Share

Dasar tak Tahu Diri!

“Pulanglah! Pulang demi anakmu yang kamu tinggalin di rumah, bukan demiku.” 

Abbas memelas dengan raut penyesalan tanpa harus menetes buir air mata. Ya, mana mungkin pria sepertinya akan tumpah demi seorang wanita? Ini mustahil! Namun, hatiku tergerak oleh permohonannya yang tidak akan kubiarkan terlalu lama. 

“Baiklah, aku bakal pulang. Tapi kamu harus bisa pegang janji.” 

“Ya, aku janji!” tegas Abbas meranggul.

Cukup singkat! Aku tidak akan banyak bicara. Kakiku mengguyur ruangan dimana Elvina duduk bersama mainannya. 

“Elvina, ada papa. Ayo kita pulang!” ajakku sedikit tersenyum. 

Elvina langsung beranjak bahagia. Kakinya langsung tertuju pada diriku, kemudian berpindah pada ayahnya. Abbas menggendong tubuh putri kecilnya dengan raut terhangat yang pernah ada. Aku melihat sekilas wajah suamiku yang memang jarang tersenyum. Hari ini aku belajar betapa banyak kenangan indah hidup bersamanya. 

Walau sebenarnya hidupku benar-benar pahit. Karena dia, aku jadi mengenal agama lebih baik. Karena dia, aku mengenal keikhlasan yang pernah dia lakukan semasa hidupnya. 

Ini sungguh cobaan terberat jika harus memiliki derajat tinggi. Karena Allah, aku bersedia untuk mengikuti suamiku kembali. 

Abbas terus bercanda dengan putri kecilnya. Putri yang berkulit putih itu tersenyum manja dengan ucapan rindu kepada ayahnya. 

“Papa, aku rindu papa. Kenapa papa ngak nyusul tadi malam?” 

Betapa besar hati anak kecil yang selalu memaafkan dengan tulus kepada orang tua yang telah menyakiti ibunya. Bahkan hatinya selalu ada bersama kedua orang tua. 

Aku terenyuh, sambil menyembunyikan identitasku sebagai pewaris kekayaan dari mereka semua. Mereka tidak boleh tahu, sebelum salah satu dari anakku tumbuh dewasa. 

‘Fathan bakal berusia 18 tahun. Di saat itulah, aku bakal mengatakan pada semua orang.’

Gumamku dalam hati. Takut akan menyerobot keputusan yang semestinya tidak kurencanakan sebelumnya. 

Pamanku yang menginginkan semua ini. 

Kami kembali, menutupi rumah orang tuaku menjadi kosong. Padahal, aku adalah anak tunggal dari mereka yang melahirkanku. Sudah semestinya aku tinggal di sini. Tapi tidak, aku malah ikut dengan keluarga baruku.

Dengan sepeda motor, suamiku membawa kami kembali pulang. Elvina duduk di tengah dengan memeluk ayahnya erat. Di antara perjalanan pulang, dia masih ragu-ragu untuk bicara. 

“Gimana keadaan mama?” tanyaku ragu. 

“Gitulah dia. Dia nggak banyak bicara,” sahut Abbas agak kendur. 

Suaranya, dia sedikit malu atau mungkin kurang enak setelah membentak dan mengusirku. Kami benar-benar melaju di jalanan dengan membisu. Sepanjang jalan yang sangat jauh, aku tidak melontarkan pertanyaan atau pun basa-basi lagi. 

Tanganku begitu kuat memeluk si kecil yang sudah tertidur pulas di tengah. 

Cahaya perkotaan akhirnya mengiringi perjalanan pulang. Sampai akhirnya kami bertemu dengan pemukiman. Dimana salah satu gang kecil adalah jalan rumah kami. 

Tidak banyak cahaya yang dapat menerobos masuk di sekitar area gang kecil. Pemukiman padat telah kami lalui, kini beberapa rumah memiliki jarak pemisah. Antara pohon dan satu pohon, bahkan beberapa halaman yang cukup luas. 

Motor Abbas berhenti, tepat di depan rumah. 

Terkejut, kalau di sana sudah berdiri seorang pemuda. Bersedekap tangan, menengadah seolah-olah memperhatikan langit di malam ini. Di sana, dia bersama Fathan yang sedang bermain di teras. 

“Om!” 

Fathan menghampiri pemuda itu. 

Aku turun sambil menggendong Elvina pelan agar tidak mengeluarkan suara berisik. 

“Rafa, mama nggak marah lagi?” 

Abbas mendekati pemuda itu sambil menatap datar. Tanpa harus tersenyum. 

Rafa, pemuda yang tinggi badannya sekitar 170 sentimeter. Adik dari suamiku yang biasa bermain dengan Fathan ketika malam. Rafasya Taufik, satu-satunya anak bungsu yang masih belum menikah. Padahal, usianya sudah menginjak 27 tahun.

