"Tidak bisa sayang, aku harus buat laporan hari ini. Pa Wisnu pasti sedang menungguku. Tapi Papa janji, hari ini Papa pasti pulang tepat waktu, ya?" jelas Samsul meyakinkan Mila yang tak mau melepaskan pelukannya.
"Tapi Pa! Mama ini butuh perhatian Papa!"
"Iya, Papa ngerti Ma. Tapi tolong! Lihat situasi Papa. Di kantor kerjaan numpuk. Papa gak enak sama Pa Wisnu. Hari ini Papa akan serahkan berkas penting sama dia."
Setelah mengatakan itu. Samsul pergi dengan tergesa- gesa, lalu mengeluarkan motornya.
"Dah Ma... tunggu Papa, ya? Papa pasti pulang sore. Ok!"
Mengendarai motornya. Samsul pergi meninggalkan Mila yang berdiri terpaku di depan teras rumahnya.
Dengan wajah memerah karena menahan amarah pada suaminya. Mila masuk ke dalam rumah.
Dadanya sesak mendapati sikap Samsul yang tak pernah perhatian padanya. Jangankan mengajaknya jalan. Sekedar menghabiskan waktu bersamanya saja. Samsul tak pernah ada waktu untuk bersenda gurau dengan istrinya. Waktunya hanya untuk pekerjaan. Melupakan Mila yang tiap harus berteman sepi, sendiri dan sunyi. Lain halnya jika ia memiliki anak. Pasti Mila sedikit terhibur dengan kehadirannya.
Air mata menggenangi pipinya.
Lalu ia menatap photo pernikahan nya dulu bersama Samsul.
Ia mulai mengenang awal pertama berjumpa dengan suaminya.
Lewat perjodohan pamannya. Mila mengenal Samsul.
Saat itu Mila bekerja di sebuah perusahaan garmen di kota kelahirannya Bandung.
Mila seorang pekerja keras dan rajin. Tak ada yang istimewa dalam hidupnya. Mila besar dari keluarga yang tak mampu. Untuk itulah ia bekerja tak kenal waktu demi membiayai sekolah adik- adiknya. Hingga melupakan dirinya yang kian hari kian bertambah usianya.
Disanalah paman Mila mulai mencemaskan Mila. Di umurnya yang kala itu hampir menginjak tiga puluh tujuh tahun. Pamannya memperkenalkan Mila pada Samsul.
Atas desakan keluarga dan kerabatnya. Akhirnya Mila menyetujui lamaran Samsul. Yang beda usia dua tahun. Kala itu umur Samsul tiga puluh sembilan tahun. Keduanya sama- sama pekerja keras.
Setelah menikah dengan Samsul. Mila di boyong Samsul ke Bogor. Dan Mila pun memutuskan untuk resign dari pekerjaannya. Atas permintaan Samsul.
Setahun usia pernikahan mereka. Tak ada yang berubah. Samsul begitu sayang dan memanjakan Mila. Samsul bahkan tak pernah memperhitungkan uang yang di habiskan Mila. Terserah mau gunakan apa uang hasil kerja kerasnya. Yang penting Mila bahagia.
Bahkan tanpa diminta Mila. Samsul juga rutin setiap bulan mentransfer sebagian gajinya untuk meringankan beban keluarga Mila. Termasuk biaya sekolah kedua adik Mila.
Tabungan Mila sebenarnya lumayan banyak di bank. Tapi Samsul tak pernah menggunakannya. Bahkan Samsul memberi kebebasan pada Mila untuk kepentingan Mila saja. Tak pernah sepeserpun Samsul memintanya.
Hanya satu kekurangan Samsul. Yaitu nafkah batin. Samsul tak bisa memuaskan hasratnya. Mungkin karena pekerjaan yang membuatnya stres. Yang mempengaruhi staminanya di tempat tidur. Hingga membuatnya cepat lelah dan loyo.
Setahun dua tahun hingga tiga tahun ini. Mila mulai terganggu dengan kelemahan Samsul. Ia mulai tersiksa jika melakukan kontak fisik dengan suaminya. Sebagaimana para istri selalu mendambakan surga dunia dari suami tercintanya.
