Share

3. Suami Berhati Iblis

Author: Jihan Fahrira
last update Last Updated: 2025-10-26 13:55:28

Sambil mendorong troli berisi 3 koper besar, Giselle berusaha menyusul langkah Erick yang lebih dulu meninggalkannya bersama Hana. Ia sedikit kewalahan. Namun akhirnya, wanita itu bisa menjangkau kedua insan tersebut di lobi bandara.

Seorang pria paruh baya tiba untuk menjemput mereka. Namun saat hendak masuk ke dalam mobil, Erick menahan sang istri.

"Kau cari taksi yang lain. Yang ini untukku dan Hana," ujar Erick.

Giselle hendak melayangkan protes. Namun, pria itu sudah mengangkat tangan dan mengisyaratkannya untuk diam.

"Kalau kau ingin uang dariku, kau harus bisa bekerja sama."

Sial! Pada akhirnya, Giselle hanya pasrah ketika taksi meninggalkan dirinya beserta koper miliknya di sana.

Saat menoleh ke belakang, secara kebetulan sebuah mobil lain berhenti. Tidak terlihat seperti taksi. Namun, Giselle yakin jika itu mobil angkutan seperti taksi pada umumnya.

Dengan penuh percaya diri, Giselle ikut mendekat ketika sang sopir membuka bagasi mobil. Ia mendorong kopernya hingga menyentuh kaki sopir itu.

"Eh?" Pria tersebut terkejut atas kedatangan sang wanita.

"Tolong masukkan koperku, Pak," ucap Giselle dengan sopan.

"Tap–"

"Hei, Nona! Jangan menyerobot mobil orang!" tegur pria lain dari arah belakang.

Giselle lantas menoleh. Ia terperanjat saat mengetahui jika pria itu adalah pria yang duduk bersebelahan dengannya selama di pesawat tadi. "Ya Tuhan! Apa ini taksimu?"

"Taksi?"

"Ah! Bagaimana jika kita menaiki taksi ini bersama? Aku yang akan membayar tarifnya untukmu juga. Sebagai tanda permintaan maaf dariku karena kejadian di pesawat tadi," kata Giselle dengan bersungguh-sungguh.

Pria itu lantas melepaskan kacamata hitam yang sejak tadi bertengger di hidung mancungnya. "Memangnya, kau mau ke mana?"

"Hotel Grand Orchid."

Pria itu melirik sang sopir sejenak, sebelum akhirnya mengenakan kacamatanya kembali. "Ya sudah. Kau boleh naik juga. Kebetulan, tujuan kita sama."

***

Tiba di pelataran depan lobi hotel, Giselle bisa melihat banyak karyawan yang berdiri berbaris dengan karpet merah terbentang di sepanjang jalan menuju lobi.

"Wah .... Hotel ini benar-benar berkelas. Mereka memiliki sistem penyambutan tamu yang baik," komentar wanita itu. Sementara, pria di sampingnya hanya melirik dalam diam.

"Oh iya! Pak Sopir, berapa tarifnya? Biar aku yang membayarnya." Giselle mulai membuka dompetnya.

Pria yang dipanggil sopir itu menoleh ke belakang dan menatap sejenak pria yang lebih muda darinya tersebut, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Giselle, "Seratus ribu, Nona."

"Ini." Giselle menyerahkan selembar uang kepada sang sopir, lalu bersiap untuk turun. "Kau tidak turun?" tanyanya kepada pria di sampingnya itu.

"Kau duluan."

"Ya sudah." Giselle segera keluar dari mobil. Ia juga harus mengeluarkan sendiri kopernya dari bagasi, sebab sopir taksi itu tidak keluar membantunya.

"Selamat datang– eh?" Para karyawan hotel tampak terkejut saat seorang wanita asing melangkah melewati karpet merah yang mereka bentangkan sebelumnya.

Giselle tersenyum atas sambutan istimewa ini. Ia merasa seperti seorang putri kerajaan saat ini.

"Kita salah orang, ya?" Bisik-bisik para pegawai hotel.

Giselle tidak menggubrisnya. Ia memilih untuk memasuki lobi. Di sana, dirinya melihat Erick dan juga Hana yang sudah tiba terlebih dahulu. Wanita itu langsung menghampiri.

"Ini kuncinya. Kamar 307 di lantai 9. Kamarmu ada di sana," kata Erick tanpa basa-basi sambil menyerahkan kartu akses kepada Giselle.

Wanita itu pun bertanya, "Lalu, kamarmu–"

"Untuk apa bertanya? Bukan urusanmu, 'kan? Jangan berpikir untuk menyusul kami di kamar kami!" potong Hana cepat.

