Share

Bab 4

Penulis: Alita novel
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-01 14:40:23

Tiara menggeleng. Dia berlutut lalu mengumpulkan semua bukti yang berserakan. Dadanya berdebar penuh ketakutan. ‘Bagaimana kalau Anggrek juga percaya wanita di foto ini adalah aku?’ batinnya bergejolak.

Dia tidak mau jika anak sulungnya ikut membenci Tiara tanpa mengkonfirmasi dulu kebenarannya. Seperti yang dilakukan Rian. Tubuhnya kaku saat Anggrek ikut berjongkok. Mengambil salah satu foto dan memperhatikannya dengan seksama. Tiara terlalu takut untuk menatap anaknya. Dia masih berada di posisi semula. Saat Anggrek berdiri, Tiara juga berdiri. Keheningan yang aneh melingkupi kamar. Wanita itu tidak berani bicara. Ia menghela nafas berulang kali. Mengumpulkan kekuatan agar bisa menjelaskan semuanya pada si sulung.

“Ibu bisa jelaskan sayang.” Tangannya mengusap bahu Anggrek.

Anggrek masih diam. Dia justru memperhatikan tangan Tiara. Rasanya dia ingin pergi saat ini juga, tetapi Tiara terus menguatkan hatinya agar bisa menjelaskan kesalahpahaman ini pada Anggrek. Tiara juga takut jika Anggrek percaya dengan foto itu, dia akan mengadu pada kedua mertuanya. Masalah ini akan jadi semakin rumit.

“Wanita di foto ini bukan Ibu.” Anggrek memegang tangan kanan Tiara lalu menyandingkannya dengan foto itu.

“Eh.” Tiara hanya bisa mengerjap bingung. Cepat sekali Anggrek tahu jika wanita di foto itu bukan dirinya. Padahal Tiara juga sudah melakukan hal yang sama sebelumnya. Mengamati salah satu foto dengan detail untuk mencari letak perbedaannya.

Anggrek menuntun Tiara agar duduk di tepi tempat tidur. Ia memperlihatkan foto itu lagi pada sang ibu. Foto yang berbeda dengan foto lain yang dilihat Tiara tadi. “Lihat Bu. Wanita di foto ini tidak punya tanda lahir di tangan kanannya. Tepat sebelum siku.”

Pandangan Tiara beralih pada tangannya sendiri. Dia memang punya tanda lahir berwarna merah seukuran koin besar yang bentuknya abstrak. Sedangkan wanita di foto itu tidak mempunyai tanda lahir yang sama. Tangan kanannya terlihat memeluk pria dalam foto sehingga Anggrek dan Tiara bisa melihat perbedaannya dengan jelas.

“Terima kasih sudah percaya pada Ibu, sayang.” Tiara memeluk Anggrek erat. Dia tidak bisa lagi menahan semua gejolak hati dari si sulung.

“Ibu yang sabar ya. Kalau ada masalah, Ibu bisa curhat sama aku.” Anggrek membalas pelukan ibunya. Untuk anak berumur dua belas tahun, sikap Anggrek memang sangat dewasa. Tiara melepas pelukannya.

“Insya allah. Anggrek juga harus cerita semua suka duka Anggrek pada Ibu,” ujar Tiara tidak ingin mematahkan perhatian yang Anggrek berikan untuknya.

“Apa karena foto ini Ayah berubah Bu?” tanya Anggrek pelan. Gadis remaja itu memberikan foto yang ia pegang pada Tiara.

Tiara segera memasukan semua foto ke amplop yang sama. Meletakannya sejenak di tempat tidur. Ia menggenggam erat tangan Anggrek. “Ibu tidak tahu, tetapi apapun yang terjadi Ibu harap Tiara terus berdoa untuk Ayah agar dia bisa percaya pada Ibu. Doakan juga Ayah kembali ke jalan yang benar.”

“Kenapa Ayah dan Ibu tidak berpisah saja? Aku akan membantu Ibu menjaga adik-adik setelah kita keluar dari rumah ini. Aku juga bisa berjualan seperti temanku untuk membantu Ibu,” usul Anggrek membuat Tiara terhenyak. Anggrek sudah berpikir sampai kesana. Si sulung tidak mengerti seandainya mereka merealisasikan hal itu, Rian akan mengambil hak asuh Anggrek dan kedua adiknya dari Tiara,

“Karena Ibu berharap Ayah bisa berubah. Dulu Ibu tidak tahu alasan sikap Ayah berubah pada kita. Setelah Ibu mengetahuinya, Ibu bisa mencari solusi untuk masalah kita. Jangan pikirkan masalah orang dewasa. Ibu sedang mencari pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah. Jadi kamu tidak perlu berpikir untuk membantu Ibu mencari uang.”