“Halo, Kakak ipar! Aku udah ngemarahin Abbas. Dia memang kurang ajar karena udah jadi pria brengsek. Kau nggak usah khawatir lagi. Aku nggak bakal ngebiarin Abbas berbuat jahat lagi.” 

Rafa seolah-olah menunjukkan sisi kepahlawanannya. Mungkin, dia sudah berupaya untuk membela diriku. Aku hanya membalas dengan senyuman sambil memapah tubuh putri kecil kami yang sudah tertidur. Sambil tersenyum, aku pun mendekati si adik ipar. 

“Kau pulanglah! Besok aku bakal lihat mama. Aku masih lelah,” balasku. 

“Tenang aja!” 

“Aku pulang dulu, bye-bye, Fathan!” pamit Rafasya melambai. 

Tubuhnya berbalik sambil melambaikan tangan mengarah Fathan yang memang sudah layaknya seorang teman. Fathan membalas lambaian dari sang pamannya. 

Akhirnya kami masuk, meninggalkan halaman luar yang gelap. Malam menutup kisah ini menjadi sangat diam, menjadi agak canggung. 

Suasana dalam rumah menjadi sangat bergeming. Aku bahkan tidak menyapa suamiku. Apalagi dia yang harus meninggalkanku bersama si kecil—Elvina. 

Elvina telah terbaring di atas kasur bersama seorang kakak di satu kamar. Elvina kembali kutinggalkan sambil memperhatikan sang kakak yang masih belum tertidur. 

“Mama.” 

Fathan seolah-olah merintih. 

Aku tidak jadi berpaling dari sana karena Fathan membutuhkanku. Akhirnya aku memenuhi panggilan putra sulungku. 

Aku duduk di samping tempat tidurnya, dimana tempat tidur mereka memang terpisah. “Kenapa?” 

“Kenapa kemarin mama nggak ngajak aku?” Keluhan Fathan sedikit merengek. Ya, itu wajar saja karena dia juga membutuhkanku!

Tanganku segera merampas tubuhnya, harus dipeluk dengan erat. Kepalaku tergoyang-goyang sambil menepuk bahunya perlahan. Sesekali telapak tanganku menggosok punggungnya. 

“Maafkan mama, Nak!” 

“Jangan tinggalin aku lagi, Ma.” 

Fathan lirih, sudah seperti anak kecil membutuhkan kasih sayang. 

“Iya, mama nggak akan ninggalin kamu lagi. Kamu udah ngaji belum?” 

Fathan mengangguk, artinya ia sudah melakukan dengan baik. 

“Jangan berbohong! Nanti kamu bakal sekolah di luar. Ada banyak tantangan yang akan kamu hadapi.” 

Tanganku mendorong tubuh Fathan dari dekapanku. Fathan tidak menolak, tubuhnya segera roboh di bantalan kasur empuk. Matanya mulai memejam. 

“Jangan lupa berdoa!” 

“Oke, Ma.” 

Aku berdiri, memandang kedua anakku yang benar-benar penurut ketika mendapat sentuhan lembut. Mereka akan memberontak ketika diserang kasar. 

***                                                                                                                                                                                                                                            Seperti biasa, aku harus bekerja dan meninggalkan anakku bersama ibu mertua. Dia dan neneknya akan lebih akrab, tetapi tidak padaku. Karena hari Sabtu, aku kembali di pukul satu siang, lebih cepat dari biasanya. 

Namun, kakiku baru saja turun dari sepeda motor untuk segera beralih menuju rumah ibu mertua. Beliau datang terlalu cepat, sampai-sampai aku cukup terkesan saat dia membawa anakku sambil menggendongnya. 

“Ma,” sapaku hangat. 

“Cepat sekali pulangnya.” Basa-basi darinya. Mungkin, dia sudah tidak marah lagi denganku. 

“Hari Sabtu, Ma. Lebih cepat dari biasanya,” balasku.

Aku segera meraih tubuh Elvina dari tangan ibu mertuaku. Sementara beliau tidak melanjutkan kembali pembicaraan. 

Ibu mertuaku malah berbalik dan tidak ingin berbicara banyak. Kepalanya agak merunduk lalu pergi begitu saja. Aku masih memperhatikan dirinya dari kejauhan. Sampai dia benar-benar memasuki rumah. 

“Ma, aku mau turun.” 

Elvina hendak turun dari tanganku. Aku segera memenuhi keinginannya. Elvina turun dengan cepat dan berlari masuk ke rumah. 

Sepertinya hubungan kami masih belum tampak baik. Tapi, aku merasa lega ketika ibuku sudah bisa menyapaku dengan nada yang pelan. Tidak seperti biasa, dengan bentakan dan suara kerasnya. 

Tapi, bagaimana dengan besok? Apakah senyuman akan terukir di wajah mertua yang setelah lama kian menghilang. Lagi-lagi uang adalah satu-satunya untuk menghibur mereka semua. 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status