LOGINGiselle memilih untuk keluar dari kamar malam itu. Ia juga sudah meminta petugas hotel agar membawa pria mabuk yang dibawa oleh Erick tadi keluar.
Dengan sebuah mantel panjang berbahan bulu yang tebal, wanita itu menyusuri lorong hotel. Menoleh ke sana-kemari seperti seseorang yang kehilangan arah. Hingga akhirnya, indra pendengarannya menangkap sebuah suara riuh dari lorong yang tadinya hendak ia lewatkan. Penasaran, Giselle pun memutuskan untuk menyusuri lorong tersebut. Tiba di ujung lorong, dirinya menemukan sebuah pintu yang dijaga oleh 2 orang pria bertubuh tinggi besar. "Mau masuk, Nona?" tanya penjaga di sana. "Tempat apa ini?" "Tempat untuk bersenang-senang di hotel ini. Apa lagi?" "Bersenang-senang?" gumam wanita itu pelan. "Saya bisa masuk?" "Tentu saja, asal Anda menunjukkan kartu pengunjung." Giselle merogoh saku mantelnya untuk mengeluarkan kartu pengunjung miliknya. Untung saja ia membawa benda itu tadi. Ternyata, benda itu cukup berguna. "Anda boleh masuk," kata si penjaga setelah memeriksa kartu pengunjung milik Giselle. Setelah mengucapkan terima kasih, wanita itu bergegas masuk ke dalam ruangan begitu pintu terbuka. Lalu, pandangannya disambut dengan gemerlap lampu disko. Para pria dan wanita berdansa sensual di lantai dansa. Tampak erotis bagi Giselle yang belum pernah mengunjungi tempat seperti ini sebelumnya. Wanita itu celingukan sejenak, kemudian melangkah menghampiri meja bar. Ia duduk di sebuah kursi, lalu memesan minuman. "Apa saja. Asal tidak mengandung alkohol," pesan Giselle kepada bartender. "Anda bercanda? Kalau ingin minum jus, minta saja melalui service room. Untuk apa datang ke klub?" sindir bartender itu sedikit kesal. Giselle merasa malu atas kebodohannya sendiri. Bagaimana mungkin ia berpikir jika tempat ini menyediakan teh, lemon, atau susu untuk pengunjung? "Em– maaf. Kalau begitu, berikan apa saja yang menurutmu pantas untukku," ucap wanita itu sungkan. Bartender segera berbalik. Bergerak cekatan menyiapkan sebuah minuman untuk pengunjung klub. Beberapa saat kemudian, pria muda itu kembali menghadap Giselle dan menyajikan minuman ke hadapan wanita itu. "Silakan." "Terima kasih." Giselle mengangkat tangan. Jemarinya menyentuh pinggiran gelas kaca bening itu. Ia mengamati sejenak cairan berwarna kemerahan itu dengan rasa bimbang. Haruskah ia meminumnya? "Aku tidak akan menjualmu. Dijual pun, kau tidak akan laku. Kau itu tidak ada harganya." Sebaris kalimat menyakitkan itu kembali terngiang di ingatan Giselle. Membuat darah wanita itu seakan mendidih. Dengan genggaman kuat, wanita itu mengangkat gelas minumannya. Ia lantas menenggak minuman beralkohol itu tanpa pikir panjang lagi. "Akh ...." Wanita itu mengusap bibirnya secara kasar. Ia masih kesal. Sepertinya, segelas minuman tidak akan cukup. "Aku mau lagi!" Bartender kembali menuangkan minuman untuk Giselle, yang kemudian kembali dihabiskan oleh wanita tersebut. "Lagi!" pinta Giselle. Hal itu terus berulang, hingga tembakan kelima. Giselle benar-benar benar mabuk. Ia bahkan tak sanggup lagi mengangkat gelas keenamnya. Kepalanya terasa berat. Wanita itu melipat tangannya ke atas meja, lalu membaringkan kepala di antaranya. Wajahnya tampak merah karena pengaruh alkohol. Meski dalam kondisi setengah sadar, tetapi