Share

2. Bulan Madu?

Author: Jihan Fahrira
last update Last Updated: 2025-10-26 10:21:33

"Kemasi pakaianmu!" perintah Erick, begitu mereka tiba di rumah.

Giselle terkejut. "Kamu mengusirku?"

"Apa maksudmu? Kita akan berangkat ke pulau besok."

Mendengar itu, bukannya lega, Giselle justru semakin terkejut. "Kita benar-benar akan melakukannya?" tanyanya lagi.

"Jangan harap, Giselle! Memandangmu saja sudah membuatku ingin muntah, apalagi menyentuhmu!" hardik Erick kesal.

"La–lalu, bagaimana kita akan memberikan cicit untuk Kakek?"

"Kita pikirkan itu nanti. Yang terpenting, kita berangkat ke pulau dulu," kata Erick santai. "Aku akan mengajak Hana."

Giselle terbelalak. Ia menatap kepergian Erick dalam diam sambil mendumal dalam hati.

Erick ini bagaimana? Kakeknya menginginkan seorang cicit dari rahim Giselle, hingga rela mengirim mereka berdua ke pulau untuk berbulan madu. Akan tetapi, pria itu justru berniat membawa selingkuhannya untuk ikut serta.

***

Esok hari pun tiba. Erick dan Giselle pergi ke bandara dengan diantarkan oleh Tuan Warsana. Pria tua itu berharap penuh jika rencananya akan berhasil. Ia ingin agar Giselle pulang dalam kondisi berbadan dua.

"Kalian bersenang-senanglah!" pesan pria tua tersebut.

"Kakek jaga diri di rumah. Kalau ada apa-apa, tolong hubungi kami," pesan Giselle balik.

"Tentu. Jangan cemaskan Kakek. Kakek punya banyak ajudan dan pelayan. Pikirkan saja bagaimana caranya untuk memberi Kakek hadiah kepulangan," gurau Tuan Warsana.

"Iya. Aku juga sedang memikirkan caranya," jawab Erick serius.

"Hm?" Giselle yang heran mendengarnya.

"Ya sudah, cepat pergi! Jangan sampai ketinggalan pesawat!" titah sang kakek.

"Kami pergi dulu," pamit Erick dengan nada dingin. Lalu, dengan amat terpaksa pria itu menggandeng tangan sang istri menuju area pengecekan tiket. Mereka mengantre dengan tertib, kemudian bersama-sama menuju ruang tunggu, sebelum akhirnya pergi ke pesawat.

"Honey!" pekik seseorang dengan manjanya, sebelum Erick sempat mendaratkan bokong di bangku ruang tunggu.

Giselle pun jadi ikut mengurungkan niat untuk duduk. Ia tampak sedikit risih dengan keberadaan gadis cantik yang kini terlihat merangkul lengan suaminya.

Erick tersenyum. Dan untuk pertama kalinya, Giselle melihat hal tersebut.

"Maaf, tidak bisa menjemputmu," ucap pria itu sambil mendaratkan kecupan hangat di kening sang kekasih.

Giselle langsung memalingkan wajah. Ia memilih untuk duduk, daripada harus berdiri menyaksikan kemesraan suaminya dengan selingkuhan pria itu.

"Tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku tetap senang karena kamu sudah mengajakku."

"Tentu saja, Honey. Aku akan membawamu ke mana pun aku pergi."

Mendengar bualan pria itu, Giselle rasanya ingin muntah. Ternyata, pria temperamental itu bisa membual juga, batinnya.

"Jadi, bisakah kita duduk bersebelahan selama di pesawat?" pinta gadis tadi sambil memanyunkan bibir.

"Tentu saja." Erick langsung menoleh menatap ke arah wanita yang duduk di belakangnya. "Giselle, tukar tiketmu dengan milik Hana!" perintahnya.

"Tidak mau!" tolak sang istri seketika.

"Aku tidak menerima penolakan!"

"Ini tiketku. Kenapa aku harus bertukar dengannya? Kenapa tidak kamu saja yang bertukar dengan siapa pun yang duduk di sebelah pacarmu?"

Erick merasa pengang seketika. Bisa-bisanya Giselle menjawab perkataannya. Dari mana wanita itu mendapatkan keberanian untuk melawannya?

"Hei, wanita kumal yang dipungut dari jalanan!"

"Siapa yang kau panggil kumal?" balas Giselle sinis. Ia sontak berdiri dari posisi duduknya.

"Kau, tentu saja!" tuding Hana. "Serahkan tiketmu kepadaku! Kita bertukar tempat duduk."

"Siapa kau, berani memerintahku?"

Hana melotot tajam.

"Apa?" Giselle mendelik. "Katakan pada kekasih gelapmu ini. Aku tidak mau bertukar tempat duduk dengannya," ujarnya kepada Erick.

