Langit tampak gelap sore itu. Angin berembus kencang diiringi dengan kilatan petir. Shreya yang sedang menyusui Nathan segera menutup gorden. Tidak berselang lama, bayi itu pun tertidur. Ponsel Shreya berdering pertanda satu panggilan masuk. "Halo, Dek," sapa Shreya saat tahu Jody yang menelepon. "Apa kabar?""Baik. Tapi, ada kabar buruk untuk Kakak.""Apa? Ibu dah Ayah sakit? Atau apa?!" Shreya mendengar Jody tertawa. "Apanya yang lucu?! Cepat katakan!""Kakak tenang dulu. Ini perkara putri tiri Kakak."Semula Shreya yang berdiri dekat box bayi, kini beralih duduk di tepi ranjang. Jody mengatakan jika Pricilla dekat dengan Cindy. Cindy, qadik dari Alexander. "Apa?!" Shreya benar-benar terkejut. "Maaf, aku baru ngabarin ini." Jody mengatakan jika dirinya tahu karena mengikuti Pricilla sampai ke bandara kemarin. Pun mencari tahu sejak kapan dan sedekat apa Pricilla dengan Cindy dari Dio. "Dio adik angkatnya Mbak Cindy, Kak. Jadi, auto mereka dekat."Shreya memijat keningnya. Embus
Satu bulan sudah berlalu. Setelah perdebatan itu sikap Shreya masih seperti biasanya. Ramah, perhatian, dan selalu mementingkan keluarga, terlebih kepada Pricilla. Seperti pagi itu, istri pemilik sebuah perusahaan ternama itu tetap sabar mengahadapi Pricilla walau gadis itu ketus terhadapnya. "Cari apa, Sayang?" "Ck! Kepo!"Shreya tersenyum. "Kalo Tante bisa bantu, kan, kamu bisa cepet sarapan, Nak.""Iket rambut!"Tidak kurang dari satu menit, Shreya menemukan benda itu."Ini apa?" Shreya mengacungkan ikat rambut itu. "Sini!" Pricilla menyambar, tetapi secepat kilat Shreya menjauhkannya."Duduklah, biar Tante bantu.""Gak! Sana, Tante keluar aja, ah!"Shreya tidak memedulikan apa kata Pricilla. Ia menuntun putrinya untuk duduk di kursi meja rias walau gadis itu sempat berontak. Shreya memulai dengan merias wajah Pricilla, tipis saja. Memoles pelembab bibir dan mengikat rambut. "Perfect! Jerawatnya sudah hilang, jadi tambah cantik, deh! Anak Tante!"Pricilla memutar bola matanya.
Sementara di kediaman Felix, ada Lorenza datang berkunjung. "Pada ke mana, Bi, kok, sepi?""Kalo gak salah denger, tadi Nyonya bilang ke klinik spa terus pulangnya ke kantor bapak, Bu.""Kantor Felix maksudnya?"Sang ART itu terkekeh-kekeh. Karena kemiripan Felix dengan mendiang suami Lorenza'lah membuat dirinya selalu menyapa Felix dengan sebutan bapak. "Iya, Bu, maksudnya Tuan Felix.""Ya, udah, tolong bawakan koper di mobil, ya?""Baik, Bu." Sang ART melenggang pergi. Lorenza hendak ke kamar yang biasa ia tempati saat berkunjung. Namun, langkahnya terhenti saat melihat kamar dekat tangga. "Bi, tunggu, Bi! Ke marilah!""Iya, ada apa, Bu?""Apa semua barang milik Debora masih ada di sana?""Masih, Bu. Bahkan Nyonya pernah masuk."Lorenza menghela napas, kemudian meminta kunci cadangan kamar itu. Pintu sudah terbuka lebar. Lekas majikan dan pembantu itu masuk. Lorenza memijat keningnya. Sungguh ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Felix. Entah sampai kapan putranya itu bisa melu
Shreya benar-benar menjalankan komitmennya. Kemarin ia kecewa, semalam ia menangis, tetapi pagi itu Shreya harus terlihat ceria. Tidak mungkin juga jika Shreya harus menunjukkan wajah muram karena ada Lorenza di sana Namun, ada pemandangan berbeda di mata Shreya, yakni sikap Pricilla. Gadis itu tampak murung. "Sayang, kenapa gak dimakan? Apa tidak enak masakannya?" tanya Shreya kepada Pricilla. Pricilla hanya menggeleng. "Makanlah. Sarapan itu penting," timpal Lorenza yang mampu membuat Pricilla patuh. "Mas juga, kenapa hanya diaduk saja nasi gorengnya. Ayok, dimakan! Apa mau Aya suapin, hem?" Shreya menggoda Felix. Terlihat bibir Felix melengkungkan senyum. "Tidak usah. Mas bisa sendiri, kok."Dret! Suara kursi yang bergesekan dengan lantai terdengar nyaring. "Pa, aku berangkatnya diantar Pak Joko aja," ucap Pricilla, kemudian berlalu begitu saja tanpa berpamitan kepada Shreya dan Lorenza. Shreya memerhatikan Pricilla sampai gadis itu hilang di balik pintu. "Apa yang sebenar
