BAB 6A Bromo
"Aku juga melayani Mas Zein dengan baik. Menyiapkan baju, menyiapkan sarapan tadi." "Bukan itu, Syila. Pelayanan plus-plus. Ini obrolan dewasa, bukan anak TK." "Apa?!" pekik Syila dengan mulut menganga. Refan justru membalas dengan kedipan alis. Menyebalkan. "Apa yang dimaksud Refan pelayanan di ranjang. Hufh, malam pertama aja kami nggak tidur sekamar. Gimana aku mau melayani." Refan menoyor kepala Syila hingga suara mengaduh Syila melengking. "Nggak usah piktor. Maksud gue apa lu pernah ciuman sama bang Zein gitu?" Syila terlonjak kaget. Ciuman, boro-boro ciuman, ngobrol bareng aja ada Sania kayak polisi sedang patroli. "Belum. Masak iya ada Sania mau ngelakuin kayak gitu." Refan terbahak mendengar kejujuran Syila. "Polos amat sih lu. Masak iya minta gue ajarin?" Refan mengedikkan alisnya. Mulailah keluar sifat playboynya. "Nggak perlu!" pekik Syila bercampur malu. "Gimana bisa cantik banget kayak Mbak Sania, Fan?" Syila menerawang jauh, bayangan Sania yang anggun dengan dress hitam tadi pagi, dilengkapi bolero putih. Rambut panjangnya hitam mengkilat, make up wajahnya natural tetapi terlihat berkelas penampilannya. Syila membandingkan dirinya dengan Sania. Jauh berbeda. "Sudah dibilangin, cantikkan hati lu. Tidak hanya wajah doang yang cantik. Lu kan cerdas, lebih tepatnya licik. Kenapa nggak gunakan otak pintar lu. Ingat waktu kita di Bromo, kan?" Syila terkesiap. Gegas ia memutar memorinya saat pertemuan pertama dengan Refan. Kala itu, Syila tak menyangka harus tinggal seatap dengan Refan saat diberi liburan oleh bosnya yang super duper berwajah dingin tak lain Zein Raditya Arkana. Pria berusia 27 tahun yang akan dijodohkan dengannya. Tampan sih iya, selangit malah, tapi senyumnya mahalnya minta ampun. Konon kata karyawan lama, si bos pernah ditinggal kekasihnya hingga jadi seperti es kutub. Apa iya harus nangis atau ketawa guling-guling dulu di depannya biar dia tersenyum. Menyebalkan. Berbeda dengan bosnya, Refan justru tukang obral senyum alias hobi TP-TP(tebar pesona). Menurut penilaian Syila, Refan termasuk playboy kelas kakap. Makanya dia harus berjaga-jaga, khawatir jatuh dalam pesonanya. Lihat saja, saat Syila tak sengaja bersitatap dengannya, eh dia mengerlingkan sebelah matanya. Sontak saja, Syila bergidik ngeri. Syila mengaku saja sebagai lulusan SMA, bekerja di ibukota sebagai pelayan. Nggak bohong, kan? Sekretaris Direktur sama dengan pelayan juga, kan?Sementara itu, Refan yang baru pulang dari kuliah S2 di LN, mengambil liburan dengan jalan-jalan. Mujur tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak, ketemu gadis barbar macam Syila. Mengakulah dia sebagai office boy di sebuah perusahaan ternama di ibukota. Syila sampai di sebuah penginapan dengan berjalan tergopoh-gopoh. Perjalanan panjang dari ibukota setengah hari naik kereta sampai menjejakkan kaki di kota Malang. Dia lantas memilih naik angkutan umum di terminal Arjosari menuju terminal Bayu Angga Probolinggo. Dilanjutkan dengan naik angkutan desa menuju Cemoro Lawang. Senja menampakkan semburat jingga, sungguh keindahan yang tampak oleh mata. Siapakah yang bisa menolaknya. Perjalanan yang melelahkan akan terbayar oleh keindahan alam ciptaan-Nya. Akhirnya Syila sampai juga di sebuah