Share

Bab 5

Penulis: bubukmerica
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-07 22:05:18

Belum nikah, bukan penyuka one night stand, bukan juga orang sakit. 

Tiba-tiba pas baru buka mata setelah tidur semalaman ada wajah cewek tepat di hadapan. 

Devan terkejut bukan main, tidak teriak, tapi refleks kepalanya membuatnya kesakitan karena terbentur tembok. 

Sudah setengah jam berlalu, ia sudah wudhu, sudah solat subuh. Harusnya panas di dadanya sudah mereda, tapi nyatanya ia makin tersulut setelah gadis itu bangun dengan tanpa rasa bersalah. 

"Hehe iya, aku udah duplikat kunci kamarmu dari minggu lalu." 

Sungguh, kalau makhluk di hadapannya bukan perempuan, sudah pasti ia cakar-cakar wajahnya yang sejak tadi senyum terus. 

Devan bukan lagi butuh energi sampai harus dikasih gula terus menerus. Bukannya diabetes, dia bisa darah tinggi lama-lama. 

"Maumu itu apa sih?” Devan menahan suaranya agar tidak membentak. Apalagi ini masih pagi, subuh baru lewat, malah mungkin tetangga kosnya ada yang masih tidur.

"Mauku itu kamu. Kita nikah, biar bisa sama-sama terus sama bisa ngapain aja," jawab Eleanora masih riang, seperti tidak terpengaruh dengan Devan yang sudah emosi.

Devan duduk di tepi tempat tidur, ia memijat kepalanya yang tiba-tiba sakit. Tekanan darahnya sudah naik sepertinya. "Saya miskin, nggak punya apa-apa.  Kerjaan juga cuma jadi kurir." Devan mencoba melunak. Ia tidak mau kena stroke diusia muda. 

"Emang kenapa? Yang penting kan kamu bukan pemalas. Eh tapi kalo kamu pemalas pun nggak apa-apa, nanti biar kamu yang aku nafkahi." 

Devan menjatuhkan badannya, nyaris kepalanya terbentur tembok lagi. Ia bekap wajahnya sendiri dengan bantal. Gemas dengan Eleanora tapi tidak bisa ia acak-acak. Harga dirinya terus disentil oleh gadis itu. 

"Tujuanmu duplikat kunci kamarku?" Devan bangun, menatap tajam Eleanora, tapi gadis itu malah senang ditatap. 

"Biar bisa tidur sama kamu." 

Jawaban Eleanora yang disertai tawa bikin  Devan mencak-mencak. "Ya Allah kenapa saya dipertemukan yang kayak begini siiih?" 

"Kenapa, Sayang? Aku kan cantik, baik, jujur juga orangnya nggak pernah bohong, banyak uang juga. Udah gitu aku seksi." Eleanora menunjukkan bokongnya. 

Devan melirik sekilas. Seksi dari mananya kalau skripsi Devan lebih tebal daripada bokong Eleanora. 

Devan berdiri. "Kamu keluar sana!" Suara Devan lemes sambil membukakan pintu. 

"Sayang."

"Nggak ada sayang-sayang. Keluar!" Devan menggerakkan kepalanya, mempertegas agar Eleanora segera keluar. Ia harus melapor ke ibu-bapak kos sebelum berangkat kerja.

Akhirnya Eleanora keluar dengan tidak semangat. 

Bersamaan dengan Eleanora di depan pintu, Rifqi, penghuni kos bawah, yang sudah lumayan akrab dengan Devan datang. Wajahnya tampak sekali terkejut melihat seorang gadis keluar kamar Devan pagi-pagi. Bahkan embun belum hilang dan matahari belum muncul. 

"Wah, Van." Mata Rifqi melotot, melihat Devan dan Eleanora bergantian. 

"Apa lihat-lihat? Jangan berisik!" Eleanora menendang kaki Rifqi lalu masuk ke kamarnya. Entah kenapa tiba-tiba moodnya jadi jelek. 

"Seksi ya." Mata Rifqi mengekor di paha Eleanora. 

