Share

Bab 5

Belum nikah, bukan penyuka one night stand, bukan juga orang sakit. 

Tiba-tiba pas baru buka mata setelah tidur semalaman ada wajah cewek tepat di hadapan. 

Devan terkejut bukan main, tidak teriak, tapi refleks kepalanya membuatnya kesakitan karena terbentur tembok. 

Sudah setengah jam berlalu, ia sudah wudhu, sudah solat subuh. Harusnya panas di dadanya sudah mereda, tapi nyatanya ia makin tersulut setelah gadis itu bangun dengan tanpa rasa bersalah. 

"Hehe iya, aku udah duplikat kunci kamarmu dari minggu lalu." 

Sungguh, kalau makhluk di hadapannya bukan perempuan, sudah pasti ia cakar-cakar wajahnya yang sejak tadi senyum terus. 

Devan bukan lagi butuh energi sampai harus dikasih gula terus menerus. Bukannya diabetes, dia bisa darah tinggi lama-lama. 

"Maumu itu apa sih?” Devan menahan suaranya agar tidak membentak. Apalagi ini masih pagi, subuh baru lewat, malah mungkin tetangga kosnya ada yang masih tidur.

"Mauku itu kamu. Kita nikah, biar bisa sama-sama terus sama bisa ngapain aja," jawab Eleanora masih riang, seperti tidak terpengaruh dengan Devan yang sudah emosi.

Devan duduk di tepi tempat tidur, ia memijat kepalanya yang tiba-tiba sakit. Tekanan darahnya sudah naik sepertinya. "Saya miskin, nggak punya apa-apa.  Kerjaan juga cuma jadi kurir." Devan mencoba melunak. Ia tidak mau kena stroke diusia muda. 

"Emang kenapa? Yang penting kan kamu bukan pemalas. Eh tapi kalo kamu pemalas pun nggak apa-apa, nanti biar kamu yang aku nafkahi." 

Devan menjatuhkan badannya, nyaris kepalanya terbentur tembok lagi. Ia bekap wajahnya sendiri dengan bantal. Gemas dengan Eleanora tapi tidak bisa ia acak-acak. Harga dirinya terus disentil oleh gadis itu. 

"Tujuanmu duplikat kunci kamarku?" Devan bangun, menatap tajam Eleanora, tapi gadis itu malah senang ditatap. 

"Biar bisa tidur sama kamu." 

Jawaban Eleanora yang disertai tawa bikin  Devan mencak-mencak. "Ya Allah kenapa saya dipertemukan yang kayak begini siiih?" 

"Kenapa, Sayang? Aku kan cantik, baik, jujur juga orangnya nggak pernah bohong, banyak uang juga. Udah gitu aku seksi." Eleanora menunjukkan bokongnya. 

Devan melirik sekilas. Seksi dari mananya kalau skripsi Devan lebih tebal daripada bokong Eleanora. 

Devan berdiri. "Kamu keluar sana!" Suara Devan lemes sambil membukakan pintu. 

"Sayang."

"Nggak ada sayang-sayang. Keluar!" Devan menggerakkan kepalanya, mempertegas agar Eleanora segera keluar. Ia harus melapor ke ibu-bapak kos sebelum berangkat kerja.

Akhirnya Eleanora keluar dengan tidak semangat. 

Bersamaan dengan Eleanora di depan pintu, Rifqi, penghuni kos bawah, yang sudah lumayan akrab dengan Devan datang. Wajahnya tampak sekali terkejut melihat seorang gadis keluar kamar Devan pagi-pagi. Bahkan embun belum hilang dan matahari belum muncul. 

"Wah, Van." Mata Rifqi melotot, melihat Devan dan Eleanora bergantian. 

"Apa lihat-lihat? Jangan berisik!" Eleanora menendang kaki Rifqi lalu masuk ke kamarnya. Entah kenapa tiba-tiba moodnya jadi jelek. 

"Seksi ya." Mata Rifqi mengekor di paha Eleanora. 

Sontak Devan memutar kepala Rifqi agar tak melihat Eleanora terus. Padahal ya walau tidak diputar, Eleanora sudah tidak kelihatan. Sepertinya Devan harus memarahi Eleanora agar tidak pakai celana di atas lutut lagi, apalagi celana yang cuma menutupi setengah pahanya. 

"Kenapa?"

"Cewek baru?" Bukannya menjawab, Rifqi malah balik bertanya. 

Devan masuk ke kamarnya. "Bukan." 

Rifqi menyeringai. "Kalo bukan terus apa mi? Teman fwb-an?” Rifqi tertawa yang langsung dilempar handuk oleh Devan. 

