LOGIN"Kemasi pakaianmu!" perintah Erick, begitu mereka tiba di rumah.
Giselle terkejut. "Kamu mengusirku?" "Apa maksudmu? Kita akan berangkat ke pulau besok." Mendengar itu, bukannya lega, Giselle justru semakin terkejut. "Kita benar-benar akan melakukannya?" tanyanya lagi. "Jangan harap, Giselle! Memandangmu saja sudah membuatku ingin muntah, apalagi menyentuhmu!" hardik Erick kesal. "La–lalu, bagaimana kita akan memberikan cicit untuk Kakek?" "Kita pikirkan itu nanti. Yang terpenting, kita berangkat ke pulau dulu," kata Erick santai. "Aku akan mengajak Hana." Giselle terbelalak. Ia menatap kepergian Erick dalam diam sambil mendumal dalam hati. Erick ini bagaimana? Kakeknya menginginkan seorang cicit dari rahim Giselle, hingga rela mengirim mereka berdua ke pulau untuk berbulan madu. Akan tetapi, pria itu justru berniat membawa selingkuhannya untuk ikut serta. *** Esok hari pun tiba. Erick dan Giselle pergi ke bandara dengan diantarkan oleh Tuan Warsana. Pria tua itu berharap penuh jika rencananya akan berhasil. Ia ingin agar Giselle pulang dalam kondisi berbadan dua. "Kalian bersenang-senanglah!" pesan pria tua tersebut. "Kakek jaga diri di rumah. Kalau ada apa-apa, tolong hubungi kami," pesan Giselle balik. "Tentu. Jangan cemaskan Kakek. Kakek punya banyak ajudan dan pelayan. Pikirkan saja bagaimana caranya untuk memberi Kakek hadiah kepulangan," gurau Tuan Warsana. "Iya. Aku juga sedang memikirkan caranya," jawab Erick serius. "Hm?" Giselle yang heran mendengarnya. "Ya sudah, cepat pergi! Jangan sampai ketinggalan pesawat!" titah sang kakek. "Kami pergi dulu," pamit Erick dengan nada dingin. Lalu, dengan amat terpaksa pria itu menggandeng tangan sang istri menuju area pengecekan tiket. Mereka mengantre dengan tertib, kemudian bersama-sama menuju ruang tunggu, sebelum akhirnya pergi ke pesawat. "Honey!" pekik seseorang dengan manjanya, sebelum Erick sempat mendaratkan bokong di bangku ruang tunggu. Giselle pun jadi ikut mengurungkan niat untuk duduk. Ia tampak sedikit risih dengan keberadaan gadis cantik yang kini terlihat merangkul lengan suaminya. Erick tersenyum. Dan untuk pertama kalinya, Giselle melihat hal tersebut. "Maaf, tidak bisa menjemputmu," ucap pria itu sambil mendaratkan kecupan hangat di kening sang kekasih. Giselle langsung memalingkan wajah. Ia memilih untuk duduk, daripada harus berdiri menyaksikan kemesraan suaminya dengan selingkuhan pria itu. "Tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku tetap senang karena kamu sudah mengajakku." "Tentu saja, Honey. Aku akan membawamu ke mana pun aku pergi." Mendengar bualan pria itu, Giselle rasanya ingin muntah. Ternyata, pria temperamental itu bisa membual juga, batinnya. "Jadi, bisakah kita duduk bersebelahan selama di pesawat?" pinta gadis tadi sambil memanyunkan bibir. "Tentu saja." Erick langsung menoleh menatap ke arah wanita yang duduk di belakangnya. "Giselle, tukar tiketmu dengan milik Hana!" perintahnya. "Tidak mau!" tolak sang istri seketika. "Aku tidak menerima penolakan!" "Ini tiketku. Kenapa aku harus bertukar dengannya? Kenapa tidak kamu saja yang bertukar dengan siapa pun yang duduk di sebelah pacarmu?" Erick merasa pengang seketika. Bisa-bisanya Giselle menjawab perkataannya. Dari mana wanita itu mendapatkan keberanian untuk melawannya? "Hei, wanita kumal yang dipungut dari jalanan!" "Siapa yang kau panggil kumal?" balas Giselle sinis. Ia sontak berdiri dari posisi duduknya. "Kau, tentu saja!" tuding Hana. "Serahkan tiketmu kepadaku! Kita bertukar tempat duduk." "Siapa kau, berani memerintahku?" Hana melotot tajam. "Apa?" Giselle mendelik. "Katakan pada kekasih gelapmu ini. Aku tidak mau bertukar tempat