Home / Romansa / Bersandar pada Ketakutan / 8. Petir di tengah terik matahari

Share

8. Petir di tengah terik matahari

Author: Nalla Ela
last update Last Updated: 2024-11-12 22:00:28

"Jangan lupa makan siang." Dominic membelai rambut bergelombang Amethyst setelah melepaskan seatbelt.

Amethyst tersenyum lebar, "siap,kapten!"

Setelah turun, Amethyst melambai kecil hingga mobil mewah pria itu tak terlihat lagi. Disitulah senyuman Amethyst mulai luntur. Matanya memperhatikan sekitar menemukan semua orang memandang kearahnya terang-terangan.

Namun, Amethyst segera berlalu bersikap seolah tak terpengaruh.

Pagi itu, udara dingin masih menyelimuti kota ketika Amethyst berjalan di koridor kampus. Langkah kakinya tenang, namun pikirannya penuh dengan tugas yang menumpuk. Di tangannya, ada map biru berisi revisi skripsi yang harus ia serahkan kepada dosen pembimbing. Setelah minggu-minggu penuh tekanan, Amethyst akhirnya merasa sedikit lega. Hasil revisinya selesai tepat waktu, dan ini menjadi salah satu langkah terakhir sebelum ia benar-benar menyelesaikan perjalanan panjang di kampus ini.

Namun, di tengah keramaian koridor, tidak ada satu pun teman yang menyapanya. Beberapa mahasiswa meliriknya sekilas, tetapi tidak ada yang mendekat. Rasanya, seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan dirinya dari yang lain.

Dulu, memang tak ada yang menyapanya. Hanya menganggap dirinya sebagai angin lalu tanpa perhatian. Namun kini setiap dia berjalan, sekelilingnya selalu dipenuhi bisikan. Jujur saja ia merasa tak nyaman dan tertekan setiap melangkahkan kaki.

Hal itu juga mengundang pertanyaan bagi Dominic yang seperti cukup peka. Tapi Amethyst merasa pria itu selalu tau segala hal tentang dirinya namun menahan diri.

Hal yang berkebalikan, dimana Dominic bagi Amethyst masih terasa abu-abu. Dia bahkan hanya tau usia, nama, dan makanan kesukaannya. Ternyata Amethyst seburuk ini sebagai kekasih.

Pikirannya buyar ketika Mia tiba-tiba muncul dari arah tangga, membawa secangkir kopi instan di tangan. Gadis itu tersenyum kecil, meskipun tampak gugup. "Hai, Amethyst," sapanya, menghentikan langkah tepat di depan Amethyst.

"Hai," jawab Amethyst, singkat.

Mia menggigit bibirnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu. "Kau sibuk?" tanyanya pelan.

Amethyst menggeleng. "Aku hanya akan menyerahkan revisi ini ke dosen pembimbing. Kenapa?"

Mia menggeleng cepat. "Tidak, hanya... ah, lupakan. Mungkin nanti saja aku bicara."

Amethyst menatap Mia dengan alis berkerut. "Kalau ada sesuatu yang penting, kau bisa bilang sekarang."

Namun, sebelum Mia sempat menjawab, suara seorang dosen memanggil nama Amethyst dari dalam ruangan. Amethyst menghela napas pendek, lalu melangkah masuk tanpa melanjutkan percakapan.

---

Selesai dari kampus, Amethyst langsung menuju rumah sakit untuk kontrol psikolognya. Dalam beberapa minggu terakhir, kecemasannya mulai mereda, berkat dukungan Dominic dan rutinitas konselingnya. Hari ini, ia merasa sedikit optimis.

Di ruangan terapi yang bernuansa hangat, Amethyst duduk berhadapan dengan Dr. Clara, psikolognya yang ramah. Amethyst mulai bercerita tentang hari-harinya, bagaimana ia mencoba menjalani semuanya dengan lebih ringan, dan bagaimana Dominic selalu ada di sisinya.

"Kedengarannya, kau mulai menemukan ritme hidup yang lebih baik," ujar Dr. Clara sambil mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Kau bahkan tidak perlu menebus obat minggu ini. Tapi tetaplah waspada dengan pemicu-pemicu yang bisa membuat kecemasanmu kembali."

Amethyst mengangguk pelan. "Aku akan berusaha. Rasanya, lebih mudah sekarang. Meskipun, terkadang masih ada hal-hal kecil yang mengganggu."

