Aku tidak akan mematung diam ketika melihat Fathan merajuk kesal terhadap sang nenek. Kakiku gesit menuju kamar mereka, membuka pintu lalu menghampirinya yang sedang duduk menatap jendela. Menjadi seorang ibu, aku harus membujuk si sulung sambil mengelus rambut pendeknya.
“Fathan, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Kan nenek lagi capek. Lagian ini salah mama juga sih ngizinin kalian datang ke rumah nenek. Nenek jadi marah.” Tangan sebelahku masih menopang kuat tubuh Elvina yang mulai mereda setelah melihat tingkah si sulung.
Jemariku terus menggosok dan mengelus rambut Fathan. Melirik sang buah hati pasti merasakan lara setelah mendapati sifat nenek yang pemarah. Aku pun duduk untuk membuatnya merasa nyaman.
“Tapi nenek jahat, Ma. Dia udah ngatain mama.” Fathan masih saja cemberut, segala rautnya bergelimpang menggerutu berat.
“Udah, nenek marah karena sayang. Jadi kamu nggak usah ambil hati,” bujukku. “Udah, ini juga udah sore. Kamu mandi gih!”
Perintahku menggerakan hati Fathan untuk segera beranjak dari kemarahannya. Anak sembilan tahun itu dengan gesit berlalu sambil mengendurkan emosi kesal. Walau ya … wajahnya tetap saja merengut.
Tapi aku jadi tenang!
Pikiranku mulai terabaikan pada satu ingatan kemarahan ibu mertua. Akan tetapi, aku masih terbayang-bayang ketika aku melahirkan anak kedua.
***
Empat tahun yang lalu.
Aku baru melahirkan seorang bayi perempuan. Ibu mertuaku melempari semua barang milikku dari rumahnya. Bahkan kami baru pindahan, sedangkan beliau bersikeras mengusirku.
Aku harus menyusui anak perempuan ini di kamar. Sialnya, terdengar suara jeritan dari luar.
“Lihatlah keluargamu itu! Mereka hanya bisa nyusahin aku. Setiap kau melahirkan, kau selalu menganggapku layaknya pembantumu!”
“Mama, berisik! Istriku baru saja melahirkan. Pulang sana!” bentak Abbas kepada ibunya sendiri.
Kemarahan yang diluapkan dari seorang wanita tidak akan berhenti begitu saja.
Aku terisak tangis di balik kamar. Sementara di luar, ibu mertua memecah suasana kebahagiaan menjadi sangat mencekam. Menegang karena sahutan yang saling melempar kata buruk.
“Aku udah kayak pembantu. Tega banget kalian nyuruh dan nggak peduli sama aku di rumah sakit kemarin. Lihat sepupumu yang nggak mau kerja, hanya bisa duduk nyantai, suka memerintah. Hatiku hancur!”
Aku masih saja mengurung diri di kamar. Sementara Abbas mengunci pintu rumah rapat-rapat agar ibunya tidak lebih dekat saat marah. Sungguh memalukan! Entah bagaimana kalau para tetangga mendengar suara melengking dari ibu mertuaku?
Abbas memasuki kamar dengan raut gelisahnya. Walau dia termasuk suami yang kasar, tetapi hatinya mengalahkan orang baik.
“Bersabarlah! Ibuku memang gitu dari dulu. Aku nggak ingin ngelukai hidupku dengan cara hidup kayak gini. Aku juga malu.”
Abbas menundukkan pandangan, kakinya mulai bergeser mendekati diriku. Aku hanya menahan sakit lewat air mata yang mengalir di pelupuk. Hingga basah kuyup pun tidak bisa melupakan tragedi hari itu.
Sejarah baru telah mengukir kisah di kehidupanku. Menjadi menantu yang tadinya benar-benar baik, malah salah jalan. Apalagi, rumah kami begitu dekat dengan rumah ibu mertua. Yang dekat akan terburuk dan berbau busuk, sedangkan yang jauh akan selalu baik dan wangi.
