Keadaan semakin sore dan redup. Suasana di ujung terminal masih sangat ramai. Aku memeluk erat tubuh anak bungsuku yang ikut bersamaku. Aku bahkan tidak peduli dengan anak sulungku yang akan segera menderita oleh ayahnya.
Namun, aku pasti akan kembali untuk melakukan sesuatu.
‘Fathan, kau harus bersabar! Mama bakal jemput kamu, kamu nggak usah khawatir lagi.’
Aku sudah menekan niat minggat agar menjauhi keluarga baru ini. Padahal, sudah cukup bagiku penderitaan yang berulang-ulang selama belasan tahun lamanya.
Bus menuju Toboali telah terlihat di depan, kami segera memasuki dan duduk di tengah. Secepatnya, aku menenteng tas besar sambil menggendong putri bungsu. Meninggalkan kota Pangkal Pinang yang memang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Jodoh yang sudah diatur oleh Allah memang tidak bisa dielak lagi. Hari ini, aku harus pupus oleh pengusiran suami terhadapku. Sialnya, suamiku tidak menyebutkan talak tiga yang berarti kami akan berpisah.
Aku duduk di tengah badan bus bersama Elvina yang terus bertanya-tanya. Suara si kecil itu begitu berisik, bahkan berada di dalam. Aku harus melirik pelan wajah si kecil ini.
“Mama, kita mau ke mana?”
“Papa marah? Kenapa papa pukul mama tadi? Papa jahat.”
“Tapi kita akan pulang kan, Ma?”
“Mama nggak boleh marah-marah. Papa sebenarnya juga baik kok sama Vivin.” Elvina yang biasa dipanggil Vivin.
Anak sekecil itu merasa empati apa yang dirasakan olehnya. Aku terenyuh saat bola mata si bungsu terpancar nanar dan serius.
“Kita akan ke rumah nenekmu di Toboali!” ungkapku sambil membelai rambut halus Elvina.
Tampaknya, Elvina kembali membalas tatapanku dengan penuh rasa iba. Kami masih saja memandang, kemudian menatap perjalanan tengah perkotaan yang mengagumkan. Suara berisik kota menyempitkan kisah pilu. Apalagi irama dalam bus terbawa suasana.
Aku merenung, seakan pikiran mengarah masa lalu yang kelam. Tapi tidak untuk kali ini. Aku tidak akan mengulangi kenangan masa lalu, kepalaku akhirnya menggeleng.
‘Aku nggak boleh inget lagi.’
Aku menutupi mata rapat. Dimana perjalanan kami akhirnya berhenti pada terminal lama yang cocok. Aku merasa lebih lega setelah tiba di sana. Padahal, aku hanya memegang sedikit uang.
Terlihat di balik dompet hanya beberapa lembar uang merah, sisanya hanya ribuan saja. Gaji yang baru aku dapatkan sudah diberikan kepada suamiku yang licik. Sungguh menyakitkan! Ini sungguh tidak adil bagiku.
Aku menyusuri jalanan sempit bersama si bungsu menuju jalanan berkelok di antara perumahan. Sudut-sudut yang telah diterangi lampu jalan. Bayangan gelap semakin menyeramkan. Suasana perumahan cukup lebih sunyi dari biasanya.
Aku memandang satu rumah yang tidak berpenghuni lagi. Pemberhentian sudah di depan pagar rumah. Bangunan ini tidaklah semewah yang dibayangkan. Memang bertingkat dan berkesan nyaman. Hanya saja di sana tidak terlihat kehidupan.
“Mama, nenek udah nggak ada lagi. Kenapa kita harus ke sini?”
Elvina lagi-lagi cerewet, anak seusianya memang banyak celopar. Aku tidak sempat menyahut, hatiku masih tersisa gundah yang tergores dari ucapan ayahnya.
“Mama sama papamu juga banyak tingkah! Suka menyusahkan orang lain. Lihat aja usahanya sampai bangkrut! Heuh! Bilang aja mereka itu udah nipu banyak orang.”