Setelah menemui Melani, Cindy kembali ke club. Rasa penasaran yang membuncah membuat ia menepikan mobilnya. Diraihnya ponsel yang ia simpan di dasbor. Jarinya berselancar membuka situs internet mencari informasi tentang Felix, karena setahu dirinya ayah dari Pricilla itu adalah seorang pengusaha. Mata Cindy membulat sempurna saat membaca sebuah laman yang menyebutkan bahwa Felix Henry adalah seorang pengusaha sukses, memiliki dua perusahaan besar dan beberapa cabang perusahaan di luar negeri. "Waw! Amazing!" pujinya dengan bibir melengkungkan senyum. "Gila! Si Aya beruntung. Setelah jadi janda Kak Alex dia dapat yang lebih kaya!" lanjutnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ponsel masih dalam genggaman. Cindy terdiam memikirkan apa yang dikatakan oleh Melani, 'menjadi istri Felix'. "Boleh juga ide Ibu! Kalo Mas Felix jadi suamiku, aku tinggal ongkang-ongkang kaki saja di rumah."Cindy tersenyum penuh arti karena jalannya menjadi seorang pelakor sudah terbuka lebar, yakni hati Pr
"Emm ... wangi!" ucap Lorenza saat memasuki dapur. "Eh, Mama, Aya lagi coba bikin iga bakar. Tadi Mas Felix telepon minta dianterin dokumen, sekalian aja Aya bawain makan siang."Lorenza tersenyum. "Good idea! Semoga perlahan Felix luluh.""Iya, Ma, semoga."Lorenza menyarankan agar Nathan tetap di rumah bersamanya. Selain cuaca di luar panas, tanpa Nathan, Shreya akan lebih leluasa bersama Felix. "Tapi, nanti Mama repot.""Tidak usah sungkan. Sana, perah dulu ASI-nya."Shreya tersenyum senang. Lekas ia mencuci tangan dan siap untuk memerah ASI. Jarum jam sudah menunjuk pada angka sebelas. Dokumen dan menu makan siang sudah di tangan, Shreya pun berangkat menunggangi mobil kesayangannya. *Shreya sudah memarkirkan mobil di basement. Lekas, istri dari Felix itu turun. Senyum tak hentinya terukir di bibir ranum Shreya saat ke luar dari lift. Menarik napas panjang dan mengembuskan napas kasar ia lakukan terlebih dahulu sebelum mengetuk pintu ruangan Felix. Lekas ia masuk setelah ter
Malam itu Shreya dan Lorenza sedang berkumpul di ruang keluarga, tak lupa si kecil Nathan yang sedang belajar merangkak. Hanya saja tidak ada Pricilla di sana. Sedari siang gadis itu tak kunjung ke luar kamar. "Malam," sapa Felix. Pria jangkung itu baru saja pulang kerja. "Eh, Papa, baru pulang," kata Shreya menirukan suara anak kecil. "Sibuk kerjanya, Mas?""He'em," jawab Felix singkat. Perhatiannya beralih kepada Nathan. "Kok, jagoan Papa belum tidur, sih?" Felix menggendong Nathan. "Mungkin sebentar lagi. Jagoan Papa lagi semangat belajar merangkak sepertinya."Felix hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Gimana rasa iga bakarnya tadi. Enak, kan?" tanya Lorenza kepada Felix. Sejenak Felix terdiam, lalu melihat ke arah Shreya. "Emm ...,"Dari gelagat Felix, Shreya bisa menyimpulkan jikalau Felix tidak memakan masakannya. "Pokoknya hari ini Aya seneng, Ma. Mas Felix melahap habis iga bakar bikinan Aya. Katanya enak," ucap Shreya cepat. "Iya, kan, Mas," lanjutnya bertanya kepada F
"Papa perhatikan kamu senyum-senyum terus. Kenapa? Kamu senang di keluarkan dari sekolah? Begitu?" tanya Felix di bibir pintu kamar Pricilla. Pricilla menoleh dan Seketika senyum itu lenyap. "Bukan, Pa. Aku hanya seneng aja mau ikut ke Bali. Coba Papa ingat-ingat, deh, kapan terakhir kali aku liburan?"Felix menghela napas dan memilih masuk, kemudian duduk di samping Pricilla. "Waktu kamu masih kecil, pernah, kok, liburan. Tahun kemarin juga bukannya kita ke luar negeri, ya?"Pricilla menepuk keningnya. "Liburan, ya, Pa, bukan pindah rumah!" Pricilla mengingat saat mereka tinggal di luar negeri tak lama setelah Debora meninggal. "Bikin momen indah yang bisa aku inget juga, dong, Pa," lanjutnya. Felix mengelus kepala Pricilla dengan sayang. Tak hentinya kata maaf terucap. Ia berjanji akan menebus semua waktu yang hilang itu. Maklum saja, setelah Pricilla beranjak dewasa perusahaan baru mendapatkan tender besar, ditambah lagi Felix harus kehilangan ayah untuk selama-lamanya yang meng