“Oh? Bagaimana ini?”
“Darahnya banyak sekali!”
“Kenapa mobil itu melaju dengan kecepatan setinggi itu?”
“Ini mengerikan!”
Hah, orang-orang sialan! Tidakkah mereka tahu aku perlu bantuan?! Panggillah ambulans dan jangan hanya berdiri diam sembari memperhatikan saja!
Ah, aku pasti membuat kalian bingung. Maaf, mari aku jelaskan kembali apa yang sebenarnya sedang terjadi dari awal.
*Beberapa saat yang lalu*
“Eve! Kau sudah bisa pulang! Waktunya berganti shift!” seru seorang pemuda—Jacob namanya—sembari menatap ke arahku yang sedang sibuk membereskan meja kafe tempatku bekerja.
“Oke!” balasku singkat. Selagi diriku berjalan kembali dengan nampan berisi piring dan gelas kotor, bel yang berada di atas pintu kafe bergemerincing, membuatku menoleh. “Selamat datang di café bueno ….” Aku tercenggang, terpaku di tempatku berdiri ketika melihat wanita yang baru saja masuk ke dalam kafe. “Wah, cantiknya,” batinku, “Artis?”
Mendadak, sebuah tepukan mendarat di punggungku. “Hei!” Jacob menegurku, “Jangan terbengong di tengah jalan, kau terlihat bodoh,” candanya. “Cepatlah pulang dan istirahat.”
Mendengar hal itu, aku pun hanya tertawa kecil dan bergegas pergi ke belakang, meletakkan piring dan gelas kotor itu di tempat cuci piring. Kemudian, selesai berbenah, aku pergi meninggalkan kafe dengan bersemangat.
Sembari berjalan menuju perempatan jalan raya, kulihat lampu merah sedang menyala, menandakan para pejalan kaki bisa menyeberang. Namun, jarakku begitu jauh, jadi aku pun berjalan dengan santai. Aku berjalan dengan tenang sampai tatapanku teralihkan kepada seorang perempuan yang berlari melewati diriku. Wanita itu berlari dengan kencang dan bergegas menyeberang jalan, sepertinya dia begitu terburu-buru.
Tiba-tiba, wanita tersebut terjatuh di tengah jalan, tepat ketika lampu hijau menyala. Saat itu banyak orang yang ada di lokasi kejadian tetapi tidak ada satu pun yang bergerak untuk menolongnya. Orang-orang di sekitarku hanya panik dan berteriak kepada perempuan itu agar segera berdiri sementara suara klakson mobil terus bersahutan, pengemudinya jelas tak sabar menunggu wanita itu untuk bangkit dan menyingkir dari jalan mereka.
Akhirnya, terdorong rasa simpati, aku pun mempercepat langkahku untuk membantu perempuan itu. Saat tanganku meraih lengannya, dia menoleh, dan kusadari bahwa perempuan itu tidak terlihat asing di mataku.
Mengesampingkan perasaanku, kutarik tangannya. “Mari kubant—”
“Awas!!”
Sebuah teriakan terngiang di telingaku, membuatku menoleh ke arah rentetan mobil yang menunggu. Namun, telingaku yang lain menangkap deru mesin yang mendekat, memaksaku untuk menoleh ke arah yang berlawanan. Hal yang pertama kali kulihat … adalah sinar yang membutakan.
Benturan keras diiringi dengan suara retakan tulang yang memuakkan membuat jantungku berhenti sesaat. Rasa sakit yang kurasakan tak bisa digambarkan dengan kata-kata, begitu pula dengan ketakutan yang perlahan menyelimuti diriku.
Pandanganku buyar, tapi bisa kulihat secara samar genangan darah yang mengalir menyusuri jalanan. Tidak jauh dari tempatku berada, kulihat gadis yang sempat kutolong tadi juga terbaring tak bergerak.
Teriakan di sekeliling mengenai betapa mengenaskannya kecelakaan yang baru saja terjadi membuat kepalaku pening. “T-tertabrak?” batinku. Aku berusaha membuka mulutku, mencoba mengucapkan kalimat minta tolong. Namun, aku tak berdaya.
Rasa sakit yang tubuhku rasakan tak bisa digambarkan. Yang jelas, kurasakan napasku tercekat, dan tak ada sedikit pun tenaga yang bisa kukerahkan.
Perlahan, pandangan samar itu ditelan oleh kegelapan. Hanya ada keheningan dan juga kesendirian.
“Apa aku … akan mati?”