Sontak Devan memutar kepala Rifqi agar tak melihat Eleanora terus. Padahal ya walau tidak diputar, Eleanora sudah tidak kelihatan. Sepertinya Devan harus memarahi Eleanora agar tidak pakai celana di atas lutut lagi, apalagi celana yang cuma menutupi setengah pahanya. 

"Kenapa?"

"Cewek baru?" Bukannya menjawab, Rifqi malah balik bertanya. 

Devan masuk ke kamarnya. "Bukan." 

Rifqi menyeringai. "Kalo bukan terus apa mi? Teman fwb-an?” Rifqi tertawa yang langsung dilempar handuk oleh Devan. 

"Cepat bilang mau apa, saya mau mandi."

Rifqi terkekeh. "Mau bayar utang." Ia menyodorkan uang lima puluh ribu. 

Devan menerima dan menaruhnya di dalam dompet. Dipikirnya Rifqi sudah akan pergi, tapi ternyata laki-laki itu masih diam. Berdiri malu-malu.

"Kenapa lagi?”

“Sa pinjam pi lagi uangmu? seratus ribu.”

Devan keselek ludahnya sendiri. Orang di depannya ini baru saja membayar utang, tapi belum lima menit sudah mau ngutang lagi. “Terus buat apa ko bayar?” Devan mengeluarkan lagi uangnya. Sebenarnya sayang, tapi saat ia kekurangan uang, hanya Rifqi tempatnya meminjam. 

"Kan biar enak mau pinjam lagi," jawab Rifqi tersenyum.

Devan memberikan uangnya. "Iya, iya. Kalo sudah saya mau mandi." Ia mengibaskan tangannya menyuruh Rifqi keluar. 

Kepalanya sakit sekarang. Pagi-pagi sudah melihat dua orang tersenyum yang di matanya terlihat menyebalkan. Atau mungkin dia saja yang  sedang sensitif. 

Devan menumbukkan kepalanya pelan di dinding kamar mandi setelah terlintas dalam pikirannya kalau ia seperti perempuan yang akan atau sedang datang bulan. Sensitif parah dan selalu ingin marah-marah.

Ia menyelesaikan mandinya dengan cepat. Bersiap pergi kerja, tapi sebelumnya ia harus ke rumah ibu-bapak kos untuk mengadu perihal kunci kamarnya yang sudah digandakan.

"Assalamu'alaikum, Bu." Devan mengetuk pintu rumah ibu kos yang memang sudah terbuka. Sudah hampir jam tujuh, biasanya ibu kos sedang ada di dapur. 

Tak lama Ibu Kos muncul. "Kenapa, Van?"

Devan masuk dan duduk tanpa dipersilakan. Benar-benar menganggap rumah ibu kos sebagai rumahnya sendiri. Padahal dulu ibu kos menyambut seperti itu hanya untuk basa-basi. 

"Begini, Bu, penghuni sebelah kamar saya itu siapa ya, Bu?”

Ibu kos ikut duduk, berhadapan dengan Devan. "Siapa? Ya Eleanora." 

Devan tersenyum, agak dipaksa. “Maksud saya dia siapa, Bu. Kenapa punya kunci kamar saya?” 

"Loh kok tanya saya, dia kan pacarmu. Kalau bukan kamu yang kasih siapa lagi."

"Dia bukan pacar saya, Bu. Saya saja baru tahu kalau dia bisa leluasa masuk kamar saya …." 

Belum selesai Devan bicara, Eleanora datang. Masih dengan ciri khasnya yang riang. 

"Jangan percaya dia, Bu. Saya bahkan sudah hamil dan sebentar lagi kita akan menikah," kata Eleanora senyum-senyum melihat Devan. 

Padahal sejak bangun tadi raut wajah Devan tidak ada manis-manisnya, tapi Eleanora memberikan senyum. 

"Ngomong apa sih." Devan berdiri. "Bapak Kos di mana, Bu?"

"Ada di dalam." 

"Pak, ini Devan mau ngomong." Tidak sopan ini, tapi Devan tidak menemukan cara lain saat ini. 

Devan langsung mendorong Eleanora keluar, memelototinya lalu menutup pintu. 

Bertepatan Devan balik badan, Bapak Kos sudah masuk di ruang tamu. Menatap heran ke arah Devan. 