Jangan pernah katakan apa pun kepada mertuamu jika itu menyakitkan! Jangan lakukan hal terburuk bagi mereka. Karena hati mereka, tidak akan selalu sama. Aku adalah saksi, sebagai istri yang merelakan hidup bersama sang suami.
Tinggal jauh dari kerabat dekat, saudara, apa lagi kedua orang tuaku sudah meninggal dunia.
‘Rasanya aku ingin mengungkap diriku! Tapi apalah daya, aku selalu dipandang buruk oleh ibu mertuaku.’
Maka, dalam hati aku telah putus asa. Abbas menekan batinnya dalam lara. Pilunya mendengar suara keras dari luar yang masih terus-menerus sampai ke liang tetangga.
“Aku muak! Aku nggak bakal anggap kalian anak lagi. Hari ini, jangan panggil aku mama! Kalian udah bukan anakku lagi.”
“Bisa-bisanya kalian nyiapin makanan pedas buatku. Mau bunuh aku, ya!”
“Kau itu jangan sok! Sok jadi orang kaya, terkenal, dan mau dibangga banyak orang. Jangan ngayal!! Hidupmu aja susah, dasar pemalas! Tidur sampai segendut itu. Pulang kerja bukannya ngerjaian kerjaan rumah. Eehh … malah tidur, enak-enakan telponan sama orang.”
“Emang kamu itu pejabat apa?! Gaji juga nggak seberapa. Lagaknya selangit!”
Kalimat ibu mertuaku seakan-akan telah dirasuki oleh iblis bejat.
Lagi-lagi, Cantika—ibu mertuaku memekik dengan sangat keras. Memalukan. Terlihat jelas wajah memerah padamnya berkeringat basah menyucur deras ke segala pipinya. Abbas mengintip reaksi ibunya dari balik kaca jendela. Padahal, ini masih terang benderang, dia bahkan tidak malu.
“Aduh, ibu ini! Rasanya aku ingin menyahut. Tapi kata-katanya sudah nggak bisa dipercaya lagi.”
“Sudahlah, Bang. Lagipula aku memang menantu yang kurang ajar, tidak sempurna, buruk dan keparat! Aku sudah sepantasnya dianggap seperti itu.”
Aku melempar kata-kata putus asa, tetapi Abbas hanya terdiam. Iba melihat kondisiku yang sedang tidak baik. Aku bahkan belum melalui malam empat puluh hari, tapi sudah mendapat perlakuan buruk.
Apa lagi ibu mertuaku sudah seperti orang gila.
***
Aku tersadar, lalu secepat kilat mengarah putri kedua. Elvina sudah tidak menangis lagi. Keasyikannya sudah memegangi mainan yang ada di bawah lantai. Pandangan yang tadinya penuh kenangan buruk kemarahan si mertua kepadaku. Kini telah usai.
***
Hari berlalu dengan cepat. Aku kembali dengan membawa amplop berisi uang gaji bulanan. Baru saja aku tiba di depan pintu. Abbas kembali dibutakan dengan amarah yang kian membuncah.
“Kenapa kamu tinggalin Elvina gitu aja di rumah?! Aku harus ngejemput anakmu dan jagain mereka. Kerjaanku di pasar sampe aku tinggalin,”
“mana gajimu?! Cepat kesinikan!”
Abbas maju, menjulurkan tangannya dengan sangat panjang.
“Bang, bisa nggak kamu sedikit lebih lembut kepada istrimu yang baru pulang? Aku lelah, perjalananku sangat jauh. Belasan kilometer itu nggak dekat lho, Bang! Ini juga udah sore, kenapa kamu nggak punya hati sih?!” Aku akhirnya menyela.
“Kamu pasti udah ngasih sebagian gajimu ke kerabatmu, kan? Mereka itu apa? Cuma bisa nyusahin!”
“Mama sama papamu juga banyak tingkah! Suka menyusahkan orang lain. Lihat aja usahanya sampai bangkrut! Heuh! Bilang aja mereka itu udah nipu banyak orang.”