“Tapi Bu.”

“Sudah ya. Anggrek naik ke atas sekarang. Kasihan Lily dan Nana tidak ada yang menjaga. Ibu akan lanjut membersihkan kamar ini.” Pinta Tiara memutus percakapan mereka. Anggrek hanya mengangguk lalu keluar dari kamar.

Setelah Anggrek keluar, Tiara menjajarkan foto USG dan foto-foto tidak senonoh dengan wajah dirinya di tempat tidur. Memotretnya satu per satu dengan perasaan jijik. Ia menahan semuanya agar mendapat bukti. Lalu Tiara merapikan semuanya dan memasukan kedua map itu ke laci.

“Aku pastikan kamu akan menyesal karena lebih percaya dengan foto ini tanpa bertanya padaku dulu Mas.” Tiara menatap laci yang tertutup lalu merapikan seprai yang sedikit berantakan. Dia memastikan tidak ada jejak dirinya dan Anggrek di kamar ini.

***

Waktu bergulir cepat. Tanpa terasa siang sudah berganti malam. Jarum jam menunjuk angka sembilan. Tiara memastikan ketiga putrinya sudah tidur lalu turun ke bawah. Wanita itu masuk ke kamar utama. Suasana sepi menyambutnya. Tidak ada barang Rian yang tersisa di kamar ini. Pria itu sudah memindahkan semuanya ke kamar tamu.

Tiara duduk di tepi tempat tidur. Mengambil ponsel yang ia temukan di kamar tamu. Membuka galeri untuk melihat foto USG Dina yang ia ambil tadi. Sekali lagi, dunia Tiara terasa hancur berkeping-keping. Lebur menjadi serpihan kecil. Tidak ada lagi yang bisa ia pertahankan dalam rumah tangga ini. Tiara kembali menangis. Meratapi nasib pernikahannya yang sudah di ujung tanduk. Dia teringat dengan pesan ibunya sebelum menikah.

“Jangan gampang berpikir untuk bercerai jika rumah tangga kalian terasa hambar Nduk. Selama Rian tidak selingkuh, melakukan KDRT dan masih memberi nafkah, maka pertahankan rumah tanggamu. Namun jika Rian melanggar salah satu dari tiga penyebab itu, carilah bukti yang akurat. Agar kamu tidak bernasib sama seperti mantan istri Pakdemu.”

Mengingat nasihat ibunya membuat Tiara jadi terbayang wajah teduh sang Ibu. Keluarga Tiara memang bukan orang berada seperti keluarga Rian. Ayahnya adalah seorang guru honorer yang hanya dibayar enam ratus ribu setiap bulan. Selain itu, ayahnya mengelola sepetak kebun. Sedangkan ibunya berprofesi sebagai buruh di salah satu laundry milik tetangga.

Saat Rian melamarnya di usia sembilan tahun, pria itu berjanji untuk memenuhi kebutuhan keluarga Tiara. Siap memberikan bantuan apapun yang terjadi. Tiara cukup menjadi ibu rumah tangga agar bisa menjaga anak-anak di rumah. Sesuai janjinya, Rian terus membantu keluarganya jika mengalami kesusahan. Meski hubungan mereka sudah renggang sejak empat tahun lalu. Namun ketergantungan Tiara pada Rian, membuat pria itu lebih mudah mengikatnya agar tidak bisa pergi begitu saja.

Tiara mengusap air matanya. Dia mengetikan pencarian untuk mencari pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah. Tanpa sengaja Tiara melihat sebuah iklan kelas menulis. Syarat bergabung hanya membayar seratus ribu rupiah dan seratus ribu untuk membeli buku jika sudah lulus kelas.

Tiara menyimpan nomor WA lalu menghubungi orang yang sudah mengiklankan. Bertanya beberapa hal. Dia mantap bergabung dengan kelas menulis online. Pekerjaan ini bisa ia lakukan dari rumah sembari mengurus rumah dan anak-anak. Rian tidak akan curiga. Tiara juga sudah punya pengalaman menulis karena dia bergabung dengan klub jurnalis saat sekolah.

“Apa aku harus meminjam uang pada Ibu untuk mendaftar?” tanya Tiara bingung. Dalam keheningan kamar wanita itu menghela nafas berat.

