Share

Bab 6

 

Devan terdiam di depan pintu kamar mandi, badannya masih basah, dengan handuk menggantung di pinggang. Dadanya naik turun, ingin mengamuk tapi tidak tahu sama siapa. 

Matanya nyalang menatap sosok yang sedang berbaring di tempat tidurnya dengan tangan menutup wajah. Pura-pura bermain ponsel tapi masih mengintip di sela-sela jarinya yang sengaja direnggangkan. 

Devan mengembuskan napasnya dengan kasar, berusaha mengurai emosinya. Bisa-bisa cepat tua dia kalau terus-terusan marah-marah. Ia mengambil bajunya di lemari dan membawanya ke dalam kamar mandi. Tidak bisa pakai di luar, nanti kesenangan Eleanora melihatnya lebih lama. 

“Maunya pakai di sini saja, Sayang.” 

Eleanora sudah duduk saat ia keluar kamar mandi. Cengirannya tak pernah lepas. 

Devan ingin menjauh dari Eleanora, tapi sayangnya sekarang hari minggu, ia libur. Perkara ia mandi pagi karena semalam ia pulang kemalaman dan malas mandi sebab terlalu lelah. 

Devan melewati Eleanora begitu saja, mengabaikan gadis itu. Ia keluar malam dan turun ke lantai satu. Membiarkan Eleanora sendirian di kamarnya. 

 Setelah tak ada tanda-tanda kalau bapak kos akan mengganti kunci kamarnya, Devan membuat peraturan atau kesepakatan dengan Eleanora. Eleanora hanya tidak boleh masuk kamarnya tengah malam saat ia tidur.

Sebenarnya awalnya tidak sebebas atau seenak itu. Devan hanya membolehkan Eleanora ada di kamarnya saat ia ada, di antara jam delapan sampai sembilan malam. Namun Eleanora ngotot tidak mau. Eleanora sangat jago tawar menawar, juga ancam mengancam.

"Buat apa aku duplikat kunci kamarmu kalau aku cuma bisa masuk sejam itu doang?” ucap Eleanora saat itu sambil rebahan santai di tempat tidur Devan. 

Saat itu Devan mencoba bersikap sebaik mungkin kepada Eleanora. Membujuk Eleanora sebisa mungkin agar tidak berbuat di luar batas. Mungkin sekarang Eleanora memang sangat baik padanya, suka membelikan makan, merapikan kamarnya dan mencuci pakaiannya. Namun, mengingat Eleanora bisa dengan mudah menduplikat kunci kamarnya, Eleanora bisa jadi orang berbahaya untuknya. 

"Terus maumu gimana?” Devan mendekat ke Eleanora, duduk di ujung tempat tidur. 

"Kita nikah aja gimana?” Eleanora bangun langsung duduk, badannya condong ke arah Devan membuat lelaki itu terkejut dan langsung berdiri. 

Devan mengerjap, menyembunyikan bibirnya di dalam mulut, kaget karena bibir mereka hampir bersentuhan. "Tabunganku belum cukup buat nikah." Devan salah tingkah, ia menyesal sudah ikut duduk di tempat tidur. Lupa kalau gadis itu cukup agresif.

"Jangan ke kamarku saat tengah malam, pas aku lagi tidur," lanjut Devan lalu keluar kamar, pergi ke kamar Rifqi di lantai bawah. Samar samar terdengar suara Eleanora yang tertawa mengiyakan.

Yang Devan tidak menyangka, ucapannya itu malah jadi boomerang untuknya. 

Sejak hari itu setiap pagi Eleanora selalu masuk ke kamarnya. Katanya kangen, makanya masih pagi buta sudah datang. 

Tapi yang parah pagi ini, masih jam lima subuh Eleanora sudah bertamu. Mengingat telinga Eleanora begitu peka, mungkin langsung bergegas saat mendengar suara air jatuh, gebyar-gebyur orang mandi pakai gayung.

Padahal biasanya Eleanora masuk sekitar jam enam dengan membawa makanan, tapi hari ini gadis itu datang lebih pagi masih dengan sedikit belek di matanya. 

Devan menggeleng. Tak mau pagi-pagi kepalanya sudah dipenuhi Eleanora. 

Devan mengetuk kamar Rifqi seperti penagih hutang. Tergesa dan tak ada lembut-lembutnya. Padahal ia tahu kalau sekarang temannya itu pasti masih tidur. 

"Qi, bangun solat subuh." Sekarang Devan menggedor pintu kamar Rifqi. 

Namun, tetangga Rifqi yang keluar dengan raut kesal. 

"Ngapain sih, Van? Masih subuh."

"Hehe maaf, Bang. Mau bertamu." Devan menampilkan senyum merasa tak enak. 

