Keheningan panjang yang aku lalui selama di perjalanan masih berlanjut sampai ketika aku ditinggal berdua saja dengan Tanwira di dalam kamar. Aku mulai merasa panas dingin sementara suamiku itu terlihat enggan memulai percakapan terlebih dahulu.
Jujur saja, aku pikir dia akan langsung memberondongiku dengan pertanyaan atau apapun itu. Nyatanya dia sepertinya gengsi bahkan hanya untuk menyapaku terlebih dahulu.
“Kenapa ada dua kasur di sini?” tanyaku, memilih mengalah dengan memulai terlebih dahulu. Dia sekarang sedang berdiri sementara aku duduk di atas kasur. “Kita tidak tidur di ranjang yang sama? Apa ini benar tempat tidurku?” tanyaku lagi.
Dia melihatku-- tidak, lebih tepatnya dia menatapku. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepalanya tetapi dia terlihat seperti sedang mencari sesuatu yang tidak aku ketahui apa itu.
Dengan tangan yang memainkan tongkat, aku bertanya, “Kenapa menatapku seperti itu?”
“Evandale Humeera?” panggilnya.
Otakku kembali berputar. Ada jeda sebentar sebelum aku menyahut, “Ya?”
“Evandale Humeera?” panggilnya sekali lagi.
“Apa?”
“Evandale--“
“APA?” bentakku kesal. “Kau pikir aku jin yang akan mengabulkan permintaanmu jika dipanggil tiga kali? Bukannya menjawab pertanyaanku tapi malah memancing emosiku.”
“Apa kau benar Evandale Humeera?” tanyanya langsung, benar-benar mengabaikan pertanyaanku. Tatapan mata penasarannya mengusikku, membuatku merasa tidak nyaman dan kepikiran. Apalagi ketika dia kembali menambahkan, “Kau hanya mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatanmu. Tetapi kenapa selain wajahmu ... seluruh tingkahmu berubah? Kau bukan Eve yang aku kenal, 'kan?”
Penampilannya memang menjanjikan, tetapi aku tidak menyangka bahwa dia akan sangat pintar! Maksudku ... jika dia terlihat tidak peduli dan bahkan sudah bersiap datang ke pemakamanku, kenapa dia menjadi yang pertama menyadari apa yang berubah di dalam diriku? Evandale Humeera dan laki-laki ini tidak sedekat itu, bukan?
Hah, sepertinya mama mertuaku benar. Mereka berdua pasti memiliki sesuatu yang mengikat satu sama lain. Yah, meskipun aku tidak percaya bahwa ‘sesuatu’ itu adalah komunikasi.
“Berubah?” ulangku. Aku mengerutkan kening dan bertanya. “Kenapa kau merasa seperti itu, Tanwira? Memangnya dulu aku bagaimana?”
Dia tidak langsung menjawabku-- yang mana semakin membuatku yakin akan kepintaran otaknya. Dia pasti tidak akan terpengaruh dengan pancinganku, Tanwira Tarachandra benar-benar tidak sebodoh itu!
Tangan Tanwira yang sejak awal dilipatnya di depan dada diturunkan. Dia melangkah mundur, menjauh dariku, menuju kasur lainnya yang berukuran sedikit lebih kecil dari kasur yang aku duduki sekarang.
Sebenarnya aku sudah dikejutkan dari seberapa besarnya rumah ini. Hanya saja aku masih tidak percaya bahwa kamar yang aku tempati sekarang masih terasa sangat luas meskipun ditempati dua kasur berukuran super di sini.
“Sepuluh hari lagi akan ada pesta yang diadakan di lantai satu rumah ini,” ungkap Tanwira, memberitahu. “Gaunmu sudah disiapkan tetapi sepertinya kau perlu mencari gaun baru. Aku tidak mau melihatmu terjatuh di pesta karena kondisi kakimu--“
Aku sudah terharu mendengarnya sebelum kemudian aku mendengar lanjutan kalimatnya.
“--itu akan sangat memalukan.”
Meskipun aku mendengus kesal karena perkataannya, aku juga tidak bisa menahan diri untuk bertanya. “Memangnya pesta apa?”
Dia kembali menatapku, kali ini seperti ingin memastikan sesuatu. “Kakakku akan kembali dalam sepuluh hari. Dia akan membuka restorannya sendiri di sini.”
“Oh,” balasku sebagai respon.
Pembicaraan berhenti di sana dan lagi-lagi aku bersyukur karenanya. Dia sudah membuatku merasa gelisah sejak pertama kali aku melihatnya ditambah aku tidak bisa membaca apapun yang ada di dalam kepala tampannya itu. Ini membuatku frustasi.
