LOGIN“Siapa namamu?” tanyaku setelah Mas Azzam pergi. Aku mencoba tenang meski suasana kamar ini terasa begitu canggung.
“Namaku Fikar,” jawabnya lirih. Pemuda itu terlihat tidak nyaman menatapku. Ia buru-buru memilih melihat ke arah lain. Mungkin aku terlihat menyedihkan sekali. Suamiku saking tidak inginnya menyentuhku sampai menyuruh pria lain menghamiliku. Ironis bukan? “Baiklah, Fikar… aku harap kamu tidak memintaku melakukan hal di luar kehendakku,” ucapku pelan. Aku menoleh sebentar ke arahnya, lalu kembali mengalihkan pandangan. Bibirku mengerjap pahit. Senyum getir yang bahkan aku sendiri tak yakin artinya apa. “Aku tahu… situasi ini aneh untukmu.” Ia mengangguk gugup dan memilih duduk di sudut kamar, menjaga jarak. “Iya… jujur aja, aku nggak pernah bayangin bakal kenalan dengan cara seperti ini. Apalagi dengan seseorang yang….” Kalimatnya terhenti. Aku bisa menebak sisa ucapannya. “Dengan seseorang yang lebih tua darimu, begitu?” tanyaku tersenyum tipis. Ia buru-buru menggeleng, wajahnya memerah. “Bukan… bukan begitu maksudku. Aku cuma… belum siap, Kak.” Aku tersenyum samar. “Kamu bisa panggil aku Airin saja. Jangan Kak. Aku merasa terlalu tua kalau kamu memanggil begitu.” “I… iya Kak ... eh, Airin. Aduh, aku kok malah salah tingkah, ya?” katanya, kikuk. Aku tak kuasa menahan tawa kecil, dan entah kenapa tawaku membuat wajahnya makin memerah. Lucu sekali. Kami kembali diam. Ia memainkan ponselnya, sementara aku menunduk menatap lantai. Kami seperti dua orang asing yang tiba-tiba dipaksa duduk bersama tanpa tahu harus berbuat apa. Mataku sempat menatapnya sekilas. Wajahnya polos,sorot matanya terlihat gugup, tapi juga tulus. Ia sama bingungnya denganku. Bedanya, ia masih muda, masih punya masa depan. Sedangkan aku… hanya perempuan yang dijadikan pion dalam permainan suamiku. “Kamu masih mahasiswa, kan?” akhirnya aku memecah diam. “Iya… semester lima.” Suaranya ragu, nyaris seperti bisikan. “Maafkan aku,” gumamnya tiba-tiba. Aku menatapnya. “Kenapa minta maaf? Bukankah kita sama-sama tidak memilih ini?” Ia menatapku balik, dan aku bisa melihat ada kebingungan sekaligus kasihan di matanya. Mungkin ia juga tidak mengerti kenapa harus terlibat dalam semua ini. “Mungkin… aku hanya bisa menawarkan pertemanan padamu. Tidak lebih,” ucapku lirih. “Karena jujur, hatiku belum siap untuk semua ini.” “Iya, aku tahu. Makasih, Kak ...eh, Airin. Maksudku… terima kasih sudah menerimaku dengan baik,” ujarnya gugup. Aku mengangguk kecil. “Panggil aku sesukamu. Senyamanmu saja.” Keheningan kembali menguasai ruangan. Lalu… terdengar bunyi perutnya. Aku hampir tertawa tapi menahannya. “Kalau kamu lapar bilang aja, nanti aku pesan makanan,” kataku. Ia langsung panik. “Eh… maaf, Kak Airin.” “Sudah, nggak usah malu. Aku juga lapar sebenarnya,” ujarku sambil menarik napas pelan. “Kalau gitu… boleh kita makan bareng?” tanyanya pelan, hampir seperti anak kecil yang takut ditolak. Aku sempat menatap meja kosong di depan kami. Hati kecilku berkata aneh—antara masih kesal dengan nasibku dan entah kenapa merasa iba melihatnya. “Baiklah,” kataku akhirnya. Ia tersenyum lega. “Terima kasih.” “Terima kasih atas apa?” tanyaku heran. “Terima kasih karena Kakak masih peduli perutku yang lapar,” ujarnya sambil menggaruk kepala yang jelas tidak gatal. Aku terkekeh kecil. “Kamu bisa aja.” Aku menekan tombol telepon di meja, memesan makanan untuk dua orang. Setelah menutup gagang telepon, aku kembali duduk. “Sudah aku pesan. Nanti sebentar lagi diantar,” kataku singkat. “Terima kasih… kalau sendiri mungkin aku cuma berani beli mie instan,” katanya polos. Aku menatapnya, mengangkat alis. “Mie instan? Kamu kira kita lagi ngekos?” “Hehe… iya juga sih. Kebiasaan anak kos, Kak. Susah ilang.” Aku akhirnya tak tahan, sudut bibirku terangkat. “Ya ampun, dasar mahasiswa.” Ia mengusap perutnya dan berujar, “Mudah-mudahan pesanannya