“Bang, cukup! Jangan bawa-bawa orang yang udah mati lagi. Kamu itu udah keterlaluan!”
Abbas memelotot tajam setelah balasanku sedikit berani.
“Kau ini ngelunjak, ya? Dasar istri nggak tahu diri!”
Abbas melempari tangan kekarnya menghantam kepalaku. Sehingga, aku harus terdorong oleh perlawanan.
“Begitu besar kau benci keluargaku, Bang?” Aku tak kuasa menahan rasa tabah, dan akhirnya mengeluarkan butir air mata dari pelupuk yang kendur bergerak-gerak lemah. Tanganku melempar amplop yang sudah berisi gaji bulanan ke atas meja tamu.
Abbas sama sekali tidak menghiraukanku yang sudah terluka. Bahkan wajahnya berpaling dari hadapanku sambil meraih amplop milikku. Aku melihat keganasan suami yang selalu berulang-ulang. Kenapa sampai saat ini aku tidak bisa pergi meninggalkan suamiku?
Hidupku harus bertahan dengan kondisi beranak dua.
“Kalau aku tahu begini, aku nggak bakal nikah sama kamu. Masih banyak lelaki yang mau nikahin aku!”
Serangan balasan dariku kian memanas. Abbas naik pitam, tangannya kembali terdorong tapi tidak menyentuhku. Dengan keras dia memekik. “Oke! Cari aja yang baru. Sekarang, bawa semua barangmu!”
Pengusiran tak mengurungkan niatku. Emosi kami sama-sama memuncak. Sehingga, aku berangkat dan membereskan semua barang milikku beserta putri bungsu. Tidak lagi menyahut atau pun meminta izin. Karena kesal dan sakit, aku segera keluar dari rumah itu.
“Sekarang, jangan cari aku lagi!”
Aku bahkan tidak takut dengan karma serta balasan dari suamiku sendiri. Abbas menegang sembari menatap kepergian kami berdua.
‘Dasar suami kejam!’
Aku terus membawa kekesalan bersama Elvina yang masih berusia empat tahun. Tidak peduli malam akan menjemput kami, aku harus meninggalkan Abbas di rumah bersama putra sulungnya. Adil.
Lalu, ke mana kami akan pergi?
Keadaan semakin sore dan redup. Suasana di ujung terminal masih sangat ramai. Aku memeluk erat tubuh anak bungsuku yang ikut bersamaku. Aku bahkan tidak peduli dengan anak sulungku yang akan segera menderita oleh ayahnya.Namun, aku pasti akan kembali untuk melakukan sesuatu.‘Fathan, kau harus bersabar! Mama bakal jemput kamu, kamu nggak usah khawatir lagi.’Aku sudah menekan niat minggat agar menjauhi keluarga baru ini. Padahal, sudah cukup bagiku penderitaan yang berulang-ulang selama belasan tahun lamanya.Bus menuju Toboali telah terlihat di depan, kami segera memasuki dan duduk di tengah. Secepatnya, aku menenteng tas besar sambil menggendong putri bungsu. Meninggalkan kota Pangkal Pinang yang memang tidak jauh dari tempat tinggalnya.Jodoh yang sudah diatur oleh Allah memang tidak bisa dielak lagi. Hari ini, aku harus pupus oleh pengusiran suami terhadapku. Sialnya, suamiku tidak menyebutkan talak tiga yang berarti kami akan berpisah.Aku duduk di tengah badan bus bersama E
“Pulanglah! Pulang demi anakmu yang kamu tinggalin di rumah, bukan demiku.” Abbas memelas dengan raut penyesalan tanpa harus menetes buir air mata. Ya, mana mungkin pria sepertinya akan tumpah demi seorang wanita? Ini mustahil! Namun, hatiku tergerak oleh permohonannya yang tidak akan kubiarkan terlalu lama. “Baiklah, aku bakal pulang. Tapi kamu harus bisa pegang janji.” “Ya, aku janji!” tegas Abbas meranggul.Cukup singkat! Aku tidak akan banyak bicara. Kakiku mengguyur ruangan dimana Elvina duduk bersama mainannya. “Elvina, ada papa. Ayo kita pulang!” ajakku sedikit tersenyum. Elvina langsung beranjak bahagia. Kakinya langsung tertuju pada diriku, kemudian berpindah pada ayahnya. Abbas menggendong tubuh putri kecilnya dengan raut terhangat yang pernah ada. Aku melihat sekilas wajah suamiku yang memang jarang tersenyum. Hari ini aku belajar betapa banyak kenangan indah hidup bersamanya. Walau sebenarnya hidupku benar-benar pahit. Karena dia, aku jadi mengenal agama lebih baik.