Giselle masih bisa mencium aroma parfum yang teramat maskulin. Pengelihatannya sedikit kabur, tetapi lamat-lamat bisa mendapati siluet seorang pria yang mengambil tempat duduk di sampingnya. "Harus ... cari pria ...," racau wanita itu pelan. Tangannya terangkat dan meraih tangan pria asing itu. "Hm?" Merasa seseorang menarik tangannya, pria itu pun menoleh. Susah payah Giselle berusaha menegakkan tubuh. Ia harus memaksa kepalanya yang pusing itu untuk terangkat. "Mau menghabiskan malam denganku?" "Maksudmu?" "Bukankah di luar sangat dingin? Apa kau mau berbagi kehangatan denganku?" Pria itu terdiam sembari memperhatikan wajah Giselle yang tampak mabuk. "Kau tidak akan menolakku, bukan?" tanya wanita itu lagi. Ia nekat turun dari kursi, walau sedikit limbung akibatnya. Pria itu dengan cepat memeluk tubuh Giselle agar tidak terjatuh. "Di mana kamarmu, Sayang?" "Umm– Aku lupa. Bagaimana jika pesan kamar baru?" kata Giselle sembari mengalungkan kedua lengannya ke leher sang pria. "Kau masih bisa berjalan?" tanya pria itu. "Gendong aku." Tanpa ba-bi-bu, pria itu segera menggendong tubuh Giselle yang teramat ringan baginya. Ia membawa sang wanita keluar menuju sebuah kamar yang ada. Lalu, perlahan membaringkan tubuh wanita itu ke ranjang. Giselle langsung duduk dan menurunkan kedua kakinya ke lantai. Kedua tangannya bertumpu ke belakang dengan sedikit mencondongkan tubuh bagian atasnya ke depan. Dirinya benar-benar menggoda, andai mantel bulu itu tidak menutupi tubuhnya. "Siapa namamu?" tanya Giselle sambil tersenyum genit. Matanya menatap sayu sang pria yang kini berdiri di hadapannya. "Untuk apa kau menanyakan namaku?" "Kupikir, pria akan senang jika wanita meneriakkan namanya di sela-sela penyatuan mereka." Pria itu tersenyum miring. Wanita ini boleh juga, pikirnya. "Gabriel. Kau?" "Giselle." Ia berdiri, lalu menarik kerah kemeja Gabriel, hingga pria itu sedikit membungkuk dengan wajah mereka yang berhadapan. Dengan tak sabar, Gabriel pun segera merengkuh pinggang sang wanita, lalu mulai menyambar bibir merah wanita itu. Rasanya manis bagi Gabriel. "Nggh~" Giselle benar-benar dimabuk kepayang hanya dengan merasakan ciuman pria itu. Apakah karena ini adalah pengalaman pertama baginya? Baru berciuman saja, tubuh Giselle rasanya sudah seperti tersengat aliran listrik ribuan volt. Begitu nikmat dan candu. Mendengar erangan sang wanita, gairah Gabriel semakin meningkat. Ciumannya pun turut mengganas. Dihisapnya kedua belah bibir Giselle secara bergantian atas dan bawah, lalu dijilatinya sela-sela bibir wanita itu. Membuat si empunya mengeluarkan desahan merdu. Pada saat mulut Giselle terbuka, pria itu tak menyiakan kesempatan untuk melesakkan lidah ke dalam rongga hangat nan basah milik sang wanita. Mengajak wanita itu bertarung lidah, hingga suara kecipak saliva mulai terdengar memenuhi ruangan. Gabriel melepaskan pengikat mantel milik Giselle, lalu menarik kain itu hingga terjatuh ke lantai. Kini, terlihat jelas tubuh wanita itu yang hanya terbalut oleh gaun malam berbahan jaring yang tampak seksi. "Kau nakal sekali. Berkeliaran malam-malam dengan gaun seksi seperti ini. Sengaja, hm?" Suara Gabriel terdengar rendah dan seksi di telinga Giselle. Tangan besar pria itu merayap turun dan menyentuh area yang