Pria itu langsung mengurut pelipisnya yang terasa berdenyut.

"Kekasih gelap?! Kau yang gelap, Giselle! Lihat dirimu! Seperti gelandangan. Sangat tidak pantas bersanding dengan Erick."

"Kau pikir kau pantas?"

Hana berniat untuk melayangkan sebuah tamparan kepada Giselle. Namun, Erick dengan cepat menahannya.

"Sudahlah. Jangan buat keributan di sini. Jangan sampai ada seseorang yang mengenaliku melihat kita membuat keributan di area bandara. Aku malu," papar Erick lelah.

Hana langsung mendengus sinis, begitu juga dengan Giselle. Mereka baru bertemu satu kali sebelum ini. Namun, genderang perang di antara keduanya seakan sudah ditabuh sejak dahulu kala.

***

Ketika sudah memasuki pesawat, Erick kembali mencoba membujuk Giselle agar wanita itu bersedia untuk bertukar tempat dengannya. Namun, wanita itu masih bersikeras menolak.

"Aku akan membayarmu. Aku akan memberimu uang, jika kau mau bertukar dengan Hana," putus Erick pada akhirnya. Ia benar-benar kehabisan akal. Dirinya juga khawatir apabila Hana merajuk kepadanya nanti.

"Berapa?" tanya Giselle sedikit tertarik. Jujur saja, hal seperti ini yang mampu membuatnya bertahan di sepanjang pernikahan. Bila terdesak, Erick akan memenuhi keinginannya atau sekedar memberinya uang untuk jaminan tutup mulut.

Bagi Giselle, pernikahan ini tidak sepenuhnya menyiksa. Justru setelah menikah, ia jadi memiliki cukup tabungan untuk bekal hidupnya kelak di masa depan, apabila Erick mencampakkannya sewaktu-waktu.

"Berapa pun yang kau minta."

Giselle langsung mengangkat kelima jari tangan kanannya dan menunjukkannya kepada sang suami.

"Lima juta? Baiklah. Akan kutransfer setelah kita sampai di tujuan."

"Lima juta?" Dengan alis mengerut, Giselle meralat, "Lima milyar, Erick."

"Apa kau gila?!" pekik Erick yang tanpa sengaja mengeraskan suaranya. Pria itu ikut terkejut dan terlihat kelabakan saat beberapa penumpang menegurnya. Ia meminta maaf, lalu kembali beralih kepada Giselle.

"Jangan memanfaatkan kesempatan! Kau pikir aku akan suka rela memberimu uang sebanyak itu?" desis sang pria.

Giselle memilih untuk bersikap tenang. "Ya sudah, kalau kamu tidak mau."

Erick berdecak tak senang. "Baiklah. Aku akan memberimu uang. Tapi, kau bukan hanya harus bertukar kursi dengan Hana."

Wanita itu menoleh ke samping. Menunggu kelanjutan kalimat yang akan diucapkan oleh sang suami.

"Kau juga harus bertukar kamar hotel dengan Hana. Dan satu lagi!" tekan Erick, ketika melihat istrinya hendak menyela ucapannya. "Jangan berani mengadu kepada Kakek, atau kau tahu akibatnya."

"Hmph! Kakek meminta kita untuk memberikannya cicit. Lalu, bagaimana aku bisa hamil, jika kamu saja tidak mau menyentuhku?"

"Kita akan melakukannya di pulau nanti."

Giselle langsung tercenung. Apa pria itu bersungguh-sungguh atas ucapannya?

"Sudahlah. Sana! Jika kau bisa bekerja sama, maka kau juga mendapatkan keuntungan. Uang dariku, dan sebagian aset Kakek. Bagaimana?"

Giselle langsung mengulurkan tangan. "Deal?"

Menyeringai dalam hati, pria itu pun menjabat tangan sang wanita. "Deal."

Giselle segera bangkit setelahnya. Tak ingin membuang waktu, sebab pesawat akan segera lepas landas tak lama lagi. Dan ia harus segera bertukar dengan Hana sebelum itu.

Di bangku belakang, Hana yang melihat kedatangan Giselle langsung berbinar cerah. Ia menduga jika wanita itu akhirnya bersedia untuk bertukar tempat dengannya.

"Kenapa lama sekali? Aku 'kan sudah menunggu dari tadi," ujar Hana sembari berdiri dari tempat duduknya.

Giselle tak menjawab. Namun, wajahnya menunjukkan ketidaksukaannya terhadap gadis itu.

Setelah Hana pergi, wanita tadi langsung menduduki tempatnya. Ia memasang wajah muram, hingga terdengar sebuah suara dari monitor pesawat.

