Napasku tidak lagi tercekat dan aku bisa merasakan jantungku berdetak seperti biasanya.
Aku … hidup? Batinku.“Oh?! Jarinya sempat bergerak!” Teriakan itu begitu dekat, tapi kelopak mataku yang terasa berat membuatku tidak mampu melihat siapa pemilik sumber suara tersebut. Ingin rasanya meminta tolong sebab seluruh tubuhku terasa sangat sakit, tapi tidak ada suara yang bisa kukeluarkan. Ketika aku membuka mata, sinar yang begitu terang membuatku mengerjapkan mata beberapa kali. Di mana aku? Ruangan apa ini?“Pasien sudah sadar!” teriak seorang wanita dengan pakaian serba putih yang berdiri di sebelah tempat tidurku.Ah, apakah dia seorang perawat? Jadi, tempat ini adalah rumah sakit?Kulihat beberapa orang dengan pakaian serba putih menghampiriku, kutebak mereka adalah dokter. “Nona Evandale Humeera?” panggil salah satu dari antaranya, meminta atensiku.Humeera? Aku mengernyitkan dahi mendengar nama yang mereka gunakan untuk memanggil diriku. Aku adalah …. Setelah beberapa saat, barulah tautan pada alisku melonggar. Ah, benar juga. Aku bukan lagi Evandale Faerie.*Beberapa hari sebelumnya*Aku bisa mendengar setiap gumaman orang-orang yang mengerumuni tubuhku, bahkan bisikan-bisikan yang mereka lontarkan bisa kudengar dengan jelas. Dari atas sini, aku yang sedang melayang menatap ekspresi ngeri yang terpancar dari tiap-tiap orang tersebut, merasa sedikit bingung kenapa tak ada satu pun dari mereka yang menelepon ambulans segera.Oh! Jangan terkejut! Bukan tubuhku yang melayang, melainkan jiwaku.Ya, kalian benar, sepertinya aku sudah mati.Di mana tubuh asliku? Hmm, kalian bisa lihat tubuhku berada di sana, di jalanan sembari terbaring bersimbah darah. Wah, bahkan wajahku sudah tidak bisa dikenali lagi melihat betapa parahnya luka yang kuderita.Sekarang, apa yang harus kulakukan? Kebingungan, pandanganku menyapu sekeliling. Mendadak, pandanganku jatuh pada sosok seorang perempuan yang berdiri tidak jauh dari tempatku berada. Aku membelalak. Wanita itu!Ya, wanita yang kulihat itu tak lain merupakan wanita yang sempat ingin kutolong.Kuperhatikan wanita itu sedang menatap ke satu arah, dan aku pun mengikuti arah pandangnya. Ternyata, wanita itu juga sedang melihat tubuh aslinya yang tergeletak tak sadarkan diri. Berbeda denganku, kulihat hanya sedikit darah yang mengalir keluar dari bagian kepala wanita itu. Namun, melihat rohnya terpisah dari tubuh seperti itu … berarti dia juga ….“Hei!" panggilku. Wanita itu juga melayang sepertiku, tetapi ekspresinya jauh berbeda dengan ekspresiku. Dia sama sekali tidak terlihat terkejut, malah aku merasa kalau dia memasang ekspresi ... lega? Aish, tidak mungkin dia lega karena sudah mati, bukan?Pada akhirnya dua buah ambulan datang dan membawa tubuh kami berdua. Aku masih sempat melirik wanita itu sebelum masuk ke dalam ambulan yang membawa tubuh tak bernyawaku. Ck, aku benci dengan diriku yang masih mencemaskan orang lain ketika aku sendiri sudah terpanggil.“Bagaimana keadaan pasien?”“Pasien sudah meninggal di tempat, dok.” Dokter itu mengamati kondisiku. “Kita bersihkan dulu—apa keluarganya sudah dihubungi?”“Tidak ada keluarga yang bisa dihubungi.”Tiba-tiba aku mengasihani diriku sendiri, kesepian itu menyelimutiku. Menyedihkan sekali.Waktu pun berjalan, tubuhku berada di ruang jenazah dan sudah ditutupi kain putih. Sampai kemudian mereka membawa tubuh kakuku itu dan bersiap melakukan penguburan. Siapa yang menebus jenazahku? Siapa yang membayar semua biayanya? Batinku bertanya-tanya sebelum kemudian satu dugaan muncul di kepalaku. Ah, mungkin orang yang menabrakku.