Share

Terbersit Masa Lalu

Author: Rossystories
last update Last Updated: 2023-07-08 11:52:24

Aku tidak akan mematung diam ketika melihat Fathan merajuk kesal terhadap sang nenek. Kakiku gesit menuju kamar mereka, membuka pintu lalu menghampirinya yang sedang duduk menatap jendela. Menjadi seorang ibu, aku harus membujuk si sulung sambil mengelus rambut pendeknya.

“Fathan, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Kan nenek lagi capek. Lagian ini salah mama juga sih ngizinin kalian datang ke rumah nenek. Nenek jadi marah.” Tangan sebelahku masih menopang kuat tubuh Elvina yang mulai mereda setelah melihat tingkah si sulung.

Jemariku terus menggosok dan mengelus rambut Fathan. Melirik sang buah hati pasti merasakan lara setelah mendapati sifat nenek yang pemarah. Aku pun duduk untuk membuatnya merasa nyaman.

“Tapi nenek jahat, Ma. Dia udah ngatain mama.” Fathan masih saja cemberut, segala rautnya bergelimpang menggerutu berat.

“Udah, nenek marah karena sayang. Jadi kamu nggak usah ambil hati,” bujukku. “Udah, ini juga udah sore. Kamu mandi gih!”

Perintahku menggerakan hati Fathan untuk segera beranjak dari kemarahannya. Anak sembilan tahun itu dengan gesit berlalu sambil mengendurkan emosi kesal. Walau ya … wajahnya tetap saja merengut.

Tapi aku jadi tenang!

Pikiranku mulai terabaikan pada satu ingatan kemarahan ibu mertua. Akan tetapi, aku masih terbayang-bayang ketika aku melahirkan anak kedua.

***

Empat tahun yang lalu.

Aku baru melahirkan seorang bayi perempuan. Ibu mertuaku melempari semua barang milikku dari rumahnya. Bahkan kami baru pindahan, sedangkan beliau bersikeras mengusirku.

Aku harus menyusui anak perempuan ini di kamar. Sialnya, terdengar suara jeritan dari luar.

“Lihatlah keluargamu itu! Mereka hanya bisa nyusahin aku. Setiap kau melahirkan, kau selalu menganggapku layaknya pembantumu!”

“Mama, berisik! Istriku baru saja melahirkan. Pulang sana!” bentak Abbas kepada ibunya sendiri.

Kemarahan yang diluapkan dari seorang wanita tidak akan berhenti begitu saja.

Aku terisak tangis di balik kamar. Sementara di luar, ibu mertua memecah suasana kebahagiaan menjadi sangat mencekam. Menegang karena sahutan yang saling melempar kata buruk.

“Aku udah kayak pembantu. Tega banget kalian nyuruh dan nggak peduli sama aku di rumah sakit kemarin. Lihat sepupumu yang nggak mau kerja, hanya bisa duduk nyantai, suka memerintah. Hatiku hancur!”

Aku masih saja mengurung diri di kamar. Sementara Abbas mengunci pintu rumah rapat-rapat agar ibunya tidak lebih dekat saat marah. Sungguh memalukan! Entah bagaimana kalau para tetangga mendengar suara melengking dari ibu mertuaku?

Abbas memasuki kamar dengan raut gelisahnya. Walau dia termasuk suami yang kasar, tetapi hatinya mengalahkan orang baik.

“Bersabarlah! Ibuku memang gitu dari dulu. Aku nggak ingin ngelukai hidupku dengan cara hidup kayak gini. Aku juga malu.”

Abbas menundukkan pandangan, kakinya mulai bergeser mendekati diriku. Aku hanya menahan sakit lewat air mata yang mengalir di pelupuk. Hingga basah kuyup pun tidak bisa melupakan tragedi hari itu.

Sejarah baru telah mengukir kisah di kehidupanku. Menjadi menantu yang tadinya benar-benar baik, malah salah jalan. Apalagi, rumah kami begitu dekat dengan rumah ibu mertua. Yang dekat akan terburuk dan berbau busuk, sedangkan yang jauh akan selalu baik dan wangi.

Jangan pernah katakan apa pun kepada mertuamu jika itu menyakitkan! Jangan lakukan hal terburuk bagi mereka. Karena hati mereka, tidak akan selalu sama. Aku adalah saksi, sebagai istri yang merelakan hidup bersama sang suami.