‘Mungkin aku memang harus meminjam uang pada Ibu. Mudah-mudahan beliau punya.’ Batin Tiara nelangsa memikirkan harus meminjam uang pada ibunya sendiri.

Sekali lagi, Tiara membaca keterangan yang tertulis serta testimony pada peserta. Ada beberapa orang yang mengaku bisa mendapat uang jutaan rupiah dalam waktu singkat. Ada juga yang perlu proses karena hanya mendapat seratus hingga lima ratus ribu per bulan.

“Apa aku bisa sukses dengan cara menulis?” gumam Tiara dalam keheningan kamar. Tiara tidak punya ide lagi.

Dia berbaring di tempat tidur. Melihat jarum jam yang terus bergerak. Tiara mendengar derap langkah Rian yang cepat. Pintu yang terbuka dan tertutup berdebam keras. Wanita itu bangkit. Tiara teringat dengan ponsel yang ia temukan di kamar tamu masih tergeletak di atas laci. Dia segera mengambil ponsel itu lalu berjalan membuka lemari. “Dimana aku harus menyembunyikan ponsel ini?”

Tiara memindai seisi lemari. Hingga matanya melihat kota beukuran sedang berisi album pernikahan. Dengan cepat Tiara mengambil kotak itu lalu menyembunyikan ponsel disana. Baru saja ia menutup lemari, pintu kamar terbuka dengan suara keras. Rian masuk ke kamar utama dengan wajah marah.

“Apa tadi kau masuk ke kamarku?” tanya Rian dengan nada menyeramkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bertahan Atau Dimadu?   Bab 121

    Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Waktunya dia untuk pulang ke rumah sebentar guna menemui Ustad Soleh dan timnya yang akan melakukan ruqyah kedua di rumahnya.Aurel menekan telepon yang menghubungkan dengan telepon di ruang sekretarisnya. Tidak lama kemudian, sekretarisnya masuk ke ruang kerja Aurel. Wanita itu memberikan sejumlah pekerjaan yang harus dilakukan saat ia pulang ke rumah nanti."Apa kamu mengerti?" tanya Aurel tegas. Aura pemimpinnya begitu jelas terlihat. Tidak dapat dipungkiri kalau didikan keras ibunya selama ini, sejak dia masih kecil dan belum mengerti apapun hingga dewasa sudah membentuk mengalnya jadi sedemikian tangguh."Baik Bu. Saya mengerti," jawab sektetarisnya sopan dan dapat diandalkan."Baik kalau begitu saya tinggal dulu. Nanti jam empat sore saya akan datang kembali kesini untuk memeriksa semuanya," ucap Aurel lagi sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya."Baik Bu," jawab sekretaris Aurel lagi.Setelah

  • Bertahan Atau Dimadu?   Bab 120

    Keesokan harinya sinar matahari menembus jendela kamar Aurel yang sangat besar. Bahkan saking besarnya ukuran kamar itu seperti rumah minimalis atau kamar kos mewah. Tidak hanya ada tempat tidur king size yang diletakan di tengah kamar, tapi juga ada sofa mewah dengan meja kecil dibalik dinding kaca sebagai penyekat dengan balkon kamar utama ini.Aurel bangkit dari tidurnya. Sebenarnya ia sudah bangun subuh dan melaksanakan salat sendoiri karena suami dan kedua anaknya pergi ke masjid. Namun setelah salat, Aurel melanjutkan tidurnya karena dia butuh tdur yang berkualitas sebelum nanti akan sibuk bekerja. Ia melihat kalender yang ada di atas nakas.“Hari ini Ustad Soleh dan timnya akan datang ke rumah lagi untuk melakukan ruqyah kedua,” gumam Aurel seorang diri.Wanita itu turun dari tempat tidurnya yang sangat besar. Dia berjalan menuju balkon kamarnya yang sangat luas. Berbeda dengan balkon kamar yang ada di hotel. Aurel duduk di kursi yang menghadap matahari terbit. Karena arah kama