penginapan sederhana dengan bantuan naik ojek. Dengan hanya berbekal g****e map, Syila mendapatkan penginapan dengan harga dibawah rata-rata sesuai kantongnya. "Maaf, kamar yang Mbak inginkan sudah sold out semua. Tinggal satu paket family room. Terdiri dua kamar tidur, dapur,dan ruang santai." Syila melongo mendengarnya, binar di wajahnya pun meredup. Bayangan melepas lelah di kasur dengan nyaman menguap begitu saja. Hari mulai menggelap, tak mungkin dia mencari penginapan lain karena hawa dingin di luar juga menyengat. "Tarifnya gimana?" tanyanya lirih seraya menoleh ke kanan dan kiri, khawatir ada yang mendengar. Ternyata kantongnya pas-pasan, sok-sok liburan jauh melepas penat yang ada kepalanya tambah cenut-cenut. "Tiga kali lipat dari yang Mbak pilih tadi." "Apa?!" Reflek Syila menutup mulutnya sambil meringis.Terdengar denting sepatu semakin mendekat. "Bang, ada kamar kosong?" tanyanya merebut posisi antrian Syila. "Hey, tahu nggak di sini ada orang. Antre dulu kenapa?!" teriaknya pada sosok laki-laki yang datang dengan nafas tersengal. "Ada, Mas. Tinggal satu paket family room. Tapi...." "Sudah saya pesan, jangan dikasih ke dia, Mas!" "Oh ya, maaf, Mas, sudah sold out kamarnya. Silakan isi datanya, Mbak! Pembayaran mau di muka atau di belakang?" Laki-laki itu sedikit menyingkir, tetapi masih mengamati gerak gerik Syila. "Saya bayar separo dulu ya, Mas." "Separonya saya yang bayar, Bang. Kamarnya ada dua, kan? Nggak masalah."Mata Syila terbelalak. Bisa-bisanya tuh orang menyerobot semaunya. "Udah Mbak, kasih aja. Enak kan, jadi ringan bayarnya." "Iya, nggak mubadzir juga kan, Bang," selorohnya membuat napas Syila kembang kempis. Mau berteriak kok ya sudah malam, dikira ada maling penghuni pada keluar semua. "Hufh, nasib mau liburan jauh-jauh dari bos dingin. Eh ketemu sama laki-laki tampang playboy gini," gerutunya dalam hati."Hufh, nasib mau liburan jauh-jauh dari bos dingin. Eh ketemu sama laki-laki tampang playboy gini," gerutunya dalam hati.Demi menghemat kantong biar ngga kering, Syila menyewakan satu kamarnya. Sayangnya, kamar mandi dan dapur dipakai bersama. Keduanya sepakat untuk menjadi penghuni saling asing. Artinya tidak ada dua orang di tempat yang sama. Saat salah satu menggunakan dapur, maka salah lainnya tidak berada di situ. Terdengar ribet, tapi demi keamanan bersama terutama Syila yang aslinya gadis polos lulusan pesantren. Di luarnya saja dia menjadi gadis bar-bar untuk tameng dari godaan playboy. Pria itu mengenalkan diri dengan nama panggilan Refan. Syila sempat membatin, pria itu mirip bosnya. Namun kelakuan mereka bertolak belakang. Apalagi penampilan Refan berambit gondrong, menambah kesan plaboynya.Menjelang malam, cacing di perut mulai berteriak protes. Syila mengeluarkan bahan untuk makan malam yang sudah menjadi bekal di tas. Keluar kamar dengan kerudung instan, kaos panjang d
