Dingin, tatapan matanya sangat dingin.
“Aku siapa?” Setelah mengulangi pertanyaanku dengan nada mengejek, dia terkekeh dan aku mulai merinding. “Kau lucu sekali, Eve,” sarkasnya.
Aku tidak mengenalnya, tentu saja. Tetapi ... tubuh ini memiliki reaksi yang berbeda. Degupan jantung yang diiringi oleh napas memburu, tidak teratur sama sekali. Kemudian dadaku mulai terasa penuh, seakan ingin menyorakkan kebencian yang sangat besar. Setidaknya itu yang aku rasakan sekarang.
“Hah, tidak seru!” Keluhan protes terlontar dari mulutnya, dia kembali membuatku bingung ketika aku bahkan belum mengetahui namanya. Tidak hanya itu, dia memperhatikan bagaimana keadaanku dan berkata, “Padahal aku sudah siap menangis di pemakamanmu tetapi rupanya kau selamat dan sekarang ... tidak mengenaliku? Ck, sama sekali tidak seru.”
Oho, apa ini? Mereka saling membenci?
Memindai dari ekspresi wajah laki-laki di hadapanku ini, aku menemukan sesuatu lainnya yang membuat bulu kudukku berdiri. Lupakan tatapan dingin dan nada datarnya saat berbicara, dia sepertinya serius saat mengatakan sudah siap menangis di pemakaman pemilik tubuh ini!
Kalau begitu ... apa mungkin dia yang merencanakan kecelakaan itu?! Jika benar, wah ... Evandale Humeera, kau malang sekali.
“Benar-benar tipe wanita yang seperti buku terbuka,” gumamnya. “Hei, bagaimana kau bisa menatapku dengan ekspresi itu?” protesnya. Setelah itu dia semakin mendekat, mengikis banyak jarak di antara kami sehingga sekarang wajah tampannya bisa terlihat lebih jelas. Laki-laki ini mendengus geli dan berbisik, “Kenapa? Kau pikir yang merencanakan kecelakaan itu ... aku?”
Ingin rasanya aku menggerakkan tanganku dan menjauhkan wajahnya, sayangnya tenagaku hilang. Dia terlalu mengintimidasi dan aku bisa merasakan tubuhku gemetar, ketakutan. “Kau ... siapa?” Aku kembali mengulang pertanyaanku, menuntut jawabannya.
Dia tidak memiliki niat untuk menjauh. Bahkan sekarang dia mengunci tatapan mataku sehingga seluruh perhatianku terfokus padanya.
“Tanwira Tarachandra,” jawabnya, dia memberi jeda sebelum melanjutkan. “Suamimu.”
*KEESOKAN HARINYA*
“Menurut hasil pemeriksaan sementara, kondisi Nona Evandale sudah jauh membaik, suaranya sudah tidak serak seperti sebelumnya. Lalu untuk penyangga lehernya sendiri sudah bisa dilepas pada tahap pemeriksaan selanjutnya setelah kami memastikan bahwa tanda spurling sudah menghilang serta setelah adanya perbaikan defisit motorik dari Nona Evandale,” papar seorang dokter—nama dr. Efendi tertulis pada nametag di jas dokternya. Dia menjelaskan itu semua kepada Tanwira.
“Tidak ada yang lain?” tanya Tanwira datar, terang-terangan menunjukkan ketidaktertarikannya dengan kondisiku sama sekali.
“Ah, seperti yang sudah saya jelaskan langsung setelah operasi berhasil dilakukan, Nona Evandale mengalami gegar otak berat karena benturan yang sangat keras. Dalam hal ini kemungkinan kehilangan keseimbangan atau kehilangan ingatan seringkali terjadi,” jelasnya lagi.
“Begitu, ya?” gumam Tanwira, dia kemudian melirikku yang hanya diam mendengarkan percakapan mereka berdua. Tidak ada yang aneh sampai kemudian aku melihat senyum menyebalkan di bibirnya. “Ah, sebenarnya kemarin malam dia tidak mengenaliku bahkan aku sampai memperkenalkan diri—lihat! Dia terlihat kebingungan, bukan? Bisa kalian pastikan apakah kehilangan ingatan itu benar-benar terjadi padanya?”
