Chase menunggu di kantornya dengan gelisah, dia tahu begitu melihat bayi yang akan di bawa wanita bermulut tajam itu, dia bisa langsung pastikan itu anaknya atau bukan, itu keturunan Navarell atau bukan!
Tak lama pintu terbuka. Chase mengerutkan keningnya. Wanita yang berdiri di pintu segera masuk dan menutup pintu di belakangnya. Mereka saling memandang, kerutan di kening Chase makin dalam. Chase masih belum bersuara hingga suara lembut memecah kesunyian. "Kau memang pria plin plan." Chase terkejut dan seketika mengangkat keningnya. "Kau memang bermulut tajam," balas Chase. "Tadi..kau menyuruhku kembali, tapi sekarang..hanya melihat wajahmu aku tahu bahwa kau menginginkanku pergi, apa namanya kalau bukan tidak berpendirian?" "Aku mengira kau membawa bayimu, untuk apa kau sudah payah menemuiku tanpa membawa bayimu? Aku bermaksud memastikan bahwa itu memang keturunan Navarell, tapi sekarang aku tahu pasti dia bukan anakku." "Dari mana kau tahu? Kau belum melihatnya!" Chase melihat wanita itu membantah dengan kesal. "Aku telah melihat ibunya, dan aku yakin 1000% kita tidak pernah bersama!" Chase berkata sambil mendekat. "Kalau ingin menjebakku, minimal berdandan lah dengan pantas seperti mereka yang pernah terlihat bersamaku." "Sombong!" Chase melihat rona mulai menjalar dari leher naik ke wajah wanita itu. Dari jauh wanita bergaun kedodoran itu sangat tidak menarik, akan tetapi dari dekat Chase bisa melihat kulitnya yang sehalus porselen walau tanpa make up dengan mata lebar dan bibir super seksi. Chase tidak pernah membiarkan daya tarik mengalahkan nalarnya, wanita ini ingin menjebaknya jadi harus di beri pelajaran. Chase makin menundukkan wajahnya sambil kembali berkata, "dengan penampilan seperti ini, tidak mungkin akan ada bayi, walau aku dalam keadaan mabuk sekalipun, atau bahkan jika kau orang terakhir yang tersedia." Chase tahu ucapannya keterlaluan, tapi dia tidak akan membiarkan wanita ini melenggang pergi tanpa memberinya pelajaran. "Aku kasihan dengan bayi itu, karena harus terlahir dari ayah nggak jelas dan ibu penipu!" Plakkk! Chase meraba pipinya sambil menatap wajah wanita yang sekarang sedang balas menatapnya dengan murka. 'harusnya aku yang marah, tapi kenapa dia yang murka?' batin Chase. "Ayahnya memang belum jelas, tapi jangan sekali-kali bilang ibunya penipu!" seru si wanita dengan tubuh gemetar menahan marah. Chase tertawa mengejek. "Kalau bukan penipu, apa sebutannya bagi wanita mata duitan yang tidur dengan seorang pria, hamil, lalu berlari mengejar pria yang lain? Apa bukan penipu jika seorang wanita memaksa seorang pria mengakui anak yang bukan keturunannya?" Bentak Chase mulai tak lagi bisa menahan emosinya. "Kau memang pria sialan, kalau kau tidak mau mengakui anakmu kenapa kau suruh aku kembali?" "Karena aku pikir kau datang dengan anakmu." "Memangnya sekretarismu buta?" "Aku yang tidak bertanya, karena jika semuanya benar kau tidak akan takut datang dengan anakmu!" "Semuanya memang benar! Kau memang ayah Tristan!" Bentakan lembut wanita itu makin menyulut kemarahan Chase. "Tutup mulut lancangmu, sudah aku bilang, aku tidak pernah menidurimu!" Chase berkata dalam desisan sambil mendekatkan wajahnya. Kini mereka hanya terpisah oleh selembar kertas. "Kau bukan hanya sombong tapi mulutmu kotor." Chase makin marah mendengar dakwaan tak kenal takut itu. Dengan cepat Chase meraih pinggang si wanita dan melumat bibir tajam yang sudah membuatnya geram. Blaarrrr.... Bibir si mulut tajam begitu lembut... Chase merasa luar biasa nikmat. Awalnya Chase hanya ingin menghukum