“Tetapi memangnya kenapa kalau aku ketahuan? Tidak akan ada yang percaya meskipun aku menjelaskan juga, bukan?” bisik batinku, menenangkan diri sendiri.
Aku memperhatikan Tanwira yang melangkah masuk ke dalam kamar mandi, menutup pintunya dan tidak lama kemudian suara shower yang dinyalakan terdengar.
Menghela napas, aku kembali memainkan tongkatku. “Wah, aku sudah seperti orang mesum yang mendengarkan-- oh?!” Ucapanku terhenti ketika aku tidak lagi mendengar suara apapun. “Mandinya sudah selesai? Kenapa cepat sekali?”
Mataku tidak teralihkan dari pintu kamar mandi, menunggu Tanwira keluar dari sana karena aku tidak lagi mendengar suara apapun dari dalam kamar mandi. Laki-laki itu sedang apa memangnya?
“Tanwira?!” panggilku, tetapi tidak ada sahutan. Aku mengerutkan kening, penasaran. “Apa yang dilakukan laki-laki itu?”
“Tanwira!” panggilku sekali lagi, lebih keras dari sebelumnya. Sayangnya aku masih tidak mendengar sahutan apapun. “Dia mengabaikanku? Cih ...."
Karena penasaran, aku berusaha untuk berdiri dengan bantuan tongkatku. Perlahan-lahan aku melangkah mendekat ke arah kamar mandi, tetapi belum juga sepuluh detik, rasanya kakiku ditahan oleh seseorang dan aku terjatuh.
“Bukankah kalian harus menanggung masalah ini bersama, Evandale?”
Bukannya mengaduh kesakitan, mataku membelalak ketika suara yang tidak pernah aku kenal tiba-tiba terdengar di telingaku, berbisik, menakutiku.
“Evandale Faerie, kau tidak melupakan apa yang sudah kau lakukan beberapa hari yang lalu, bukan?”
Aku tidak bisa mengontrolnya. Aku bahkan tidak tahu siapa pemilik suara bernada rendah itu tetapi aku berkeringat dingin, selain itu aku bahkan tidak bisa bergerak, suaraku ... aku terlalu takut untuk bersuara dan napasku terasa sesak. Hawanya terlalu berat. Terlebih ... dia menyebutkan nama asliku!
“Evandale Faerie, apa kau menikmati pertukaran nasibmu dengan Evandale Humeera?”
Siapapun pemilik suara ini, aku bisa menjamin bahwa dia bukanlah manusia. Ketika dia bersuara, telingaku berdengung dan sekitarku menjadi hening sehingga membuat suara bisikannya menggema.
Mencoba untuk melirik ke arah pintu kamar mandi, berdo’a di dalam hati agar Tanwira Tarachandra keluar dari dalam sana meskipun aku sadar bahwa kemungkinan besar aku sedang terjebak di dalam waktu yang sedang dihentikannya.
“Kenapa kau tidak menjawabku?” Suaranya terdengar seperti meledek. “Kalian sudah membuat pekerjaanku menjadi lebih sulit jadi aku pikir yang akan aku temui sekarang adalah wanita pemberani. Tetapi ternyata kau lebih penakut daripada Evandale Humeera, apa karena dia yang pertama mengusulkan pertukaran nasib itu?”
Bahkan ketika aku mengedarkan pandanganku, aku tidak melihat sosok lain di ruangan ini kecuali diriku sendiri. Siapapun yang sedang berbicara denganku, dia hanya muncul melalui suara, aku tidak bisa melihatnya.
“Mari kita lihat, apa kau akan bersuara jika aku menunjukkan ini?!”
Aku tidak mengerti apa maksudnya sampai kemudian aku melihat dua pasang kaki yang menggantung dengan jarak satu meter di depan wajahku. Mataku tidak bisa berbohong, aku tahu siapa pemilik dua pasang kaki itu karena dua belas tahun yang lalu ketika aku pertama kali membuka pintu rumah sepulang sekolah, aku juga melihat hal yang sama.
Seluruh tubuhku gemetar. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku tidak bisa menahan perasaan ini!
“Kenapa kau hanya menatap lantai?” Suara itu kembali lagi, terus meledekku. “Kau tidak ingin mendongakkan kepalamu? Waktu itu kau juga tidak bisa melakukannya, bukan? Mendongaklah atau ... apa aku perlu membantumu?”
“Tidak! Aku lebih memilih mati daripada mendongakkan kepalaku!” Aku ingin sekali meneriakkan itu tetapi tidak bisa, suaraku tidak bisa keluar.
Sekarang hanya ada diriku sendiri yang ditemani trauma menakutkan.
“Bagaimana?”