Aku tahu apa yang harus aku lakukan menjadi seorang ibu beranak dua. Kakiku langsung berkirai dari sana, halaman rumah yang cukup luas untuk bersantai. Setelah mataku melihat sosok ibu mertua yang telah memasuki rumah, dan aku pun mengikuti jejak Elvina ke rumah.Pintu rumah terbuka lebar, dimana kedua anakku bermain bersama. Aku tidak menghiraukan dengan posisi mereka. Rasanya sedikit bosan ketika aku harus menguasai rumah sepenuh hariku. Apalagi aku harus bangun sepagi mungkin, sedangkan aku pulang harus lebih telat dari orang lain.Ya, jarak dari rumah ke sekolah—tempat aku mengajar cukup jauh. Mungkin jarak antara rumahku dengan kota Namang tidak terlalu dekat. Bahkan jarak yang sudah melebihi belasan kilometer dari sini.Membutuhkan waktu sekitar kurang lebih setengah jam bila menggunakan sepeda motor. Itu pun tergantung kecepatan yang kita tempuh.Kakiku langsung menuju kamar, membiarkan semua kelelahanku pada ruangan yang sempit ini. Hanya seukuran tempat tidur dan
Aku melihat rautnya si suami dengan segala ketenangan. Tampaknya dia baik-baik saja dengan sikap diamnya melangkah. Namun tiba-tiba kakinya berhenti tepat di muka pintu yang masih tertutup. Kepalanya menoleh ke balik belakang, tepat di depanku.“Hei, kamu nggak liat aku bawa banyak barang?!” tegurnya sedikit menyayat pikiranku.Maka tanganku segera meraih bungkusan yang ada di tangannya. Tidak ada kesulitan bagiku untuk merampas dari tangannya. Kemudian suamiku ini langsung membuka pintu tanpa harus menatap ramah.Ya, seperti biasa! Dia tidak akan seramah suami lain di depan mataku. Pikirku lagi.Lagi-lagi, nasib sial menghantuiku. Dia melihat dulang yang tidak terlihat apa-apa. Maka kedua mataku memelotot kaku di hadapannya. Tanganku segera menaruh bungkusan di sudut ruangan dapur.“Eh, kamu nggak masak?” Terdengar suaranya agak rendah. Tidak memulai pertengkaran, maka aku akan hati-hati untuk menyahut.Tubuhku yang geloyor untuk menaruh bungkusan yang dibawa olehnya terp
Ah! Buat apa aku melamun berdiri menghadapi masalah yang kurang pasti. Ibuku tidak gila! Tapi terkadang dia suka memarahi kami tanpa sebab. Mungkin, karena aku tadi sempat menimbrung bersama tetangga dekat, dan kemarin baru pulang dari Toboali—kampung halamanku.Tapi rasanya aku tidak percaya kalau ibu mertuaku ternyata memarahiku hanya karena berbincang dengan tetangga. Dia mungkin malu, waspada, dan cemas sendiri. Akhirnya kakiku memerintah untuk memasuki rumah.Baru saja aku menutupi pintu, terdengar suara yang memecah rumah di depan. Aku sontak terperanjak, ketika suara adik iparku ikut campur.“Bang, kenapa mama di rumah? Kayaknya dia bertengkar sama adikmu,” ungkapku khawatir. Kepalaku spontan menoleh mengarah si suami yang sedang berbaring di atas sofa tamu.“Ah, biarin ajalah! Mereka kan emang sering kayak gitu.” Suamiku malah mengalihkan pembicaraan dengan gadget yang ada dalam genggamannya.Aku harus menahan napas sejenak dan melangkah melewati dirinya. Aku tidak ingin ikut c