duduk dengannya," ujarnya kepada Erick. Pria itu langsung mengurut pelipisnya yang terasa berdenyut. "Kekasih gelap?! Kau yang gelap, Giselle! Lihat dirimu! Seperti gelandangan. Sangat tidak pantas bersanding dengan Erick." "Kau pikir kau pantas?" Hana berniat untuk melayangkan sebuah tamparan kepada Giselle. Namun, Erick dengan cepat menahannya. "Sudahlah. Jangan buat keributan di sini. Jangan sampai ada seseorang yang mengenaliku melihat kita membuat keributan di area bandara. Aku malu," papar Erick lelah. Hana langsung mendengus sinis, begitu juga dengan Giselle. Mereka baru bertemu satu kali sebelum ini. Namun, genderang perang di antara keduanya seakan sudah ditabuh sejak dahulu kala. *** Ketika sudah memasuki pesawat, Erick kembali mencoba membujuk Giselle agar wanita itu bersedia untuk bertukar tempat dengannya. Namun, wanita itu masih bersikeras menolak. "Aku akan membayarmu. Aku akan memberimu uang, jika kau mau bertukar dengan Hana," putus Erick pada akhirnya. Ia benar-benar kehabisan akal. Dirinya juga khawatir apabila Hana merajuk kepadanya nanti. "Berapa?" tanya Giselle sedikit tertarik. Jujur saja, hal seperti ini yang mampu membuatnya bertahan di sepanjang pernikahan. Bila terdesak, Erick akan memenuhi keinginannya atau sekedar memberinya uang untuk jaminan tutup mulut. Bagi Giselle, pernikahan ini tidak sepenuhnya menyiksa. Justru setelah menikah, ia jadi memiliki cukup tabungan untuk bekal hidupnya kelak di masa depan, apabila Erick mencampakkannya sewaktu-waktu. "Berapa pun yang kau minta." Giselle langsung mengangkat kelima jari tangan kanannya dan menunjukkannya kepada sang suami. "Lima juta? Baiklah. Akan kutransfer setelah kita sampai di tujuan." "Lima juta?" Dengan alis mengerut, Giselle meralat, "Lima milyar, Erick." "Apa kau gila?!" pekik Erick yang tanpa sengaja mengeraskan suaranya. Pria itu ikut terkejut dan terlihat kelabakan saat beberapa penumpang menegurnya. Ia meminta maaf, lalu kembali beralih kepada Giselle. "Jangan memanfaatkan kesempatan! Kau pikir aku akan suka rela memberimu uang sebanyak itu?" desis sang pria. Giselle memilih untuk bersikap tenang. "Ya sudah, kalau kamu tidak mau." Erick berdecak tak senang. "Baiklah. Aku akan memberimu uang. Tapi, kau bukan hanya harus bertukar kursi dengan Hana." Wanita itu menoleh ke samping. Menunggu kelanjutan kalimat yang akan diucapkan oleh sang suami. "Kau juga harus bertukar kamar hotel dengan Hana. Dan satu lagi!" tekan Erick, ketika melihat istrinya hendak menyela ucapannya. "Jangan berani mengadu kepada Kakek, atau kau tahu akibatnya." "Hmph! Kakek meminta kita untuk memberikannya cicit. Lalu, bagaimana aku bisa hamil, jika kamu saja tidak mau menyentuhku?" "Kita akan melakukannya di pulau nanti." Giselle langsung tercenung. Apa pria itu bersungguh-sungguh atas ucapannya? "Sudahlah. Sana! Jika kau bisa bekerja sama, maka kau juga mendapatkan keuntungan. Uang dariku, dan sebagian aset Kakek. Bagaimana?" Giselle langsung mengulurkan tangan. "Deal?" Menyeringai dalam hati, pria itu pun menjabat tangan sang wanita. "Deal." Giselle segera bangkit setelahnya. Tak ingin membuang waktu, sebab pesawat akan segera lepas landas tak lama lagi. Dan ia harus segera bertukar dengan Hana sebelum itu. Di bangku belakang, Hana yang melihat kedatangan Giselle langsung berbinar cerah. Ia menduga jika wanita itu akhirnya bersedia untuk bertukar tempat dengannya. "Kenapa lama sekali? Aku 'kan sudah menunggu dari tadi," ujar Hana sembari berdiri dari tempat duduknya. Giselle tak menjawab. Namun, wajahnya menunjukkan ketidaksukaannya terhadap gadis itu. Setelah Hana pergi, wanita tadi langsung menduduki tempatnya. Ia memasang wajah