Pria itu ... aku ingin mengutuknya!
Bagaimana tidak? Setelah perkataannya itu aku harus menjalani beberapa tes pemeriksaan sekali lagi. Serangkaian tes seperti tes kognitif, MRI dan CT scan, elektroensefalogram, bahkan tes darah harus aku lakukan!
Apa dia ingin membuatku kelelahan dan mati?
Bukan hanya itu—aku tidak tahu dia yang menghubungi mereka semua atau tidak tetapi orang-orang yang mengaku sebagai keluargaku datang dan mendesakku. Mereka semua berusaha membuatku mengingat mereka tetapi aku tidak bisa melakukannya—tidak, ingatan itu bahkan sama sekali tidak pernah aku miliki sebelumnya.
Percuma saja, pikirku.
“Amnesia retrograde,” putus dr. Efendi pada akhirnya. “Kondisi ini menyebabkan Nona Evandale kehilangan hampir seluruh ingatannya sejak sebelum kecelakaan terjadi. Dalam hal ini—“ dr. Efendi menjelaskan dengan rinci dan aku bisa mendengar suara terkesiap dari seluruh ‘keluarga’ yang berada di ruangan ini kecuali Tanwira. Tentu saja.
Karenanya aku bertanya-tanya, apakah seorang suami bisa sedingin itu terhadap istrinya?
***
“Kau benar-benar tidak bisa mengingat Ibu?” tanya wanita paruh baya dengan penampilan eksentrik. Dia menyentuh kedua bahuku, mendekapku dan berbisik tajam, “Bagaimana bisa kau melupakan keluargamu sendiri setelah semuanya? Dengar, Eve, kau harus bisa mengingat kami secepatnya!” Lalu dia melepaskan pelukannya, raut wajah penuh kekhawatiran itu sudah menghiasi wajahnya seperti topeng.
Dahiku tertaut, merasa aneh dengan perubahan mood dari ‘ibuku’ itu. Dasar ular!
“Evandale!” Gantian, sekarang tante Evandale Humeera yang memelukku. Sama saja, dia juga membisikkan hal yang sama,“Apa yang kau lakukan? Kau berpura-pura tidak mengenali kami, bukan? Cepat hentikan sandiwaramu dan kembalilah berguna untuk kami!”
Kesal, dengan dahi yang masih tertaut, aku mendorong tante yang belum aku ketahui namanya itu dan mendengus. “Berisik!” Aku berdecak sebal. “Kenapa ular-ular seperti kalian bisa menjadi keluargaku?!”
Aku menjadi diriku sendiri, Evandale Faerie yang kesulitan mengontrol diri. Mungkin karena itulah kenapa semua yang berada di ruang rawat ini tertegun melihat bagaimana reaksiku—aku bahkan menyebut mereka sebagai ular dengan tidak tahu malu.
Tetapi aku belum merasa puas. Belum sampai aku bisa mengusir ular-ular ini pergi.
“Melelahkan sekali,” keluhku lagi, aku melepas tautan di dahiku. “Jangan pernah mengancam apalagi berani menyentuhku! Aku tidak mengenal kalian dan aku juga tidak akan berusaha untuk mengenal kalian. Apa aku terlihat peduli dengan ingatanku yang menghilang? Tidak. Sekarang kalian bisa pergi.”
“Eve—”
“Kalau bisa, jangan pernah kembali,” tambahku tidak tahu diri.
“Eve, kenapa seperti ini kepada keluarga—“
“Maaf menyela,” ujar Tanwira. Dia yang awalnya duduk di sofa bersama kedua orang tuanya menghampiriku sambil tersenyum ringan. “Eve sangat sensitif sejak kemarin—mungkin karena seluruh tubuhnya masih terasa sakit. Karea itu, akan lebih baik jika Ayah, Ibu serta Tante membiarkan Eve beristirahat terlebih dahulu.”