Giselle mendengus geli. "Kenapa kau berbicara seakan-akan kau dan Erick adalah pasangan yang sah?"

"Kau!" Hana kembali tersulut emosi. Namun, Erick langsung berusaha menenangkan kekasihnya.

"Sudahlah. Jangan menanggapi wanita ini," kata sang pria. "Lebih baik kita langsung ke kamar kita. Kamu pasti lelah, Honey."

"Eumm ...." Hana langsung bergelayut menja di lengan kekar Erick. Sengaja untuk memanasi Giselle yang masih ada di sana. "Ayo, Honey. Kita bisa menghabiskan waktu berdua di kamar sampai malam nanti."

"Erick!" panggil Giselle, ketika kedua insan itu hendak pergi meninggalkannya.

Erick menoleh dengan sebelah alis terangkat.

"Jangan lupakan janjimu," peringat wanita itu.

"Jam delapan malam, Giselle. Kau tunggu saja." Lalu, Erick pun segera melenggang pergi bersama Hana.

***

Waktu rasanya berlalu dengan begitu lama. Padahal, hanya berselang 2 jam sejak mereka tiba di hotel untuk menuju pukul 8 malam.

Giselle duduk di depan cermin meja rias. Menyapukan kuas make up dan memoles wajahnya tipis-tipis dengan peralatan make up yang ia bawa dari rumah. Sisa kemarin, saat dirinya didandani oleh para pelayan sebelum bertemu Tuan Warsana.

Wanita itu tersenyum selesai berdandan. Memperhatikan wajahnya yang kini tampak berkali-kali lipat lebih cantik baginya. Ia juga sudah mengenakan sebuah gaun malam berwarna hitam yang sudah pasti akan membangkitkan gairah suaminya. Baju itu Giselle dapatkan dari Tuan Warsana. Bingkisan tersebut diterimanya pagi tadi saat perjalanan menuju bandara, dan baru sempat dibukanya tadi begitu tiba di kamar.

Cklek!

Pintu kamar terbuka. Giselle berdebar rasanya saat mengetahui orang yang ditunggunya sejak tadi tiba. Walau Erick masih bersikap dingin, tetapi dirinya yakin bila pria itu akan jatuh cinta padanya setelah malam ini.

Saat menoleh, harapan Giselle pun pupus. Erick tampak memapah seorang pria yang terlihat mabuk dan sempoyongan.

"Dia siapa, Erick?" tanya wanita itu.

"Dia?" Erick menjatuhkan pria mabuk yang dibawanya itu ke atas ranjang, lalu membuang napas kasar sembari berkacak pinggang. "Dia pria yang akan membuatmu hamil."

Bak disambar petir di siang bolong. Giselle merasa terperanjat mendengar ucapan suaminya. Apa pria itu ingin agar dirinya tidur dengan pria lain?

"Erick! Apa kamu tidak salah? Kamu menjualku?" Wanita itu menatap nanar sang suami yang tampak menyeringai.

"Aku tidak menjualmu. Dijual pun, kau tidak akan laku. Kau itu tidak ada harganya."

Giselle meremas gaun malamnya di bagian samping sebagai upaya untuk meredam emosi yang bergejolak. Kali ini, dirinya benar-benar marah, kecewa, dan terluka sekaligus. Rasanya, ingin sekali ia membabi-buta saat ini.

"Kalau memang kamu tidak mau menyentuhku, tidak perlu memintaku untuk tidur dengan pria lain!" sergah Giselle dengan suara yang sedikit bergemetar menahan tangis.

"Lalu? Kau berharap apa? Inseminasi? Hah! Aku tidak sudi. Bahkan hanya untuk membuahkan spermaku dengan sel telurmu, aku tidak sudi!" tekan Erick dengan nada tajam. "Aku tidak ingin memiliki anak darimu. Jika bukan karena Kakek, aku pun tidak sudi menikah denganmu."

Giselle menggigit bibir bawahnya yang bergemetar. Kini, air mata mulai menyeruak keluar dari kelopak matanya. Dinding pertahanannya runtuh. Seluruh tubuhnya bergemetar lantaran tangis. "Apa aku serendah itu di matamu?"

"Ya. Kau sangat-sangat rendah di mataku."

"Keluar!" usir Giselle yang sudah frustrasi dan mulai kehilangan kesabaran.