selama ini selalu dijaga sebaik mungkin oleh sang wanita. "Ahhn~ Gabriel– ughhh ...." Giselle bergetar. Tubuhnya lunglai memeluk pria itu saat merasakan jari sang pria membelai area sensitifnya. "Kau bahkan tidak mengenakan pakaian dalam. Shh .... Apa kau benar-benar ingin aku membuatmu meneriakkan namaku malam ini?" "Umhh ...." Giselle mengangguk dengan mata tertutup menahan gejolak diri. Hanya sentuhan ringan dari jari pria itu saja sudah membuatnya merasa melayang. "Aku milikmu malam ini. Lakukan sesukamu." "Baikalah. Jangan menyesal, Giselle ....""Kau dari mana, hah?!" Erick tampak marah saat melihat Giselle baru kembali ke kamarnya. Padahal, ini sudah pukul 9 malam, dan pria itu sudah menunggunya sejak petang tadi.Sang wanita melirik ke arah jam dinding. Ia lantas mengulum bibir dengan kepala sedikit tertunduk. Ini karena Gabriel yang memaksanya untuk tetap tinggal, dirinya jadi terlambat untuk menemui suaminya."Kau bisu?! Mulutmu terkunci rapat! Apa perlu aku merobek mulutmu agar bisa terbuka?!""Aku ada urusan," jawab Giselle cepat."Urusan?" Erick mendekat. Membuat wanita itu mundur satu langkah darinya. Kemudian, matanya memicing tajam mendapati sebuah tanda kemerahan di leher sang istri yang biasanya selalu tampak bersih.Srak!Giselle tercekat saat tiba-tiba, Erick menarik kasar kemejanya hingga membuat beberapa kancingnya terlepas secara paksa.Pria itu langsung terperangah begitu mendapati banyaknya kissmark di sekitar dada dan bahu sang istri. "I–ini–"Giselle buru-buru membenahi pakaiannya. Kancingnya rusak, jadi
Sudah Giselle duga sebelumnya. Tujuan Hana meminta Erick untuk membawa serta dirinya ikut jalan-jalan sebenarnya hanyalah alibi agar gadis itu bisa memamerkan kemesraan di hadapannya. Daripada menjadi obat nyamuk, Giselle memilih untuk duduk di kursi kafe tepi pantai sembari menikmati kelapa muda segar yang tersaji di hadapannya. Sementara di bibir pantai sana, terlihat Hana dan Erick yang tengah bermain air sambil tertawa bahagia seolah dunia milik mereka berdua saja. Sial! Andai Giselle tidak terlanjur berjanji untuk bisa diajak bekerja sama dengan Erick, wanita itu pastinya akan kekeuh menolak permintaan pria itu untuk ikut pergi. "Apa aku pergi saja? Toh, mereka tidak akan sadar, kalaupun aku menghilang. Kakek juga sudah menelepon pagi tadi. Pasti tidak akan jadi masalah besar," gumam Giselle pada dirinya sendiri. Wanita itu memeriksa ponselnya sejenak. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Sebentar lagi, senja akan tiba. Dan ia sudah berjanji kepada Gabriel untuk menemui pria
Dering ponsel yang tiada henti membuat Giselle mau tak mau membuka mata. Ia meraba-raba ke samping tempat tidur, dan menemukan ponselnya yang berdering di atas meja nakas. Nama Erick terpampang di layar pipih itu sebagai identitas si pemanggil. Membuat Giselle buru-buru menjawab panggilannya. "Halo?" "Kau di mana, hah?! Di kamar tidak ada! Kau ini ke mana?! Kakek menghubungimu sejak tadi, tapi tidak bisa, jadi dia meneleponku. Aku mengatakan jika kau masih tidur," cecar Erick dari balik sambungan telepon. "Hmmh .... Maaf. Aku akan ke sana sekarang," jawab Giselle. "Kalau begitu cepat!" Panggilan berakhir saat itu juga. Giselle menghela napas seraya berusaha untuk bangun. Namun, lengan kokoh yang memeluk pinggangnya dari belakang itu seakan tak mengizinkannya untuk bangun. "Bisa kau lepaskan aku? Aku harus pergi," pinta Giselle yang benar-benar tak bisa bergerak. Akhirnya, pria itu melepaskan pelukannya. Membebaskan sang wanita untuk bangkit. Sementara, dirinya pun ikut duduk
