Share

Bab 5 Bubur Ayam

BAB 5 Bubur Ayam

"Suaminya nggak dipesenin sekalian, Mbak?" tanya pelayan yang berdiri menanti pesanan.

"What?! Suami?!"

"Biar pesan sendiri. Tanya aja orangnya!" Syila masih bersikap tak acuh karena Refan selalu mengejeknya.

"Bubur dan jeruk panas, Mas."

"Baik silakan ditunggu dulu!"

Syila terpaksa duduk bersisihan dengan Refan, karena warung bubur itu ramai di pagi hari. Banyak karyawan perusahan di ibukota yang mampir sarapan di situ.

"Eh, pasangan serasi ya mereka." Syila sempat mendengar bisik-bisik wanita paruh baya yang duduk berselang satu meja dengannya.

"Iya, biasanya Mbaknya yang cantik sendirian. Apa dia sudah menikah?"

Syila semakin risih. Dia memang rajin sarapan di sana bersama teman kantornya sewaktu tinggal di kontrakan.

"Itu mungkin suaminya. Ganteng banget kayak artis yang jadi brand ambasador kosmetik terkenal itu lho."

"Komestik yan mana?"

"Itu lhoh, kosmetik B ***?"

"Oh, kosmetik yang lagi hitz?" Wanita satunya mengangguk dengan tatapan masih fokus ke arah Refan.

"Eh benar ya, Mbak. Kalian sudah menikah? Mbak dan masnya pasangan serasi."

"Astaga. Nih ibu-ibu keponya selangit. Malu-maluin sudah seperti gosip selebriti."

Syila melirik sebelahnya sebelum menjawab. Refan terlihat hanya cengar-cengir membuat Syila bertambah kesal.

"Maaf, Bu. Kami ini...." Syila berusaha menjelaskan, tetapi Refan buru-buru menyela.

"Iya. Pengantin baru, Bu. Baru juga kemarin nikahnya."

"Eh. Siapa ...." Belum juga Syila menjelaskan yang sebenarnya, ibu-ibu itu malah menimpali tanpa jeda.

"Wah, gimana tuh malam pertamanya Mbak. Kalau suaminya ganteng macam mas ini, ya semalaman betah di kamar. Sampai-sampai paginya nggak bisa berangkat kerja."

Syila hanya menelan salivanya. Ia jelas sudah masuk ke skenario konyol Refan.

"Iya Bu. Semalam kami main banyak ronde sampai nggak bisa tidur," celetuk Refan geli.

"Wah." Ibu-ibu yang mendengar justru berteriak histeris membuat pengunjung lain melihat ke arahnya. Syila malu benar. Ia menatap tajam Refan yang bersikap santai menanggapi.

"Nggak kasian istrinya, Mas?" celetuk ibu satunya.

"Nggaklah, selagi dia minta dan saya masih kuat ya tetap lanjut. Sampai dia ketiduran barulah berhenti mainnya."

Tidak hanya ibu-ibu yang mengajaknya ngobrol yang terpukau, bapak-bapak yang mendengarnya hanya menelan ludahnya.

"Maaf Bu, Pak. Kalian jangan dengerin omongan suami saya. Dia lagi lapar ya begini, suka ngelantur."

"Oh, ya. Mbak sampai nggak sempat masak ya. Pasti bangun kesiangan tadi. Beruntung suaminya pengertian Mbak. Makin disayang tuh suaminya biar nggak dilirik orang."

"Hadeh, salah ngomong. Capek deh," gerutu Syila sambil menepuk jidatnya.

Refan tergelak dengan sikap ibu-ibu yang justru menimpali ucapan Syila dengan candaan. Syila menginjak kaki sebelahnya supaya berhenti berulah. Refan pun mengaduh.

"Jangan kasar, Syila. Lu mau main kdrt?" bisik Refan di telinga kiri Syila.

"Bisa diem, nggak?!" balas Syila dengan wajah garang menatap Refan. Laki-laki itu hanya cekikikan. Mereka menghabiskan bubur dan minuman yang di pesan. Syila juga membawakan dua bungkus untuk Zein dan Sania sesuai pesanan Zein.

"Ayo masuk!" Refan membuka pintu depan mobil sportnya. Namun Syila ogah-ogahan naik mobil itu.

"Nggak! Aku mau naik ojek aja."

"Sudah masuk aja! Maaf kalau gue memaksa. Lu sendiri yang berulah membuat gue memaksa dengan cara ini."

"Refan!" jerit Syila tetapi tak dihiraukan Refan. Justru laki-laki itu terbahak membuat Syila kesal. Refan menyeret dan memasukkan Syila ke mobil.

"Ini juga permintaan abang. Kalau bukan abang yang minta ogah gue anterin lu kemana-mana. Lebih baik anter cewek lain yang penurut," terang Refan.

"Ya sana! Dasar playboy."

"Playboy tapi keren kan. Ibu-ibu tadi aja kesengsem."

"Dih, pedenya selangit."

"Iya, dong. Wajib."

Tanpa sadar Syila menarik bibirnya satu senti ke kanan dan kiri. Meski menyebalkan, bersama Refan dirinya bisa tertawa lepas. Sampai-sampai Syila lupa kesedihannya beberapa jam lalu.

Refan mampu membuatnya tertawa konyol sekaligus kesal dalam waktu yang bersamaan.

Dia jadi mengulum senyum sendiri saat mengingat dulu pernah ditawari Refan untuk memilihnya tetapi Syila lebih memilih Zein. Apa jadinya sekarang kalau dirinya memilih Refan, mungkin hidupnya tidak serumit menikah dengan Zein.

