Share

Emak-Emak Rempong

Penulis: Rossystories
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-10 12:21:37

            Aku tahu apa yang harus aku lakukan menjadi seorang ibu beranak dua. Kakiku langsung berkirai dari sana, halaman rumah yang cukup luas untuk bersantai. Setelah mataku melihat sosok ibu mertua yang telah memasuki rumah, dan aku pun mengikuti jejak Elvina ke rumah.

Pintu rumah terbuka lebar, dimana kedua anakku bermain bersama. Aku tidak menghiraukan dengan posisi mereka. Rasanya sedikit bosan ketika aku harus menguasai rumah sepenuh hariku. Apalagi aku harus bangun sepagi mungkin, sedangkan aku pulang harus lebih telat dari orang lain.

Ya, jarak dari rumah ke sekolah—tempat aku mengajar cukup jauh. Mungkin jarak antara rumahku dengan kota Namang tidak terlalu dekat. Bahkan jarak yang sudah melebihi belasan kilometer dari sini.

Membutuhkan waktu sekitar kurang lebih setengah jam bila menggunakan sepeda motor. Itu pun tergantung kecepatan yang kita tempuh.

Kakiku langsung menuju kamar, membiarkan semua kelelahanku pada ruangan yang sempit ini. Hanya seukuran tempat tidur dan satu lemari baju saja. Benar-benar sesak dan muak jika harus berada di sini terus-menerus.

“Duh, jenuh juga di sini!” keluhku.

Akhirnya aku memutuskan untuk melempar kebosanan ke luar setelah berganti pakaian. Mataku malah merangkak pada meja keci di tengah ruangan. Buku-buku yang masih berantakan sudah tidak diacuhkan lagi.

“Ah, nanti aja ngeberesinnya.”

Aku mengibrit, meninggalkan kedua anakku yang sedang asyik bermain. Di sana, mereka sudah tidak memedulikan aku ketika terbawa oleh kesenangan mereka tepat di depan televisi. Aku keluar dan berkumpul dengan beberapa wanita di kampung.

Melihat kerumunan, rasanya sudah membuatku lebih lega. Aku mencari posisi duduk bersama mereka yang asyik mengobrol.

“Haira, baru pulang, ya?” Sambutan dari salah ibu-ibu sedang bersantai di atas kursi panjang. Mereka menikmati terik matahari menuju sore tiba.

“Iya, Bu. Tadinya aku mau tidur siang, rasanya agak jenuh juga kalo di rumah terus,” sahutku ramah.

“Ya, udah. Kayak biasa, dateng aja ke sini. Kita ngobrol bareng, udah lama juga nggak liat kamu yang tadinya sibuk mulu.”

“Haira, kamu itu udah biasa ya ngadepin suamimu itu.”

“Iya, suaranya keras lagi. Waktu itu aku pernah nggak sengaja denger.”

Aku melihat dua ibu-ibu yang agak tua, lalu satu wanita yang memang seumuran denganku. Mereka adalah tetangga dekat yang memang agak rewel ketika mendengar hal-hal yang kurang nyaman di keluargaku.

Senyumku terukir sejenak, aku tidak akan curhat pada mereka tentang masalah rumah tanggaku. Jadi tawa kecilku itu keras agar mereka terkesan tidak bergosip.

“Ahh … kalian kan udah tahu. Lagipula aku udah biasa. Kalo nggak biasa, ya … aku pasti udah minggat. Hahaha.”

Jawabku sambil tertawa kecil, tapi tidak mau membeberkan keburukan suamiku.

“Tapi, biar dia begitu. Dia pria yang rajin, sering dateng ke masjid.” Aku melanjutkan agar mereka berhenti menjatuhkan martabat suamiku sebagai pembina rumah tangga.

“He em, aku juga sering liat dia. Dia juga nggak pelit sama orang,” balas dari salah wanita yang sebaya denganku.

“Nah, itulah dia!” sambungku sambil mengacungkan jemariku meninggi.