Tiba-tiba kepalaku bergerak sendiri, mendongak secara perlahan dan tubuhku tidak bisa menolak. Sekarang aku bisa mendengar detak jantungku yang ricuh, ditambah aku yang tidak bisa memejamkan mataku. Kepalaku terus mendongak dan aku bisa melihat paha lalu perut kemudian dada dan ...
“Tanwira!” teriakku dalam hati, memanggil satu-satunya nama yang menjadi harapan terakhirku. “Tanwira Tarachandra, tolong aku!”
Seperti pertunjukan sihir, semuanya langsung kembali seperti semula suara yang aku kenal menembus telinga diiringi dengan sentuhan ringan di bahuku.
Tidak aku sangka, dia ... benar-benar datang menolongku tepat sebelum aku melihat kedua wajah pucat pasi itu.
***
Aku pernah bermimpi menjadi wanita karir yang sukses, datang ke makam kedua orang itu dengan penampilan elegan dan berharap mereka akan menyesal karena sudah meninggalkanku sendirian.Saat itu aku benar-benar ingin membalas dendam sampai lupa bahwa mereka sudah tidak ada di dunia, bahwa aku tidak lagi bisa melihat mereka dan satu-satunya ingatan yang masih jelas di kepalaku hanyalah dua pasang kaki yang bergelantungan.Selama ini aku ditemani ingatan menyedihkan itu lalu suara yang entah berasal dari mana ini sukses membuat napasku tercekat ketika dia melempar ingatanku kepada kejadian hari itu, membuatku berteriak putus asa di dalam hati sampai pertolongan Tuhan datang menghampiri.Tanwira mengguncang pelan bahuku. “Evandale? Apa yang kau lakukan di lantai? Jatuh?” tanyanya tetapi aku tidak kunjung menjawabnya sampai dia harus mengulangi pertanyaannya sekali lagi dan menyadarkanku yang masih terpengaruh oleh kejadian tadi.
Setiap kali tatapanku bertemu dengan Tanwira, sebisa mungkin aku menghindarinya. Akhirnya, dia sibuk dengan laptop miliknya dan aku sibuk berguling-guling pelan di kasurku sambil bertanya-tanya di dalam hati terkait kehidupan suami-istri yang sedang kami jalani.Tentang Evandale Humeera yang merelakan semua miliknya untuk menjadi milikku. Tentang Tanwira Tarachandra yang terlihat tidak acuh di luar tetapi peduli di dalam, lalu tentang diriku yang sepertinya harus belajar banyak hal.“Memangnya tidak ada yang bertanya kenapa ada dua kasur di sini?” bisikku dalam hati. “Mereka ini saling membenci atau mencintai?”“Mereka?”Lesatan pertanyaan penuh nada kecurigaan itu menembus telingaku, membuatku mendesah lelah karena ternyata sudah menyuarakan pikiranku tanpa sadar. Aku tidak pernah seceroboh ini sebelumnya tetapi beginilah …“Kata mereka yang kau maksud itu ditujukan kepada ak
“Jangan berbicara dengannya,” tekan Tanwira lagi, untuk kesekian kali. “Aku tidak menyukainya dan kau yang dulu juga selalu menghindarinya.”Aku masih mendongak menatapnya, kebingungan. “Kenapa?” tanyaku penasaran, lalu menambahkan. “Kenapa kau tidak menyukainya?”Tetapi Tanwira tetaplah Tanwira. Dia tidak menjelaskan lebih dan kalau saja aku tidak menahan lengannya, dia pasti sudah melenggang pergi begitu saja.“Aku akan bertemu dengan dia beberapa hari lagi,” ucapku, mengingatkan Tanwira tentang kakaknya yang akan kembali. “Kau masih tidak ingin menjelaskan kepadaku apa maksud pernyataanmu tadi?”Dia menatapku tidak suka lalu berkata, “Kau cukup menghindar saja, apa kau tidak bisa melakukannya?”“Kenapa aku harus menghindarinya?” tanyaku frustasi. “Dengar, aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi diantara aku dan dia lalu kau menyuruhku untuk mengh
“Oh, pemandangan dari sini bagus sekali. Bukankah begitu, Eve?”Aneska Fayyana—satu-satunya sepupu yang Evandale Humeera punya—ikut datang bersama ayah dan ibu. Aku tidak tahu bagaimana dia tetapi aku langsung tidak menyukainya begitu dia mendahuluiku untuk duduk di sebalah mama mertuaku.Aku mengarahkan tongkatku pada kaki kursi yang didudukinya, memukul pelan sehingga menimbulkan bunyi yang menyita perhatian.“Jangan duduk di sebelah mama mertuaku,” kataku dingin. “Kau ingin membunuh indera penciuman Mamaku dengan wangi parfummu? Menyingkir!”Bagi sebagian orang sikapku mungkin tidak sopan, tetapi baru tadi siang mama memberitahuku bahwa ia terlalu sensitif terhadap wangi-wangian dan bahkan sudah tidak memakai parfum sejak menginjak usia dua puluh tahun.“Evandale!” tegur ibu. “Kenapa kau membuat suasana menjadi canggung?! Apa salahnya jika Kakakmu duduk di situ?”&ldq