Tinggal jauh dari kerabat dekat, saudara, apa lagi kedua orang tuaku sudah meninggal dunia.

‘Rasanya aku ingin mengungkap diriku! Tapi apalah daya, aku selalu dipandang buruk oleh ibu mertuaku.’

Maka, dalam hati aku telah putus asa. Abbas menekan batinnya dalam lara. Pilunya mendengar suara keras dari luar yang masih terus-menerus sampai ke liang tetangga.

“Aku muak! Aku nggak bakal anggap kalian anak lagi. Hari ini, jangan panggil aku mama! Kalian udah bukan anakku lagi.”

“Bisa-bisanya kalian nyiapin makanan pedas buatku. Mau bunuh aku, ya!”

“Kau itu jangan sok! Sok jadi orang kaya, terkenal, dan mau dibangga banyak orang. Jangan ngayal!! Hidupmu aja susah, dasar pemalas! Tidur sampai segendut itu. Pulang kerja bukannya ngerjaian kerjaan rumah. Eehh … malah tidur, enak-enakan telponan sama orang.”

“Emang kamu itu pejabat apa?! Gaji juga nggak seberapa. Lagaknya selangit!”

Kalimat ibu mertuaku seakan-akan telah dirasuki oleh iblis bejat.

Lagi-lagi, Cantika—ibu mertuaku memekik dengan sangat keras. Memalukan. Terlihat jelas wajah memerah padamnya berkeringat basah menyucur deras ke segala pipinya. Abbas mengintip reaksi ibunya dari balik kaca jendela. Padahal, ini masih terang benderang, dia bahkan tidak malu.

“Aduh, ibu ini! Rasanya aku ingin menyahut. Tapi kata-katanya sudah nggak bisa dipercaya lagi.”

“Sudahlah, Bang. Lagipula aku memang menantu yang kurang ajar, tidak sempurna, buruk dan keparat! Aku sudah sepantasnya dianggap seperti itu.”

Aku melempar kata-kata putus asa, tetapi Abbas hanya terdiam. Iba melihat kondisiku yang sedang tidak baik. Aku bahkan belum melalui malam empat puluh hari, tapi sudah mendapat perlakuan buruk.

Apa lagi ibu mertuaku sudah seperti orang gila.

***

Aku tersadar, lalu secepat kilat mengarah putri kedua. Elvina sudah tidak menangis lagi. Keasyikannya sudah memegangi mainan yang ada di bawah lantai. Pandangan yang tadinya penuh kenangan buruk kemarahan si mertua kepadaku. Kini telah usai.

***

Hari berlalu dengan cepat. Aku kembali dengan membawa amplop berisi uang gaji bulanan. Baru saja aku tiba di depan pintu. Abbas kembali dibutakan dengan amarah yang kian membuncah.

“Kenapa kamu tinggalin Elvina gitu aja di rumah?! Aku harus ngejemput anakmu dan jagain mereka. Kerjaanku di pasar sampe aku tinggalin,”

“mana gajimu?! Cepat kesinikan!”

Abbas maju, menjulurkan tangannya dengan sangat panjang.

“Bang, bisa nggak kamu sedikit lebih lembut kepada istrimu yang baru pulang? Aku lelah, perjalananku sangat jauh. Belasan kilometer itu nggak dekat lho, Bang! Ini juga udah sore, kenapa kamu nggak punya hati sih?!” Aku akhirnya menyela.

“Kamu pasti udah ngasih sebagian gajimu ke kerabatmu, kan? Mereka itu apa? Cuma bisa nyusahin!”

“Mama sama papamu juga banyak tingkah! Suka menyusahkan orang lain. Lihat aja usahanya sampai bangkrut! Heuh! Bilang aja mereka itu udah nipu banyak orang.”

“Bang, cukup! Jangan bawa-bawa orang yang udah mati lagi. Kamu itu udah keterlaluan!”

Abbas memelotot tajam setelah balasanku sedikit berani.

“Kau ini ngelunjak, ya? Dasar istri nggak tahu diri!”

Abbas melempari tangan kekarnya menghantam kepalaku. Sehingga, aku harus terdorong oleh perlawanan.

“Begitu besar kau benci keluargaku, Bang?” Aku tak kuasa menahan rasa tabah, dan akhirnya mengeluarkan butir air mata dari pelupuk yang kendur bergerak-gerak lemah. Tanganku melempar amplop yang sudah berisi gaji bulanan ke atas meja tamu.

