Share

DIA YANG TIDAK BISA DITEBAK

 Aku pernah bermimpi menjadi wanita karir yang sukses, datang ke makam kedua orang itu dengan penampilan elegan dan berharap mereka akan menyesal karena sudah meninggalkanku sendirian.

 Saat itu aku benar-benar ingin membalas dendam sampai lupa bahwa mereka sudah tidak ada di dunia, bahwa aku tidak lagi bisa melihat mereka dan satu-satunya ingatan yang masih jelas di kepalaku hanyalah dua pasang kaki yang bergelantungan.

 Selama ini aku ditemani ingatan menyedihkan itu lalu suara yang entah berasal dari mana ini sukses membuat napasku tercekat ketika dia melempar ingatanku kepada kejadian hari itu, membuatku berteriak putus asa di dalam hati sampai pertolongan Tuhan datang menghampiri.

 Tanwira mengguncang pelan bahuku. “Evandale? Apa yang kau lakukan di lantai? Jatuh?” tanyanya tetapi aku tidak kunjung menjawabnya sampai dia harus mengulangi pertanyaannya sekali lagi dan menyadarkanku yang masih terpengaruh oleh kejadian tadi.

 “Ya?” Aku dibuat terkejut oleh diriku sendiri karena sudah kembali bisa mengeluarkan suara. Aku menyentuh mulut dan leherku, mencerna apa yang terjadi sebelum kemudian menghela napas lega.

 Hah, setidaknya aku sudah bisa bersuara.

 “Apa terjatuh di lantai bisa membuat seseorang menjadi seterkejut itu?” sindir Tanwira, dia berdiri terlebih dahulu sebelum kemudian mengulurkan tangannya dengan niat membantu. “Ayo bangun! Jika Mama tiba-tiba masuk dan melihatmu terjatuh, dia bisa membunuhku.”

 Dia memang menyebalkan tetapi aku tidak bisa memungkiri bahwa mulut pedasnya itulah yang membuatku sadar dan terselamatkan.

 “Setidaknya jika kau memang benar ingin membantu, lakukan itu dengan tulus!” balasku sewot yang membuat dia menarik uluran tangannya sendiri, tidak jadi membantuku. “Kau ini memang tidak tahu bagaimana cara membantu orang dengan tulus, ya?” tambahku kesal. Aku meraih tongkatku, berusaha untuk berdiri dengan sisa tenagaku sendiri tetapi ternyata kakiku belum sekuat itu sehingga mau tidak mau aku harus meminta bantuan Tanwira. “Bantu aku!”

 “Kenapa aku harus membantumu?” Dia sedikit menundukkan kepalanya, menyentuh jubah mandinya, lalu menatapku dengan ekspresi meledek sebelum kemudian berkata, “Orang yang tidak bisa membantu orang lain dengan tulus ini harus berganti baju.” Dan dia melewatiku begitu saja.

 “Hei!” seruku kesal. “Tanwira!”

 Tanwira Tarachandra melambaikan tangannya ke arahku dengan senyum tipis di bibirnya. Dia benar-benar menyebalkan! Bagaimana bisa suasana hatinya berubah-ubah seperti itu? Dia tidak marah ketika aku berpikir dia akan marah, dia merajuk ketika aku berpikir bahwa dia hanya akan menghela napas kesal dan sekarang dia meninggalkanku ketika aku pikir dia akan membantu!

 “Awas saja kau!” gumamku mendendam. Aku tetap berusaha keras untuk berdiri tetapi nyatanya itu tidak membuahkan hasil. Mungkin tubuhku terlalu lelah setelah gemetar dan berkeringat dingin tadi. “Aku akan menginjak kakimu dengan sepatu hak tinggi jika aku sudah bisa berjalan normal nanti! Awas saja!”

 Menyerah dengan tongkat, aku bergerak maju, mengesot ke arah tempat tidur dan berhasil berdiri setelah menumpukan kedua tanganku di atas kasur. Masalah pertama selesai tetapi masalah keduanya sekarang adalah aku yang terlalu lelah hanya untuk memindahkan tanganku dan duduk.

 “Perlu bantuan?” tawar Tanwira.

 Aku menoleh ke belakang dan menemukannya sudah berpakaian lengkap. Selain itu sekarang dia berjalan ke arahku, mengangkat tubuhku sebelum aku menerima tawarannya dan membaringkanku di atas kasur.

 Bahkan sebelum aku sempat bereaksi, dia sudah menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhku sampai aku berteriak kesal.

 “TANWIRA!”

 Dan aku bisa melihat dia menjauh sambil menggeleng-gelengkan kepala.

***

 Aku mengeluh ketika terbangun dari tidurku sambil menangis. Duduk dan mengusap air mata, aku memastikan bahwa Tanwira sedang tidak ada di dalam kamar jadi aku tidak perlu menjelaskan jika dia bertanya apa yang aku mimpikan sampai membuat bantalku basah karena air mata.