Dipikir Syila menikah dengan Zein dirinya adalah istri satu-satunya. Ternyata justru dia istri kedua Zein. Menyedihkan.

"Sudah melamunnya."

"Astaghfirullah!" Syila memekik kaget, tiba-tiba wajah Refan tepat di depannya. Jaraknya hanya sekian senti hingga napas Refan menyapu wajahnya.

"Jangan bikin aku jantungan!"

"Ni otak jangan keseringan melamun. Takutnya lu kesambet setan. Nanti bisa-bisa lu ngejar-ngejar gue lagi." Tawa Refan meledak melihat wajah Syila yang menegang. Syila sudah berpikir yang iya-iya, Refan mau menyentuhnya. Ternyata pria menjengkelkan itu hanya memasangkan seat beltnya.

"Duh, malunya aku." Syila menepuk jidatnya sendiri. Ia membuang muka ke arah samping agar tidak terlihat bersemu merah.

"Gini nih, pengantin baru kurang sentuhan suami. Mikirnya kejauhan," ledek Refan.

"Nggak usah meledek. Kayak kamu laku aja. Nyatanya ganteng-ganteng masih jomblo. Siapa yang lebih menyedihkan di antara kita?" Syila menjulurkan lidahnya. Dia tidak mau kalah membalas ejekan Refan.

"Syila, Syila. Gue mau jalan sama wanita tuh gampang. Tinggal telpon ajak makan malam banyak yang mau. Lha kamu punya satu laki-laki aja nggak peduli."

Nyes, ucapan terakhir Refan mampu menyiram kobaran api yang sempat padam menjadi menyala lagi. Matanya sudah berkaca-kaca. Sakit hatinya karena perlakuan suaminya tak sebanding dengan ejekan Refan. Ucapan Refan benar-benar menusuk sampai ke ulu hati.

Mendadak Syila diam. Lidahnya kelu, ia tidak sanggup membalas ucapan Refan.

Kepalanya menyandar di kaca samping kiri. Dadanya terasa sesak, semakin sulit ia meraup oksigen untuk bernapas karena tangis yang ditahannya. Tak kuat menahan, akhirnya tangis Syila pecah.

Ia menangis tergugu di samping Refan yang sudah melajukan mobilnya beberapa ratus meter.

"Syila. Syila!" Refan menepikan mobilnya. Ia kebingungan menenangkan wanita yang menangis. Kalau semalam dia menghibur Syila dengan ejekan yang berupa candaan. Namun, pagi ini Syila justru menangis akibat candaannya.

"Maafin gue, Syila. Ucapan gue dah bikin lu sakit hati ya?" Syila masih tergugu. Tangisnya tak juga mereda justru histeris membuat Refan panik. Dia paling tidak tahan saat melihat orang menangis histeris atau menahan kesakitan. Dia tidak mau penyakitnya kambuh di depan Syila. Gegas, ia keluarkan benda kecil untuk dihirup supaya lebih lega. Refan selalu siaga dengan tidak jauh dari benda itu.

"Jahat. Kamu jahat Fan. Kamu lebih jahat dari Mas Zein. Sakit tahu."

"Maaf. Mana yang sakit?" Refan memutar otak untuk meredakan tangis Syila.

"Ayolah, Syila. Bisa diam nggak? Nanti gue beliin es krim di mall."

Syila menggeleng keras. Refan melorotkan bahu, usahanya pertamanya gagal. Ia segera menarik kepala Syila untuk menyandar di bahunya. Syila tersentak dibuatnya.

"Fan?"

"Menangislah, tetapi jangan terlalu keras. Nih, bahu gue siap untuk lu bersandar." Refan masih menarik napas dalam beberapa kali.

Benar saja, Syila menyandarkan kepalanya di bahu kiri Refan. Kedua tangannya menutupi wajah yang masih terisak. Sempat melirik ke arah samping, Syila sebenarnya terkejut melihat perubahan Refan. Ia mengernyit penasaran saat Refan memegang benda kecil lalu diletakkan di sekitar mulut dan hidung.

"Refan kenapa pucat begitu? Ah sudahlah, salah dia sendiri membuatku terlihat buruk."

"Aku harus gimana supaya Mas Zein tertarik sama aku."

Refan hanya mendecis. Sedikit lega dirasakan, karena tangis Syila sudah sedikit mereda. Bahkan sosok ceria di sampingnya bisa mencurahkan hatinya.

"Kalau lu cengeng begini, Bang Zein tambah nggak tertarik lah."

"Lalu menurutmu aku harus apa?" Syila bangun dari rebahannya. Menanti harap-harap cemas saran dari Refan. Dia ragu, bisa jadi Refan akan menyarankan hal konyol.

"Coba lu pelajari dari Sania. Apa yang membuat Bang Zein tertarik sama Sania."

"Mbak Sania cantik," celetuk Syila.

"Kamu juga nggak kalah cantik."

"Hah?" Syila tertegun dengan ucapan Refan.

"Secara umum semua wanita cantik, Syila."

"Iya, sih. Lalu apa, dong?"

"Ya apa, kek. Mungkin pelayanan Sania lebih memuaskan kali," imbuh Refan membuat Syila melotot tajam ke arahnya.

"Aku juga melayani Mas Zein dengan baik. Menyiapkan baju, menyiapkan sarapan tadi."

"Bukan itu, Syila. Pelayanan plus-plus. Ini obrolan dewasa, bukan anak TK."

"Apa?!" pekik Syila dengan mulut menganga. Refan justru membalas dengan kedipan alis. Menyebalkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status