Share

BAB 2. Buku bersampul coklat

Sembari menutup bibirnya, Ayesha menundukkan kepalanya, ‘Mati aku, kenapa bisa salah ucap sih?!’

Sementara itu Derick masih terus menunggu jawaban dari istrinya, namun karena merasa tidak akan mendapat jawaban, pria itu memilih menghiraukannya dan melanjutkan langkah menuju kasur yang sudah bertaburkan bunga-bunga mawar. Derick menarik selimut dan mengibaskannya guna membersihkan kasur tersebut dari taburan kelopak bunga, Ayesha menyaksikan kegiatan suaminya dari posisi dirinya berdiri tadi.

‘Dia ngapain?’ batin Ayesha sembari menaikkan sebelah alisnya.

Derick menoleh ke belakang, “Apa yang kau lakukan? Kau tidak ingin tidur?”

“Ha? Tidur?”

“Iya, atau kau mengharapkan sesuatu hal yang lain?” tanyanya sembari menarik sudut bibirnya sedikit ke atas, tampak seperti meledek Ayesha.

“A-apa maksudmu?! Memangnya hal apa yang ingin ku lakukan bersamamu?!” tanpa sadar Ayesha berbicara dengan suara keras.

"Ya 'tidur' dalam artian yang lain? Bukankah malam ini adalah malam pertama kita? Haruskah kita menghabiskan malam yang panas?" tanya Derick sambil menarik sudut bibir sebelah kiri dan alis sebelah kanannya.

Sayangnya tubuh Ayesha kini di isi oleh Jiwa Delisha, yang mana memilliki sifat bar-bar dari dunia modern, tanpa sadar ikut terbawa sampai saat ini. Sambil menunjuk Derick yang sudah berbaring di atas kasur, Ayesha berucap, “Dasar cowo sialan! Bajingan buaya darat yang taunya hanya seputar Selangkangan! Awas saja jika kau berani menyentuh tubuhku, aku akan membuatmu jadi pria tidak berguna,” ucapnya sambil melirik ke arah ‘sesuatu’ yang ada di antara kedua paha Derick.

Tentu saja hal itu membuat Derick seketika merapatkan kakinya yang sedari tadi sedang tertekuk sembari berbaring dengan santai, “Ada apa denganmu? Kenapa mulutmu sangat kejam seperti itu?” tanya Derick untuk ke sekian kalinya, tapi kali ini dengan raut wajah meringis ngilu.

Perasaan takut yang tadi menghampiri Ayesha sudah hilang entah pergi kemana, kini gadis yang memiliki kulit pucat dan mata biru muda itu menekuk bibirnya kedalam dan melipat kedua tangannya di depan dada, lalu menghampiri Derick yang masih menatapnya, “Awas!” ujarnya dengan galak.

“Apa-apaan ini, kau mengusir suamimu di malam pernikahan?” tanya Derick dengan bibir cemberut.

‘Ha, apaan mulutnya itu? Ih gemes, Kok beda dari yang diceritakan di komik? Mana sifatnya yang kejam dan dingin sama Ayesha di malam pertama?’

Karena tidak mendapat jawaban dari istrinya, Derick menarik tangan Ayesha yang sedang berdiri di pinggir kasur, hal itu menyebabkan gadis itu tersungkur dan jatuh tepat di atas tubuh suaminya. Untuk beberapa saat, kejadian seperti kebanyakan dalam sinetron dan drama, mereka selama beberapa menit saling beradu pandang, sembari merasakan degup jantung yang kian membuncah di dalam dada masing-masing. Ayesha adalah yang pertama menguasai kesadarannya, dan segera berguling ke sisi samping tubuh Derick dan segera masuk ke dalam selimut.

‘Waduh, jantung ku kena penyakit kah? Kok ngeri kali degupnya?’ ucapnya dari dalam hati, wajahnya juga terasa sangat memanas. ‘Sepertinya ini karena Ayesha sangat mencintai manusia Bangsat yang kini berbaring di belakangku itu.’

Ayesha yang sedang menata hatinya yang sedang berdegup begitu kencang, tidak tahu kalau manusia Bangsat yang barusan ia katakan sedang menatap punggung istrinya itu, dengan sorot mata yang sulit di artikan. Derick mengangkat lengan kanannya dan menutup kedua matanya dengan lengan kokohnya, helaan nafas berat berulang kali ia hembuskan.

***

Pagi hari menyambut, di iringi dengan cuap-cuap para burung yang bertengger di pohon yang bersebelahan dengan ruang kerja Duke Clark di lantai dua, Pria yang tahun ini baru berusia akhir tiga puluhan itu terlihat menatap kosong sekawanan burung di luar jendela. Bahkan pria itu tidak menyadari kalau sang putra sulung sudah sejak tadi menatap ayahnya dengan wajah yang tidak jauh berbeda dengan sang ayah, sama-sama terlihat mellow.

“Ayah, sudahlah. Mungkin ini adalah hal yang terbaik untuk Ayesha, bukankah ayah sudah menyetujui pernikahan mereka? Sudah terlambat jika mau memisahkan dua sejoli yang saling mencintai itu.” ucap sang putra sulung yang ternyata bernama Yustas von Clark.