"Cepat bilang mau apa, saya mau mandi."

Rifqi terkekeh. "Mau bayar utang." Ia menyodorkan uang lima puluh ribu. 

Devan menerima dan menaruhnya di dalam dompet. Dipikirnya Rifqi sudah akan pergi, tapi ternyata laki-laki itu masih diam. Berdiri malu-malu.

"Kenapa lagi?”

“Sa pinjam pi lagi uangmu? seratus ribu.”

Devan keselek ludahnya sendiri. Orang di depannya ini baru saja membayar utang, tapi belum lima menit sudah mau ngutang lagi. “Terus buat apa ko bayar?” Devan mengeluarkan lagi uangnya. Sebenarnya sayang, tapi saat ia kekurangan uang, hanya Rifqi tempatnya meminjam. 

"Kan biar enak mau pinjam lagi," jawab Rifqi tersenyum.

Devan memberikan uangnya. "Iya, iya. Kalo sudah saya mau mandi." Ia mengibaskan tangannya menyuruh Rifqi keluar. 

Kepalanya sakit sekarang. Pagi-pagi sudah melihat dua orang tersenyum yang di matanya terlihat menyebalkan. Atau mungkin dia saja yang  sedang sensitif. 

Devan menumbukkan kepalanya pelan di dinding kamar mandi setelah terlintas dalam pikirannya kalau ia seperti perempuan yang akan atau sedang datang bulan. Sensitif parah dan selalu ingin marah-marah.

Ia menyelesaikan mandinya dengan cepat. Bersiap pergi kerja, tapi sebelumnya ia harus ke rumah ibu-bapak kos untuk mengadu perihal kunci kamarnya yang sudah digandakan.

"Assalamu'alaikum, Bu." Devan mengetuk pintu rumah ibu kos yang memang sudah terbuka. Sudah hampir jam tujuh, biasanya ibu kos sedang ada di dapur. 

Tak lama Ibu Kos muncul. "Kenapa, Van?"

Devan masuk dan duduk tanpa dipersilakan. Benar-benar menganggap rumah ibu kos sebagai rumahnya sendiri. Padahal dulu ibu kos menyambut seperti itu hanya untuk basa-basi. 

"Begini, Bu, penghuni sebelah kamar saya itu siapa ya, Bu?”

Ibu kos ikut duduk, berhadapan dengan Devan. "Siapa? Ya Eleanora." 

Devan tersenyum, agak dipaksa. “Maksud saya dia siapa, Bu. Kenapa punya kunci kamar saya?” 

"Loh kok tanya saya, dia kan pacarmu. Kalau bukan kamu yang kasih siapa lagi."

"Dia bukan pacar saya, Bu. Saya saja baru tahu kalau dia bisa leluasa masuk kamar saya …." 

Belum selesai Devan bicara, Eleanora datang. Masih dengan ciri khasnya yang riang. 

"Jangan percaya dia, Bu. Saya bahkan sudah hamil dan sebentar lagi kita akan menikah," kata Eleanora senyum-senyum melihat Devan. 

Padahal sejak bangun tadi raut wajah Devan tidak ada manis-manisnya, tapi Eleanora memberikan senyum. 

"Ngomong apa sih." Devan berdiri. "Bapak Kos di mana, Bu?"

"Ada di dalam." 

"Pak, ini Devan mau ngomong." Tidak sopan ini, tapi Devan tidak menemukan cara lain saat ini. 

Devan langsung mendorong Eleanora keluar, memelototinya lalu menutup pintu. 

Bertepatan Devan balik badan, Bapak Kos sudah masuk di ruang tamu. Menatap heran ke arah Devan. 

"Kamu ini kenapa?”

Devan menghela napas, pikirannya kacau, ia merasa tidak enak dengan ibu-bapak kosnya.

“Maaf, Pak, Bu. Eleanora, penghuni kamar B2 itu memang agak-agak gila. Dia bukan calon istri saya, kita nggak ada hubungan apa-apa. Dan dia nggak hamil, kalau pun dia hamil, itu bukan anak saya. Saya beneran Bu, Pak, nggak bohong.” 

Devan menjelaskan dengan sekali tarikan napas. Bahasanya belepotan tak masalah. 

“Jadi kunci kamarmu mau diganti?” 

Devan mengangguk sementara itu pintu tamu kembali terbuka, Eleanora muncul. Ia mengedipkan mata kirinya ke ibu bapak kos sambil senyum lebar. 

“Iya nanti saya ganti yang baru,” kata Bapak Kos dengan raut menenangkan.

Namun, sampai hampir tiga minggu tidak juga kunjung diganti.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status