cepat datang, kalau nggak nanti ada konser orkestra dari perutku.” Aku menahan tawa, tapi gagal. “Kamu ini, ada aja,” kataku sambil tertawa kecil. “Nah, gitu dong,” katanya senang. “Kalau ketawa, Kakak kelihatan lebih… ramah.” “Memangnya aku kelihatan galak, ya?” tanyaku pura-pura kesal. “Hehehe… iya sedikit.” “Sedikit?” aku menyilangkan tangan, menatapnya pura-pura tajam. “Eh nggak! Maksudku berwibawa! Kayak dosen killer tapi baik hati,” ujarnya cepat-cepat. Aku akhirnya tertawa lepas. “Astaga, jadi aku dosen killer, hah?” Ia menunduk malu. “Ya… tapi Kakak ketawanya cantik banget. Beda sama dosen baruku nanti.” “Dosen baru?” tanyaku, kening berkerut. “Iya, katanya dosen waliku bakal diganti sama dosen baru, ngajar Bahasa Inggris. Katanya galak banget, kuliahnya kayak horor,” ceritanya antusias. Aku tersenyum samar. “Oh, dosen Bahasa Inggris, ya? Aku juga dosen Bahasa Inggris, loh.” “Eh, beneran? Tapi Kakak nggak galak kok. Tapi… manis dan cantik,” katanya jujur tapi kikuk. Aku menyandarkan tubuh ke sofa, menatapnya setengah menggoda. “Oh ya? Jadi aku manis dan cantik, gitu?” Ia langsung salah tingkah, mengusap tengkuknya. “I-iya… maksudku, ya gitu deh. Kalau dosen kayak Kakak, aku rasa nggak ada mahasiswa yang bolos.” Aku terkekeh. “Hati-hati, jangan kebablasan. Bisa-bisa aku beneran jadi dosen killer buatmu.” “Jangan, Kak. Cukup jadi dosen yang manis aja,” katanya cepat-cepat, dan entah kenapa aku merasa geli mendengarnya. Lucu, pikirku. Anak ini benar-benar jujur. Entah bagaimana, kegugupannya membuatku untuk pertama kali merasa… tidak seburuk hari ini. “Oh ya, kamu kuliah di mana?” tanyaku. “Di—” Belum sempat ia menjawab, terdengar ketukan di pintu. “Sebentar, biar aku yang buka pintunya” kataku, bangkit dari sofa.Hari ini kami pulang dari hotel. Akhirnya kembali ke dunia nyata. Dimana aku di hadapkan keadaan yang sering membuatku terasa sesak. Aku melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan. Bersama Fikar yang membantuku membawa koper. Sesuai rencana, Mas Azzam menyuruhku tinggal di rumah ini bersama Fikar. Dan tentu saja rumah ini jauh dari keramaian. Rumah baru yang sengaja di pilih Mas Azzam untuk menjalankan rencananya. Tiba-tiba langkahku terhenti ketika mendapati sosok yang tidak asing sedang berdiri di ruang tamu. Mas Azzam bersandar santai di kusen pintu dengan ekspresi dingin.“Kamu akhirnya pulang juga,” ucap Mas Azzam pelan, suaranya datar namun sarat makna."Iya ... meski aku tahu kamu tidak pernah menginginkanku," jawabku asal."Benar ... tapi yang ku inginkan kamu hamil anak Fikar. Dan kalau sudah lahir serahkan padaku," petingatnya.Fikar terdiam membisu mendengarkan perkataan Mas Azzam."Fikar ... kamu tahu kan tugasmu? Kalau kamu berhasil membuat istriku hamil maka kamu ak
"Semalam aku kelihatan takut ya?" tanyaku, mencoba terdengar ringan padahal dalam dada ada gugup yang menyerang. Mengingat mimpiku semalam begitu menekan hatiku.Fikar mengangguk pelan. “Iya. Aku dengar Kakak sesenggukan, terus… wajah Kakak kayak orang ketakutan. Aku khawatir, tapi aku nggak berani bangunin. Jadi… aku cuma biarin Kakak tetap tidur sambil… peluk aku.”Aku menggigit bibir bawahku, menahan perasaan yang mendadak menghangat di dada. “Maaf, ya. Aku bikin kamu repot.”“Bukan repot, Kak,” sahutnya cepat, lembut sekali. “Aku cuma pengen Kakak nggak merasa aman.”Kalimat itu menancap pelan di hatiku. Aku menarik napas panjang, menunduk sebelum akhirnya berbisik lirih. “Aku… mungkin kelihatan aneh ya. Semalam itu aku mimpi buruk. Rasanya nyata sekali… kayak aku kembali ke masa-masa yang paling menyakitkan.”Fikar diam mendengarkanku dengan seksama. Aku bisa merasakan tatapannya hangat, penuh perhatian.Ia menggenggam jemariku di pangkuan, mencoba menahan getaran suaraku. “Aku