***
Napasku tidak lagi tercekat dan aku bisa merasakan jantungku berdetak seperti biasanya.Aku … hidup? Batinku.“Oh?! Jarinya sempat bergerak!” Teriakan itu begitu dekat, tapi kelopak mataku yang terasa berat membuatku tidak mampu melihat siapa pemilik sumber suara tersebut. Ingin rasanya meminta tolong sebab seluruh tubuhku terasa sangat sakit, tapi tidak ada suara yang bisa kukeluarkan.Ketika aku membuka mata, sinar yang begitu terang membuatku mengerjapkan mata beberapa kali. Di mana aku? Ruangan apa ini?“Pasien sudah sadar!” teriak seorang wanita dengan pakaian serba putih yang berdiri di sebelah tempat tidurku.Ah, apakah dia seorang perawat? Jadi, tempat ini adalah rumah sakit?Kulihat beberapa orang dengan pakaian serba putih menghampiriku, kutebak mereka adalah dokter. “Nona Evandale Humeera?” panggil salah satu dari antaranya, meminta atensiku.Humeera? Aku mengernyitkan dahi mendengar nama yang mereka gunakan untuk memanggil diriku. Aku ada
Dingin, tatapan matanya sangat dingin. “Aku siapa?” Setelah mengulangi pertanyaanku dengan nada mengejek, dia terkekeh dan aku mulai merinding. “Kau lucu sekali, Eve,” sarkasnya. Aku tidak mengenalnya, tentu saja. Tetapi ... tubuh ini memiliki reaksi yang berbeda. Degupan jantung yang diiringi oleh napas memburu, tidak teratur sama sekali. Kemudian dadaku mulai terasa penuh, seakan ingin menyorakkan kebencian yang sangat besar. Setidaknya itu yang aku rasakan sekarang. “Hah, tidak seru!” Keluhan protes terlontar dari mulutnya, dia kembali membuatku bingung ketika aku bahkan belum mengetahui namanya. Tidak hanya itu, dia memperhatikan bagaimana keadaanku dan berkata, “Padahal aku sudah siap menangis di pemakamanmu tetapi rupanya kau selamat dan sekarang ... tidak mengenaliku? Ck, sama sekali tidak seru.” Oho, apa ini? Mereka saling membenci? Memindai dari ekspresi wajah laki-laki di hadapanku ini, aku menemukan sesuatu lainnya yang membuat bulu
Kapan terakhir kali aku merasa gelisah tidak karuan? Aku lupa. Apakah itu saat aku menyadari kalau aku sudah mati? Atau saat aku pulang malam dan diikuti oleh orang mabuk? Atau saat aku harus menahan lapar karena tidak memiliki uang sama sekali? Yang pasti, aku kembali merasakan kegelisahan itu saat ini. “Kenapa tidak menjawab?” Suara Tanwira semakin membuatku gelisah. Apalagi dengan nada dingin dan menusuknya, dia membuatku kesusahan membuka suara. “Y-ya,” jawabku tercekat. Aku berdehem untuk mengontrol suaraku dan kembali memperjelas, “Tentu saja aku Evandale Humeera. Apa yang kau pikirkan sampai-sampai mempertanyakan hal konyol seperti itu? Cih ....” Di bawah tatapan mengintimidasinya, aku yang sudah seperti seekor kelinci yang berhadapan dengan singa hanya bisa menahan diri untuk tidak menangis saat itu juga. Aku adalah wanita kuat, aku tidak pernah menangis karena merasa terintimidasi sebelumnya ... ya, setidaknya be
“Aku tidak mau,” tolakku terang-terangan sambil tersenyum manis Jadi, setelah menghabiskan banyak waktuku di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkanku untuk pulang ke rumah hari ini dan karena itulah keluargaku-- yang sudah beberapa kali aku tolak kehadirannya-- juga datang untuk menjemputku. Lucunya, mereka mengajakku tinggal bersama mereka selama beberapa waktu ke depan untuk pemulihan ingatanku. Hoho, tentu saja Evandale Faerie ini akan menolak sekuat tenaga. Mereka pikir aku akan menurut begitu saja setelah mendengar ancaman mereka? Cih, they wish. “Eve, ada apa denganmu? Kau tidak pernah bersikap tidak sopan seperti ini sebelumnya,” tegur ibuku. Dengan topeng tebalnya itu dia berbicara lembut, berusaha menutupi kebusukannya di hadapan mertuaku yang juga datang menjemput. “Hanya satu minggu, kau keberatan karena mungkin akan merindukan suamimu?” godanya tetapi dengan nada tajam di akhir kalimatnya. “Hm, sebenarnya a