Giselle memilih untuk keluar dari kamar malam itu. Ia juga sudah meminta petugas hotel agar membawa pria mabuk yang dibawa oleh Erick tadi keluar. Dengan sebuah mantel panjang berbahan bulu yang tebal, wanita itu menyusuri lorong hotel. Menoleh ke sana-kemari seperti seseorang yang kehilangan arah. Hingga akhirnya, indra pendengarannya menangkap sebuah suara riuh dari lorong yang tadinya hendak ia lewatkan. Penasaran, Giselle pun memutuskan untuk menyusuri lorong tersebut. Tiba di ujung lorong, dirinya menemukan sebuah pintu yang dijaga oleh 2 orang pria bertubuh tinggi besar. "Mau masuk, Nona?" tanya penjaga di sana. "Tempat apa ini?" "Tempat untuk bersenang-senang di hotel ini. Apa lagi?" "Bersenang-senang?" gumam wanita itu pelan. "Saya bisa masuk?" "Tentu saja, asal Anda menunjukkan kartu pengunjung." Giselle merogoh saku mantelnya untuk mengeluarkan kartu pengunjung miliknya. Untung saja ia membawa benda itu tadi. Ternyata, benda itu cukup berguna. "Anda boleh masuk," ka
Sambil mendorong troli berisi 3 koper besar, Giselle berusaha menyusul langkah Erick yang lebih dulu meninggalkannya bersama Hana. Ia sedikit kewalahan. Namun akhirnya, wanita itu bisa menjangkau kedua insan tersebut di lobi bandara. Seorang pria paruh baya tiba untuk menjemput mereka. Namun saat hendak masuk ke dalam mobil, Erick menahan sang istri. "Kau cari taksi yang lain. Yang ini untukku dan Hana," ujar Erick. Giselle hendak melayangkan protes. Namun, pria itu sudah mengangkat tangan dan mengisyaratkannya untuk diam. "Kalau kau ingin uang dariku, kau harus bisa bekerja sama." Sial! Pada akhirnya, Giselle hanya pasrah ketika taksi meninggalkan dirinya beserta koper miliknya di sana. Saat menoleh ke belakang, secara kebetulan sebuah mobil lain berhenti. Tidak terlihat seperti taksi. Namun, Giselle yakin jika itu mobil angkutan seperti taksi pada umumnya. Dengan penuh percaya diri, Giselle ikut mendekat ketika sang sopir membuka bagasi mobil. Ia mendorong kopernya hingga men
"Kemasi pakaianmu!" perintah Erick, begitu mereka tiba di rumah. Giselle terkejut. "Kamu mengusirku?" "Apa maksudmu? Kita akan berangkat ke pulau besok." Mendengar itu, bukannya lega, Giselle justru semakin terkejut. "Kita benar-benar akan melakukannya?" tanyanya lagi. "Jangan harap, Giselle! Memandangmu saja sudah membuatku ingin muntah, apalagi menyentuhmu!" hardik Erick kesal. "La–lalu, bagaimana kita akan memberikan cicit untuk Kakek?" "Kita pikirkan itu nanti. Yang terpenting, kita berangkat ke pulau dulu," kata Erick santai. "Aku akan mengajak Hana." Giselle terbelalak. Ia menatap kepergian Erick dalam diam sambil mendumal dalam hati. Erick ini bagaimana? Kakeknya menginginkan seorang cicit dari rahim Giselle, hingga rela mengirim mereka berdua ke pulau untuk berbulan madu. Akan tetapi, pria itu justru berniat membawa selingkuhannya untuk ikut serta. *** Esok hari pun tiba. Erick dan Giselle pergi ke bandara dengan diantarkan oleh Tuan Warsana. Pria tua itu berharap pe