Langit malam terasa begitu sunyi. Hanya detik jam dinding yang terdengar di kamar. Aku menggeliat gelisah di atas ranjang, napasku memburu. Entah kenapa, dadaku terasa sesak dan keringat dingin mulai mengalir di pelipis. “Jangan… jangan dekati aku…” gumamku dalam mimpi yang menakutkan. Bayangan wajah Mas Azzam muncul begitu jelas, membuat tubuhku menggigil. “Aku benci kamu! Jangan ganggu keluargaku!” teriakku, hingga suaraku memecah kesunyian malam. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang hangat, seseorang memelukku, lembut tapi kokoh. Tubuh itu bergetar, namun menghadirkan rasa aman. Aku tak tahu apakah ini mimpi atau nyata. Dalam ketakutanku aku hanya bisa bergumam, “Jangan pergi… aku takut…” Dan aku merasa pelukan itu mengerat, diiringi suara lembut di telingaku. “Aku di sini, Kak. Jangan takut, nggak ada apa-apa.” Pelan-pelan napasku mulai tenang. Kegelapan di dalam mimpiku perlahan memudar, dan aku pun terlelap lagi dalam kehangatan. ** Saat mataku terbuka pagi harinya, sinar
"Bagaimana?Kalian sudah melakukannya?" tanya Mas Azzam di telepon. "Sudah," jawabku pendek."Kalau begitu bagaimana hasilnya? Kamu beli tespek, kan?" tanya Mas Azzam lagi."Belum," jawabku malas."Tunggu apa lagi! Beli sekarang di apotek!" perintah suamiku di telepon."Oke."Aku pun mengakhiri telepon. Malam-malam suamiku sudah menggangguku. Aku merasa Mas Azzam itu bodoh, misal aku melakukannya dengan Fikar tidak mungkin juga sehari langsung ada garis merahnya. Bodo amat! Lama-lama tahu begini dia jadi makin enggan pulang ke rumah. Pria itu makin lama makin gila saja."Ada apa Kak? Mengapa Kakak cemberut?" tanya Fikar."Tidak ada apa-apa, kamu tidur saja," jawabku. "Kak, kita ini teman. Kakak tidak boleh menyimpan masalah sendiri. Sekarang Kakak punya teman cerita yaitu aku. Aku tidak akan membiarkan Kak Airin tenggelam dalam kesedihan sendirian," ucap Fikar.Aku terdiam sejenak. Kata-kata Fikar membuat dadaku terasa hangat, tapi sekaligus perih. Aku tak terbiasa ada seseorang yang
Aku membuka pintu perlahan. Seorang petugas hotel berdiri dengan troli makanan lengkap dengan penutup peraknya. Senyumnya ramah, tapi mataku tak benar-benar fokus padanya. Aku hanya ingin semuanya cepat selesai. “Silakan taruh di sini,” ucapku pelan sambil menunjuk meja kecil di dekat jendela. Petugas itu menata semua dengan rapi sebelum pamit. Begitu pintu tertutup, aroma sup hangat dan lauk menggoda memenuhi kamar. Suasana mendadak terasa berbeda hangat tapi juga asing. Aku melihat Fikar menelan ludah, matanya berbinar seperti anak kecil. “Wah, enak banget keliatannya,” katanya dengan nada polos. Aku tersenyum kecil. “Ya sudah, ayo kita makan. Nanti keburu dingin.” Ia buru-buru menarik kursi, canggung, seolah takut bersikap salah. “Silakan duluan, Kak. Aku nanti aja.” Aku menatapnya sekilas, geli melihat sikap sopan yang berlebihan itu. “Santai aja, Fikar. Kita makan bareng.” Begitu ia duduk, kami mulai menyendok makanan masing-masing. Aku memandangi sendokku yang penu
“Siapa namamu?” tanyaku setelah Mas Azzam pergi. Aku mencoba tenang meski suasana kamar ini terasa begitu canggung. “Namaku Fikar,” jawabnya lirih. Pemuda itu terlihat tidak nyaman menatapku. Ia buru-buru memilih melihat ke arah lain. Mungkin aku terlihat menyedihkan sekali. Suamiku saking tidak inginnya menyentuhku sampai menyuruh pria lain menghamiliku. Ironis bukan? “Baiklah, Fikar… aku harap kamu tidak memintaku melakukan hal di luar kehendakku,” ucapku pelan. Aku menoleh sebentar ke arahnya, lalu kembali mengalihkan pandangan. Bibirku mengerjap pahit. Senyum getir yang bahkan aku sendiri tak yakin artinya apa. “Aku tahu… situasi ini aneh untukmu.” Ia mengangguk gugup dan memilih duduk di sudut kamar, menjaga jarak. “Iya… jujur aja, aku nggak pernah bayangin bakal kenalan dengan cara seperti ini. Apalagi dengan seseorang yang….”Kalimatnya terhenti. Aku bisa menebak sisa ucapannya. “Dengan seseorang yang lebih tua darimu, begitu?” tanyaku tersenyum tipis. Ia buru-bur