Keheningan panjang yang aku lalui selama di perjalanan masih berlanjut sampai ketika aku ditinggal berdua saja dengan Tanwira di dalam kamar. Aku mulai merasa panas dingin sementara suamiku itu terlihat enggan memulai percakapan terlebih dahulu.Jujur saja, aku pikir dia akan langsung memberondongiku dengan pertanyaan atau apapun itu. Nyatanya dia sepertinya gengsi bahkan hanya untuk menyapaku terlebih dahulu.“Kenapa ada dua kasur di sini?” tanyaku, memilih mengalah dengan memulai terlebih dahulu. Dia sekarang sedang berdiri sementara aku duduk di atas kasur. “Kita tidak tidur di ranjang yang sama? Apa ini benar tempat tidurku?” tanyaku lagi.Dia melihatku-- tidak, lebih tepatnya dia menatapku. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepalanya tetapi dia terlihat seperti sedang mencari sesuatu yang tidak aku ketahui apa itu.Dengan tangan yang memainkan tongkat, aku bertanya, “Kenapa
Aku pernah bermimpi menjadi wanita karir yang sukses, datang ke makam kedua orang itu dengan penampilan elegan dan berharap mereka akan menyesal karena sudah meninggalkanku sendirian.Saat itu aku benar-benar ingin membalas dendam sampai lupa bahwa mereka sudah tidak ada di dunia, bahwa aku tidak lagi bisa melihat mereka dan satu-satunya ingatan yang masih jelas di kepalaku hanyalah dua pasang kaki yang bergelantungan.Selama ini aku ditemani ingatan menyedihkan itu lalu suara yang entah berasal dari mana ini sukses membuat napasku tercekat ketika dia melempar ingatanku kepada kejadian hari itu, membuatku berteriak putus asa di dalam hati sampai pertolongan Tuhan datang menghampiri.Tanwira mengguncang pelan bahuku. “Evandale? Apa yang kau lakukan di lantai? Jatuh?” tanyanya tetapi aku tidak kunjung menjawabnya sampai dia harus mengulangi pertanyaannya sekali lagi dan menyadarkanku yang masih terpengaruh oleh kejadian tadi.
Setiap kali tatapanku bertemu dengan Tanwira, sebisa mungkin aku menghindarinya. Akhirnya, dia sibuk dengan laptop miliknya dan aku sibuk berguling-guling pelan di kasurku sambil bertanya-tanya di dalam hati terkait kehidupan suami-istri yang sedang kami jalani.Tentang Evandale Humeera yang merelakan semua miliknya untuk menjadi milikku. Tentang Tanwira Tarachandra yang terlihat tidak acuh di luar tetapi peduli di dalam, lalu tentang diriku yang sepertinya harus belajar banyak hal.“Memangnya tidak ada yang bertanya kenapa ada dua kasur di sini?” bisikku dalam hati. “Mereka ini saling membenci atau mencintai?”“Mereka?”Lesatan pertanyaan penuh nada kecurigaan itu menembus telingaku, membuatku mendesah lelah karena ternyata sudah menyuarakan pikiranku tanpa sadar. Aku tidak pernah seceroboh ini sebelumnya tetapi beginilah …“Kata mereka yang kau maksud itu ditujukan kepada ak
“Jangan berbicara dengannya,” tekan Tanwira lagi, untuk kesekian kali. “Aku tidak menyukainya dan kau yang dulu juga selalu menghindarinya.”Aku masih mendongak menatapnya, kebingungan. “Kenapa?” tanyaku penasaran, lalu menambahkan. “Kenapa kau tidak menyukainya?”Tetapi Tanwira tetaplah Tanwira. Dia tidak menjelaskan lebih dan kalau saja aku tidak menahan lengannya, dia pasti sudah melenggang pergi begitu saja.“Aku akan bertemu dengan dia beberapa hari lagi,” ucapku, mengingatkan Tanwira tentang kakaknya yang akan kembali. “Kau masih tidak ingin menjelaskan kepadaku apa maksud pernyataanmu tadi?”Dia menatapku tidak suka lalu berkata, “Kau cukup menghindar saja, apa kau tidak bisa melakukannya?”“Kenapa aku harus menghindarinya?” tanyaku frustasi. “Dengar, aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi diantara aku dan dia lalu kau menyuruhku untuk mengh