Kalimat itu kembali terngiang di ujung benakku. Bagaimana bisa aku melupakannya? Aku terus terkenang sampai hati seorang perempuan menemukan jalan keluar. Aku menutup mata, rasa yang memilukan cukup mengiris kalbu.
Aku meraih kunci yang ada di balik tas besar. Secara perlahan kunci pagar terbuka. Kami masuk ke halaman yang memang tidak terlalu luas. Seukuran itu tidak bisa menampung banyak orang.
Pintu utama telah di depan mata. Tiba-tiba sesosok masa lalu terbayang di penglihatanku.
***
Pintu terbuka sendirinya. Seorang wanita tua membuka sambil merentangkan kedua tangannya. Raut si nenek menyambut cucu yang tinggal di Pangkal Pinang. Cukup jauh. Seorang anak lelaki berusia sama dengan Elvina memasuki dan mendekap erat tubuh si nenek.
“Nenek!”
Fathan kecil sangat bersemangat.
“Wah, cucu nenek!”
“Ayo masuk Fathan!”
Keramaian membekuk di saat kebahagiaan mereka memiliki seorang cucu.
***
Aku menghamburkan lamunan masa lalu. Pintu utama dibuka, tanpa sadar kalau Elvina telah memekik padaku.
“Mama!”
“Mama!”
Teriakan Elvina mengejutkanku, sedangkan aku baru sadar kalau suara berisik dan desakan tangan si bungsu begitu mendorongku.
Aku terperanjak, menoleh ke bawah sebelah kanan. Dimana Elvina menggoyang-goyangkan tubuhku begitu kacau.
“Ayo kita masuk!”
Ruangan yang sangat gelap, tidak satu pun yang terlihat di sana. Aku harus meraba pelan di sekitar dinding sebelah kiri. Jemariku menemukan petakan kecil lalu menekan tombol lampu. Cahaya terang menerangi ruang tengah yang tidak seberapa luas.
Tampaknya, sudah sangat berdebu karena telah sekian lama ditinggalkan. Namun, kondisi rumah masih tetap terjaga.
‘Pasti paman sering melihat rumah ini.’
Pandanganku menyapu ke seluruh ruangan. Elvina bergerak sangat cepat, kakinya bahkan tidak takut pada rumah yang tidak berpenghuni lagi. Suasana sunyi di penghujung malam mengurung kami pada situasi kurang nyaman.
Tinggal di rumah yang sudah tak berpenghuni. Kesunyian mengusik pilu secara bersamaan. Satu kamar yang cocok untuk kami beristirahat. Ditutupi oleh banyak kain putih, sedangkan Elvina sangat berani melangkah masuk.
Aku membereskan sebagian sudut kamar hingga beberapa seprai baru dipakai ke tempat tidur. Terkesan nyaman setelah diganti. Kami memang jarang sekali pulang setelah kedua orang tuaku meninggal dunia.
Elvina tidak peduli dengan kesepian, kakinya sangat semangat menaiki dan melompat-lompat di atas kasur.
“Elvina, jangan nakal!”
Aku melarang si bungsu untuk bertingkah lebih nakal lagi. Elvina menghampiriku yang mencoba mencegahnya bermain di atas kasur.
Kepiluannya mengusik kesendirian. Aku merobohkan tubuhku yang telah berjam-jam duduk di dalam bus. Kami berdua saling berpelukan. Rasa lelah hampir melupakan pertengkaran dengan suamiku. Nyatanya tidak, dia malah terngiang dan terus terbayang.
Mataku mencoba menutup rapat, sampai benar-benar melupakan dirinya.
***
Keesokan hari, ruangan yang tadinya kosong kini telah diramaikan oleh suara berisik Elvina. Aku begitu cekatan dalam mengurusi rumah. Pikiranku sudah lebih baik, tanganku tetap saja membereskan rumah yang berdebu.
Kepalaku mendongak, memperhatikan jam dinding yang tak lagi berdentang. Kemudian mata melihat sekilas posisi ponsel pintar di atas meja. Sudah menunjukkan pukul tiga sore.
Tok! Tok! Tok!
Aku terlonjak ketika ada yang mengetuk pintu sore-sore begini. Secepat aku melangkah.