Tapi saat itu, Mila bisa mengatasinya dengan menyibukkan diri bergaul dengan emak- emak di tempat senam. Tapi justru karena pergaulan itulah. Mila mulai terpengaruh dengan obrolan teman- temannya di tempat senam.
Seringkali para emak- emak di sana. Membicarakan kekuatan suami saat di ranjang. Mereka saling curhat mengenai kemampuan suaminya. Bahkan mereka saling membanding- bandingkan kejantanan suaminya satu sama lain. Membuat batin Mila iri.
Sebenarnya Mila begitu penasaran dengan puncak kenikmatan yang dibicarakan teman- temannya. Karena ia belum pernah merasakan itu selama berumah tangga dengan Samsul.
Hanya saja ia pernah merasakan sakit saat Samsul mengambil mahkotanya dulu.
Sekali lagi. Mila tak terpengaruh dengan obrolan yang tak penting temannya. Hingga ia pun mulai sibuk dengan dunia media sosial.
Dan, disanalah ia mulai berkenalan dengan lelaki muda yang bernama Deni. Dari Poto profile nya. Wajah Deni begitu tampan memiliki dada kekar dan sembada.
Kemudian berlanjut saling bertemu di tempat yang telah mereka sepakati. Deni lelaki muda yang pintar merangkai kata, merayu Mila dengan kata manisnya. Tentu saja hati Mila berbunga- bunga saat lelaki muda itu memujinya dengan seribu bahasa cinta.
Tanpa Mila sadari. Ia sudah jatuh ke pelukan lelaki muda itu. Dengan Deni, baru lah Mila merasakan surga dunia yang begitu nikmat sampai Mila ketagihan.
Ia mulai haus dan liar. Sehari saja, Deni bisa membuat Mila merasakan pelepasan yang luar biasa.
Ternyata kenikmatan itu nyata adanya. Tapi mengapa Samsul tak bisa memberi nya kenikmatan itu. Sekali saja. Mila ingin Samsul memuaskan hasratnya yang kian hari kian tak terbendung.
Hingga terjadilah dosa besar itu.
Samsul lebih mementingkan pekerjaan dari pada dirinya. Itu yang membuat Mila kecewa terhadap suaminya.
Seperti pagi itu. Seperti biasa Samsul selalu mengatakan hal yang sama.
"Papa pasti pulang sore!
Tapi pada kenyataanya. Seperti biasa, bukannya Samsul yang datang tiap sore. Tapi bunyi ponselnya yang berdering. Dan sudah dipastikan. Pasti itu suaminya yang mengatakan.
"Ma. Papa lembur! Di kantor banyak pekerjaan!"
Bosan!
Muak!
Mila sudah lelah mendengar semua kata itu. Yang hampir tiap hari memenuhi gendang telinganya.
Kesabarannya sudah habis. Dengan wajah geram. Mila meraih Poto pernikahan yang tertancap di dinding. Lalu di banting nya benda itu dengan keras.
Serpihan nya jatuh berserakan di lantai. Tidak sampai disitu. Mila berlari menuju kamarnya, diambilnya baju Samsul dengan acak lalu dikeluarkan satu persatu dari lemari dan di buangnya ke sembarang arah.
Pagi itu Mila luapkan kekesalannya pada Samsul dengan mengeluarkan semua baju Samsul dari dalam lemari sambil menangis lirih.
Rupanya tangisan Mila terdengar oleh Deni yang rumahnya bersebelahan dengan rumahnya.
Deni terkejut mendengar tangisan Mila yang terdengar memilukan. Segera Deni mengambil ponselnya yang berada di atas tempat tidur.
Ia bermaksud menghubungi Mila.
Tapi Mila tak menjawab panggilannya. Membuat Deni tambah khawatir dan cemas.
Akhirnya Deni memberanikan diri datang ke rumah Mila.
Samsul tak ada di rumah. Suara motornya terdengar jelas oleh Deni saat pergi tadi pagi.
Berjalan perlahan sambil mengamati situasi di luar. Deni segera masuk ke rumah Mila dan langsung menutupnya.
Mata Deni terbelalak saat melihat kepingan kaca yang berserakan di lantai dan hampir saja melukai kakinya.
