakukan hal di luar kehendakku,” ucapku pelan. Aku menoleh sebentar ke arahnya, lalu kembali mengalihkan pandangan. Bibirku mengerjap pahit. Senyum getir yang bahkan aku sendiri tak yakin artinya apa. “Aku tahu… situasi ini aneh untukmu.” Ia mengangguk gugup dan memilih duduk di sudut kamar, menjaga jarak. “Iya… jujur aja, aku nggak pernah bayangin bakal kenalan dengan cara seperti ini. Apalagi dengan seseorang yang….”Kalimatnya terhenti. Aku bisa menebak sisa ucapannya. “Dengan seseorang yang lebih tua darimu, begitu?” tanyaku tersenyum tipis. Ia buru-bur