“Eh, enak aja kalo suami aku! Dia malah enak-enakan tidur kalo udah azan. Memang sih nggak pernah marah, tapi ya itu. Ngorok kalo udah azan lewat.”

"Hahaha, buruk!" teriak wanita di sebelahnya.

Salah satu ibu-ibu di sampingku mencibirkan keluhan dengan raut kesalnya. Dua ibu-ibu itu duduk berdampingan denganku. Mereka semua berkerudung, bertubuh memang agak gendut seperti diriku. Bahkan wanita yang duduk di ujung juga menyamaiku, apalagi umur kami sama.

Aku dan wanita di ujung hanya bisa cengar-cengir agar menghangatkan suasana. Wanita seumuran denganku namanya Yati, dia wanita yang tidak banyak bicara. Berbeda dengan diriku yang memang banyak bicara, dia hanya tersenyum-senyum dan menyahut hanya beberapa kata lalu memilih diam.

Sementara dua ibu-ibu yang duduk di sampingku memiliki nama yang agak mirip. Tepat berada di sampingku namanya Mursiah, lalu di sebelahnya Marfiah. Ke dua-dua ibu itu memiliki awalan huruf yang sama.

Ya, kalau dipanggil memang beda. Mereka yang terbilang lebih akrab denganku dari tetangga yang lain. Kami bercengkerama hingga memecah tawa yang hampir melupakan sisa hariku di penghujung sore.

“Waduh! Aku hampir lupa lho. Udah sore, aku mau balik dulu,” pamitku terkocar-kacir menuju kepulangan.

Ibu Marfiah di sampingku menjerit. “Eh, cepet amat sih?!”

Aku bahkan tidak menoleh lagi. Kakiku dengan entengnya menjauhi mereka karena aku pasti akan dimarahi oleh suamiku. Jarak antara rumah mereka tidak terlalu jauh, walau rumah kami memang terselip di balik gang kecil.

Aku secepatnya melangkah hingga menjatuhkan ke teras halaman depan rumah. Napasku lega ketika aku melihat kekosongan di depan. Sepeda motor suamiku belum terlihat, yang artinya dia belum kembali.

"Ah, syukurlah dia belum balik!"

Tangannku segera meraih gagang pintu menuju bagian ruang tamu. Kepalaku tidak menghiraukan sesosok wanita sedang menghampiri rumahku. Dia memanggil keras.

“Haira, kamu tadi ke mana? Ngomong apa kamu sama mereka?”

Itu suara ibu mertuaku yang tadinya tidak terlihat sama sekali. Lalu aku mengentakkan kakiku untuk berbalik. Hingga aku melihat jelas penampakan ibu mertua yang tampak penasaran dari mana aku pergi?

Dia mendekatiku sambil menyapu halaman rumahku.

“Ma, biarin! Aku bisa kok nyapunya,” cegahku maju selangkah.

“Udah biarin. Kamu kan capek! Lagian kamu kan baru pulang. Tapi, ngomong-ngomong kamu bicara apa sama mereka tadi?” Ibu mertuaku mengulangi pertanyaan yang belum aku jawab.

“Oh, nggak ada apa-apa kok, Ma.”

Aku sedikit mundur, tetapi ingin sekali membantu ibu. Akhirnya tanganku tergerak untuk segera merampas sapu lidi dari tangan ibu mertuaku.

“Ma, aku aja!”

“Jangan sering-sering ngobrol sama mereka!” ketus ibuku mengendurkan dekapannya pada sapu lidi.

Kini, sapu lidi berhasil kurampas dari tangannya. Aku mengambil alih tindakan ibu untuk membersihkan halaman rumahku. Aku takut jika terjadi kesalahan lagi, maka aku harus lebih cekatan.

“Nggak kok, Ma. Mama tenang aja! Aku bukan tipe orang yang suka ngejelekin keluarga sendiri.”

Balasanku sedikit menoleh ke wajah ibu mertuaku. Namun ibu mertuaku masih saja berceloteh tentang hal itu.

