Share

PASANGAN TAK DIMENGERTI

 Kapan terakhir kali aku merasa gelisah tidak karuan? Aku lupa. Apakah itu saat aku menyadari kalau aku sudah mati? Atau saat aku pulang malam dan diikuti oleh orang mabuk? Atau saat aku harus menahan lapar karena tidak memiliki uang sama sekali?

 Yang pasti, aku kembali merasakan kegelisahan itu saat ini.

 “Kenapa tidak menjawab?” Suara Tanwira semakin membuatku gelisah. Apalagi dengan nada dingin dan menusuknya, dia membuatku kesusahan membuka suara.

 “Y-ya,” jawabku tercekat. Aku berdehem untuk mengontrol suaraku dan kembali memperjelas, “Tentu saja aku Evandale Humeera. Apa yang kau pikirkan sampai-sampai mempertanyakan hal konyol seperti itu? Cih ....”

 Di bawah tatapan mengintimidasinya, aku yang sudah seperti seekor kelinci yang berhadapan dengan singa hanya bisa menahan diri untuk tidak menangis saat itu juga. Aku adalah wanita kuat, aku tidak pernah menangis karena merasa terintimidasi sebelumnya ... ya, setidaknya begitulah aku dulunya.

 “Jika itu hanyalah pertanyaan konyol, kenapa kau sampai gugup seperti itu?” balasnya lagi, jelas tidak mau kalah. “Bahkan nada suaramu sampai naik,” tambahnya.

 Tanwira kemudian berdiri, menjauh dari ranjangku dan duduk di sofa dengan tenang. Melihat itu, sebuah pikiran langsung terlintas di benakku bahwasannya mungkin saja Tuhan menciptakan wajah setampan itu untuk menutupi betapa busuknya mulut pria itu.

 “Keluargamu tidak akan menyukai perubahan sikapmu itu,” katanya tiba-tiba. Dia kembali menatapku. “Tetapi sebaliknya, keluargaku pasti menyukai sifat barumu itu jadi pertahankan saja.”

 “Bagaimana denganmu?” Aku jelas tidak bisa menahan diriku untuk bertanya sampai aku sadar bahwa itu adalah pertanyaan sia-sia.

 Dia menaikkan sebelah alisnya, sudut bibir sebelah kanannya terangkat sedikit sebelum menjawab, “Aku tidak peduli.” Begitu katanya dan dia langsung memalingkan wajah dan menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, menganggap lucu pertanyaan yang aku lontarkan.

 Ingin rasanya aku tarik bibirnya itu lalu aku buang ke lautan dalam agar menjadi santapan ikan. Aku memang beruntung karena dia tidak mengejarku dengan pertanyaan yang dia lontarkan sebelumnya tetapi respon acuh tak acuhnya ini ... entah bagaimana mampu membuat hatiku mencelos.

 Apa percakapan antara suami-istri memang seperti ini?

 Apa mungkin Evandale Humeera memilih menyerah atas hidupnya karena laki-laki yang dia cintai bersikap tidak peduli kepadanya? Jika begitu--

 Aku memukul pipiku dua kali. “Sshhhtt, diamlah, Eve! Berhenti menulis novel di kepalamu!” batinku. Hah, rasanya aku diberikan kesempatan kembali hanya untuk menjadi wanita bodoh.

 Mencoba untuk menyadarkan diriku sendiri, aku memanggil suamiku. “Tanwira?” panggilku.

 Dia menoleh.

 “Bagaimana dengan wanita yang menolongku saat kecelakaan itu?” Aku menanyakan tentang diriku sendiri hanya karena penasaran dengan jawaban dari suami Evandale Humeera ini. “Apakah dia baik-baik saja? Aku ingin bertemu dan menyampaikan terima kasihku kepadanya.”

 Ada jeda sebelum aku mendengar jawaban dinginnya. “Dia sudah mati.”

 Benar, aku sudah mati. Batinku meringis mendengar kenyataan yang menamparku sekali lagi. Sepertinya aku sempat lupa bahwa meskipun jiwaku masih hidup di dunia ini, namaku, Evandale Faerie sudah tertulis pada batu nisan yang tertancap di atas kuburan yang masih basah.

 “Ah, sepertinya aku lupa kalau raga itu sudah dipeluk bumi sekarang,” gumamku pelan, selirih mungkin supaya Tanwira tidak mendengar.

***

 Selama aku berada di rumah sakit ini, semua dokter dan suster memperlakukanku dengan baik. Mereka selalu memasang senyum ramah dan menyapaku di setiap kesempatan, hal itu membantu suasana hatiku menjadi lebih baik setelah kunjungan keluargaku yang selalu menyebalkan.

 “Karena gipsnya juga sudah dilepas, mulai besok dokter bilang kamu bakal mulai berlatih berjalan dengan tongkat.” ujar mama Vivian-- ibu mertuaku-- dengan lembut. “Dokter juga bilang kalau kita tidak perlu khawatir karena tidak ada komplikasi yang terjadi. Asalkan berusaha dan rajin berlatih, kamu akan segera bisa berjalan dengan normal lagi.”