muram, hingga terdengar sebuah suara dari monitor pesawat. Pramugari sedang menjelaskan tentang mekanisme penerbangan, tata cara memakai sabuk pengaman, dan aturan-aturan penerbangan lainnya. Namun, Giselle tidak bisa benar-benar memperhatikannya. Wanita itu menatap risau ke luar jendela. "Kau takut? Ini penerbangan pertamamu?" tanya seorang pria yang duduk di sisi kiri wanita itu. Giselle sontak menoleh. Ia merasa gugup. Yang dikatakan oleh pria itu memang benar. Dirinya merasa takut sebab ini adalah penerbangan pertamanya. "Rileks. Tidak semenakutkan itu," kata pria itu lagi. Tanpa disuruh, tangannya sudah lebih dulu bergerak melingkari pinggang sang wanita. Giselle terkejut atas perilaku tersebut. Ia refleks mendorong bahu sang pria. "Jangan kurang ajar!" "Apa?" Pria itu membeo. Ia sedikit memperbaiki letak kacamata hitamnya, lalu menegakkan posisi duduknya. "Aku hanya membantumu memasang sabuk pengaman, Nona. Kenapa reaksimu berlebihan sekali?" Giselle mati kutu dibuatnya. Ia merutuk dalam hati. Bisa-bisanya dirinya berpikir jika pria ini akan melakukan pelecehan terhadapnya. "Ma–maaf," cicitnya merasa malu. Namun, pria tadi tak menjawab dan memilih untuk memasang earphone ke telinganya. "Hah ...." Giselle menghela napas panjang. Sepertinya, perjalanan ini akan terasa menyesakkan baginya.Gabriel dan Giselle berpisah di lobi, setelah mereka berdua memutuskan untuk kembali ke hotel dengan sebuah taksi.Hari sudah siang, bahkan menjelang sore. Meskipun Giselle yakin bahwa Erick belum pulang, tetapi dirinya harus cepat-cepat kembali, sebelum pria itu tiba.Di sepanjang langkahnya menuju kamar, wanita itu merasa gelisah memikirkan foto yang dikirim di ponselnya tadi saat bersama Gabriel. Ia mulai was-was. Dirinya yakin, seseorang yang tak dikenali mengikutinya dan Gabriel tadi. Tapi, siapa?"Tidak. Tidak." Giselle menggeleng atas pemikirannya sendiri. "Tidak mungkin Erick. Jika Erick melihatku, dia tidak akan memotretku diam-diam dan mengirimkan foto itu dengan nomor asing. Erick itu 'kan ....""Aku kenapa?"Wanita itu terperanjat bukan main saat mendengar sahutan seorang pria dari hadapannya. Tanpa sadar, rupanya ia sudah tiba di depan pintu kamar. Dan kini, terlihat suaminya tengah berdiri di ambang pintu yang terbuka itu."Erick? Kamu sudah pulang?" tanya Giselle basa-b
Pagi itu, Hana menelepon Erick dan merengek agar pria itu menemuinya di hotel tempatnya dipindahkan. Kata gadis itu, ia merasa kurang enak badan. Dan Erick .... Tentu saja pria itu langsung melesat pergi menemui sang kekasih gelap tanpa berpikir panjang. Sehingga ketika Tuan Warsana datang untuk mengajak sarapan bersama, Giselle terpaksa harus putar otak memikirkan alasan yang logis atas kepergian suaminya untuk disampaikan kepada pria tua tersebut. "Erick ini! Kakek mengirim kalian untuk berbulan madu, tapi dia justru sibuk menemui teman-temannya!" decak Tuan Warsana yang duduk tepat di hadapan Giselle di sebuah meja di restoran hotel. Wanita muda tadi tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Kakek. Biarkan Erick bertemu teman lamanya. Aku tidak keberatan. Lagi pula, aku juga tidak ingin suamiku merasa jenuh bila harus seharian terus-menerus berada di hotel untuk menemaniku." Bibir Tuan Warsana mencebik samar. "Seharusnya dia menjagamu!" Kata-kata itu hanya dibalas senyuman tipis oleh G