BAB 7A Ciuman"Sudah ketawanya. Tadi aja nangis-nangis, sekarang ketawa nggak jelas. Dikira lu cantik-cantik nggak waras nanti.""Fan, tadi malam yang mindah aku ke ranjang siapa?" Syila berubah serius saat menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran.Refan hanya bergeming membuat Syila menoleh dan menatap lama adik iparnya."Fan.""Hmm." Refan menyunggingkan senyum, membuat Syila mendecis."Kamu maunya gue yang angkat atau Mas Zein?" Refan justru berbalik tanya semakin membuat Syila kesal."Ckk, selalu begitu kalau ditanya. Ya, jelas aku berharap suamiku yang mindahin lah. Lain kali awas ya kalau aku tidur di sofa, kamu jangan mindahin aku. Panggilkan saja Mas Zein.""Tentu saja, suami lu yang lebih pantas memindahkan." Syila menghentikan perdebatannya setelah merasa lega, bukan Refan yang memindahkan tidurnya di ranjang melainkan suaminya. Mobil akhirnya memasuki pelataran perusahaan kosmetik yang turun temurun dari keluarga kakeknya. Awal mula perusahaan itu dipegang omnya karena
Bab 7B"Pagi, Bu Syila." Seorang karyawan bagian keuangan barusan melintasinya."Selamat atas pernikahannya ya, Bu. Bos memang serasi dengan Bu Syila." Syila memandnag kesal pria di sampingnya."Terima kasih, Pak." Refan berdehem membuat karyawan itu menunduk hormat."Pagi, Bos." "Lanjutkan kerjamu!" titah Refan diangguki patuh oleh karyawan laki-laki yang berusia muda tadi. Syila hanya mengernyit, dan bertanya-tanya dalam hati."Apa mereka tidak tahu Refan kembaran bosnya?" Syila hanya mengedikkan bahunya lalu melangkah kembali menuju ruang kerjanya yang menjadi satu dengan ruang direktur. Ia lupa kalau Refan sudah memangkas rambut hingga pendek seperti Zein.Syila melangkah tanpa ragu. Ia sudah biasa mengetuk pintu, lalu masuk ke ruang Zein seperti hari biasa saat bekerja."Kayaknya yang ini lucu deh bajunya.""Iya, Sayang." Zein terlihat mencolek dagu Sania, saat Syila masuk ruang kerjanya."Ishh, nakal." Suara manja khas wanita menyapa telinga Syila saat masuk ruang Zein. Ia mel
BAB 8A Coba-coba"Mas Zei...." Bersamaan dengan bunyi lift berdenting. Pintunya terbuka, tampak dua orang karyawan berdiri terperangah di luar. Keduanya melihat adegan dewasa telah terjadi di dalam lift. Reflek Syila mendorong dada Refan sesaat setelah pintu lift terbuka. Ia menerobos dari bawah lengan Refan yang mengurungnya."Syila?! Apa yang kamu lakukan?" Refan ikut menoleh ke arah sumber suara."Hah. Maaf Bos, kami sungguh tidak melihat apa-apa. Bener, deh!" Salah satu karyawan yakni Merry sahabat Syila segera menarik tangan temannya untuk kabur dari situ. Keduanya takut dipecat karena kedapatan mengganggu kesenangan bosnya.Syila hanya melongo melihat Merry yang terbirit bersama rekan yang lain. Ia berbalik ternyata lift sempat menutup dengan Refan memberikan kiss dari jauh."Hufh, menyebalkan." Tubuh Syila merinding melihat tingkah adik iparnya. Gegas ia mencari Merry untuk berbagi cerita.Langkah Syila yang tadinya cepat berubah melambat setelah sampai di depan ruang bertuli
BAB 8B Coba-coba"Lalu, buat apa nikah sama kamu? Kasian amat kamu, Syil. Sekali menikah jadi istri kedua.""Kamu meledekku, Mer?" Merry hanya tersenyum meringis."Dah lah jangan tanya alasannya kenapa. Tahu sendiri kan, bos patah hati ditinggalin seorang wanita, sikapnya jadi dingin kayak es kutub. Eh tahu-tahu wanita itu mencarinya saat hari pernikahan kami tiba.""Iya, wanita itu katanya cinta pertamanya. Bos masih cinta kali ya sama wanita itu.""Ckk, kamu bukannya menghibur malah bikin aku sakit hati sih, Mer.""Iya, maaf. Trus gimana kelanjutannya? Kamu minta pisah?"Syila menggeleng. Janjinya pada diri sendiri juga keluarganya selama masih kuat bertahan, maka ia akan mempertahankan pernikahannya. Meskipun pernikahannya lahir dari perjodohan, ia menganggap pernikahan adalah hal yyang sakral bukan untuk dipermainkan."Lalu?""Kamu bantu aku, Mer. Gimana caranya menarik perhatian Mas Zein.""Hmm, kalau itu mah gampang. Kamu coba-coba aja menggodanya. Nanti malam, pas di kamar tuh,