Pramugari sedang menjelaskan tentang mekanisme penerbangan, tata cara memakai sabuk pengaman, dan aturan-aturan penerbangan lainnya. Namun, Giselle tidak bisa benar-benar memperhatikannya. Wanita itu menatap risau ke luar jendela.

"Kau takut? Ini penerbangan pertamamu?" tanya seorang pria yang duduk di sisi kiri wanita itu.

Giselle sontak menoleh. Ia merasa gugup. Yang dikatakan oleh pria itu memang benar. Dirinya merasa takut sebab ini adalah penerbangan pertamanya.

"Rileks. Tidak semenakutkan itu," kata pria itu lagi. Tanpa disuruh, tangannya sudah lebih dulu bergerak melingkari pinggang sang wanita.

Giselle terkejut atas perilaku tersebut. Ia refleks mendorong bahu sang pria. "Jangan kurang ajar!"

"Apa?" Pria itu membeo. Ia sedikit memperbaiki letak kacamata hitamnya, lalu menegakkan posisi duduknya. "Aku hanya membantumu memasang sabuk pengaman, Nona. Kenapa reaksimu berlebihan sekali?"

Giselle mati kutu dibuatnya. Ia merutuk dalam hati. Bisa-bisanya dirinya berpikir jika pria ini akan melakukan pelecehan terhadapnya. "Ma–maaf," cicitnya merasa malu. Namun, pria tadi tak menjawab dan memilih untuk memasang earphone ke telinganya.

"Hah ...." Giselle menghela napas panjang. Sepertinya, perjalanan ini akan terasa menyesakkan baginya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berondong Simpananku, Ternyata CEO Kaya Raya   7. Seperti Pelacur

    "Kau dari mana, hah?!" Erick tampak marah saat melihat Giselle baru kembali ke kamarnya. Padahal, ini sudah pukul 9 malam, dan pria itu sudah menunggunya sejak petang tadi.Sang wanita melirik ke arah jam dinding. Ia lantas mengulum bibir dengan kepala sedikit tertunduk. Ini karena Gabriel yang memaksanya untuk tetap tinggal, dirinya jadi terlambat untuk menemui suaminya."Kau bisu?! Mulutmu terkunci rapat! Apa perlu aku merobek mulutmu agar bisa terbuka?!""Aku ada urusan," jawab Giselle cepat."Urusan?" Erick mendekat. Membuat wanita itu mundur satu langkah darinya. Kemudian, matanya memicing tajam mendapati sebuah tanda kemerahan di leher sang istri yang biasanya selalu tampak bersih.Srak!Giselle tercekat saat tiba-tiba, Erick menarik kasar kemejanya hingga membuat beberapa kancingnya terlepas secara paksa.Pria itu langsung terperangah begitu mendapati banyaknya kissmark di sekitar dada dan bahu sang istri. "I–ini–"Giselle buru-buru membenahi pakaiannya. Kancingnya rusak, jadi

  • Berondong Simpananku, Ternyata CEO Kaya Raya   6. Berondong Simpanan

    Sudah Giselle duga sebelumnya. Tujuan Hana meminta Erick untuk membawa serta dirinya ikut jalan-jalan sebenarnya hanyalah alibi agar gadis itu bisa memamerkan kemesraan di hadapannya. Daripada menjadi obat nyamuk, Giselle memilih untuk duduk di kursi kafe tepi pantai sembari menikmati kelapa muda segar yang tersaji di hadapannya. Sementara di bibir pantai sana, terlihat Hana dan Erick yang tengah bermain air sambil tertawa bahagia seolah dunia milik mereka berdua saja. Sial! Andai Giselle tidak terlanjur berjanji untuk bisa diajak bekerja sama dengan Erick, wanita itu pastinya akan kekeuh menolak permintaan pria itu untuk ikut pergi. "Apa aku pergi saja? Toh, mereka tidak akan sadar, kalaupun aku menghilang. Kakek juga sudah menelepon pagi tadi. Pasti tidak akan jadi masalah besar," gumam Giselle pada dirinya sendiri. Wanita itu memeriksa ponselnya sejenak. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Sebentar lagi, senja akan tiba. Dan ia sudah berjanji kepada Gabriel untuk menemui pria