“Ini bukan pertama kalinya aku melihat korban kecelakaan tanpa keluarga, tetapi rasanya tetap menyedihkan seperti biasa,” ujar bapak-bapak yang menggali kuburanku.Aku berdiri di sana, menangis dalam diam karena sampai kuburan itu tertutup sempurna dengan dua nisan yang tertanam di atasnya, aku sendiri.Selagi aku menangisi kematianku sendiri, kutangkap kehadiran seorang pria yang berjalan ke arahku—ke arah nisanku. Tubuh tinggi pria itu diselimuti jas dan celana bahan yang terlihat mahal, dan sebuah payung hitam digenggam di tangan kanannya, menghalangi hujan yang mengguyur. Belum sempat kulihat jelas wajah pria itu, sebuah tepukan pada pundak membuatku melompat. Kutolehkan kepalaku ke samping, dan satu sosok yang familier berdiri di hadapanku. “Kau, siapa namamu?” Oh?! Wanita itu lagi! Aku menatap ke arah wanita cantik itu, lalu berkata, “Kau benar-benar meninggal sepertiku, ya?” tanyaku, aku menghapus air mata yang masih menuruni wajahku.“Aku bertanya siapa namamu,” ulangnya lagi.Walau sedikit kesal dengan sikap ketusnya, tapi aku sedang tidak ingin mencari masalah. Oleh karena itu, aku segera menjawab, “Evandale Faerie.”Pancaran mata wanita itu terlihat begitu tenang, seakan tidak ada sedikit pun rasa penyesalan karena kematian yang begitu mendadak. Kemudian, dia berkata, “Kalau begitu, Evandale Faerie, maukah kau menukar nasibmu denganku?”***Kuingat kalimat terakhir yang Evandale Humeera katakan padaku, “Aku lelah, aku ingin bebas. Jadi, gantikanlah aku untuk hidup, dan gunakan kesempatan ini untuk mencapai segala keinginanmu.” Ekspresi penuh tekad terlukis di wajahnya. Berbeda denganku yang masih bertekad ingin hidup, dia bertekad untuk mati.“Evandale … Humeera,” aku bergumam menyebutkan nama itu. Keningku berkerut, masih tidak percaya kalau beberapa saat yang lalu, aku baru saja menyetujui sebuah perjanjian dengan seorang asing. Memilih untuk mati ketika masih memiliki kesempatan hidup, apa kiranya yang membuat wanita itu menyia-nyiakan nyawanya?Selagi aku merenungkan perihal Evandale Humeera, mendadak pintu bangsal rumah sakit terbuka. Kualihkan pandanganku ke arah pintu, dan kutangkap seorang pria dengan tubuh tinggi yang dibalut pakaian mewah berupa jas berjalan masuk.Menyadari bahwa diriku sadar, manik hitam pekat milik pria itu menatapku tajam. “Kukira, kau akan memilih untuk mati, Evandale.” Pandangan dingin yang dia berikan padaku membuat tubuhku menggigil, tapi aku tak bisa menahan diri untuk menatap lekat wajahnya yang begitu tampan. Hal tersebut membuat pria itu mengerutkan keningnya. “Kenapa kau menatapku seperti itu?”Dengan sebuah senyuman tipis, aku memasang wajah tak berdaya. “Kau … siapa?”***
Dingin, tatapan matanya sangat dingin. “Aku siapa?” Setelah mengulangi pertanyaanku dengan nada mengejek, dia terkekeh dan aku mulai merinding. “Kau lucu sekali, Eve,” sarkasnya. Aku tidak mengenalnya, tentu saja. Tetapi ... tubuh ini memiliki reaksi yang berbeda. Degupan jantung yang diiringi oleh napas memburu, tidak teratur sama sekali. Kemudian dadaku mulai terasa penuh, seakan ingin menyorakkan kebencian yang sangat besar. Setidaknya itu yang aku rasakan sekarang. “Hah, tidak seru!” Keluhan protes terlontar dari mulutnya, dia kembali membuatku bingung ketika aku bahkan belum mengetahui namanya. Tidak hanya itu, dia memperhatikan bagaimana keadaanku dan berkata, “Padahal aku sudah siap menangis di pemakamanmu tetapi rupanya kau selamat dan sekarang ... tidak mengenaliku? Ck, sama sekali tidak seru.” Oho, apa ini? Mereka saling membenci? Memindai dari ekspresi wajah laki-laki di hadapanku ini, aku menemukan sesuatu lainnya yang membuat bulu