Abbas sama sekali tidak menghiraukanku yang sudah terluka. Bahkan wajahnya berpaling dari hadapanku sambil meraih amplop milikku. Aku melihat keganasan suami yang selalu berulang-ulang. Kenapa sampai saat ini aku tidak bisa pergi meninggalkan suamiku?

Hidupku harus bertahan dengan kondisi beranak dua.

“Kalau aku tahu begini, aku nggak bakal nikah sama kamu. Masih banyak lelaki yang mau nikahin aku!”

Serangan balasan dariku kian memanas. Abbas naik pitam, tangannya kembali terdorong tapi tidak menyentuhku. Dengan keras dia memekik. “Oke! Cari aja yang baru. Sekarang, bawa semua barangmu!”

Pengusiran tak mengurungkan niatku. Emosi kami sama-sama memuncak. Sehingga, aku berangkat dan membereskan semua barang milikku beserta putri bungsu. Tidak lagi menyahut atau pun meminta izin. Karena kesal dan sakit, aku segera keluar dari rumah itu.

“Sekarang, jangan cari aku lagi!”

Aku bahkan tidak takut dengan karma serta balasan dari suamiku sendiri. Abbas menegang sembari menatap kepergian kami berdua.

‘Dasar suami kejam!’

Aku terus membawa kekesalan bersama Elvina yang masih berusia empat tahun. Tidak peduli malam akan menjemput kami, aku harus meninggalkan Abbas di rumah bersama putra sulungnya. Adil.

Lalu, ke mana kami akan pergi?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Tidak dengan Kekerasan

    “Fathan, ini kenapa? Nenek kenapa marahin kamu?”Dengan nada paling lemah, garis keningku mulai mengeriput, kemudian ditundukkan ke arah Fathan yang tubuhnya belum setinggi diriku.Di sekujur tubuh Fathan mematung bisu. Nada irama ibu mertuaku belum juga menurun, tetapi Fathan sudah menunjukkan reaksi cemas. Dua tangannya saling menyatu, sedangkan pandangannya diarahkan ke lain tempat.Melihatnya cukup tak tega karena dia buah hatiku yang pertama. Dengan penuh perasaan, aku harus membujuk ibuku yang sedari tadi keluar sambil mengeluarkan kata-kata buruknya. “Ma, maafin Fathan kalo udah buat salah ke neneknya.” Aku sambil menarik lengan Fathan agar tidak jauh dariku.Mata nanar ibu mertuaku menyorot tajam. Lekukan urat nadinya menggeliat di sekitaran badan leher. “Apa?! Iya, kamu pasti mau bela dia kan? Punya anak jangan terlalu dimanjakan, lihat kelakuannya.”Tangan ibu mertuaku menunjuk ke dua sisi berbeda, belakang hingga ke depan kami. “Ambil sandal mau lemp

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Kedatangan Sang Paman

    Ninda yang muda dan tidak banyak bicara. Sementara Elina berkebalikan dari Ninda, dia setara denganku, dan dia sangat aktif.Setelah mengisi perut di kantin, kami kembali disibukkan di ruang kelas masing-masing. Tampak guru lain yang sama sekali tidak menghiraukan hiruk pikuk di salah satu kelas. Tapi sudahlah, itu sudah menjadi urusan wali kelas di kelas tersebut.Beberapa jam berlalu mengajar murid di kelas, perasaan yang nyaris padam. Mata hampir lelah karena sekian menit per detik dilewati. “Sampai jumpa lagi, Bu Haira!”Teriakan anak manis dari kelas ini sangat ceria. Mereka menyenangi guru yang lemah lembut. Tentunya aku tidak begitu. Aku hanya berkamuflase, ah sebenarnya aku memang tidak ingin kasar-kasar terhadap anak kecil.Mereka butuh kasih sayang supaya pikiran serta hatinya tidak cedera.Dengan sepeda motor, aku pun menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu. Seperti biasanya, aku pun mendapati panggilan masuk dari ponsel di balik tas ransel sa