“Tapi, Nak Wira—”
“Kami berdua juga akan pergi,” celetuk orang tua Tanwira, mereka berdiri sambil tersenyum ramah kepada keluargaku. “Mari! Saya mengerti besan sedih karena Eve kehilangan ingatannya, tetapi kita beri waktu dia untuk memenangkan diri terlebih dahulu. Lagipula ada Wira yang akan membantu Evandale, bukankah begitu?”
“Tentu saja, Pa,” sahut Tanwira, dia kemudian menoleh padaku dan tersenyum. “Aku akan menjaganya.”
Terima kasih atas sandiwara mereka karena berkat keluarga Tanwira, akhirnya keluargaku pergi meskipun dengan wajah tidak rela. Mereka juga tidak menyerah dan masih sempat menyampaikan kalau mereka akan kembali pada sore harinya. Benar-benar melelahkan.
Aku tidak tahu seperti apa Evandale Humeera dulu tetapi sekarang tubuh ini adalah milikku. Tanpa sadar dia sudah meraih kebebasanku, membuatnya menjadi miliknya. Karenanya aku tidak akan ragu-ragu untuk menggunakan nasib miliknya juga.
Bukankah begitu cara bermainnya?
“Untuk pertama kalinya kau membuatku takjub,” puji Tanwira, dia duduk di ranjangku dengan santainya. “Aku bertanya-tanya apa yang menyebabkan anak yang diam saja meskipun tahu kalau dia diperalat oleh orang tuanya sendiri dan bahkan tidak berani menatap mata lawan bicaranya tiba-tiba mengatakan kata-kata kasar seperti tadi. Kenapa? Apa karena akhirnya kau tahu kalau kematian jauh lebih menakutkan daripada orang tuamu sendiri?”
Dia mengatakan hal-hal semacam itu dengan mudahnya, seakan-akan bisa membaca seluruh isi hatiku. Tetapi setidaknya dia salah dalam satu hal, aku memang sedikit kesal karena mengetahui bahwa diriku sudah meninggalkan dunia ini, tetapi pemilik tubuh ini tidak kenal rasa takut terhadap kematian. Evandale Humeera memiliki tekad untuk mati sejak awal.
“Aku tidak mengerti maksudmu tetapi orang-orang itu sudah melewati batas,” sahutku. “Mereka hanya ular besar tua yang masih berpura-pura kuat untuk mengintimidasi lawannya.”
“Apakah itu penting? Mereka memang tua tetapi kau hanyalah seekor ular pucuk, memiliki bisa tetapi sangat lemah,” ejeknya yang diakhiri senyuman miring di wajah menyebalkannya.
Sialan. Dia benar-benar suami Evandale Humeera, bukan?
Aku mendengus, dengan sekuat tenaga mencoba menggerakkan kakiku untuk menendangnya tetapi yang terjadi adalah kakiku yang hanya menyentuh pelan bagian belakang tubuhnya.
“Apa? Kau ingin menendangku?”
Kepekaan yang tidak diperlukan. Batinku kesal.
“Lalu kau?” tanyaku dengan nada menantang. “Ular jenis apa kau?”
“Saw scaled viper,” jawabnya tanpa ragu.
Setelah itu hening. Aku tidak lagi menyahut dan dia juga tidak lagi mengatakan apapun. Karenanya aku memutuskan untuk berbaring perlahan dan menarik selimutku. Sampai kemudian Tanwira kembali bersuara dan mataku yang hampir terpejam terpaksa terbuka sepenuhnya.
“Apa kau benar-benar Evandale Humeera?” tanyanya.
Dia kembali membuatku lupa cara untuk bernapas dengan benar.
Tuhan ... apa aku sudah ketahuan?