 “Yang benar saja, Eve,” gumamku sambil menghela napas, merasa lelah. “Kau bahkan tidak bisa mengingat mimpi itu dengan jelas tetapi malah menangis seperti anak kecil.”

 Sebenarnya kembali lagi pada apa yang suara itu katakan. Sudah jelas suara itu tidak berasal dari manusia, dia bahkan bisa membawaku kepada masa lalu tidak menyenangkan itu dan berbicara tentang pertukaran nasib yang aku dan Evandale Humeera lakukan.

 “Apa yang terjadi dengan Evandale Humeera di atas sana, ya?” gumamku lagi. Tiba-tiba merasa bersalah. “Suara itu bilang kami berdua menyulitkannya-- sudah pasti karena Evandale Humeera menggantikan tempatku begitu saja tetapi ... sebenarnya apa yang suara itu inginkan? Kami bertukar tempat lagi atau dia meminta tubuh ini ikut mati? Bu--”

 “Siapa yang mati?”

 “Oh Tuhan!” Aku menjerit terkejut karena berpikir bahwa aku kembali mendengar suara dari sosok bukan manusia itu. Meskipun bersyukur karena ternyata itu adalah suara Tanwira, aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak berteriak , “KETUK PINTUNYA SEBELUM MASUK!”

 “Kau gila? Ini juga kamarku,” balasnya sambil mendengus. Dia melangkah mendekat sebelum kemudian berhenti ketika matanya menangkap sesuatu. Dia menunjuk bantalku. “Apa itu? Air liurmu?”

 Mengambil bantal yang dia tunjuk, aku melemparnya ke wajah Tanwira. Sayangnya dia cepat tanggap dan melempar balik bantal itu kepadaku. Ekspresi wajahnya datar, berbanding terbalik denganku yang sudah terpancing emosi.

 “Siapa yang mati, Eve?” tanyanya lagi.

 “Aku.”

 “Hm?”

 “Ada malaikat maut yang datang padaku,” jawabku. Aku memutuskan untuk menceritakan saja kepadanya-- meskipun tidak semuanya, toh ... dia juga tidak akan mengerti dan mungkin hanya akan menganggapku gila jadi biarkan saja.

 Aku menatap Tanwira, menunggu reaksinya tetapi apa yang dia katakan setelahnya membuatku gagal menahan kesabaranku.

 “Kalau begitu waktumu sudah dekat,” katanya ringan, tanpa beban.

 Saat dia melewatiku, aku mencibirnya dalam diam sampai kemudian dia membalikkan badannya secara tiba-tiba, menatapku curiga.

 “Apa? Aku tidak melakukan apapun,” ucapku polos, aku bahkan mengangkat kedua tanganku. Tetapi ketika Tanwira masih menatapku curiga, emosiku kembali meledak. “Kenapa kau menatapku seperti itu?”

 “Perubahan emosimu benar-benar luar biasa,” komentarnya. “Sepertinya sikap lemah lembutmu menguap dari dalam tubuh itu selama kau mengalami koma,” tambahnya kemudian.

 “Kau membalikkan badanmu dan menatapku curiga hanya untuk memberi komentar pedas seperti itu?” Aku memutar bola mata. “Well, thank you!”

 Dia tidak mengubah ekspresinya, tatapan datarnya masih menjadi primadona. “Orang yang menabrakmu dan wanita itu dibebaskan hari ini,” katanya, memberitahu.

 “APA?” Reaksiku mungkin terdengar berlebihan tetapi memang itulah kenyataannya. “Kenapa? Ini bahkan belum satu bulan dan--dan meskipun itu bukan kesalahannya juga karena lampu hijau juga sudah menyala tetapi ... seseorang mati.”

 Ragaku sudah dipeluk bumi, jiwaku berada di tubuh orang lain dan sekarang orang yang menabrakku bebas bahkan sebelum satu bulan berada di bui. Maksudku ... apa-apaan ini?

 “Kejiwaannya terganggu.”

 “Hm?” Aku mengerjapkan mataku. “Apa maksudmu?”

 “Pelaku yang menabrakmu dan wanita itu, kejiwaannya terganggu.”

 Bagaimana aku harus menanggapi ini?

 Aku menunduk, merenung. Sejak pertama kali aku terbangun di dalam tubuh Evandale Humeera, aku benar-benar mengabaikan pelaku yang menabrakku hari itu. Lalu sekarang setelah aku mendengar kabar ini, kenapa aku tiba-tiba merasa ... marah?

 “Evandale?”

 “Ya?”

 “Melihat dari sifatmu, bukankah kau terlalu acuh tidak acuh kepada wanita yang sudah menolongmu? Bagaimana bisa kau hanya satu kali menanyakan tentangnya,” mulai Tanwira lagi. Dia kembali menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku mengerti. “Meski kau kehilangan ingatanmu sekalipun, bukankah aneh jika kau juga kehilangan sifat yang melekat di dalam dirimu? Sampai sekarang aku hanya tidak bisa mengerti hal itu.”

 Dan seperti itulah bagaimana dia kembali membuatku gelisah.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status