"Aku akan keluar. Tapi, ingat kata-kataku. Waktu kita hanya 3 bulan di sini. Jika kau tidak hamil sampai batas waktu kita pulang ke rumah, kau akan habis di tanganku. Bukan hanya mengembalikanmu ke jalanan, tetapi aku akan menjualmu ke tempat persekusi, lalu menjadikanmu–"

"Cukup!" sergah Giselle yang sudah tidak kuat lagi mendengar ucapan tak berperikemanusiaan dari suaminya sendiri. "Aku akan hamil, Erick. Aku janji padamu. Tapi, biarkan aku sendiri yang memilih dengan siapa aku akan melakukannya."

Erick hanya mendengus sinis. "Terserah kau saja."

"Dengan satu syarat," tambah Giselle. "Jika nanti aku hamil dan melahirkan anak itu, tolong ceraikan aku sesegera mungkin."

"Hmph! Tentu saja, Giselle," kata Erick tanpa beban. "Tanpa kau minta pun, aku sudah berniat untuk menceraikanmu."

Pria itu berbalik, kemudian keluar dari kamar sang wanita. Meninggalkan kesunyian yang kemudian diiringi isak tangis dari wanita tersebut.

Tubuh Giselle merosot dan berjongkok memeluk lutut. Isakan kecil, kini berubah menjadi raungan memilukan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berondong Simpananku, Ternyata CEO Kaya Raya   7. Seperti Pelacur

    "Kau dari mana, hah?!" Erick tampak marah saat melihat Giselle baru kembali ke kamarnya. Padahal, ini sudah pukul 9 malam, dan pria itu sudah menunggunya sejak petang tadi.Sang wanita melirik ke arah jam dinding. Ia lantas mengulum bibir dengan kepala sedikit tertunduk. Ini karena Gabriel yang memaksanya untuk tetap tinggal, dirinya jadi terlambat untuk menemui suaminya."Kau bisu?! Mulutmu terkunci rapat! Apa perlu aku merobek mulutmu agar bisa terbuka?!""Aku ada urusan," jawab Giselle cepat."Urusan?" Erick mendekat. Membuat wanita itu mundur satu langkah darinya. Kemudian, matanya memicing tajam mendapati sebuah tanda kemerahan di leher sang istri yang biasanya selalu tampak bersih.Srak!Giselle tercekat saat tiba-tiba, Erick menarik kasar kemejanya hingga membuat beberapa kancingnya terlepas secara paksa.Pria itu langsung terperangah begitu mendapati banyaknya kissmark di sekitar dada dan bahu sang istri. "I–ini–"Giselle buru-buru membenahi pakaiannya. Kancingnya rusak, jadi

  • Berondong Simpananku, Ternyata CEO Kaya Raya   6. Berondong Simpanan

    Sudah Giselle duga sebelumnya. Tujuan Hana meminta Erick untuk membawa serta dirinya ikut jalan-jalan sebenarnya hanyalah alibi agar gadis itu bisa memamerkan kemesraan di hadapannya. Daripada menjadi obat nyamuk, Giselle memilih untuk duduk di kursi kafe tepi pantai sembari menikmati kelapa muda segar yang tersaji di hadapannya. Sementara di bibir pantai sana, terlihat Hana dan Erick yang tengah bermain air sambil tertawa bahagia seolah dunia milik mereka berdua saja. Sial! Andai Giselle tidak terlanjur berjanji untuk bisa diajak bekerja sama dengan Erick, wanita itu pastinya akan kekeuh menolak permintaan pria itu untuk ikut pergi. "Apa aku pergi saja? Toh, mereka tidak akan sadar, kalaupun aku menghilang. Kakek juga sudah menelepon pagi tadi. Pasti tidak akan jadi masalah besar," gumam Giselle pada dirinya sendiri. Wanita itu memeriksa ponselnya sejenak. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Sebentar lagi, senja akan tiba. Dan ia sudah berjanji kepada Gabriel untuk menemui pria

  • Berondong Simpananku, Ternyata CEO Kaya Raya   5. Jadi Simpananku

    Dering ponsel yang tiada henti membuat Giselle mau tak mau membuka mata. Ia meraba-raba ke samping tempat tidur, dan menemukan ponselnya yang berdering di atas meja nakas. Nama Erick terpampang di layar pipih itu sebagai identitas si pemanggil. Membuat Giselle buru-buru menjawab panggilannya. "Halo?" "Kau di mana, hah?! Di kamar tidak ada! Kau ini ke mana?! Kakek menghubungimu sejak tadi, tapi tidak bisa, jadi dia meneleponku. Aku mengatakan jika kau masih tidur," cecar Erick dari balik sambungan telepon. "Hmmh .... Maaf. Aku akan ke sana sekarang," jawab Giselle. "Kalau begitu cepat!" Panggilan berakhir saat itu juga. Giselle menghela napas seraya berusaha untuk bangun. Namun, lengan kokoh yang memeluk pinggangnya dari belakang itu seakan tak mengizinkannya untuk bangun. "Bisa kau lepaskan aku? Aku harus pergi," pinta Giselle yang benar-benar tak bisa bergerak. Akhirnya, pria itu melepaskan pelukannya. Membebaskan sang wanita untuk bangkit. Sementara, dirinya pun ikut duduk