BAB 9A Jemari LentikSyila duduk di sofa pantry, masih terpaku dengan pikirannya. Langkah kaki terdengar memasuki ruang untuk pelarian para karyawan menghalau kantuk dan pegal karena duduk terlalu lama. Perusahaan kosmetik turun temurun milik keluarga Ilyas Arkana Wijaya memang mengedepankan kenyamanan tidak hanya bagi petinggi, tetapi juga bagi karyawannya. "Nona, Syila. Ngapain di sini pagi-pagi?" Pria berpostur layaknya seorang bodyguard itu berjalan mendekat ke arah rak berisi aneka minuman. "Eh Pak Alex. Bikin coklat panas, biar moodnya naik, Pak." Syila mencoba memberikan senyum terbaiknya seperti saat dia masih menjadi sekretaris Zein sebelum menikah. Walaupun hatinya sedang dongkol dengan bosnya, Syila tidak mau orang lain kena getahnya. Sebisa mungkin ia menghindari hal itu. Tidak heran banyak karyawan yang menyukainya sifat Syila. Dia wanita yang mudah bergaul dan pandai bicara. Obrolannya selalu menyenangkan. Bahkan pertemuan pertamanya di Bromo dengan Refan membuat pria
BAB 9B Jemari Lentik "Nona Sania apa kabar?" Refan mengernyitkan dahi. Ia merasa heran, kenapa tiba-tiba Alex menanyakan wanita itu. Wanita yang telah pergi meninggalkan abangnya dan kini kembali dengan berbadan dua. Setitik nyeri hadir di dadanya, seolah membuka luka lama yang belum kering. "Baik, Pak. Dia sedang hamil." "Apa?! Hamil?!" Refan melihat perubahan wajah Alex yang mendadak serius. "Kenapa? Pak Alex sepertinya kaget begitu." Refan sedikit menaruh curiga kalau Alex mengetahui hal penting tentang Sania. "Tidak ada, Mas." Alex berusaha bersikap biasa. "Maksud saya, Mbak Sania hamil anak siapa?" "Suaminya lah. Pak Alex ini gimana, sih?" canda Refan membuat Alex tercenung. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka berdua, Pak?" Refan menghentikan tawanya. Ia mulai berbicara serius. "Saya tidak tahu, Mas." "Ayolah, Pak Alex nggak bisa berbohong di
BA 10A Masih Cinta"Hentikan!" Suara merdu khas wanita terdengar di telinga Refan dari arah belakang. Jemari-jemari lentik menggenggam tangan kanan Refan yang dipakai untuk menepuk dadanya."Jangan menyakiti diri sendiri!" Wajah wanita itu bahkan menempel di punggung Refan hingga membuat jantungnya berdesir. Peringatan Refan tidak digubris oleh wanita yang tak lain adalah Sania. Kedua lengannya justru melingkar erat di pinggang Refan."Lepaskan! Jangan melewati batasan yang ada. Apa yang kamu lakukan justru membuat pijakan luka semakin dalam.""Fan. Maafkan aku! Cintaku padamu masih sama seperti dulu."Refan hanya mendecis, tangannya berusaha melepaskan pelukan Sania dari belakang. Ia tidak mau orang lain melihat mereka berdua dalam kondisi seperti itu. Apalagi kalau orang itu yang amat disayanginya."Aku merindukanmu, Fan. Aku rindu wangi parfum ini." Sania mengendus aroma parfum yang memabukkan baginya kala itu. Ia mencium kemeja yang dikenakan Refan membuat tubuh pria itu menegang.