Suara lirih tangisan di dalam kamar membuat Deni panik.
"Bu ... Ibu baik- baik saja," ucap Deni pelan.
Sini Den masuk ... " sahut Mila dari dalam kamar.
"Tidak Bu. Deni takut, nanti ada yang datang. Deni hanya khawatir. Mengapa Ibu menangis?" tanya Deni ragu.
"Masuk Den. Biar saja semua tahu. Aku tak peduli!" sentak Mila.
Meski ragu. Akhirnya Deni menghampiri Mila masuk ke dalam kamar.
Tampak Mila duduk memegang kedua lututnya di sudut kamar. Jendelanya dibiarkan terbuka lebar. Rambutnya berantakan, raut wajahnya pucat dan gaunnya hitamnya koyak, mata besarnya tampak sembab karena terlalu banyak menangis.
Pakaian berserakan ada dimana- mana.Sontak Deni kaget melihatnya.
"Bu kenapa, Abi?"Zahra berteriak cukup keras karena Samsul mendadak diam, menggantungkan kalimatnya begitu saja. Mau tidak mau, pikiran Zahra jadi menerawang ke mana-mana."Mila harus di bawa ke rumahsakit, perutnya dari semalam katanya sakit.""Kenapa bisa, Abi? Tadi pagi Bu Mila masih baik-baik aja, kan?" ucap Zahra dengan cepat. Sungguh, Zahra sangat kaget mendengar pengakuan suaminya."Iya. tadi dia ngeluh perutnya sakit, tapi nggak mau kubawa ke rumah sakit, katanya cuma efek batuk. Terus sekitar jam tujuh tadi tiba-tiba Mila meringis kesakitan." Tubuh Zahra makin gemetar saat mendengar penuturan Samsul. Sakit yang di derita Mila bukan hal sepele. Jika tidak mendapat penangangan yang tepat, nyawa taruhannya. Tidak! Jangan sampai terjadi sesuatu dengan Mila. Mantan suaminya itu tengah mengandung dan Zahra tidak ingin ada hal buruk menimpa bayi yang di kandung Mila."Sebaiknya bawa ke dokter, Ibu Mila bisa sembuh, kan?" tanya Zahra sambil mengusap air mata yang terus saja menete
Pintu terbuka. Dengan langkah tergesa Samsul berjalan masuk sembari menarik kopernya. Dia tampak kerepotan tetapi tidak meminta bantuan Zahra.Sesampainya di ruang tengah Samsul langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Zahra berdiri di dekatnya. Dia menatapnya cukup lama. Zahra tahu suaminya sedang mengamati bekas luka di sudut bibir Zahra, Sebab merasa tidak nyaman, Zahra langsung menutupinya dengan tangan kanannya. Tanpa sadar justru Zahra tampakkan buku jari yang masih menyisakan warna kebiruan."Zahra, Mila duduklah ... aku ingin bicara pada kalian berdua," titah Samsul pada Zahra dengan Mila yang masih berdiri kaku. Lalu Zahra duduk di samping Samsul sementara Mila duduk di hadapannya. "Zahra, mulai hari ini, Mila akan tinggal disini sampai bayi ini lahir," ucap Samsul.Zahra tertunduk. "Kamu jangan khawatir, Abi dan Mila tidak ada hubungan apa-apa, Abi hanya ingin menolongnya saja, Abi tidak rela jika Mila dibawa si Deni bajingan itu. Lebih baik dia tinggal disini, Abi harap kamu
Ponsel Mila biarkan tergeletak di atas meja berdering saat Mila sedang istirahat sambil menyantap makanan yang di sediakan pihak rumah sakit. Sekilas Mila melirik layar ponsel menyala yang hanya menampilkan nomor tak dikenal. Lalu digeser layar untuk menolak panggilan itu.Beberapa saat Mila abaikan, nomor tak dikenal itu terus saja missed call. Membuat ponselnya terus berdering sampai harus disenyapkan dan meletakannya dengan posisi terbalik sebab mengganggu.Sudah hampir sepekan Deni tidak menghubunginya. Mendadak Mila jadi teringat dengannya dan langsung membuka ponselnya. Barangkali nomor tidak dikenal yang sedari tadi meneleponnya adalah Deni.Benar saja dugaannya. Saat panggilan terhubung, langsung terdengar suara Deni."Ini aku Deni."Mila terdiam beberapa saat tidak langsung menjawab. Kesal rasanya berhari-hari menunggu kabar dari Deni. Namun, baru sekarang dia menghubunginya."Den ....Deni," panggil Mila lembut. "Ya, Bu." "Asyik ya, liburannya sampai tidak sempat menghubu