“Iya, jangan sering-sering deh! Mereka sering ngomongin kamu dan mama juga. Heuh! Mereka pura-pura baik aja.”

Ibu mertua saya menghentikan pidatonya dan bergegas pergi tanpa pamit. Untuk apa? Lagipula aku tidak akan menjadi menantu yang baik. Saya hanya diam di tempat kerja sore ini. Tanganku menyapu bersih di antara halaman.

Sialnya, aku melupakan tugas yang ada di dalam. Sontak mataku mencelang lebar, terdongak sesaat. Dalam hati aku resah.

‘Aku mau masak, tapi mama malah banyak maunya.’

Kepalaku menggeleng gelisah, kemudian kembali menyapu dengan cepat. Tak sadar kalau suamiku kembali di waktu yang tidak tepat.

‘Ah, dia udah balik lagi!’

Keluhanku kini menjadi bertubi-tubi. Maka ini akan menjadi salahku lagi. Siap-siap dia akan memakiku setelah ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Tidak dengan Kekerasan

    “Fathan, ini kenapa? Nenek kenapa marahin kamu?”Dengan nada paling lemah, garis keningku mulai mengeriput, kemudian ditundukkan ke arah Fathan yang tubuhnya belum setinggi diriku.Di sekujur tubuh Fathan mematung bisu. Nada irama ibu mertuaku belum juga menurun, tetapi Fathan sudah menunjukkan reaksi cemas. Dua tangannya saling menyatu, sedangkan pandangannya diarahkan ke lain tempat.Melihatnya cukup tak tega karena dia buah hatiku yang pertama. Dengan penuh perasaan, aku harus membujuk ibuku yang sedari tadi keluar sambil mengeluarkan kata-kata buruknya. “Ma, maafin Fathan kalo udah buat salah ke neneknya.” Aku sambil menarik lengan Fathan agar tidak jauh dariku.Mata nanar ibu mertuaku menyorot tajam. Lekukan urat nadinya menggeliat di sekitaran badan leher. “Apa?! Iya, kamu pasti mau bela dia kan? Punya anak jangan terlalu dimanjakan, lihat kelakuannya.”Tangan ibu mertuaku menunjuk ke dua sisi berbeda, belakang hingga ke depan kami. “Ambil sandal mau lemp

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Kedatangan Sang Paman

    Ninda yang muda dan tidak banyak bicara. Sementara Elina berkebalikan dari Ninda, dia setara denganku, dan dia sangat aktif.Setelah mengisi perut di kantin, kami kembali disibukkan di ruang kelas masing-masing. Tampak guru lain yang sama sekali tidak menghiraukan hiruk pikuk di salah satu kelas. Tapi sudahlah, itu sudah menjadi urusan wali kelas di kelas tersebut.Beberapa jam berlalu mengajar murid di kelas, perasaan yang nyaris padam. Mata hampir lelah karena sekian menit per detik dilewati. “Sampai jumpa lagi, Bu Haira!”Teriakan anak manis dari kelas ini sangat ceria. Mereka menyenangi guru yang lemah lembut. Tentunya aku tidak begitu. Aku hanya berkamuflase, ah sebenarnya aku memang tidak ingin kasar-kasar terhadap anak kecil.Mereka butuh kasih sayang supaya pikiran serta hatinya tidak cedera.Dengan sepeda motor, aku pun menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu. Seperti biasanya, aku pun mendapati panggilan masuk dari ponsel di balik tas ransel sa