Baru saja hendak mengambil sebungkus pembalut di rak supermarket, Giselle langsung dikejutkan dengan sebuah tangan yang muncul dari belakang kepalanya. Mengambil sebungkus pembalut yang semula hendak ia ambil.Wanita itu terperanjat dan refleks berbalik. Sontak saja tubuhnya kini berhadapan dengan tubuh pria jangkung itu, dengan dirinya yang terhimpit oleh rak supermarket dengan tubuh tersebut."Jadi, ini yang membuatmu bersikap tidak biasa seharian ini?" tanya pria itu sambil bergantian menatap antara wajah Giselle dengan bungkusan produk kewanitaan di tangannya.Giselle melotot mendengar pertanyaan tersebut. Ia pun langsung merebut pembalut itu dari tangan sang pria. "Berikan padaku! Dasar tidak sopan?""Tidak sopan?" Gabriel melirik ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jika di sana cukup sepi. Kemudian, ia ulurkan tangan kanannya bertumpu pada baris rak di belakang kepala wanita itu. Tangan kirinya lekas terangkat meraih dagu sang wanita.Giselle langsung memalingkan wajah hingga
"Jangan gunakan hatimu saat bersamaku, Gabriel. Karena sampai kapan pun, aku tidak akan pernah bisa membalas perasaanmu."Hanya sebaris kalimat itu yang terus terngiang di kepala Gabriel. Berputar-putar tiada henti, bagaikan kaset yang rusak.Kalimat sederhana itu, nyatanya meninggalkan bekas luka yang menganga lebar di dada Gabriel. Ia tidak bisa percaya ini. Cintanya ditolak oleh Giselle.Baiklah. Mungkin, Gabriel memang salah karena kurangnya persiapan dalam usaha menyatakan cinta. Mungkin, waktunya kurang tepat. Dan mungkin juga, dirinya terlalu cepat memutuskan."Ck! Fuck!" umpat pria itu sambil menendang lantai lantaran frustrasi."Tuan?" Dave yang baru tiba itu cukup terkejut melihat tuannya tampak dalam kondisi emosi yang tidak stabil.Saat menyadari bahwa sang asisten masuk, Gabriel langsung menoleh. "Carikan aku sesuatu yang menyegarkan, Dave! Aku ingin minum.""Cola, Tuan?" tanya Dave spontan.Gabriel tercenung. "Apa maksudmu dengan cola?! Kau pikir aku kehausan?!"Dave lan
Giselle merasa gelisah sendiri memikirkan kejadian di lift tadi. Benaknya dipenuhi tanda tanya akan siapa sosok wanita yang dibawa oleh Gabriel tadi. Mungkinkah jika wanita paruh baya itu adalah pelanggan sang pria?"Huh! Semua pria sama saja," gerutu Giselle dengan wajah muram. Ia berkali-kali memeriksa ponselnya. Tetapi, pemberitahuan yang dinantinya sejak kemarin tak kunjung muncul.Ya. Pemberitahuan pesan atau panggilan dari Gabriel yang sejak kemarin ditunggu oleh Giselle. Memang siapa lagi?Wanita itu membuang napas kasar sambil meletakkan ponselnya ke atas meja. Ia benar-benar suntuk. Perasaannya tak menentu memikirkan apa yang kira-kira Gabriel lakukan bersama wanita itu di kamar sang pria. Mungkinkah ...."Akh! Shh .... Kenapa aku memikirkan hal seperti itu?" gumam Giselle sambil menggelengkan kepala. Berusaha menghapus pikiran buruknya yang terasa menghantui."Apa?! Baiklah, aku segera ke sana!"Mendengar suara Erick yang seperti terkejut, Giselle pun refleks menoleh ke arah
"Tuan terlihat gelisah," celetuk seorang pria yang baru saja menuangkan wine ke dalam gelas milik pria lain yang ia panggil Tuan itu."Oh ya?" sahut sang tuan acuh tak acuh."Ada masalah, Tuan? Barangkali saya bisa bantu."Pria muda itu menoleh. Wajahnya terlihat lesu. "Kau punya kekasih, Dave?"Dave tertegun mendengar pertanyaan tuannya. Bertahun-tahun ia bekerja bersama sang tuan, baru kali ini tuannya itu menanyakan sebuah pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya. "Itu .... Apa Tuan Muda sedang memikirkan seorang gadis?""Hmm .... Istri orang, lebih tepatnya."Dave melotot terkejut mendengar pengakuan tuannya. "Tuan!"Gabriel. Pria 23 tahun itu tersenyum masam, sebelum akhirnya menenggak minuman di gelasnya hingga tandas."Aku akan pergi tidur," pamit pria muda itu, yang kemudian bergegas meninggalkan Dave di tempat tadi.***Keesokan paginya, Giselle melakukan sarapan bersama dengan Erick dan Tuan Warsana di restoran hotel. Mereka tampak berbincang hangat bak keluarga