  • Berondong Simpananku, Ternyata CEO Kaya Raya   4. Aku Milikmu Malam Ini

    Giselle memilih untuk keluar dari kamar malam itu. Ia juga sudah meminta petugas hotel agar membawa pria mabuk yang dibawa oleh Erick tadi keluar. Dengan sebuah mantel panjang berbahan bulu yang tebal, wanita itu menyusuri lorong hotel. Menoleh ke sana-kemari seperti seseorang yang kehilangan arah. Hingga akhirnya, indra pendengarannya menangkap sebuah suara riuh dari lorong yang tadinya hendak ia lewatkan. Penasaran, Giselle pun memutuskan untuk menyusuri lorong tersebut. Tiba di ujung lorong, dirinya menemukan sebuah pintu yang dijaga oleh 2 orang pria bertubuh tinggi besar. "Mau masuk, Nona?" tanya penjaga di sana. "Tempat apa ini?" "Tempat untuk bersenang-senang di hotel ini. Apa lagi?" "Bersenang-senang?" gumam wanita itu pelan. "Saya bisa masuk?" "Tentu saja, asal Anda menunjukkan kartu pengunjung." Giselle merogoh saku mantelnya untuk mengeluarkan kartu pengunjung miliknya. Untung saja ia membawa benda itu tadi. Ternyata, benda itu cukup berguna. "Anda boleh masuk," ka

  • Berondong Simpananku, Ternyata CEO Kaya Raya   3. Suami Berhati Iblis

    Sambil mendorong troli berisi 3 koper besar, Giselle berusaha menyusul langkah Erick yang lebih dulu meninggalkannya bersama Hana. Ia sedikit kewalahan. Namun akhirnya, wanita itu bisa menjangkau kedua insan tersebut di lobi bandara. Seorang pria paruh baya tiba untuk menjemput mereka. Namun saat hendak masuk ke dalam mobil, Erick menahan sang istri. "Kau cari taksi yang lain. Yang ini untukku dan Hana," ujar Erick. Giselle hendak melayangkan protes. Namun, pria itu sudah mengangkat tangan dan mengisyaratkannya untuk diam. "Kalau kau ingin uang dariku, kau harus bisa bekerja sama." Sial! Pada akhirnya, Giselle hanya pasrah ketika taksi meninggalkan dirinya beserta koper miliknya di sana. Saat menoleh ke belakang, secara kebetulan sebuah mobil lain berhenti. Tidak terlihat seperti taksi. Namun, Giselle yakin jika itu mobil angkutan seperti taksi pada umumnya. Dengan penuh percaya diri, Giselle ikut mendekat ketika sang sopir membuka bagasi mobil. Ia mendorong kopernya hingga men

  • Berondong Simpananku, Ternyata CEO Kaya Raya   2. Bulan Madu?

    "Kemasi pakaianmu!" perintah Erick, begitu mereka tiba di rumah. Giselle terkejut. "Kamu mengusirku?" "Apa maksudmu? Kita akan berangkat ke pulau besok." Mendengar itu, bukannya lega, Giselle justru semakin terkejut. "Kita benar-benar akan melakukannya?" tanyanya lagi. "Jangan harap, Giselle! Memandangmu saja sudah membuatku ingin muntah, apalagi menyentuhmu!" hardik Erick kesal. "La–lalu, bagaimana kita akan memberikan cicit untuk Kakek?" "Kita pikirkan itu nanti. Yang terpenting, kita berangkat ke pulau dulu," kata Erick santai. "Aku akan mengajak Hana." Giselle terbelalak. Ia menatap kepergian Erick dalam diam sambil mendumal dalam hati. Erick ini bagaimana? Kakeknya menginginkan seorang cicit dari rahim Giselle, hingga rela mengirim mereka berdua ke pulau untuk berbulan madu. Akan tetapi, pria itu justru berniat membawa selingkuhannya untuk ikut serta. *** Esok hari pun tiba. Erick dan Giselle pergi ke bandara dengan diantarkan oleh Tuan Warsana. Pria tua itu berharap pe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status