 Bang Idris mengusap wajahnya dengan kasar. Dengan oleng ia berjalan mendekat ke arah Devan. Devan mundur dua langkah, takut digebuk. Namun ternyata, Bang Idris membuka pintu kamar Rifqi yang ternyata tidak dikunci. 

"Hehehe." Devan tertawa malu. 

Bang Idris masuk diikuti Devan. 

Rifqi masih nyenyak tidur dengan posisi kepala menjuntai ke bawah, badan dan kakinya di atas tempat tidur. Tidak lupa air liur yang meleleh di pipi, ada yang sudah mengering. 

"Bangun, Goblok." Bang Idris melempar selangkangan Rifqi yang hanya ditutupi selembar celana dalam. 

Devan menahan tawa. Kebiasaan Rifqi memang suka tidur hanya pakai celana dalam. 

Rifqi terbangun dengan tatapan bingung. Mungkin heran karena dua manusia itu sudah ada di kamarnya. 

"Kalo mau tidur itu kunci dulu pintunya." Bang Idris menyuruh Rifqi untuk bangkit, lalu ia yang tidur di atas tempat tidur dengan tengkurap, memperlihatkan punggung kekarnya yang berwarna coklat tanpa penutup.

Rifqi yang masih belum sepenuhnya sadar, terlihat bingung, lalu ikut merebahkan diri di samping Bang Idris. Alih-alih bisa tidur nyenyak, Rifqi malah jatuh karena sisa tempat tidur tidak cukup untuk tubuhnya. 

Alhasil ia mengaduh sakit dan menunjuk-nunjuk Devan. Mungkin maksudnya dia begitu gara-gara Devan. 

Devan tertawa pelan. Ia bergerak mengambil PlayStation dan memainkannya sampai puas. 

Kamar Rifqi adalah tempat pelariannya dari dulu kalau Devan sudah suntuk dengan masalah yang dihadapi. Entah itu masalah uang, kerjaannya, atau saat masih kuliah dulu. Kalau sekarang, masalah kuliah hilang, keadaan Eleanora yang malah membuatnya pusing. Padahal Eleanora cuma tetangga kos yang belum lama ini ia kenal. 

Devan main game sampai tengah hari, tak peduli yang punya belum bangun. Mereka sudah bersahabat hampir lima tahun. Mereka seumuran, seangkatan kuliah, beda jurusan, beda juga lulusnya. Devan sudah wisuda empat bulan lalu, sedang Rifqi masih santai menghindari pembimbing. 

Rifqi belum lulus, tapi masih santai seperti tanpa beban. Sedang dirinya tak pernah hilang beban pikirannya. Sudah sarjana tapi kerjaannya masih jadi kurir. Bukan maksudnya untuk mengeluhkan pekerjaannya sekarang, hanya saja kasian orang tuanya di kampung. Tetangganya julid-julid ngatain soal dia ke orang tuanya. 

Tok, tok, tok.

Semua mata, Devan, Rifqi dan Bang Idris yang sudah bangun ikut menoleh ke pintu. Eleanora muncul dengan penampilan berbeda di mata Devan. Eleanora mengurai rambutnya dan memakai dress berwarna baby blue. 

Eleanora tersenyum ke mereka semua. "Nggak mau pulang?" tanyanya dengan mata tertuju pada Devan. 

Devan merasa terusik kesenangannya diganggu, ia melihat jam di ponselnya. Setengah jam lagi pukul 12 siang. "Nggak," jawabnya ketus, tidak mau lagi melihat Eleanora yang masih berdiri di depan pintu. 

"Okee."

Eleanora pergi, tapi sepuluh menit kemudian datang lagi. Membawa empat kotak makan nasi campur dan dua porsi sushi, juga empat gelas boba. 

Eleanora masuk tanpa permisi. Bersikap ramah pada Rifqi dan Bang Idris yang menyambutnya senang. 

Entah kenapa Devan merasa kesal. Menurutnya Eleanora bersikap genit dengan berpakaian feminin dan cantik. Apalagi Eleanora cuek padanya tapi ramah pada dua temannya. 

"Saya belum pernah makan sushi," ucap Bang Idris melihat Eleanora yang sudah dua kali mencomot sushi di tengah-tengah makan nasi. 

"Mau? Enak kok." Eleanora menyodorkan satu potong sushi ke depan mulut Bang Idris menggunakan sumpit bekasnya. 

Namun, mulut Devan cepat menyambar sumpit Eleanora saat Bang Idris masih terlihat ragu. 

Rifqi dan Bang Idris senggol-senggolan melihat tingkah Devan. 

Devan mengunyah dengan cepat, dari wajahnya tampak kesal entah karena apa, dia sendiri tidak mengerti. Ia senang Eleanora tidak mengganggunya tapi juga kesal Eleanora bercanda tawa dengan teman-temannya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status