Kapan terakhir kali aku merasa gelisah tidak karuan? Aku lupa. Apakah itu saat aku menyadari kalau aku sudah mati? Atau saat aku pulang malam dan diikuti oleh orang mabuk? Atau saat aku harus menahan lapar karena tidak memiliki uang sama sekali? Yang pasti, aku kembali merasakan kegelisahan itu saat ini. “Kenapa tidak menjawab?” Suara Tanwira semakin membuatku gelisah. Apalagi dengan nada dingin dan menusuknya, dia membuatku kesusahan membuka suara. “Y-ya,” jawabku tercekat. Aku berdehem untuk mengontrol suaraku dan kembali memperjelas, “Tentu saja aku Evandale Humeera. Apa yang kau pikirkan sampai-sampai mempertanyakan hal konyol seperti itu? Cih ....” Di bawah tatapan mengintimidasinya, aku yang sudah seperti seekor kelinci yang berhadapan dengan singa hanya bisa menahan diri untuk tidak menangis saat itu juga. Aku adalah wanita kuat, aku tidak pernah menangis karena merasa terintimidasi sebelumnya ... ya, setidaknya be
“Aku tidak mau,” tolakku terang-terangan sambil tersenyum manis Jadi, setelah menghabiskan banyak waktuku di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkanku untuk pulang ke rumah hari ini dan karena itulah keluargaku-- yang sudah beberapa kali aku tolak kehadirannya-- juga datang untuk menjemputku. Lucunya, mereka mengajakku tinggal bersama mereka selama beberapa waktu ke depan untuk pemulihan ingatanku. Hoho, tentu saja Evandale Faerie ini akan menolak sekuat tenaga. Mereka pikir aku akan menurut begitu saja setelah mendengar ancaman mereka? Cih, they wish. “Eve, ada apa denganmu? Kau tidak pernah bersikap tidak sopan seperti ini sebelumnya,” tegur ibuku. Dengan topeng tebalnya itu dia berbicara lembut, berusaha menutupi kebusukannya di hadapan mertuaku yang juga datang menjemput. “Hanya satu minggu, kau keberatan karena mungkin akan merindukan suamimu?” godanya tetapi dengan nada tajam di akhir kalimatnya. “Hm, sebenarnya a
Keheningan panjang yang aku lalui selama di perjalanan masih berlanjut sampai ketika aku ditinggal berdua saja dengan Tanwira di dalam kamar. Aku mulai merasa panas dingin sementara suamiku itu terlihat enggan memulai percakapan terlebih dahulu.Jujur saja, aku pikir dia akan langsung memberondongiku dengan pertanyaan atau apapun itu. Nyatanya dia sepertinya gengsi bahkan hanya untuk menyapaku terlebih dahulu.“Kenapa ada dua kasur di sini?” tanyaku, memilih mengalah dengan memulai terlebih dahulu. Dia sekarang sedang berdiri sementara aku duduk di atas kasur. “Kita tidak tidur di ranjang yang sama? Apa ini benar tempat tidurku?” tanyaku lagi.Dia melihatku-- tidak, lebih tepatnya dia menatapku. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepalanya tetapi dia terlihat seperti sedang mencari sesuatu yang tidak aku ketahui apa itu.Dengan tangan yang memainkan tongkat, aku bertanya, “Kenapa
Aku pernah bermimpi menjadi wanita karir yang sukses, datang ke makam kedua orang itu dengan penampilan elegan dan berharap mereka akan menyesal karena sudah meninggalkanku sendirian.Saat itu aku benar-benar ingin membalas dendam sampai lupa bahwa mereka sudah tidak ada di dunia, bahwa aku tidak lagi bisa melihat mereka dan satu-satunya ingatan yang masih jelas di kepalaku hanyalah dua pasang kaki yang bergelantungan.Selama ini aku ditemani ingatan menyedihkan itu lalu suara yang entah berasal dari mana ini sukses membuat napasku tercekat ketika dia melempar ingatanku kepada kejadian hari itu, membuatku berteriak putus asa di dalam hati sampai pertolongan Tuhan datang menghampiri.Tanwira mengguncang pelan bahuku. “Evandale? Apa yang kau lakukan di lantai? Jatuh?” tanyanya tetapi aku tidak kunjung menjawabnya sampai dia harus mengulangi pertanyaannya sekali lagi dan menyadarkanku yang masih terpengaruh oleh kejadian tadi.
