Share

LAKI-LAKI YANG AKU PANGGIL SUAMI

 “Aku tidak mau,” tolakku terang-terangan sambil tersenyum manis

  Jadi, setelah menghabiskan banyak waktuku di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkanku untuk pulang ke rumah hari ini dan karena itulah keluargaku-- yang sudah beberapa kali aku tolak kehadirannya-- juga datang untuk menjemputku. Lucunya, mereka mengajakku tinggal bersama mereka selama beberapa waktu ke depan untuk pemulihan ingatanku.

 Hoho, tentu saja Evandale Faerie ini akan menolak sekuat tenaga. Mereka pikir aku akan menurut begitu saja setelah mendengar ancaman mereka? Cih, they wish.

 “Eve, ada apa denganmu? Kau tidak pernah bersikap tidak sopan seperti ini sebelumnya,” tegur ibuku. Dengan topeng tebalnya itu dia berbicara lembut, berusaha menutupi kebusukannya di hadapan mertuaku yang juga datang menjemput. “Hanya satu minggu, kau keberatan karena mungkin akan merindukan suamimu?” godanya tetapi dengan nada tajam di akhir kalimatnya.

 “Hm, sebenarnya ada yang ingin aku lakukan di rumah jadi aku tidak bisa tinggal bersama Ibu dan Ayah. Kalian tidak perlu khawatir, meskipun kemungkinan besar aku akan menyerah untuk berusaha mengingat masa lalu tetapi kita masih bisa membentuk kenangan lain kapan saja. Bukankah begitu?”

 Aku sengaja memasang senyum lebar dengan mata yang memancarkan binar ceria supaya kedua orangtuaku ini berhenti memaksa.

 “Jadi begini, Yah, Bu,” sela Tanwira-- dia yang tidak peduli tiba-tiba berbicara, membuatku terkejut. “Sebenarnya kami berdua sudah berjanji ingin melakukan sesuatu bersama sejak sebelum Eve mengalami kecelakaan. Karena itu mau tidak mau kami harus menundanya tetapi sekarang akhirnya Eve diperbolehkan untuk pulang jadi jika saya masih harus menunggu satu minggu lagi untuk bisa berduaan dengan istri saya ... rasanya berat sekali.”

 Tanwira menatapku, dia tersenyum manis dan terlihat sangat tulus. Mungkin tidak ada yang akan mencurigainya kecuali aku yang sudah tahu apa yang sedang dia coba katakan dibalik tatapan matanya; kau berhutang kepadaku untuk ini.

 Karena itu aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Aku menarik lengan Tanwira, memeluknya dan berkata dengan manja, “Kami sudah merindukan satu sama lain. Lagipula Ibu dan Ayah tidak menginginkan cucu?”

 Ekspresi syok Tanwira nyaris membuatku tertawa. Kenapa? Bukankah dia yang memulai? Aku ini hanya menyesuaikan.

 “Benar, kami bahkan memiliki rencana untuk mengikuti program kehamilan. Iya, ‘kan, sayang?”

 Aku mengangguk dengan semangat, kami berdua kemudian saling bertatapan dengan ekspresi penuh cinta-- setidaknya begitu yang akan dilihat oleh orang lain. Padahal dalam hati aku ingin sekali mencakar wajahnya itu dengan sepenuh jiwa.

 “Begitu, ya?” sahut ibuku, terdengar kecewa.

 Tapi baguslah, dia sepertinya sudah menyerah.

 “Kalau begitu Eve bisa mampir ke rumah kapan-kapan,” ujar ayahku kemudian.

 “Kami akan menjaga Eve dengan sangat baik, besan,” celetuk mama dengan senyum hangat. “Eve akan baik-baik saja, kami janji.”

 “Iya, tentu saja kami percaya kepada besan berdua,” balas ibu, mengeluarkan bisa ularnya. “Maaf kalau mungkin Eve menyusahkan akhir-akhir ini, kami juga berjanji akan mendidiknya dengan lebih baik.”

 “Suamiku bisa mendidikku, Ibu,” celetukku, ikut campur. “Jangan khawatir.”

 Ibu jelas memberiku tatapan tajamnya tetapi aku tetap tersenyum lebar seakan-akan tidak melakukan kesalahan apapun. Bahkan ketika ibu memelukku dan berbisik mengancamku sebelum benar-benar keluar dari ruangan, aku masih tersenyum lebar.

 “Kamu jadi lebih berani sekarang, ya, sampai berakting seperti itu dengan Wira,” ujar papa diselingi oleh senyum bangga. “Padahal dulu kamu tidak pernah mengatakan tidak pada orang lain, terutama pada Ayah dan Ibumu.”

 “Iya, sepertinya kita tidak perlu khawatir lagi, Pa,” timpal mama. “Sepertinya mulai sekarang tidak akan ada lagi Evandale yang tiba-tiba pamit jam sebelas malam hanya karena keluarganya memintanya untuk datang. Dulu Mama pikir ada yang sakit parah atau meninggal, tahu-tahunya sepupu Eve butuh uang. Ada-ada saja.”

 Huh? Apa Evandale Humeera sepenurut itu?

 “Dia ini memang sangat bodoh, Pa, Ma,” ejek Tanwira. Dia menatapku tanpa ekspresi dan mendengus. “Mau-mau saja dibodohi oleh keluarga sendiri. Kau tahu kalau sebenarnya aku menyelamatkanmu dari keluarga itu, bukan? Berterima kasihlah kepadaku dan berhenti menuruti seluruh keinginan keluargamu.”