‘Apa mungkin paman?’
Pikirku dalam hati.
Pintu kubuka tanpa rasa sadar dan takut. Diharapkan seorang paman yang dekat denganku, nyatanya bukan. Abbas berdiri dengan raut sendu sambil merundukkan kepala. Aku yang sedang memegangi sapu kecil kini terlepas. Tidak mungkin!
“Ma, kamu nggak mau pulang? Aku mau jemput kamu pulang ke rumah,” lirih Abbas malu-malu.
Tidak terbayangkan olehku jika para tetangga melihat kalau kami sedang berpisah rumah. Dengan kepala dingin, bahkan dengan segala kerinduan serta kekhilafannya aku memaafkan suamiku.
Aku terbuai dan tidak ingin dilihat para tetangga tentang keburukan suamiku. Memang sangat terluka, tetapi aku merasa tidak nyaman. Abbas mendorong tubuhnya sambil memegangi tanganku. Aku runtuh dan mengingat segala kebaikannya untuk kembali pulang.
“Aku janji nggak akan ngulangin lagi.” Abbas memelas dengan raut pilunya.
“Fathan, ini kenapa? Nenek kenapa marahin kamu?”Dengan nada paling lemah, garis keningku mulai mengeriput, kemudian ditundukkan ke arah Fathan yang tubuhnya belum setinggi diriku.Di sekujur tubuh Fathan mematung bisu. Nada irama ibu mertuaku belum juga menurun, tetapi Fathan sudah menunjukkan reaksi cemas. Dua tangannya saling menyatu, sedangkan pandangannya diarahkan ke lain tempat.Melihatnya cukup tak tega karena dia buah hatiku yang pertama. Dengan penuh perasaan, aku harus membujuk ibuku yang sedari tadi keluar sambil mengeluarkan kata-kata buruknya. “Ma, maafin Fathan kalo udah buat salah ke neneknya.” Aku sambil menarik lengan Fathan agar tidak jauh dariku.Mata nanar ibu mertuaku menyorot tajam. Lekukan urat nadinya menggeliat di sekitaran badan leher. “Apa?! Iya, kamu pasti mau bela dia kan? Punya anak jangan terlalu dimanjakan, lihat kelakuannya.”Tangan ibu mertuaku menunjuk ke dua sisi berbeda, belakang hingga ke depan kami. “Ambil sandal mau lemp
Ninda yang muda dan tidak banyak bicara. Sementara Elina berkebalikan dari Ninda, dia setara denganku, dan dia sangat aktif.Setelah mengisi perut di kantin, kami kembali disibukkan di ruang kelas masing-masing. Tampak guru lain yang sama sekali tidak menghiraukan hiruk pikuk di salah satu kelas. Tapi sudahlah, itu sudah menjadi urusan wali kelas di kelas tersebut.Beberapa jam berlalu mengajar murid di kelas, perasaan yang nyaris padam. Mata hampir lelah karena sekian menit per detik dilewati. “Sampai jumpa lagi, Bu Haira!”Teriakan anak manis dari kelas ini sangat ceria. Mereka menyenangi guru yang lemah lembut. Tentunya aku tidak begitu. Aku hanya berkamuflase, ah sebenarnya aku memang tidak ingin kasar-kasar terhadap anak kecil.Mereka butuh kasih sayang supaya pikiran serta hatinya tidak cedera.Dengan sepeda motor, aku pun menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu. Seperti biasanya, aku pun mendapati panggilan masuk dari ponsel di balik tas ransel sa
Kisah tentang bu Maina cukup mengesankan. Ternyata, setelah ditelusuri, ibu Maina memiliki ikatan kekeluargaan yang sudah jauh dari keluarga sang suami. Herannya, aku tidak pernah melihat mereka saling berkumpul atau setidaknya bertemu.Dari kejadian dan cerita para tetangga, hari ini aku paham betul, semuanya memiliki rahasia jitu. Sudahlah, hari ini akan fokus mengajar di kelas tercinta.Di sekolah dasar sudah menunggu kehadiranku, walau pada dasarnya, aku hanyalah pendidik honorer.Setelah mengajar setidaknya empat puluh lima menit di kelas, istirahat pun memanggil. “Hore, makan nasi liwet!” “Mana ada nasi liwet?”Beberapa dari mereka berombongan mulai bercakapan. Antar gadis—dan anak laki-laki. Mereka langsung keluar tanpa harus mengantre, bahkan ada yang saling mendorong. “Eh, hayo jangan saling dorong, ntar temennya kecedat pintu!” seruku mengkhawatirkan seisi ruangan kelas. “Oke, Bu.”Dasar jawaban anak zaman now. Mereka tak perna