wanita itu, akan tetapi ternyata apa yang didapatinya luar biasa nikmat, kombinasi rasa bibir ranum si wanita dan harum lembut yang khas langsung mengaburkan otaknya. Dengan menggeram, Chase makin merapatkan pinggang si wanita yang ternyata sangat lembut. Mereka berciuman tidak terlalu lama akan tetapi efeknya masih tertinggal. Chase mundur satu langkah. Jika tadi dia belum yakin bahwa mereka tidak pernah bersama, maka kini, setelah berciuman, dia sangat yakin bahwa mereka memang belum pernah tidur bersama, karena walau dalam keadaan mabuk pun dia pasti bisa mengingat nikmatnya bibir seksi si wanita kedodoran itu. Plakkk... Tamparan kedua. "Berani-beraninya kau menyebutku penipu lalu menciumku," desis si wanita. "Berani sekali kau menamparku dua kali, ingatlah jangan ada kali ketiga, atau aku akan membuatmu menyesalinya," balas Chase. "Kalian pria tampan dan kaya raya memang brengsek semua!" Chase tertawa sinis. "Aku akan membuatmu menyesal telah menyangkal anakmu sendiri!" Bergegas si wanita berjalan keluar dan membanting pintu di belakangnya. Chase masih berdiri di tempatnya. Dia masih bisa membayangkan nikmatnya bibir yang diciumnya, bibir yang sama yang selalu mengumpatinya. 'wanita mata duitan yang berkedok lembut, pasti wanita itu mata duitan hanya tampilannya saja yang menipu, dasar pemain watak!' Chase berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang di lakukannya sudah benar. Benarkah(?)Chase terkejut.Dalam bayangannya dia melihat istrinya terbaring lemah tak berdaya bahkan mungkin masih belum siuman.Akan tetapi yang ada di depan matanya sungguh luar biasa, membuatnya terkejut karena ternyata Samantha sedang duduk bersandar dengan baju hamil (?) berwarna peach yang lembut dan saat ini dia sedang tersenyum mesra.Chase menutup matanya lalu kembali membukanya dengan perlahan. Kali ini dia melihat senyum Samantha semakin lebar. "Sweetheart, ini masih rumah sakit kan?"Tanya Chase sambil memandang ke sekeliling mereka. Samantha mengangguk. "Aku terlalu cemas membayangkan apa yang akan terjadi sehingga aku mengancam dokter yang merawat mu, bahkan aku berniat membuat perjanjian dengan para malaikat_""Kemarilah, Sayang." Potong Samantha.Chase mendekat, duduk di sisi ranjang sambil memegang kedua tangan Samantha yang berada di atas pangkuannya. "Apa yang terjadi di luar?" Giliran Samantha yang bertanya. Chase mem
Chase seketika berlari keluar kamar, begitu sampai di depan kamar Chase tertegun karena dia melihat Samantha terduduk di anak tangga."Sweetheart?" "Kepleset." Bisikan lirih yang Samantha sampaikan bagaikan suara bom yang menerjang gendang telinga Chase. Seketika Chase melesat mendapatkan Samantha, menggendongnya sambil berlari turun langsung menuju ke garasi. Chase seperti kesetanan apalagi saat dia merasa tangannya yang membopong Samantha...basah.Kecemasan Chase tidak mereda walau mereka telah sampai di rumah sakit. Dokter segera menerima Samantha, membawanya ke ruang periksa kemudian Samantha pindah ke ruang one day care. Selama proses itu Chase masih belum boleh menjenguk istrinya. Chase terduduk di kursi tunggu, saat itulah dia ingat belum memberi kabar ke orangtua dan sanak saudara akan tetapi teleponnya tertinggal di rumah. Jadilah Chase sendirian di ruang tunggu. Satu jam, dua jam, tiga jam...Ruang one day care t