"Kamu ini kenapa?”

Devan menghela napas, pikirannya kacau, ia merasa tidak enak dengan ibu-bapak kosnya.

“Maaf, Pak, Bu. Eleanora, penghuni kamar B2 itu memang agak-agak gila. Dia bukan calon istri saya, kita nggak ada hubungan apa-apa. Dan dia nggak hamil, kalau pun dia hamil, itu bukan anak saya. Saya beneran Bu, Pak, nggak bohong.” 

Devan menjelaskan dengan sekali tarikan napas. Bahasanya belepotan tak masalah. 

“Jadi kunci kamarmu mau diganti?” 

Devan mengangguk sementara itu pintu tamu kembali terbuka, Eleanora muncul. Ia mengedipkan mata kirinya ke ibu bapak kos sambil senyum lebar. 

“Iya nanti saya ganti yang baru,” kata Bapak Kos dengan raut menenangkan.

Namun, sampai hampir tiga minggu tidak juga kunjung diganti.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 92 Tamat

    "Assalamu'alaikum, Papa Mama," sapanya pura-pura mengantuk seakan baru bangun tidur, layar ponselnya ia dekatkan ke wajah agar pemandangan di belakangnya tidak terlihat. "Tidak usah pura-pura, Mama tahu kamu masih di jalan! Kenapa baru pulang jam segini?" Vanela menjauhkan ponselnya seiring suara Eleanora yang semakin nyaring. "Papa, Mama marah-marah." Bukannya menjawab, Vanela malah mengaduh pada Devan. Namun kali ini Devan tidak akan membelanya. "Kamu memang harus dimarahi. Kenapa baru pulang?" Suara dan tatapan Devan tampak tegas, tanda Vanela harus segera menjawab dengan benar, tidak bisa bermanja lagi. Vanela menunjukan lembar soal yang sejak tadi dipangkuannya. "Keasyikan ngerjain ini, lupa kalau nggak lagi di rumah." "Apa itu?" "Soal matematika untuk lomba tingkat SMA." "Papa tidak tahu kalau kamu ikut-ikut yang seperti itu." Memang selama ini Vanela selalu pulang tepat waktu dan bahkan saat jadwal kuliahnya tinggal dua jam lagi, Vanela menyempatkan pulang untuk sekadar b

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 91

    Beberapa tahun lagi mamanya akan kepala empat menyusul ayahnya, pasti akan sulit untuk hamil diusia seperti itu. Dan Vanela menyesal sudah mengatakan permintaannya itu, harusnya ia lebih memikirkan orang tuanya ketimbang diri sendiri.Hari ini Vanela memulai perkuliahannya lagi. Selama masa kuliah, Vanela tidak lagi pergi bersama Baruna. Bukan karena jadwal kuliah yang berbeda, melainkan karena Baruna tidak berkuliah di universitas yang sama dengan Vanela. Vanela tetap tinggal di Kota Kendari agar selalu dengan orang tuanya dan berkuliah di universitas Halu Oleo dengan mengambil jurusan yang sekiranya santai.Vanela tidak peduli dengan jurusan kuliah yang dia ambil. Yang dipikirkannya hanya bagaimana caranya ia menyelesaikan kuliahnya tanpa terlalu banyak membuat waktu di kampus. Sehingga Vanela benar-benar menjadi anak kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang. Kendati demikian, Vanela masih memiliki teman walau tidak akrab.Pukul sebelas siang ketika Vanela baru pulang dari kampus, har

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 90

    Sudah sejak pertengahan SMP Devan tinggal jauh dari orang tua, tapi setidaknya ia tinggal bersama kakaknya yang jauh sudah dewasa. Kepindahannya kala itu karena ingin bersekolah di kota yang katanya pendidikan lebih bagus. Karena mendukung anaknya, orang tua Devan menyetujui. Kehidupan sekolah Devan lancar-lancar saja, ia tidak pernah di bully atau merasakan stres yang luar biasa menggangguk.Kemudian sewaktu awal masuk kuliah, Devan memutuskan hal yang besar, yaitu tinggal sendiri, mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dengan tinggal di tempat kos-kosan. Hari-hari tenangnya mulai hilang, kegiatan kampus juga uang bulanan mulai memeras is kepalanya. Beberapa bulan pertama kehidupan Devan di kos-kosan terasa sangat berat baginya.Devan yang tadinya tidak perlu memikirkan uang saku habis, tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya, kini harus memikirkan semuanya. Karena sudah tidak ada lagi kakaknya yang baik hati yang tidak pernah memperhitungkan uangnya dipakai Devan.Uang yang Laki