Dia yang terlihat tidak peduli dan bahkan memerintahkanku untuk berjalan lebih cepat meskipun jelas aku kesusahan dengan isyarat matanya itu ternyata memiliki rasa perhatian yang cukup untuk istrinya.“Kau yang berjalan terlalu cepat!” keluhku pada Tanwira yang sudah masuk ke dalam lift terlebih dahulu. “Setidaknya tahan pintunya untukku!”“Kau saja yang lambat,” balasnya tidak mau kalah.Aku melirik tajam ke arahnya, mendengus. “Kau tidak lihat tongkatku?” sarkasku. “Apa orang yang menjadikan benda ini sebagai bantuan bisa berlari?”“Siapa yang menyuruhmu berlari?” sindirnya balik dengan nada datar. Dia diam sejenak sebelum kemudian aku mendengar helaan napas beratnya. “Lagipula ada apa denganmu sampai-sampai melupakan semuanya? Kau hampir mati 'lagi' hari ini.”“Mana aku tahu kalau tubuh ini—” Aku langsung memotong ucapanku sendiri, menahan kesal
“Eve baik-baik saja, besan tidak perlu khawatir.”Ketika aku dan Tanwira berjalan beriringan mendekat ke arah ruang keluarga, kalimat mama mertuaku adalah yang pertama kali aku dengar. Dia selalu memujiku.“Oh!” Mama tersenyum lebar ketika melihatku datang. “Kalian berdua sudah selesai makan? Ayo duduk!”Ketika Tanwira hendak duduk di samping papa mertua, aku langsung menarik kemeja belakangnya pelan, memberinya isyarat untuk duduk di sampingku tanpa berbicara.“Tumben akur,” goda papa mertuaku dengan senyum lucu di wajahnya. “Sepertinya kita akan mendapatkan cucu dalam waktu dekat jika kedepannya mereka semakin ‘dekat’ seperti sekarang,” tambahnya kemudian yang berhasil membuat kedua orang tua Evandale Humeera tertawa. Sedikit canggung memang, tetapi sepertinya mereka juga bahagia.Hah, aku sebenarnya sudah tahu otak-otak seperti mereka yang menganggap anaknya sebagai mesin pe
Bisa menebak apa yang terjadi setelah keluargaku pergi? Ya, aku dan Tanwira disidang terlebih dahulu dan dilarang kembali ke kamar oleh mama dan papa.“Eve jangan tiru suami kamu, ya?!” tegur mama sambil menyentuh tanganku lembut. “Mama senang kamu bisa lebih terbuka sekarang, bahasa kamu memang lebih halus daripada suami kamu ini tetapi jangan dikeluarkan semua ya, Nak!”Aku mengangguk. “Iya, Ma. Maaf.”“Tidak perlu meminta maaf,” sahut papa. “Yang salah itu suami kamu, dia suka sekali memancing amarah orang lain dengan mulutnya itu.” Papa menggeleng-gelengkan kepalanya, sekarang dia menatap Tanwira. “Lupakan masalah tadi, hanya saja setelah Rindra kembali beberapa hari lagi, Papa tidak mau ada pertengkaran di rumah ini. Mengerti, Wira?!”Menyenggol Tanwira, aku menyuruhnya untuk menjawab papa tetapi dia hanya menatapku datar.“Wira? Kenapa menatap Evandale dan bukannya
Rasanya seakan jiwaku dibawa pergi.Aku masih tidak mendongak untuk menatap wajahnya tetapi laki-laki itu membawaku melintasi dimensi waktu. Siang dan malam silih berganti dalam hitungan dtik, dia menarik tanganku, terus mengajakku berlari.Beberapa detik setelahnya, dia berhenti. Aku mengedarkan pandangan, terpana ketika pemandangan gurun pasir menyapa.Aku ... di mana?“Jika Tanwira Tarachandra tidak juga menyentuh tubuhmu dalam lima menit, kau tidak akan pernah diizinkan untuk kembali,” katanya, jelas mengejekku. “Tetapi bagaimana ini? Sepertinya kau tidak akan pernah kembali.”Merapatkan gigi, aku menghela napas kasar. “Siapa kau?” tanyaku kemudian, untuk pertama kalinya membuka suara.“Yang bertanggungjawab atas keputusan gila kalian,” sahutnya santai. Dia melepaskan genggaman tangannya, berjalan beberapa langkah dan berhenti untuk menikmati pemandangan. “Hah, aku bahagia sekali kare