Duke Clark menoleh ke arah di mana putra sulungnya berada, “Ya, aku menyesal tidak mencegah pernikahan itu lebih awal, rumah ini jadi sangat sepi setelah Ayesha pergi.” Jawabnya dengan nada mellow.

“Sudahlah, aku ke sini karena ada hal yang ingin aku laporkan kepada ayah,” pemuda itu yang tidak ingin melihat ayahnya merasa kesepian, langsung mengalihkan topik agar ayahnya itu memiliki hal lain yang dipikirkan.

Duke Clark menegakkan punggungnya dan mulai terlihat fokus dan serius kembali, “Apa itu?”

Diam-diam Yustas menghela nafas lega, “Ini tentang kekaisaran Timur yang sepertinya mulai bergerak secara diam-diam mengeksploitasi makanan.”

“Kata mata-mata yang di tempatkan di sana bagaimana? Apa alasan mereka?”

Yustas menyerahkan sebuah dokumen yang di bungkus dengan kertas coklat, “Mereka mengatakan kalau kekaisaran Timur beralasan ingin meredakan kasus gagal panen dan kelaparan yang melanda wilayah mereka, namun ada yang aneh...”

Duke Clark tersenyum sinis setelah membaca dokumen yang tadi di berikan oleh putranya, “Sepertinya mereka ingin mengumpulkan makanan untuk para tentara. Yustas, beritahu kepada Grand Duke Swiss tentang apa yang kau temukan ini, lalu setelah mencapai sebuah kesepakatan, segera temui Baginda Kaisar untuk segera mengambil tindakan. Bisa saja kali ini target mereka adalah wilayah tengah.”

“Tapi ayah, kenapa harus wilayah tengah? Bukankah untuk mencapai ke tengah, mereka harus melalui Sungai Citmerun? Ayah kan tahu, kalau sungai itu sangat luas dan dalam?” tanya Yustas dengan kening berkerut.

Selama beberapa detik, kedua manusia ayah dan anak itu saling beradu pandang, “Benar, dari sini saja sudah mulai ada yang janggal. Segeralah temui Grand Duke Swiss, lalu bawakan ini kepada putri tunggalku itu, dan sampaikan salamku padanya.”

Yustas meringis kecil, ‘Cepat sekali ayah kembali mengalihkan fokusnya kepada Ayesha, ck ck ck.’

Pemuda itu menerima uluran kotak kecil yang Duke Clark sodorkan, Yustas sedikit menimang berat kotak tersebut, bisa ia tebak kalau isi dari kotak itu adalah sebuah aksesoris yang memang sering ayahnya itu berikan kepada adik perempuannya tersebut. Setelah itu, Yustas segera undur diri untuk segera menjalankan amanat yang ayahnya sampaikan tadi, tapi baru saja membuka pintu ruang kerja ayahnya, seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun langsung muncul di hadapannya.

“Ashley, apa yang kau lakukan di sini? Kau menguping?”

Dengan sorot mata yang di buat sesedih mungkin, Ashley berkata, “Kakak, ayo bawa aku juga ke rumah kakak ipar, aku kangen dengan kakak perempuanku satu-satunya.”

Yustas menghela nafas pelan, ia menatap adik bungsunya, “Kakak perempuan satu-satunya yang kau miliki itu adalah adik perempuanku satu-satunya. Lalu, kau pasti hanya akan mengacau saja di sana, kau sebaiknya di rumah saja, bukankah kau masih ada kelas berpedang sore ini?”

“Kak, aku janji tidak akan membuat kekacauan.”

‘Aku hanya akan memberi pelajaran kepada pria yang sudah merebut kakak perempuanku satu-satunya,” sambungnya dari dalam hati.

Meskipun sedikit ragu dan melalui berbagai pertimbangan, namun Yustas akhirnya membawa sang bungsu menuju ke kediaman Grand Duke Swiss yang memakan waktu tiga jam perjalanan menggunakan kereta kuda. Tadinya Yustas ingin menggunakan kuda biasa, yang bisa mempersingkat waktu hingga satu setengah jam, tapi lagi dan lagi karena ia tahu kalau adiknya yang begitu bucin dengan kakaknya itu pasti akan mengamuk jika tetap tidak di ajak.

***

Malam kian larut saat seorang pria keluar dari ruang kerjanya, suasana yang sunyi menyambutnya sepanjang lorong menuju ke kamarnya. Bulan yang bersinar terang di luar kastil hanya mampu memberikan bias samar melalui jendela yang pria itu lalui. Hingga ia tiba di sebuah kamar dengan pintu berwarna putih, begitu ia hendak mendorong pintu, seorang pria paruh baya datang menghampiri pria tersebut.

“Yang Mulia, ada sesuatu yang ingin saya berikan kepada Anda.”

Pria itu menatap pria paruh baya tersebut, “Apa yang ingin kamu berikan, kepala pelayan Ash? Tidak biasanya kamu mendatangiku larut malam seperti ini,” tanya pria itu dengan raut wajah bingung.