***
Kapan terakhir kali aku merasa gelisah tidak karuan? Aku lupa. Apakah itu saat aku menyadari kalau aku sudah mati? Atau saat aku pulang malam dan diikuti oleh orang mabuk? Atau saat aku harus menahan lapar karena tidak memiliki uang sama sekali? Yang pasti, aku kembali merasakan kegelisahan itu saat ini. “Kenapa tidak menjawab?” Suara Tanwira semakin membuatku gelisah. Apalagi dengan nada dingin dan menusuknya, dia membuatku kesusahan membuka suara. “Y-ya,” jawabku tercekat. Aku berdehem untuk mengontrol suaraku dan kembali memperjelas, “Tentu saja aku Evandale Humeera. Apa yang kau pikirkan sampai-sampai mempertanyakan hal konyol seperti itu? Cih ....” Di bawah tatapan mengintimidasinya, aku yang sudah seperti seekor kelinci yang berhadapan dengan singa hanya bisa menahan diri untuk tidak menangis saat itu juga. Aku adalah wanita kuat, aku tidak pernah menangis karena merasa terintimidasi sebelumnya ... ya, setidaknya be
“Aku tidak mau,” tolakku terang-terangan sambil tersenyum manis Jadi, setelah menghabiskan banyak waktuku di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkanku untuk pulang ke rumah hari ini dan karena itulah keluargaku-- yang sudah beberapa kali aku tolak kehadirannya-- juga datang untuk menjemputku. Lucunya, mereka mengajakku tinggal bersama mereka selama beberapa waktu ke depan untuk pemulihan ingatanku. Hoho, tentu saja Evandale Faerie ini akan menolak sekuat tenaga. Mereka pikir aku akan menurut begitu saja setelah mendengar ancaman mereka? Cih, they wish. “Eve, ada apa denganmu? Kau tidak pernah bersikap tidak sopan seperti ini sebelumnya,” tegur ibuku. Dengan topeng tebalnya itu dia berbicara lembut, berusaha menutupi kebusukannya di hadapan mertuaku yang juga datang menjemput. “Hanya satu minggu, kau keberatan karena mungkin akan merindukan suamimu?” godanya tetapi dengan nada tajam di akhir kalimatnya. “Hm, sebenarnya a
Keheningan panjang yang aku lalui selama di perjalanan masih berlanjut sampai ketika aku ditinggal berdua saja dengan Tanwira di dalam kamar. Aku mulai merasa panas dingin sementara suamiku itu terlihat enggan memulai percakapan terlebih dahulu.Jujur saja, aku pikir dia akan langsung memberondongiku dengan pertanyaan atau apapun itu. Nyatanya dia sepertinya gengsi bahkan hanya untuk menyapaku terlebih dahulu.“Kenapa ada dua kasur di sini?” tanyaku, memilih mengalah dengan memulai terlebih dahulu. Dia sekarang sedang berdiri sementara aku duduk di atas kasur. “Kita tidak tidur di ranjang yang sama? Apa ini benar tempat tidurku?” tanyaku lagi.Dia melihatku-- tidak, lebih tepatnya dia menatapku. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepalanya tetapi dia terlihat seperti sedang mencari sesuatu yang tidak aku ketahui apa itu.Dengan tangan yang memainkan tongkat, aku bertanya, “Kenapa
Aku pernah bermimpi menjadi wanita karir yang sukses, datang ke makam kedua orang itu dengan penampilan elegan dan berharap mereka akan menyesal karena sudah meninggalkanku sendirian.Saat itu aku benar-benar ingin membalas dendam sampai lupa bahwa mereka sudah tidak ada di dunia, bahwa aku tidak lagi bisa melihat mereka dan satu-satunya ingatan yang masih jelas di kepalaku hanyalah dua pasang kaki yang bergelantungan.Selama ini aku ditemani ingatan menyedihkan itu lalu suara yang entah berasal dari mana ini sukses membuat napasku tercekat ketika dia melempar ingatanku kepada kejadian hari itu, membuatku berteriak putus asa di dalam hati sampai pertolongan Tuhan datang menghampiri.Tanwira mengguncang pelan bahuku. “Evandale? Apa yang kau lakukan di lantai? Jatuh?” tanyanya tetapi aku tidak kunjung menjawabnya sampai dia harus mengulangi pertanyaannya sekali lagi dan menyadarkanku yang masih terpengaruh oleh kejadian tadi.