Dr. Clara tersenyum. "Itu wajar. Progres itu seperti jalan berliku. Kau hanya perlu terus melangkah."

Sesi berakhir dengan rasa lega di hati Amethyst. Saat melangkah keluar dari rumah sakit, ia berharap hari itu akan tetap cerah. Namun, kenyataan berkata lain.

---

Di perjalanan pulang, ponsel Amethyst bergetar. Notifikasi dari grup chat kampusnya masuk. Dengan sedikit rasa penasaran, ia membuka pesan itu.

"Amethyst Callahan lagi-lagi bikin sensasi."

"Pacarnya tuh yang CEO, kan? Pantesan dia selalu kelihatan mewah sekarang."

"Dia pikir bisa jadi ratu kampus hanya karena pacaran sama orang kaya?"

Amethyst membaca setiap pesan dengan tangan bergetar. Semakin kebawah ia menggulir layarnya, maka semakin banyak pula hinaan, cacian bahkan umpatan kasar yang ditujukan untuknya. Hingga akhirnya ia berhenti dan menemukan paragraf panjang potongan dari headline berita di kampus yang membuatnya syok.

Mata dan pikirannya mulai kabur. Rasanya, seperti oksigen menghilang dari paru-parunya. Kakinya terasa lemas, dan sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, tubuhnya jatuh ke lantai trotoar.

Orang-orang di sekitar segera berkerumun. Beberapa mencoba membangunkannya, tetapi Amethyst tidak memberikan respons. Seseorang akhirnya menelepon ambulans, membawa gadis itu kembali ke rumah sakit yang baru saja ia tinggalkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bersandar pada Ketakutan   75. Jerat Tak Terlihat

    Seperti hari-hari sebelumnya, Dominic kembali datang dengan membawa seikat bunga mawar di tangannya. Dia tetap datang, mengabaikan omelan Michael yang sangat terganggu dengan kehadiannya. Michael melipat tangannya di dada dengan ekspresi muak melihat Dominic yang sudah datang pagi ini. "Kau berhasil membuat mood-ku jelek sepanjang hari dengan tampangmu yang sok keren itu," ocehnya kesal. Namun, Dominic hanya tersenyum, makin memperdalam kerutan di dahi Michael. "Kau hanya perlu menutup mata." Ucapan Dominic bak bensin yang mengguyur amarah Michael hingga berkobar. "Sialan! Jika bukan karena adikku, aku juga tidak sudi melihat tampang jelekmu. Apa ini salah satu pembuktianmu? dengan melakukan hal menggelikan ini setiap hari?" Michael menatap sinis pria yang duduk di depannya ini. Daominic menunduk untuk menyembunyikan seringainya. "Jika hal menggelikan ini bisa membuktikan keseriusanku, maka aku akan terus melakukannya." Iamengangkat wajahnya untuk menatap ekspresi sebal Michael.

  • Bersandar pada Ketakutan   74. Pembuktian

    Dominic bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Jika dulu ia akan melakukan apapun walaupun harus merusak, kini ia akan membuktikan kalau ia pun bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan cara yang benar, tanpa menyakiti siapapun. Dan itu dimulai dari hal-hal kecil. Hari ini, Amethyst pulang berbelanja dikejutkan dengan keberadaan Dominic di depan pagar rumahnya. Pria itu berpenampilan rapi, mengenakan setelan jas navy, duduk di atas kapal mobilnya dengan keren. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Amethyst curiga. Dominic berdiri menghampirinya dengan senyum santai. "Menunggumu, tentu saja." Ia berinisiatif mengambil alih belanjaan Amethyst yang nampak berat. Amethyst menghela napas. "Sejak kapan?" Dominic melirik arlojinya. "Dua jam yang lalu. Pulang dari kantor aku langsung kesini." Matanya membelalak. "Kau gila? Kenapa tidak menghubungiku dulu jika mau mampir?" Dominic terkekeh. "Sebenarnya, aku ingin memberi kejutan untukmu, tapi dengan begini juga kau bisa melihat bet