Ya, aku malah memalingkan wajah. Kakiku malah menghindar dari hadapan suamiku dan memasuki kamar dua anakku. Mereka sudah berbaring di atas tempat tidur masing-masing. Sebentar lagi mata lelah mereka akan tertidur pulas.“Mama buatin susu dulu, ya.” Aku menatap lurus ke arah Elvina yang hanya meranggul tidak menyahut dengan kata.Kakiku akhirnya dengan semangat menuju ruang dapur untuk membuatkan susu untuk si kecil. Si kecil yang nantinya akan beranjak sekolah. Aku tidak boleh jadi ibu yang berpura-pura bodoh akan hal itu.Satu botol yang cukup untuk si kecil yang sedang termangu diam. Aku menyodorkan untuknya seorang. Sementara abangnya—Fathan berbaring memeluk guling kesukaannya. Guling yang sudah berusia sepantarnya. Dia menyukai guling itu semenjak kecil.Tidak ada yang boleh menukarnya dengan guling yang lain, tetapi tetap boleh dicuci agar bersih. Putra sulungku itu memang sangat cerewet. Dia tidak suka berbau, tidak suka ada kotoran yang melekat di gulingnya. Nanti dia pasti a
Perjalanan pulang yang memang memakan waktu. Namun, hatiku jadi merasa tenang karena akan memulainya. Walau sebenarnya dulu kedua orang tuaku pernah menjalankan pabrik terasi dan aset kelautan tidak lagi berjalan. Namun, hasilnya tetap disimpan dalam bentuk rahasia. Mereka mengumpulkan aset demi diriku sendiri dan keluarganya. Pamanku sudah diberi bagian setelah mereka meninggal. Apalagi dulu mereka juga memiliki perkebunan sawit sekitar sepuluh hektar. Sayangnya, terjual dan sia-sia. Aku ingin meraup kembali perkebunan itu, tetapi aku masih belum yakin. ‘Akhirnya lega! Usaha dan nama baru akan segera dimulai.’ Gumamanku dalam hati. Perasaan dan pikiranku sudah tenang. Tapi, aku harus tiba lagi dimana rumah itu sangatlah menyakitkan. Apalagi di ujung penglihatanku terlihat jelas kalau rumah ibu mertuaku masih terlihat sunyi. Aku menghentikan sepeda motorku di depan halaman rumah. Mataku malah menyoroti bangunan sedang yang ada di depan rumah. Sepertinya ibu mertuaku sudah lebih t
“Oh, mulutmu ini keterlaluan sekali, Bu! Nggak takut sama kita? Jaga mulut!! Apa?!! Suami kita sering bayarin cewek di kafe? Wah, hati-hati kalo ngomong, Bu!!” Mursia angkat bicara. Jemari telunjuknya melonjak tinggi, dengan dua bola mata mencolot visus, menajam. “Kenapa emangnya?? Kenyataannya!!” Cantika berteriak sekencangnya dengan perlawanan kata yang menyayat hati si ibu-ibu itu. Akhirnya kuku yang mungkin tajam menghantam dengan cepat ke arah Cantika. Ibu mertuaku berteriak keras dari rumahnya. Dari ketiga ibu itu seakan kerasukan setan karena tidak terima dari ucapan mulut harimau ibu mertuaku.Dari arah rumah, aku pun terlonjak dan tanpa sadar kalau si Elvina sudah tertidur di atas karpet ruang tengah. Aku sudah tak peduli lagi, sehingga membawa pelarian cepat ini keluar dari rumah. Aku mendengar suara-suara lantang dari wanita yang mengamuk dari arah depan. Dan pelarianku benar-benar sampai tepat di muka pintu rumah ibu mertua. Mataku terbelalak tegang, melihat tiga lawan s