Kepala pelayan Ash menghembuskan nafas pelan, seraya menyodorkan sebuah buku dengan sampul berwarna coklat terang, “Ini adalah buku harian yang pernah mendiang Nyonya Grand Duchess berikan kepada Saya, Beliau berkata agar saya menyimpannya, dan jangan berikan kepada Anda. Namun sepertinya saya harus melanggar perintah Beliau, sebab saya merasa Anda harus membaca buku yang Nyonya tinggalkan ini.”

Meskipun terlihat enggan untuk menerima, namun akhirnya Pria itu tetap mengambil buku yang di sodorkan oleh kepala pelayan Ash, “Baiklah, buku ini sudah Aku terima, sebaiknya kamu segera kembali dan lanjutkan istirahatmu.”

“Yang Mulia, bolehkah saya berbicara dengan Informal hanya untuk sesaat?” tanya kepala pelayan Ash dengan sopan.

Pria itu diam untuk sesaat, tapi kemudian lantas menganggukkan kepalanya, “Ya, silahkan.”

“Derick, Aku sudah bekerja di kediaman Grand Duke ini sejak aku berusia Dua Puluh tahun, dan itu di saat kakek kamu masih hidup, dan Ayahmu saat itu masih berusia Tiga Belas tahun. Bahkan aku menyaksikan tumbuh kembang dirimu sedari bayi hingga kamu menikah dan sampai saat ini, aku tahu dirimu orang yang seperti apa, ini adalah pemikiranku pada awalnya, namun ternyata tidak demikian, sebab aku tidak mengenali dirimu di saat kamu dengan tega membunuh wanita yang paling mencintaimu dengan tulus, wanita yang setiap harinya selalu menyanjung betapa hebat suaminya ini, namun malah mendapat nasib tragis di tangan pria yang dirinya Cintai dengan begitu besar. Derick, satu permintaanku untuk yang terakhir kalinya, tolong... Tolong merasa menyesal setidaknya sedikit saja untuk Nyonya yang sudah dirimu hilangkan nyawanya.” Kepala pelayan Ash mengangkat kepalanya, mata yang terlihat sayu itu tampak basah oleh air mata, “Yang Mulia Grand Duke Derick De Swiss, dengan ini saya, Ashfren mengundurkan diri dari jabatan saya sebagai kepala pelayan, posisi saya akan di gantikan oleh keponakan saya,” ucapnya sembari menyerahkan sepucuk amplop putih yang ia ambil dari balik jasnya.

“Kepala pelayan Ash, kau tau apa konsekuensi karena sudah membuatku marah kan?” tanya Derick dengan raut wajah emosi.

Ashfren menganggukkan kepalanya, “Ya, saya sudah siap mati di tangan anda, Yang Mulia.” Jawabnya.

Terlihat wajah Derick yang sangat marah, namun tampaknya pria itu tidak mau bersikap gegabah, ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan pelan, “Kembalilah, aku anggap tidak pernah mendengar ucapanmu, kepala pelayan Ash.”

Setelahnya Derick langsung masuk ke dalam kamarnya, mengabaikan pria paruh baya yang masih setia menunduk dengan tubuh yang bergetar. Derick berjalan menuju perapian yang menghangatkan kamarnya ini, duduk di sebuah kursi yang langsung menghadap ke perapian dan meletakkan buku bersampul coklat terang itu ke atas meja. Untuk sekian menit pria itu hanya menatap buku itu dengan tatapan dingin, seolah sedang menatap wanita pemilik buku tersebut, wanita yang pernah menjadi istrinya selama empat tahun pernikahan mereka. Derick yang merasa enggan namun karena penasaran, memilih untuk mengambil buku itu lalu mulai membuka dan membacanya. Baris perbaris, halaman demi halaman semua Derick baca, perasaannya yang semula acuh tak acuh dengan buku tersebut, kini mulai menunjukkan emosinya. Tangan itu memegang buku dengan erat, jari telunjuk yang digunakan untuk menunjuk bait demi bait kata itu tamppak bergetar, hingga sebutir benda bening menetes di atas kertas berwarna coklat tersebut.

“A-ayesha... Ayesha...” hanya kata itu yang mampu ia ucapkan.

Sebenarnya apa yang Derick baca?

***

Mata pria itu terbuka lebar, nafasnya terdengar seperti orang yang baru berlari ribuan meter jauhnya, netranya yang sudah mulai bisa menyesuaikan kondisi tampak memperhatikan sekitar.

“Ugh, ternyata aku bermimpi,” gumamnya pelan, lalu ia menoleh ke sisi sampingnya, dimana terdapat sesosok gadis yang sedang tidur meringkuk dengan posisi menghadap ke arahnya.

Senyum getir mampir di bibir tipisnya, “Ayesha,” gumamnya lagi, Derick merapatkan tubuhnya dan memeluk Ayesha yang sedang terlelap dengan nyenyaknya.

‘Maafkan aku, Suamiku. Maaf karena aku tidak bisa menjadi Istri yang sempurna untukmu.”

Derick memejamkan matanya dan semakin mengeratkan pelukannya ke tubuh istrinya, seolah dirinya mendengar suara seorang wanita di dalam pikirannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status