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Kantin Bu Melda

    Kisah tentang bu Maina cukup mengesankan. Ternyata, setelah ditelusuri, ibu Maina memiliki ikatan kekeluargaan yang sudah jauh dari keluarga sang suami. Herannya, aku tidak pernah melihat mereka saling berkumpul atau setidaknya bertemu.Dari kejadian dan cerita para tetangga, hari ini aku paham betul, semuanya memiliki rahasia jitu. Sudahlah, hari ini akan fokus mengajar di kelas tercinta.Di sekolah dasar sudah menunggu kehadiranku, walau pada dasarnya, aku hanyalah pendidik honorer.Setelah mengajar setidaknya empat puluh lima menit di kelas, istirahat pun memanggil. “Hore, makan nasi liwet!” “Mana ada nasi liwet?”Beberapa dari mereka berombongan mulai bercakapan. Antar gadis—dan anak laki-laki. Mereka langsung keluar tanpa harus mengantre, bahkan ada yang saling mendorong. “Eh, hayo jangan saling dorong, ntar temennya kecedat pintu!” seruku mengkhawatirkan seisi ruangan kelas. “Oke, Bu.”Dasar jawaban anak zaman now. Mereka tak perna

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Tentang Ibu Maina

    Dari sore hingga ke malam. Setelah mandi dan menjalankan kewajiban ibadah. Malam menyongsong indah dengan menampilkan suasana dingin di depan rumah. Sinar putih bersinar malu-malu menerobos ke pepohonan.Bulan terang, alias bulan purnama di malam hari. Sampai saat ini, kami tak pernah mendiami rumah dengan keharmonisan. Suamiku bukan orang yang romantis. Memberinya kejutan di hari ulang tahun pun tak diinginkannya. Jangan mau berharap sesuatu yang manis, dirinya bahkan tak pernah merayakannya. “Kenapa bengong lihatin bulan? Kerjaan masih numpuk nih!”Abbas mulai berteriak ringan, sekarung bawang sudah dimasukkan ke dalam gudang sebelah rumah. Buatannya yang menjadi andalan menyimpan barang dagangan. Tangan serta penglihatanku salah tingkah. Tadinya yang sempat mengintip warna bulan, akhirnya mengurungkan niat untuk berkhayal. “Udah selesai,” ucapku sambil memasukkan sebagian kol yang sudah dibersihkan ke dalam karung.Sayuran yang besoknya akan diba

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Kakak-Beradik

    Gosip, itu yang biasa dilakukan oleh para ibu-ibu di kampung—tempat aku bermukim. Setidaknya, aku hanya bisa mendengar setiap ocehan mereka, tidak menanggapi terlalu mengerikan. Kelak, aku pasti akan menjadi sorotan bahwa diriku termasuk anggota kampung yang sok.Bagaimana mungkin? Aku masih termasuk orang baru tinggal di sini. Terhitung sejak usia pernikahan kami yang sudah menginjak 10 tahun lebih. Bahkan Fathan pun sudah sembilan tahun bersama kami.Sulit dipercaya kalau aku bukan yang pertama kalinya bergabung dengan mereka mendengar gosip terhangat. “Nongkrong mulu! Kerjaan suami masih banyak, istrinya kelayapan.” Keluhan pertama Abbas ketika aku belum sempat menginjakkan kaki ke halaman rumah.Elvina masih dalam gandenganku, tak lama kemudian, Fathan menyusul dari arah berbeda—dan dia pasti baru pulang dari rumah neneknya. “Mama!” teriaknya dengan kencang. “Jarang-jarang, Bang, lagian kerjaan saya udah beres kok di rumah.”

  • Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku   Ada yang Berpura-pura Miskin

    Sepertinya hubungan baik dalam keluargaku mulai rukun. Namun, tentu saja aku tak boleh memperlihatkan wajah ceriaku yang berlebihan. Takut jika aku melakukan kesalahan. Terutama kepada ibu mertuaku, yang dimana nanti dia tiba-tiba berubah drastis. Marah besar.Dalam keseharian ini, aku berjumpa dengan banyak orang di sekolah, maupun dengan tetangga. Ada waktunya aku menetap pada satu kerukunan antar tetangga. Duduk bersama mereka yang selalu melontar ghibah. “Eh, kalian kenal sama Maina nggak?” Salah satu ibu mulai menggerakkan tangannya. Ya, si pemilik toko depan memulai gosip baru, ketika beberapa ibu-ibu lainnya sedang asyik berbicara ceria.Dalam sesaat suasana wajah mereka hening. Tak hanya mereka, tetapi juga diriku. Menoleh karena begitu penasaran. “Maina, siapa?” Lena—pengasuh Elvina tanggap.Kali ini perkumpulan kami hanya orang-orang pilihan. Ada tiga ibu lainnya yang masih sebaya denganku. “Itu tetangga lama kita, katanya sih

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status