Setiap kali tatapanku bertemu dengan Tanwira, sebisa mungkin aku menghindarinya. Akhirnya, dia sibuk dengan laptop miliknya dan aku sibuk berguling-guling pelan di kasurku sambil bertanya-tanya di dalam hati terkait kehidupan suami-istri yang sedang kami jalani.Tentang Evandale Humeera yang merelakan semua miliknya untuk menjadi milikku. Tentang Tanwira Tarachandra yang terlihat tidak acuh di luar tetapi peduli di dalam, lalu tentang diriku yang sepertinya harus belajar banyak hal.“Memangnya tidak ada yang bertanya kenapa ada dua kasur di sini?” bisikku dalam hati. “Mereka ini saling membenci atau mencintai?”“Mereka?”Lesatan pertanyaan penuh nada kecurigaan itu menembus telingaku, membuatku mendesah lelah karena ternyata sudah menyuarakan pikiranku tanpa sadar. Aku tidak pernah seceroboh ini sebelumnya tetapi beginilah …“Kata mereka yang kau maksud itu ditujukan kepada ak
“Jangan berbicara dengannya,” tekan Tanwira lagi, untuk kesekian kali. “Aku tidak menyukainya dan kau yang dulu juga selalu menghindarinya.”Aku masih mendongak menatapnya, kebingungan. “Kenapa?” tanyaku penasaran, lalu menambahkan. “Kenapa kau tidak menyukainya?”Tetapi Tanwira tetaplah Tanwira. Dia tidak menjelaskan lebih dan kalau saja aku tidak menahan lengannya, dia pasti sudah melenggang pergi begitu saja.“Aku akan bertemu dengan dia beberapa hari lagi,” ucapku, mengingatkan Tanwira tentang kakaknya yang akan kembali. “Kau masih tidak ingin menjelaskan kepadaku apa maksud pernyataanmu tadi?”Dia menatapku tidak suka lalu berkata, “Kau cukup menghindar saja, apa kau tidak bisa melakukannya?”“Kenapa aku harus menghindarinya?” tanyaku frustasi. “Dengar, aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi diantara aku dan dia lalu kau menyuruhku untuk mengh
“Oh, pemandangan dari sini bagus sekali. Bukankah begitu, Eve?”Aneska Fayyana—satu-satunya sepupu yang Evandale Humeera punya—ikut datang bersama ayah dan ibu. Aku tidak tahu bagaimana dia tetapi aku langsung tidak menyukainya begitu dia mendahuluiku untuk duduk di sebalah mama mertuaku.Aku mengarahkan tongkatku pada kaki kursi yang didudukinya, memukul pelan sehingga menimbulkan bunyi yang menyita perhatian.“Jangan duduk di sebelah mama mertuaku,” kataku dingin. “Kau ingin membunuh indera penciuman Mamaku dengan wangi parfummu? Menyingkir!”Bagi sebagian orang sikapku mungkin tidak sopan, tetapi baru tadi siang mama memberitahuku bahwa ia terlalu sensitif terhadap wangi-wangian dan bahkan sudah tidak memakai parfum sejak menginjak usia dua puluh tahun.“Evandale!” tegur ibu. “Kenapa kau membuat suasana menjadi canggung?! Apa salahnya jika Kakakmu duduk di situ?”&ldq