 “Kau ingin bertengkar denganku, ya?” Aku melotot, mengambil tongkat yang diletakkan di sebelahku dan memukul betisnya dengan alat itu. Aku sangat yakin dia merasa kesakitan, sayangnya wajah Tanwira mengatakan sebaliknya. “Kau menahannya, ‘kan? Kau sebenarnya ingin mengaduh kesakitan dan menangis, bukan? Lakukan saja, jangan bersikap sok kuat dengan menahannya.”

 “Apa?” Tanwira maju, wajahnya hanya berjarak kurang dari sepuluh cm di hadapanku. “Kau pikir aku akan mengalah begitu saja karena kau baru sembuh?”

 “Aku sembuh?” Aku menunjuk diriku sendiri, suaraku meninggi. “Kau tidak bisa melihat kalau aku masih membutuhkan bantuan tongkat ini untuk berjalan? Kau tidak lihat bekas jahitan di kepala dan perutku?”

 “Kau sudah lebih dari sekedar sembuh, mulutmu lebih sehat daripada mulut siapapun di rumah sakit ini!”

 Aku terpana dengan kegigihannya, dia benar-benar tidak mengalah. “Kau ini benar-benar mengajakku bertengkar, ya? Bagaimana kau bisa-- hei! Hei! Aaaa perutku!”

 Dia mengangkat tubuhku dengan sebelah tangannya, menyebabkan tertekannya perutku dan hal itu nyaris membuatku menangis. Tidak hanya itu, hal yang lebih gila lagi adalah kepalaku yang juga ikut-ikutan pusing. Beruntunglah ada papa dan mama yang langsung memukul putra mereka sendiri, meminta Tanwira menurunkanku dan memanggil dokter.

 “Lukanya yang dijahit bahkan sudah membaik dan aku tidak--”

 “Lalu kau bebas memperlakukan istrimu seperti itu hanya karena luka jahitannya sudah membaik?” potong mama tajam, bahkan melotot pada Tanwira. “Bagaimana jika terjadi sesuatu? Kau akan bertanggungjawab?”

 “Dia baik-baik-- sudahlah.” Dia mengalah dan ikut berlutut untuk melihat bekas jahitan di perutku. Melihat kepalanya itu membuat keinginan untuk memukulnya timbul dan aku melakukannya tanpa ditahan-tahan. Aku memukul kepalanya sampai terdengar bunyi yang sangat indah di telingaku.

 Huh, rasakan itu!

 Tanwira menyentuh kepalanya, mendongak dan menggertakkan giginya. “Apa yang ka--“

 “Ada apa?” tanya dr. Effendi yang baru saja datang dan tanpa sengaja memotong geraman Tanwira. “Saya sudah dalam perjalanan ke sini tetapi Tuan Rendra menelepon katanya Nona Evandale kesakitan. Apa ada masalah?”

 Papa yang menjelaskan bagaimana Tanwira menggendongku, aku yang merengek kesakitan, mama yang langsung panik dan semuanya. Ya, semuanya, termasuk aku yang memukul kepala suamiku sendiri juga papa ceritakan sambil tertawa pelan.

 “Mari saya lihat!” kata dr. Effendi ramah, dia tersenyum ketika menyadari aku tidak memberi perhatian sama sekali karena sibuk berperang melalui tatapan mata dengan Tanwira.

 “Bagaimana, dok?” tanya mama khawatir.

 “Tidak ada masalah,” jawab dr. Effendi. “Nona Evandale?”

 “Ya?” sahutku, agak terkejut.

 “Apakah masih terasa sakit?”

 “Huh? Oh, tidak.” Aku tersenyum tipis. “Saya sudah baik-baik saja.”

 Terdengar decakan seseorang dan aku langsung menoleh untuk menemukan pelakunya. Ekspresi dingin Tanwira langsung tertangkap mataku dan membuatku mengangkat alisku ketika dia mulai menyindir, “Kenapa menyerah menjadi aktris jika kemampuan aktingmu masih baik?”

 “WOAH!” seruku tiba-tiba. Mataku membelalak dan kedua tanganku menutup mulutku, terlalu bersemangat sampai mengabaikan keterkejutan semua orang yang mendengar seruan nyaringku. “AKTRIS? Evandale Humeera pernah menjadi seorang aktris?”

 Kalian masih ingat tebakanku saat aku pertama kali bertemu Evandale Humeera di pintu kafe? Aku menduga bahwa dia seorang artis karena wajah cantiknya yang tidak bisa dilupakan begitu saja dan ... dan dugaanku benar! Hahaha.

 “Eve? Kamu baik-baik saja?” tanya mama, dia menyentuh bahuku untuk menenangkan. “Ada apa, Nak?”

 Kekhawatiran mama itulah yang membuatku tersadar sehingga aku langsung meminta maaf. Aku berpura-pura tenang dengan mengatakan kalau aku terkejut dengan apa yang aku kerjakan di masa lalu dan semuanya percaya begitu saja, kecuali Tanwira.

 Suami tubuh ini menatapku curiga dan aku sudah takut kalau dia kembali melontarkan pertanyaan tidak terduga. Tetapi ternyata Tanwira tidak mengatakan apapun bahkan sampai kami masuk ke dalam mobil di mana papa yang menyetir.

 “Kamu benar baik-baik saja, Eve?” tanya papa begitu Tanwira selesai membantuku memasang sabuk pengaman. “Kenapa wajah kamu pucat seperti itu?”

 “Tidak apa-apa, Pa.” Tanwira yang menjawab, dia melirikku tajam. “Bukankah begitu?”

 Aku mengepalkan tanganku, menyadari betapa sulitnya menjadi seseorang yang tidak pernah aku kenal sebelumnya dan ini menjadi dua kali lipat lebih sulit dengan memiliki seorang suami yang terlalu cerdas dan mudah curiga.

 “Y-ya, Pa. Aku baik-baik saja.”

 Bohong, Pa, aku sedang tidak baik-baik saja.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status