Share

Bab 4 Sarapan

BAB 4 Sarapan

"Zein, yang benar saja hari ini kamu mau ke kantor? Baru juga menikah kemarin," protes Hira yang melihat Zein sudah bersiap dengan kemeja rapinya.

"Iya, kenapa harus buru-buru?" Ilyas sependapat dengan istrinya. Mereka lebih mendukung Zein menikmati bulan madu lebih dulu sebelum disibukkan dengan pekerjaan di kantor.

"Mi, Bi. Zein mau nunjukkin contoh yang baik ke karyawan. Zein memang bos di sana, tapi tidak mau sesuka hati mengambil libur kerja." Zein berusaha memberi pengertian pada umi dan abinya. Sementara itu, duduk di samping Zein, Syila yang hanya terdiam mencerna ucapan suaminya. Dia meneguk ludah saat melihat Sania juga rapi dengan pakaian yang cocok untuk ibu hamil ke kantor.

"Astaga, apa dia juga mau ikut ke kantor?" guman Syila. Ia memandang lekat penampilannya, lalu membandingkannya dengan penampilan Sania. Jelas, beda jauh. Kelihatan kalau Sani itu berkelas. Sangat elegan penampilannya mengikuti fashion.

"Lho, San. Kamu pakai baju rapi mau ke mana?" tanya Hira dengan wajah terkejut.

"Sania mau ikut Zein, Mi," ujar Zein.

Sania hanya tersenyum polos. Kecantikannya memang tidak bisa dipungkiri. Justru Zein yang mewakilinya menjawab.

"Ke kantor?" lanjut Hira.

"Iya, Mi. Zein yang mengajaknya. Daripada bosan di rumah. Biar Sania ikut ke kantor. Nanti kalau capek, sopir yang akan mengantarnya pulang. Lagi pula ini juga untuk kesehatan bayinya. Kalau ibunya sehat jiwa raga kan anaknya juga begitu," timpal Zein dengan seulas senyum.

"Terserah kamu, Sayang. Kamu yang paling mengerti kondisi Sania. Iya kan, Bi?"

"Iya, Mi."

"Jangan lupa, istri Abang nggak cuma satu." Tiba-tiba ada Refan datang menyela. Pria itu ingin duduk di samping Syila, karena ada satu kursi masih kosong. Kursi yang lain baru saja ditempati Sania, yang ada di sebelah kiri Zein. Mendengar suara Refan yang terkesan perhatian, Sania justru merasa hatinya mencelos. Di meja makan itu, Syila merasa Sania lah istri Zein bukan dirinya.

Sebenarnya Syila merasa tidak nyaman Refan duduk di sampingnya. Mengingat semalam mereka berdua bermain game hingga larut malam, dan berujung Syila tertidur di ranjang. Syila masih ragu siapa yang mengangkat tubuhnya ke ranjang. Antara Zein atau Refan. Masak iya adik iparnya berani-beraninya menyentuh dirinya. Sesuai kesepakatannya di awal, Refan tidak boleh melebihi batasannya sebagai adik ipar.

"Ya, Syila juga ke kantor. Nanti kami berangkat bertiga."

Syila tertegun, tak menyangka Sania akan ikut juga ke kantor. Ia menguap beberapa kali saat makan. Refan yang melihatnya hanya terkekeh.

"Sepertinya ada yang tidak nyenyak tidurnya semalam, Bang," celetuk Refan.

"Siapa, Fan?" tanya Hira.

"Siapa lagi, menantu Umi lah," ucapan Refan membuat Syila melempar tatapan tajam ke arahnya.

"Hush, kamu nggak usah nggodain kakak iparmu, Fan!" gertak Ilyas. Kepala keluarga di rumah besar itu juga tengah rapi dengan pakaian kerjanya untuk ke kampus. Ilyas memilih rutinitas mengajar di kampus sejak Zein memegang tampuk kepemimpinan perusahaan kosmetik turun temurun milik keluarganya. Hira tersenyum seraya mengusap lengan suaminya.

"Ups, Sorry. Maaf ya!" Refan pura-pura merasa bersalah pada Syila.

Keluarga Ilyas menikmati sarapan pagi dengan penuh kehangatan. Ilyas dan Hira bersyukur putra kembarnya masih bersedia tinggal di rumah besar mereka. Apa jadinya kalau anak kembarnya juga pergi seperti tiga kakak-kakaknya yang mengikuti suaminya. Pastilah rumahnya sepi seperti kuburan.

Diantara mereka yang duduk di meja makan, hanya Syila yang merasa hatinya mencelos. Ia tidak pernah berpikir akan menjadi istri kedua bagi Zein. Meskipun keluarga besarnya memperlakukan Sania dan dirinya dengan baik, tetapi terbesit rasa cemburu yang mengusik hatinya.

Sepertinya Zein memang sangat mencintai Sania. Namun kenapa juga dia harus menerima perjodohan dengannya. Syila tidak habis pikir apa alasannya. Ia akan bersabar selagi mencari jawaban atas rasa penasarannya.

"Ayo, Sayang! Aku harus siapkan meeting pagi ini." Syila sempat menyunggingkan senyum. Dipikirnya Zein menyapa dirinya, ternyata ucapan itu ditujukan untuk Sania. Zein terlihat meraih lengan Sania dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan mengusap pelan perut sang istri. Syila hanya berdiri mematung di belakang mereka.

Setitik nyeri itu hadir di hati Syila. Dadanya terasa sesak. Untuk pertama kalinya ia merasakan sakit yang teramat sangat.

"Sebenarnya Mas Zein menganggapku apa, sih?" Syila berusaha sabar, karena ia berada di rumah mertuanya. Jika emosinya meledak, justru akan mempermalukan diri sendiri.