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 89

    Tidak disangka ujian kelulusan sebentar lagi, kurang dari dua minggu lagi, tapi Vanela tidak pernah belajar. Ia lebih sering latihan bersama Yudi dan pengawal yang lain ketimbang membuka buku pelajaranBanyak yang mengira kalau setelah Vanela berhijab gadis itu akan berubah jadi lembut seperti yang terlihat jelas diwajahnya. Namun sayang hal itu hanya harapan semata. Nyatanya Vanela masih suka sadis, apalagi saat sedang kesal. Gadis itu belum bisa yang satu itu.Beberapa kali saat emosi, Vanela menggunakan salah satu pengawal untuk menjadi tempatnya menaruh objek sasaran saat olahraga lempar pisau atau panahan. Seperti saat ini. Tadi Vanela secara random memanggil salah satu pengawal yang sedang duduk asyik sembari merokok. Pengawal itu tadinya tenang-tenang saja sampai di ajak ke tempat latihan, ia langsung panas dingin.Ketika Eleanora sudah bersiap menarik busurnya, tiba-tiba Keenan datang."Diego Lim datang," bisik Keenan yang langsung dibalas lirikan oleh Vanela."Cukup kasih tah

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 88

    "Papa, Nela kangen," lirih Vanela sembari mengelap tubuh ayahnya. Padahal ia tahu sudah ada yang bertugas menjaga dan merawat orang tuanya, tapi ia tetap ingin berbakti meski sedikit."Nela."Vanela menoleh. Zia datang dengan membawakan makanan untuknya. Vanela menyudahi menyeka tubuh Devan, ia menghampiri Zia yang menata makanannya di meja."Padahal Tante nggak usah repot-repot antar ke sini. Aku kan bisa ambil makan sendiri." Vanela duduk di samping Zia. Ia mengambil air putih yang Zia siapkan, menghabiskannya hingga nyaris tandas."Kapan? Nanti malam?"Vanela tertawa kecil. Zia sudah mengenal Vanela dari kecil. Zia sudah hapal dengan kelakuan Vanela yang kalau sudah masuk ke ruang perawatan orang tuanya ini susah keluar lagi. Kecuali ada buku pelajarannya yang harus dia ambil."Kamu sudah kelas tiga, apa tidak lebih nyaman belajar di kamar?""Iya ini belajar di kamar kan?" Vanela tersenyum menbuat Zia merasa gemas.Padahal maksud Zia, Zia ingin Vanela punya kehidupan lain selain di

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 87

    "Sayang! Kamu bikin apa?" Devan melongok dari semak-semak, melihat Eleanora memetik bunga. "Kenapa kamu petik?" Devan menyayangkan tindakan Eleanora."Bunga-bunganya sudah jelek. Kalau mau tumbuh bunga bunga baru yang segar, bunga yang lama harus disingkirkan. Begitu juga kehidupan Vanela."Vanela terkejut namanya dipanggil ia kira ia sedang bermimpi sekarang, tapi mimpinya cukup indah karena orangnya sadar akan kehadiarannya."Kamu harus membuang kenangan, agar hidupmu terus berjalan."Tiba-tiba pemandangan orang tuanya yang sedang ditaman bunga kini berganti menjadi pemandangan yang setipa hari ini lihat, orang tuanya terbaring tak berdaya dengan tak sadarkan diri.Lalu tiba-tiba lagi pemadangan itu hilang tergantikan ruang putih yang kosong. Vanela berlari ke tempat orang tuanya tadi berada, tapi sepanjang berlari ia hanya menemukan ruang putih yang terasa hampa."Maamaaaa! Papaaaaaaa!" Vanela berteriak sekuat tenaga sampai tenggorokannya habis. Sampai ia terbangun seketika dari ti

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status