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Kantin Bu Melda

    Kisah tentang bu Maina cukup mengesankan. Ternyata, setelah ditelusuri, ibu Maina memiliki ikatan kekeluargaan yang sudah jauh dari keluarga sang suami. Herannya, aku tidak pernah melihat mereka saling berkumpul atau setidaknya bertemu.Dari kejadian dan cerita para tetangga, hari ini aku paham betul, semuanya memiliki rahasia jitu. Sudahlah, hari ini akan fokus mengajar di kelas tercinta.Di sekolah dasar sudah menunggu kehadiranku, walau pada dasarnya, aku hanyalah pendidik honorer.Setelah mengajar setidaknya empat puluh lima menit di kelas, istirahat pun memanggil. “Hore, makan nasi liwet!” “Mana ada nasi liwet?”Beberapa dari mereka berombongan mulai bercakapan. Antar gadis—dan anak laki-laki. Mereka langsung keluar tanpa harus mengantre, bahkan ada yang saling mendorong. “Eh, hayo jangan saling dorong, ntar temennya kecedat pintu!” seruku mengkhawatirkan seisi ruangan kelas. “Oke, Bu.”Dasar jawaban anak zaman now. Mereka tak perna

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Tentang Ibu Maina

    Dari sore hingga ke malam. Setelah mandi dan menjalankan kewajiban ibadah. Malam menyongsong indah dengan menampilkan suasana dingin di depan rumah. Sinar putih bersinar malu-malu menerobos ke pepohonan.Bulan terang, alias bulan purnama di malam hari. Sampai saat ini, kami tak pernah mendiami rumah dengan keharmonisan. Suamiku bukan orang yang romantis. Memberinya kejutan di hari ulang tahun pun tak diinginkannya. Jangan mau berharap sesuatu yang manis, dirinya bahkan tak pernah merayakannya. “Kenapa bengong lihatin bulan? Kerjaan masih numpuk nih!”Abbas mulai berteriak ringan, sekarung bawang sudah dimasukkan ke dalam gudang sebelah rumah. Buatannya yang menjadi andalan menyimpan barang dagangan. Tangan serta penglihatanku salah tingkah. Tadinya yang sempat mengintip warna bulan, akhirnya mengurungkan niat untuk berkhayal. “Udah selesai,” ucapku sambil memasukkan sebagian kol yang sudah dibersihkan ke dalam karung.Sayuran yang besoknya akan diba

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Kakak-Beradik

    Gosip, itu yang biasa dilakukan oleh para ibu-ibu di kampung—tempat aku bermukim. Setidaknya, aku hanya bisa mendengar setiap ocehan mereka, tidak menanggapi terlalu mengerikan. Kelak, aku pasti akan menjadi sorotan bahwa diriku termasuk anggota kampung yang sok.Bagaimana mungkin? Aku masih termasuk orang baru tinggal di sini. Terhitung sejak usia pernikahan kami yang sudah menginjak 10 tahun lebih. Bahkan Fathan pun sudah sembilan tahun bersama kami.Sulit dipercaya kalau aku bukan yang pertama kalinya bergabung dengan mereka mendengar gosip terhangat. “Nongkrong mulu! Kerjaan suami masih banyak, istrinya kelayapan.” Keluhan pertama Abbas ketika aku belum sempat menginjakkan kaki ke halaman rumah.Elvina masih dalam gandenganku, tak lama kemudian, Fathan menyusul dari arah berbeda—dan dia pasti baru pulang dari rumah neneknya. “Mama!” teriaknya dengan kencang. “Jarang-jarang, Bang, lagian kerjaan saya udah beres kok di rumah.”

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Ada yang Berpura-pura Miskin

    Sepertinya hubungan baik dalam keluargaku mulai rukun. Namun, tentu saja aku tak boleh memperlihatkan wajah ceriaku yang berlebihan. Takut jika aku melakukan kesalahan. Terutama kepada ibu mertuaku, yang dimana nanti dia tiba-tiba berubah drastis. Marah besar.Dalam keseharian ini, aku berjumpa dengan banyak orang di sekolah, maupun dengan tetangga. Ada waktunya aku menetap pada satu kerukunan antar tetangga. Duduk bersama mereka yang selalu melontar ghibah. “Eh, kalian kenal sama Maina nggak?” Salah satu ibu mulai menggerakkan tangannya. Ya, si pemilik toko depan memulai gosip baru, ketika beberapa ibu-ibu lainnya sedang asyik berbicara ceria.Dalam sesaat suasana wajah mereka hening. Tak hanya mereka, tetapi juga diriku. Menoleh karena begitu penasaran. “Maina, siapa?” Lena—pengasuh Elvina tanggap.Kali ini perkumpulan kami hanya orang-orang pilihan. Ada tiga ibu lainnya yang masih sebaya denganku. “Itu tetangga lama kita, katanya sih