Hasrat Samantha makin menjadi-jadi ketika lidah Chase menyapunya perlahan. Ini tidak cukup dan tidak lagi bisa ditahan, dia bisa gila. "Sayang...Papa Daddy..." Samantha mendengar tawa teredam yang berusaha Chase tahan, namun ia terlalu terhanyut oleh sentuhan dan permainan lidah Chase sehingga pikirannya teralihkan untuk mencari tahu apa yang terjadi. Ia merasa sudah hampir sampai, ia bisa membayangkan saat pelepasan melandanya ia akan hancur berkeping-keping saking kuatnya hasrat yang melanda dirinya. Chase masih sibuk dengan lidah dan bibirnya, mendarat di kulit hangat Samantha, mencicipi bagian-bagian yang menuntut perhatiannya. "Yeah...yeah...Sayang." Kembali Samantha mendesis ketika lidah Chase memberinya lebih banyak tekanan, membuat pinggulnya otomatis melenting. "Sayang..Daddy, jangan menyiksaku terlalu lama, please Sayang...please!" Samantha merasa tubuhnya telah luar biasa panas. Sedikit lagi. Hampir samp
"Setelah ini? Apa?" Chase bertanya dengan perasaan melambung di udara. Sejak hamil memang istrinya sudah tak terhitung berapa kali mengambil inisiatif duluan agar mereka bercinta. Yah mungkin hormon kehamilan yang membuat istrinya begitu bergairah."Setelah ini PIJAT ya." Pijat???? 'Astagaaa, ternyata perkiraannya salah total,' pikir Chase. "Ok Sayang, mau pijat tradisional, pijat urat, pijat akupuntur, pijat kecantikan?""Pijat plus plus." Seketika senyum Chase merekah.Ternyata....sesuai dengan dugaan awal. "Oke," jawab Chase dengan suara parau.Chase membalikkan tubuh Samantha menghadap ke wastafel. "Cuci tangan dulu ya."Chase menyalakan keran air lalu membawa kedua tangan Samantha dan meletakkannya di bawah kucuran air hangat. Lalu sesaat kemudian tangan Chase berpindah ke dada Samantha. Samantha tersenyum dan memandang kaca, dia melihat tangan kecoklatan yang sedang menangkup kedua dadanya, kepala suaminya menunduk sedang mengecup bahunya. Pemandangan yang memicu gair
"Bukan nggak mau minggir." "Lalu?" Dengan perlahan Samantha berbalik dan memandang wajah suaminya yang aura maskulinnya tumpah ruah. "Bukan nggak mau, Daddy...tapi kuncinya ilang." Chase masih mencerna panggilan Daddy yang mendatangkan kebahagiaan ketika kalimat terakhir meresap di benaknya. "Kuncinya hilang?" "Hilang." "Hilangnya dimana?" "Nggak tahu, Sayang." "Kok balik lagi, tadi kan udah Daddy!" Samantha tertawa. 'Yang hamil siapa, yang aleman siapa.' Samantha hanya tersenyum tanpa menyuarakan apa yang ada di pikirannya."Masa Tristan panggil Papa, adiknya panggil Daddy, ntar anak ke 3, ke 4, manggil apa?" "Father, Bapak, Papi, Abi, Momo, masih cukup panggilannya sampai anak ke 7." Samantha bahagia membayangkan dirinya dikelilingi oleh anak-anaknya. Sambil terkekeh-kekeh Samantha berusaha bersuara. "Yang standard dong, kalau panggilan nggak standart ya sampai anak 50 juga nyampai." Chase membelalakkan matanya. "Anak lima puluh? LIMA PULUH? Mau nandingi Ku
Hari-hari yang Chase lalui begitu berbeda. Memiliki Samantha dan Tristan dalam hidupnya sudah lebih dari yang dibayangkan, apalagi kini akan hadir buah cintanya dengan Samantha! ASTAGAAAAA... Rasanya tak terkatakan! Rasanya luar biasa.Chase tak pernah berpikir bahwa dia bisa berubah begitu tidak masuk akal.Dia tidak akan membiarkan Samantha capek sedikitpun, bahkan Chase membawa semua bawaan Samantha hingga Samantha ngambek dan protes. "Biarin Samantha beraktifitas normal dong. Kalau nggak boleh bawa apa-apa malah bingung, hamil apa sakit?"Chase hanya terdiam, lalu maju dan memeluk istrinya."Kehamilan anak pertama itu harus dijaga dengan hati-hati, kan belum pengalaman.""Samantha udah pengalaman rawat Tristan." Bisik Samantha. "Itu kalau udah lahir, pas hamil kan belum, ayolah Sayang tenangkan hatiku, biarkan aku menjagamu." "Kamu bukan menjagaku, Sayang. Kamu terlalu memanjakan aku.""Ok, nanti kalau sudah lahir aku