  • Bersandar pada Ketakutan   73. Janji Seorang Pria

    Dominic melirik ponselnya yang terus bergetar di atas meja, menampilkan nama Michael Callahan yang terus menghubunginya akhir-akhir ini. "Angkat saja," celetuk Amethyst merasa gerah karena bunyinya getarannya sangat mengganggu. "Padahal kau yang melarang ku selama ini untuk berbicara dengan Michael."Amethyst mencebik, memilih fokus dengan tayangan televisi yang lebih menarik. Dominic mengacak singkat rambut Amethyst sebelum bangkit menuju balkon dengan ponsel yang masih bergetar di tangannya. “Ada apa?” tanya Dominic santai. “Aku ingin bertemu,” jawab Michael tanpa basa-basi. “Empat mata," sambungnya. Dominic mendesah pelan. “Apa kau ingin berdebat denganku seperti kemarin-kemarin? Atau kau ingin mengancam ku?"“Temui aku di cafe depan kantor kejaksaan. Aku tidak suka berbicara lewat telepon."Panggilan itu terputus begitu saja sebelum Dominic bisa membalas. Dominic menatap layar ponselnya yang menggelap. Ia merasa ada hal penting yang ingin Michael bicarakan dengannya, tapi a

  • Bersandar pada Ketakutan   72. Kekacauan

    "Bagaimana keadaan Ibu?" Amethyst meremas tangan Ibunya pelan. Ia merindukannya, lama tak bertemu membuatnya menyadari kalau sang Ibu kini makin berisi. "Kabar Ibu baik." Nyonya Callahan mengelus pipi Amethyst sayang. "Ibu lihat, wajahmu makin bersinar. Apa kau sedang dekat dengan seseorang?" Melihat pipi Amethyst yang merona, membuktikan kalau tebakannya pasti benar. "Kami hanya teman, bu ... untuk saat ini," ungkapnya malu-malu. Nyonya Callahan mengangkat alis, lalu tersenyum penuh arti. “Untuk saat ini, ya?” gumamnya, menatap putrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Amethyst mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang perlahan merayapinya. “Aku ingin melihat usahanya ... dan memantapkan hatiku untuk itu. Ibu pasti sudah mendengarnya dari kak Michael ya?” Sang ibu mengangguk pelan mengiyakan. "Apa ibu keberatan jika aku kembali dekat dengannya?" tanyanya ragu. Alasan ia belum berani bercerita tentang Dominic pada ibunya adalah takut dengan tanggapa

  • Bersandar pada Ketakutan   71. Mengendalikan Diri

    Dominic kembali terus menjalani terapinya dengan rutin. Kehadiran Amethyst memang sangat berefek untuk hidupnya. Sudah beberapa minggu Amethyst terus memantau perkembangannya. Menemaninya olahraga, memasak hidangan lezat dan sehat, mengajaknya mengobrol, dan semakin berani menegurnya jika ia kembali keterlaluan. "KAu terlihat semakin membaik," kata Dr. Eleanor memecah keheningan. Dominic mengangkat kepalanya untuk menatapnya. "Ya, aku punya mentor yang hebat," sahutnya dengan senyum tipis, membayangkan wajah galak Amethyst. Dr. Eleanor tersenyum kecil. “Aku bisa melihatnya. Kurasa kau sudah bisa meregulasi emosimu. Aku harap kau akan selalu seperti ini." "Tapi ingat ... kau harus menanamkan pada pemikiranmu kalau kau berubah bukan semata untuk menyenangkan pasanganmu, tapi kau berubah karena kau ingin menjadi pribadi yang lebih baik," lanjutnya tenang, memandang Dominic penuh apresiasi. Dominic menghela napas pelan. “Aku mencoba menahan diriku. Aku tidak lagi memaksanya melaku

  • Bersandar pada Ketakutan   70. Reset

    Dominic menatap pintu ruangan di depannya dengan malas. Jika tak ada Amethyst, tentu saja Ia tak akan mau datang untuk melakukan sesi terapi. Dr. Eleanor menatapnya dengan senyum ramah saat Dominic masuk dan duduk di depannya. "Kau akhirnya mau datang kesini lagi ... setelah sekian lama. Permulaan yang bagus." Dominic mendengus. "Aku datang karena Amethyst memintaku." Dr. Eleanor mengangkat alisnya. "Dia masih punya pengaruh besar terhadapmu, ya?" Tangannya bergerak menulis sesuatu di jurnalnya. "Apa kalian kembali bersama?" tanyanya berbasa-basi. Dominic mengalihkan pandangannya. "Tidak bisa disebut seperti itu juga," ucapnya ambigu. Dr Eleanor menghela napas panjang. Memahami apa yang terjadi diantara mereka. Karena ia juga yang membantu Amethyst bangkit dari keterpurukan. "Jadi ... apa yang ingin kau ceritakan hari ini?" Dominic bersandar di kursinya dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Beberapa hari terakhir … terasa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status