  • Berondong Simpananku, Ternyata CEO Kaya Raya   5. Jadi Simpananku

    Dering ponsel yang tiada henti membuat Giselle mau tak mau membuka mata. Ia meraba-raba ke samping tempat tidur, dan menemukan ponselnya yang berdering di atas meja nakas. Nama Erick terpampang di layar pipih itu sebagai identitas si pemanggil. Membuat Giselle buru-buru menjawab panggilannya. "Halo?" "Kau di mana, hah?! Di kamar tidak ada! Kau ini ke mana?! Kakek menghubungimu sejak tadi, tapi tidak bisa, jadi dia meneleponku. Aku mengatakan jika kau masih tidur," cecar Erick dari balik sambungan telepon. "Hmmh .... Maaf. Aku akan ke sana sekarang," jawab Giselle. "Kalau begitu cepat!" Panggilan berakhir saat itu juga. Giselle menghela napas seraya berusaha untuk bangun. Namun, lengan kokoh yang memeluk pinggangnya dari belakang itu seakan tak mengizinkannya untuk bangun. "Bisa kau lepaskan aku? Aku harus pergi," pinta Giselle yang benar-benar tak bisa bergerak. Akhirnya, pria itu melepaskan pelukannya. Membebaskan sang wanita untuk bangkit. Sementara, dirinya pun ikut duduk

  • Berondong Simpananku, Ternyata CEO Kaya Raya   4. Aku Milikmu Malam Ini

    Giselle memilih untuk keluar dari kamar malam itu. Ia juga sudah meminta petugas hotel agar membawa pria mabuk yang dibawa oleh Erick tadi keluar. Dengan sebuah mantel panjang berbahan bulu yang tebal, wanita itu menyusuri lorong hotel. Menoleh ke sana-kemari seperti seseorang yang kehilangan arah. Hingga akhirnya, indra pendengarannya menangkap sebuah suara riuh dari lorong yang tadinya hendak ia lewatkan. Penasaran, Giselle pun memutuskan untuk menyusuri lorong tersebut. Tiba di ujung lorong, dirinya menemukan sebuah pintu yang dijaga oleh 2 orang pria bertubuh tinggi besar. "Mau masuk, Nona?" tanya penjaga di sana. "Tempat apa ini?" "Tempat untuk bersenang-senang di hotel ini. Apa lagi?" "Bersenang-senang?" gumam wanita itu pelan. "Saya bisa masuk?" "Tentu saja, asal Anda menunjukkan kartu pengunjung." Giselle merogoh saku mantelnya untuk mengeluarkan kartu pengunjung miliknya. Untung saja ia membawa benda itu tadi. Ternyata, benda itu cukup berguna. "Anda boleh masuk," ka

  • Berondong Simpananku, Ternyata CEO Kaya Raya   3. Suami Berhati Iblis

    Sambil mendorong troli berisi 3 koper besar, Giselle berusaha menyusul langkah Erick yang lebih dulu meninggalkannya bersama Hana. Ia sedikit kewalahan. Namun akhirnya, wanita itu bisa menjangkau kedua insan tersebut di lobi bandara. Seorang pria paruh baya tiba untuk menjemput mereka. Namun saat hendak masuk ke dalam mobil, Erick menahan sang istri. "Kau cari taksi yang lain. Yang ini untukku dan Hana," ujar Erick. Giselle hendak melayangkan protes. Namun, pria itu sudah mengangkat tangan dan mengisyaratkannya untuk diam. "Kalau kau ingin uang dariku, kau harus bisa bekerja sama." Sial! Pada akhirnya, Giselle hanya pasrah ketika taksi meninggalkan dirinya beserta koper miliknya di sana. Saat menoleh ke belakang, secara kebetulan sebuah mobil lain berhenti. Tidak terlihat seperti taksi. Namun, Giselle yakin jika itu mobil angkutan seperti taksi pada umumnya. Dengan penuh percaya diri, Giselle ikut mendekat ketika sang sopir membuka bagasi mobil. Ia mendorong kopernya hingga men

  • Berondong Simpananku, Ternyata CEO Kaya Raya   2. Bulan Madu?

    "Kemasi pakaianmu!" perintah Erick, begitu mereka tiba di rumah. Giselle terkejut. "Kamu mengusirku?" "Apa maksudmu? Kita akan berangkat ke pulau besok." Mendengar itu, bukannya lega, Giselle justru semakin terkejut. "Kita benar-benar akan melakukannya?" tanyanya lagi. "Jangan harap, Giselle! Memandangmu saja sudah membuatku ingin muntah, apalagi menyentuhmu!" hardik Erick kesal. "La–lalu, bagaimana kita akan memberikan cicit untuk Kakek?" "Kita pikirkan itu nanti. Yang terpenting, kita berangkat ke pulau dulu," kata Erick santai. "Aku akan mengajak Hana." Giselle terbelalak. Ia menatap kepergian Erick dalam diam sambil mendumal dalam hati. Erick ini bagaimana? Kakeknya menginginkan seorang cicit dari rahim Giselle, hingga rela mengirim mereka berdua ke pulau untuk berbulan madu. Akan tetapi, pria itu justru berniat membawa selingkuhannya untuk ikut serta. *** Esok hari pun tiba. Erick dan Giselle pergi ke bandara dengan diantarkan oleh Tuan Warsana. Pria tua itu berharap pe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status