  • Bertahan Atau Dimadu?   Bab 119

    Sehari sebelumnya saat Aurel baru saja pulang dari rumah sakit jiwa tempat Dina sekarang dirawat. Wanita itu menghela nafas saat melihat pemandangan rumah-rumah warga yang beragam bentuk dan ukurannya. Ia akan kembali sibuk dengan rutinitas pekerjaan seperti biasa. Meskipun Aurel masih sedikit harus mengurus tentang masalah Dina.Di rumah, dia melanjutkan pekerjaannya di ruang kerja. Membiarkan Bu Jumi menyiapkan makan malamnya seorang diri disana. Suaminya, Hendra juga masih berada di kantor. Kedua anaknya sibuk dengan tugas kuliah dan sekolah. Meskipun keluarga kecil itu terlihat sibukb dengan kegiatan mereka masing-masing, tapi Aurel selalu punya cara membuat suasanan intim diantara pasangan suami istri serta orang tua dan anak.“Pak Hendra tadi telepon kalau akan pulang tengah malam Bu. Sedangkan aden-aden berdua juga telepon kalau mereka menginap di kos teman untuk mengerjakan tugas kuliah bersama,” kata Bu Jumi begitu menghidangkan menu makan malam di hadapan Aurel. Tepat di ten

  • Bertahan Atau Dimadu?   Bab 118

    Mata Dina mengerjap berulang kali. Dia tidak merasakan keberadaan Dukun Deri disini lagi. Apalagi bisikan-bisikan aneh itu. Yang ada Dina justru merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ini seperti mimpi dia bisa berada di tengah keramaian. Setelah dua hari terakhir Dina selalu sendiri di ruangan ini.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya Ustad Soleh yang duduk di hadapan Dina.Ustad Soleh yang masih memakai sarung tangan sedang menekan jari jempol kaki Dina. Wanita itu memandang sekeliling ruangan. Jika dia hitung ada delapan wajah baru yang terlihat kelelahan mengelilingi tempat tidurnya. Ditambah dengan dua perawat utama yang ikut masuk ke ruang rawatnya. Jadi totalnya ada sepuluh orang yang masuk ke ruangan ini.“Apakah bapak dan ibu semua adalah orang kiriman Bu Aurel?” tanya Dina menanyakan hal pertama yang terlintas di benaknya.Ustad Soleh mengangguk. Senyum pria paruh baya itu terlihat sangat amat menentramkan. Senyum bijak yang terpancar dari orang baik.

  • Bertahan Atau Dimadu?   Bab 117

    Di rumah sakit jiwa tempat Dina mendekam,wanita itu sudah sadar. Kelopak matanya perlahan terbuka. Ditatapnya langit-langit rumah sakit jiwa ini. Di ruang isolasi dimana sekarang tempat Dina berada. Hanya dinding dan atap berwarna putih yang mengepungnya di ruangan ini. Dengan tempat tidur tanpa ranjang dan selang infus yang menancap di tangannya.Pikiran Dina teracak. Dia ingat beberapa kejadian, tapi melukan kejadian berikutnya. Sebelum kedua perawat utama datang bersama rombongan ustad yang Dina dengar saat perawat utama bicara, Dina tidak ingat apapun. Dia hanya ingat kalau sedang berada di ruangan yang sangat gelap gulita.Entah kenapa Dina merasa sangat bersyukur dan berterima kasih karena ada orang yang mengirim ustad untuk mengobatinya. Air mata Dina menitik. Dia tergugu membayangkan hari-hari ke depan. Dina takut dia akan jadi gila dan tidak ingat dengan apapun lagi seperti orang tuanya. Terlebih Dina takut jika tidak bisa melihat bapak dan ibunya lagi.“Apakah aku bisa sembu

  • Bertahan Atau Dimadu?   Bab 116

    Akhirnya mereka duduk di deretan kursi panjang yang ada di depan meja penerima tamu yang terletak di gedung depan. Aurel mengeluarkan amplop tebal dari dalam tasnya lalu menyerahkan amplop itu pada Ustad Soleh.“Terima kasih untuk bantuannya sejak kemarin Pak Ustad. Saya tidak tahu apa yang terjadi jika tidak ada anda yang bersedia membantu kami,” kata Aurel penuh sopan santun.Ustad Soleh menerima pemberian kliennya itu. Rasanya sangat tebal. Jadi Ustad Soleh bisa menebak kalau isinya dua kali lipat dari biasanya. Ustad Soleh memang tidak pernah mengenakan tarif pasti. Dia menyerahkan semuanya pada orang-orang yang sudah dibantu. Namun jika berurusan dengan orang kaya, maka para klien akan memberinya banyak uang. Termasuk keluarga Pak Hermawan.“Sepertinya uang ini terlalu banyak Bu Aurel,” kata Ustad Soleh jujur.Bukannya dia tidak mau menerima rejeki, tapi menerima uang sebanyak ini dan lebih dari biasanya tentu saja membuat hati jadi tidak tenang sama sekali. Bagi Ustad Soleh cuku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status