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Hati Hasad

    Kiranya seperti itulah hubunganku dengan si pengasuh Elvina dalam perjalanan hidupku. Kami adalah tetangga dekat yang tidak pernah berkumpul dalam satu waktu penuh. Jarang sekali bertemu jika bukan hal penting untuk diutarakan.Pertemuan kami sempat menyatu akrab ketika ada situasi mendesak, salah satunya ketika ibu mertuaku sedang jatuh sakit.Kak Lena memang ibu yang bijak tanpa harus menceritakan aib seseorang ke orang lain. Dia juga sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Kedewasaannya mengajarkan satu pelajaran, yakni berpikir sebelum bicara.Sama persis dengannya ketika hendak mengungkap isi pikiran. Dia hanya berkata sepenting yang dia bisa. Lalu diam jika semua sudah tidak berfaedah lagi.Beberapa hari kemudian, ibu mertuaku sudah sembuh total. Aktivitas kami pun kembali seperti sedia kala. Abbas pergi dan pulang dari pasar dengan wajah sangar. Adakalanya wajahnya berseri seperti orang menemukan uang satu miliar. “Kenapa, Bang?”Aku menyambutnya seakan

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Saling Mengenal

    Kunjungan kak Lena ke rumah ibu mertuaku pun baru saja tiba. Aku dan kedua anakku memasuki rumah setelah keadaan di sini sudah lebih sepi. Rafasya kembali untuk bekerja karena tak mungkin dibiarkan ibunya begitu saja.Kak Lena ikut membantu keperluan ibu mertuaku di ruang tengah, mengambil segelas air putih, hingga menemaninya sejenak.Ibu mertuaku yang masih terlihat lemah tak berdaya. Duduk dengan kepala yang tersandar ke bidang sofa berukuran satu orang. Dua tangannya diletakkan di atas lengan sofa. “Bibi udah lebih baik?” Kak Lena pun mulai bertanya. “Fathan, jangan bikin adek nangis.” “Iya, Ma.” Fathan menyahut tanpa adanya kegaduhan.Aku meminta Fathan saat suara Elvina mulai berteriak keras. Seperti biasa, mereka selalu berebutan dalam masalah bermain. Di rumah ibu mertua memiliki beberapa permainan, sengaja beliau menyiapkan mainan untuk mereka menikmati kebersamaanya di sini.Sepeda kecil dalam rumah, mobil-mobilan, hingga alat

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Untung Saja!

    Satu kali terdorong, maka akan sering mendapat dorongan. Dorongan itu bukanlah sebuah dukungan, melainkan menjatuhkan. Harga diriku sebagai seorang guru tersindirkan, hanya karena pangkat yang belum menjamin kehidupan.Apalah daya menjadi seorang guru honorer? Yang harus terus-menerus memikul beban. Tapi, selama hidupku menjadi seorang guru honorer. Alhamdulillah, hidupku tak pernah terlilit hutang atau hidup mewah yang luar biasa.Rasanya, aku bisa merasakan syukur yang lebih. Ini bahkan tak bisa dibayar dengan uang. Kalau dihitung, jasa ditambah dengan status sama dengan kesederhanaan.Jadi, istilah dalam prinsip hidupku adalah sebuah kesederhanaan. Tidak perlu berlebih-lebihkan. Andai diberi lebih, siapa yang akan menolak? Ini hidupku, dan inilah tentangku. Aku tetap berusaha untuk menjadi guru yang terbaik. Siapa tahu kelak aku akan naik pangkat seperti mereka?Aku tak perduli ketika rekan tadi meledekku dengan sindirannya. Lebih kepada dengan memberinya sebuah senyuma

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status