Dari sore hingga ke malam. Setelah mandi dan menjalankan kewajiban ibadah. Malam menyongsong indah dengan menampilkan suasana dingin di depan rumah. Sinar putih bersinar malu-malu menerobos ke pepohonan.Bulan terang, alias bulan purnama di malam hari. Sampai saat ini, kami tak pernah mendiami rumah dengan keharmonisan. Suamiku bukan orang yang romantis. Memberinya kejutan di hari ulang tahun pun tak diinginkannya. Jangan mau berharap sesuatu yang manis, dirinya bahkan tak pernah merayakannya. “Kenapa bengong lihatin bulan? Kerjaan masih numpuk nih!”Abbas mulai berteriak ringan, sekarung bawang sudah dimasukkan ke dalam gudang sebelah rumah. Buatannya yang menjadi andalan menyimpan barang dagangan. Tangan serta penglihatanku salah tingkah. Tadinya yang sempat mengintip warna bulan, akhirnya mengurungkan niat untuk berkhayal. “Udah selesai,” ucapku sambil memasukkan sebagian kol yang sudah dibersihkan ke dalam karung.Sayuran yang besoknya akan diba
Gosip, itu yang biasa dilakukan oleh para ibu-ibu di kampung—tempat aku bermukim. Setidaknya, aku hanya bisa mendengar setiap ocehan mereka, tidak menanggapi terlalu mengerikan. Kelak, aku pasti akan menjadi sorotan bahwa diriku termasuk anggota kampung yang sok.Bagaimana mungkin? Aku masih termasuk orang baru tinggal di sini. Terhitung sejak usia pernikahan kami yang sudah menginjak 10 tahun lebih. Bahkan Fathan pun sudah sembilan tahun bersama kami.Sulit dipercaya kalau aku bukan yang pertama kalinya bergabung dengan mereka mendengar gosip terhangat. “Nongkrong mulu! Kerjaan suami masih banyak, istrinya kelayapan.” Keluhan pertama Abbas ketika aku belum sempat menginjakkan kaki ke halaman rumah.Elvina masih dalam gandenganku, tak lama kemudian, Fathan menyusul dari arah berbeda—dan dia pasti baru pulang dari rumah neneknya. “Mama!” teriaknya dengan kencang. “Jarang-jarang, Bang, lagian kerjaan saya udah beres kok di rumah.”
Sepertinya hubungan baik dalam keluargaku mulai rukun. Namun, tentu saja aku tak boleh memperlihatkan wajah ceriaku yang berlebihan. Takut jika aku melakukan kesalahan. Terutama kepada ibu mertuaku, yang dimana nanti dia tiba-tiba berubah drastis. Marah besar.Dalam keseharian ini, aku berjumpa dengan banyak orang di sekolah, maupun dengan tetangga. Ada waktunya aku menetap pada satu kerukunan antar tetangga. Duduk bersama mereka yang selalu melontar ghibah. “Eh, kalian kenal sama Maina nggak?” Salah satu ibu mulai menggerakkan tangannya. Ya, si pemilik toko depan memulai gosip baru, ketika beberapa ibu-ibu lainnya sedang asyik berbicara ceria.Dalam sesaat suasana wajah mereka hening. Tak hanya mereka, tetapi juga diriku. Menoleh karena begitu penasaran. “Maina, siapa?” Lena—pengasuh Elvina tanggap.Kali ini perkumpulan kami hanya orang-orang pilihan. Ada tiga ibu lainnya yang masih sebaya denganku. “Itu tetangga lama kita, katanya sih