"Hai.. hentikan! Lepaskan dia!" "Diam disana dan tunggu! Jangan mengganggu!" Titah Samsul pada supir pribadi istrinya. Seperti pecut yang mencambuk hatinya yang sudah terluka. Retinanya sudah membentuk aliran anak sungai yang mengalir deras. Isak tangisnya sudah tidak terbendung lagi.Rasanya akal sehatnya tak mampu menerima semua yang terlihat oleh retinanya. Bagaimana mungkin Zahra pergi begitu saja tanpa kabar berita. Menurut supir. Istrinya terakhir minta di turunkan di swalayan. Setelah itu, Zahra menghilang bak di telan bumi. Ponselnya pun susah dihubungi."Kenapa Bapak ijinkan Istriku pergi ke swalayan sendirian! Kalau terjadi pada istriku, saya akan pecat bapak!" ancam Samsul saat mendengar pengakuan Pak Asep, supir pribadi istrinya.Ancaman itu sukses membuat tubuh Pak Asep membeku. Hatinya memang tak mengerti sama sekali. Zahra yang meminta untuk menunggunya di tempat parkiran. tetapi otaknya masih cukup mampu mencerna dengan baik, kejadian yang di alami Zahra.“Apa kamu l
Sambil menunggu hujan Reda. Zahra bermaksud mampir ke swalayan di dekat dengan rumah sakit. "Pak, tunggu disini, ya? Aku mau belanja dulu," ucap Zahra pada si supir Zahra pun berjalan menuju swalayan itu. Sementara supir pribadinya menunggu di tempat parkiran. Zahra menyusut air hujan yang menetes di wajahnya. Pagi itu, hujan tidak begitu deras. Zahra bahkan tidak bisa menyeka tetesan air hujan yang terus membasahi pipinya saking banyaknya. Satu jam yang lalu, dia baru saja memeriksakan kandungannya yang berjalan empat bulan. Menurut Dokter, kandungan Zahra baik- baik saja. “Nyonya, kandungan nyonya bagus, detak jantung bayi nyonya juga normal. Tapi usahakan nyonya harus makan buah-buahan secara teratur, ya?" Saat teringat kembali perkataan Dokter, hati Zahra terasa lega. Sungguh ia begitu bahagia. Sebentar lagi, ia akan menjadi seorang ibu.Suara guntur menggelegar, hujan pun turun semakin deras.Zahra cepat berlari kecil menyebrang ke jalanan dimana di depannya ada swalayan
“Zahra? Tenang. Abi akan selalu ada disini,” batin Samsul.Hal yang paling tidak ingin Anna lakukan dalam hidupnya adalah kembali ke tempat yang menorehkan banyak luka untuknya. Namun, takdir sekali lagi membuat lelucon untuknya. Ia harus kembali ke tempat yang sangat tidak ingin ia datangi.Selalu ada pilihan sulit dalam hidupnya, tapi demi orang yang sangat penting untuknya ia tidak akan ragu untuk memilih.Dan di sini lah ia berada saat ini, di sebuah Desa yang tujuh belas tahun lalu ia tinggalkan. Mendapat penolakan dari Zahra. Sungguh hati Anna merasa terpukul. Untuk itulah Anna pergi ke desa dimana dulu dirinya meninggalkan Zahra bersama mantan suaminya. Deni ikut mengantarkan. Tapi di tengah perjalanan, ia mengurungkan niatnya. "Den .... ayo kita kembali saja," ucapnya dengan tatapan mata kosong lurus ke depan, air mata nyapun tidak berhenti berderai karena luka lama seakan kembali terbayang. Darso mantan suaminya tidak mungkin menerima dirinya dan itu akan memambah kekecewaa