 Sama sekali tidak tertarik dengan kondisi kaki kiriku yang mengalami patah tulang akibat kecelakaan, aku mengangguk saja dan mulai melontarkan pertanyaan yang keluar dari topik pembicaraan. “Ma, setelah menikah aku tinggal dengan siapa? Kami hanya tinggal berdua atau masih satu rumah dengan Papa dan Mama?”

 “Masih satu rumah sama Mama dan Papa,” jawabnya. Mama Vivian menatapku lembut. “Wira sering pergi untuk perjalanan bisnis baik ke luar kota maupun ke luar negeri untuk menggantikan Papa yang sudah tidak kuat melakukan perjalanan jauh lagi. Mama takut kamu akan kesepian, jadi dulu Mama menentang keputusan Wira untuk pindah rumah setelah menikah.”

 Tanpa sadar aku menghela napas lega.

 Mama Vivian terkekeh geli. “Luar biasa, bagaimana bisa reaksi kamu tidak berubah sama sekali? Dulu waktu Mama menentang keputusan Wira untuk pindah rumah dan suami kamu itu akhirnya mengalah, kamu juga menghela napas lega seperti itu.”

 Aku mengerjapkan mataku, terkejut karena ibu mertuaku itu tidak terlihat tersinggung sama sekali. Malah sebaliknya, mama dari suamiku itu terlihat sangat terhibur dengan tingkahku.

 “Mama mengerti hubungan kalian tidak sebaik itu,” katanya maklum. “Wira sangat dingin, dia jarang tersenyum dan juga angkuh. Kalian saling ‘membenci’ satu sama lain tetapi komunikasi kalian tidak bisa dibilang jelek juga. Kamu tahu? Dulu Mama bertanya-tanya apa yang menyebabkan kalian berdua masih bertahan dalam hubungan yang mungkin saja ... hanya menyiksa ini, sampai kemudian Mama mengetahui alasannya dan Mama mulai mengerti.”

 “Apa itu?” tanyaku, ikut penasaran dengan kisah Evandale Humeera dan suaminya, Tanwira Tarachandra.

 Mengulurkan tangannya untuk mengusap pipiku, Mama menjawab pertanyaanku sambil tersenyum. “Mungkin kalian tidak akan mengakuinya tetapi kalian bersandar kepada satu sama lain. Kalian mungkin saling membenci sampai tidak memiliki alasan untuk saling melempar senyum tetapi setiap ada masalah, kalian menjadi pendengar yang baik bagi satu sama lain.”

 Saat mama mengatakan hal itu, aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya. Selain itu, aku juga tidak berani bertanya lebih jauh sampai akhirnya mama pamit pulang, digantikan oleh Tanwira yang baru saja datang.

 “Menjadi pendengar yang baik bagi satu sama lain?” gumamku, mengulang pernyataan mama tadi.

 “Apa?” tanya Tanwira. “Kau mengatakan apa tadi?”

 “Bukan apa-apa,” sahutku. “Air itu ... apakah kau mengambilkannya untukku?” Aku menunjuk gelas berisikan air putih yang dia pegang di tangan kanannya. “Terima kasih--“

 “Aku mengambil ini untuk diriku sendiri,” ketusnya. Dia duduk di kursi yang diletakkan di sebelah ranjangku, meminum air itu sampai tandas dan kembali berkata, “Kau haus? Ambil airmu sendiri.”

 Ekspresi yang aku tampilkan sekarang mungkin perlu dipajang di museum. Aku benar-benar tidak percaya dia memperlakukan wanita secantik Evandale Humeera seperti ini.

 “Kau itu suamiku atau bukan?” seruku kesal. “Istrimu sedang kehausan jadi ambilkan air untukku sekarang juga!”

 “Sejak kapan kau menganggapku sebagai suamimu? Lagi, orang sakit mana yang memiliki tenaga untuk berteriak seperti itu?” Dia mendengus, hatinya sama sekali tidak tergerak untuk mengambil air minum untukku.

 “Wuah, kau--“ Aku kehilangan kata-kata dibuatnya. “Dengar, aku tidak ingat alasan sebenarnya tetapi sepertinya kau termasuk dalam daftar alasan kenapa aku bertekad untuk mati dan meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.”

 Air mukanya berubah. Sekarang dia kembali menatapku tajam-- tidak, jauh lebih tajam dari yang pernah aku lihat sebelumnya.

 Apa aku menyinggungnya? Ya, tentu saja. Sudah sangat jelas kau menyinggungnya, Eve.

 Jantungku berdegup kencang, menunggu reaksi seperti apa yang akan dia timbulkan. Benar-benar lama aku menunggu sampai kemudian yang aku dengar hanya desahan beratnya saja.

 Dia tidak akan melemparkan gelas kosong di tangannya itu padaku, ‘kan?

 “Terserah kau saja,” katanya pada akhirnya.

 Aku mengerjapkan mata. Apa ini yang dimaksud dengan komunikasi tidak terlalu jelek versi mama?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status