Setiap kali tatapanku bertemu dengan Tanwira, sebisa mungkin aku menghindarinya. Akhirnya, dia sibuk dengan laptop miliknya dan aku sibuk berguling-guling pelan di kasurku sambil bertanya-tanya di dalam hati terkait kehidupan suami-istri yang sedang kami jalani.Tentang Evandale Humeera yang merelakan semua miliknya untuk menjadi milikku. Tentang Tanwira Tarachandra yang terlihat tidak acuh di luar tetapi peduli di dalam, lalu tentang diriku yang sepertinya harus belajar banyak hal.“Memangnya tidak ada yang bertanya kenapa ada dua kasur di sini?” bisikku dalam hati. “Mereka ini saling membenci atau mencintai?”“Mereka?”Lesatan pertanyaan penuh nada kecurigaan itu menembus telingaku, membuatku mendesah lelah karena ternyata sudah menyuarakan pikiranku tanpa sadar. Aku tidak pernah seceroboh ini sebelumnya tetapi beginilah …“Kata mereka yang kau maksud itu ditujukan kepada ak
“Jangan berbicara dengannya,” tekan Tanwira lagi, untuk kesekian kali. “Aku tidak menyukainya dan kau yang dulu juga selalu menghindarinya.”Aku masih mendongak menatapnya, kebingungan. “Kenapa?” tanyaku penasaran, lalu menambahkan. “Kenapa kau tidak menyukainya?”Tetapi Tanwira tetaplah Tanwira. Dia tidak menjelaskan lebih dan kalau saja aku tidak menahan lengannya, dia pasti sudah melenggang pergi begitu saja.“Aku akan bertemu dengan dia beberapa hari lagi,” ucapku, mengingatkan Tanwira tentang kakaknya yang akan kembali. “Kau masih tidak ingin menjelaskan kepadaku apa maksud pernyataanmu tadi?”Dia menatapku tidak suka lalu berkata, “Kau cukup menghindar saja, apa kau tidak bisa melakukannya?”“Kenapa aku harus menghindarinya?” tanyaku frustasi. “Dengar, aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi diantara aku dan dia lalu kau menyuruhku untuk mengh
“Oh, pemandangan dari sini bagus sekali. Bukankah begitu, Eve?”Aneska Fayyana—satu-satunya sepupu yang Evandale Humeera punya—ikut datang bersama ayah dan ibu. Aku tidak tahu bagaimana dia tetapi aku langsung tidak menyukainya begitu dia mendahuluiku untuk duduk di sebalah mama mertuaku.Aku mengarahkan tongkatku pada kaki kursi yang didudukinya, memukul pelan sehingga menimbulkan bunyi yang menyita perhatian.“Jangan duduk di sebelah mama mertuaku,” kataku dingin. “Kau ingin membunuh indera penciuman Mamaku dengan wangi parfummu? Menyingkir!”Bagi sebagian orang sikapku mungkin tidak sopan, tetapi baru tadi siang mama memberitahuku bahwa ia terlalu sensitif terhadap wangi-wangian dan bahkan sudah tidak memakai parfum sejak menginjak usia dua puluh tahun.“Evandale!” tegur ibu. “Kenapa kau membuat suasana menjadi canggung?! Apa salahnya jika Kakakmu duduk di situ?”&ldq
Dia yang terlihat tidak peduli dan bahkan memerintahkanku untuk berjalan lebih cepat meskipun jelas aku kesusahan dengan isyarat matanya itu ternyata memiliki rasa perhatian yang cukup untuk istrinya.“Kau yang berjalan terlalu cepat!” keluhku pada Tanwira yang sudah masuk ke dalam lift terlebih dahulu. “Setidaknya tahan pintunya untukku!”“Kau saja yang lambat,” balasnya tidak mau kalah.Aku melirik tajam ke arahnya, mendengus. “Kau tidak lihat tongkatku?” sarkasku. “Apa orang yang menjadikan benda ini sebagai bantuan bisa berlari?”“Siapa yang menyuruhmu berlari?” sindirnya balik dengan nada datar. Dia diam sejenak sebelum kemudian aku mendengar helaan napas beratnya. “Lagipula ada apa denganmu sampai-sampai melupakan semuanya? Kau hampir mati 'lagi' hari ini.”“Mana aku tahu kalau tubuh ini—” Aku langsung memotong ucapanku sendiri, menahan kesal