"Bang, Syila jangan ditinggalin!" teriak Refan mengingatkan abangnya.

"Oh iya. Syila kamu bareng mobil aku atau mau bareng Refan aja?"

"Gila, Mas Zein. Bisa-bisanya aku disuruh bareng adiknya yang play boy ini." Syila hanya bisa mendengkus kesal atas perlakuan suaminya.

"Menurut, Mas Zein?" ucap Syila ketus.

"Aku hanya bercanda. Ayo masuk!"

"Sania, tunggu!" Hira berlari kecil dari dalam rumah. Di tangannya menenteng paper bag entah berisi apa, Syila hanya mengamatinya dalam diam.

"Ini untuk jaga-jaga kalau lapar. Jangan sampai si kecil kelaparan ya!" Ucapan tulus ibu mertuanya justru semakin menyayat hati Syila.

Kalau tidak ingat keberadaannya di rumah ini, Syila tentu sudah melarikan diri dari perjodohan yang menyakitkan baginya. Setitik bulir bening akhirnya rubuh juga. Syila menegakkan kepala agar cairan itu tidak membasahi pipi. Meskipun make up yang dipakainya dari brand ternama B*** cosmetics, ia khawatir tangisannya pasti akan merusak dandanannya. Tambah apes dia kalau wajah aslinya yang berjerawat terlihat oleh suaminya.

Refan melangkah mendekati uminya. Syila meliriknya sekilas setelah punggung tangannya mencoba menghapus air mata yang hampir menetes. Lalu dilihatnya Refan berbisik dengan uminya.

Syila gugup karena setelah Refan berbisik, Hira mendekatinya.

"Syila, Sayang. Kamu yang baik-baik dengan Zein ya. Juga Sania. Umi sayang kalian semua. Nanti kalau sudah ada Zein junior di sini, pasti dia juga akan memanjakanmu." Hira mencoba membesarkan hati Syila.

"Iya, terima kasih, Mi."

Syila tersenyum masam. Ucapan mertuanya justru semakin membuat pijakan yang Zein buat semakin dalam. Menyakitkan.

Zein melajukan mobil pajeronya menuju kantor. Sania duduk menemani di samping kemudi, sedangkan Syila duduk di belakang. Masih dengan ngedumel sendiri, Syila menyesal ikut satu mobil bertiga. Ia merasa dicuekkin karena pasangan di depannya bersendau gurau melupakan dirinya.

"Pak, jangan lupa setelah meeting hari ini ada janji makan siang dengan klien." Syila mencoba menunjukkan keberadaannya diantara mereka bertiga. Ia memerankan diri menjadi sekretaris, sedangkan Zein bosnya.

"Tolong batalkan makan siangnya! Kita pindahkan esok hari, Syila."

"Apa?! Bapak mau batalkan? Tapi janji dengan klien ini susahnya minta ampun, Pak."

"Saya mau makan siang dengan Sania."

"Ckk, menyebalkan. Benar-benar tidak tahu betapa susahnya aku membuat janji temu dengan klien ini."

"Kamu nggak usah khawatir, Syila. Klien kita yang minta diundur kok, beliau ada acara keluarga." Syila hanya ber oh ria.

"Nanti ikut makan siang bareng aja. Kalau kamu nggak lagi sibuk." Ucapan Zein seolah menyindir Syila. Kesibukannya kan hanya mengikuti perintah bosnya. Syila mendecis kesal. Ditambah lagi Sania terlihat senyum meremehkan dari spion depan.

Sebuah notif pesan masuk ke ponsel Syila. Ternyata dari Refan playboy. Ia menamai nomer laki-laki itu dengan sebutan yang menggelikan. Hanya gara-gara pertemuan mereka pertama kali di gunung Bromo.

"Mas Zein, saya turun di warung depan aja."

"Kenapa?" Zein mengurangi kecepatannya.

"Mau beli bubur ayam dulu, buat dibawa ke kantor."

"Ya, perlu aku tunggu?" tanya Zein tanpa ekspresi.

Syila mendecis. "Suami macam apa, pakai tanya segala."

"Nggak usah, Mas. Aku mau makan juga, tadi belum kenyang," imbuh Syila seraya menggerutu.

"Kita duluan aja, Mas. Nanti kamu terlambat." Kali ini Sania yang membujuk Zein dengan nada manja.

"Astaghfirullah." Syila mengusap dadanya pelan.

"Baiklah. Hati-hati! Nanti Refan aku minta nyamperin ke sini kalau dia masih di jalan."

Syila mengangguk. Padahal Refan memang mobilnya di belakang mereka.

"Kenapa murung? Emang enak dikacangin?" Refan tak pernah berhenti meledek Syila. Sepertinya hal itu sudah menjadi hobinya.

"Ngapain ikut ke sini?"

"Makan bubur lah. Dikira buntutin lu? Dih kegeeran."

"Jelas. Aku kan orangnya percaya diri. Jangan-jangan kamu ngikutin aku terus karena tertarik sama aku. Ingat aku kakak iparmu!"

"Pesan apa, Mbak?"

"Bubur dan es teh satu, Mas."

"Suaminya nggak dipesenin sekalian, Mbak?" Syila menatap horor ke arah pelayan.

"What?! Suami?!"

Comments (4)
goodnovel comment avatar
D Lista
terima kasih sudah membaca. ikuti sampai tamat yuk.
goodnovel comment avatar
D Lista
terima kasih sudah membaca. ikuti ceritanya sampai tamat yuk.
goodnovel comment avatar
Dhea Zakiyah
ntahlah pling benci dgn crita perselingkuhan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status