selamat membaca. nantikan next bab ya menuju ending.🥰 jangan lupa komentar, like dan gemnya. makasih
S3 Bab 42 "Beginikah caranya menghukum diri sendiri, huh?" "Alea." Irsyad melebarkan matanya. Sedetik kemudian ia mengucek berulang untuk memastikan apa yang dilihatnya bukanlah sebuah fatamorgana. "Al, kamu datang?" lirih Irsyad sambil menoleh ke sekitar. Tidak ada orang lain selain mereka berdua. Alea lantas duduk di kursi sebelah Irsyad dengan meja kecil sebagai penghalang. Irsyad berusaha menetralkan deru napasnya. Rasa haru menyeruak. Kesedihan karena memikirkan kebencian Alea terhadap dirinya pun terpatahkan. Nyatanya, Alea masih mau menemuinya. "Ya, aku datang karena ada yang mengundang," ucap Alea dengan wajah datar. Gaya bicaranya tidak sesopan dulu dengan menyebut aku saat bicara. Tatapannya tidak sedikitpun mengarah pada Irsyad. Lelaki itu sadar diri, Alea pasti masih benci padanya. "Kamu tahu Om tinggal di sini?" "Sangat mudah dicari, bukan?" cetus Alea. Irsyad hanya beroh ria. "Aku akan menikah, jadi silakan mau bicara apa?" lanjut Alea. Irsyad menarik napas dalam.
Bab 1 Wanita Lain"Siapa wanita ini, Mas?" Syila mengernyit saat Zein pria yang berstatus suaminya belum genap 24 jam menggandeng wanita cantik berwajah layaknya artis masuk ke kamar pengantin. Perutnya terlihat membuncit. Jika ditaksir, kemungkinan wanita itu sedang hamil trimester dua atau malah tiga. "Dia Sania. Biarkan dia istirahat di kamar ini," ucap Zein tegas sembari melambaikan tangannya pada seorang wanita bergaun selutut dengan bagian bahu terbuka, menampakkan kulit putihnya. Wanita itu tersenyum tipis saat Zein kemudian merangkul bahu sosok itu.Melihatnya, Syila tertegun. Matanya membola, meneguk ludah dengan susahnya, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihat dan didengarnya. "Sania akan tinggal di sini." Lagi, suaminya berucap tanpa melihat siapa lawan bicaranya. Ya, Syila adalah sekretaris di kantor Zein, juga wanita yang dijodohkan oleh orang tuanya tanpa mempertimbangkan perasaannya. "Tinggal? Maksud Mas?" sahut Syila cepat. Ia menatap nyalang sang suami yang
BAB 2 Malam PertamaMata Syila mengerjap pelan. Ia memejam kembali, lalu membuka perlahan matanya. Yang dilihat pertama kali bukanlah suaminya, melainkan mertuanya umi Hira."Mi. Mas Zein mana?" tanya Syila dengan wajah memelas. Tampak raut bingung terlukis di wajah Hira."Oh, Zein sedang mandi di kamar sebelah. Tunggulah sebentar, nanti dia kemari!" ungkap Hira. Ia mencoba menenangkan menantunya."Kepalaku pusing, Mi." Syila meraba kepalanya yang tertutup jilbab instan berbahan kaos. Ia juga meraba badannya ternyata kebayanya sudah terlepas berganti dengan gamis. Melihat kebingungan di wajah Syila, Hira tersenyum sekilas."Umi yang tadi nggantiin baju kamu." Syila terkesiap, lalu beroh ria. Rasanya malu jika sampai suaminya yang mengganti bajunya. Sebab ia belum terbiasa."Mi, Wanita yang hamil besar tadi?" tanya Syila menggantung. Wajah tersenyum Hira berubah sendu. Seolah ingin menyampaikan berita sedih untuk Syila."Oh, nggak usah dijawab kalau gitu, Mi. Syila sudah tahu. Mas Zein
BAB 3 NyamanRefan masih belum bisa memejamkan mata, karena kebiasaan buruk akibat segelas kopi yang diminumnya. Niat hati menahan kantuk untuk mengedit hasil jepretan dan video yang diambil saat dia traveling malah berujung insomnia.Suasana rumah sudah lengang, saat ia hendak turun ke lantai bawah. Sayup-sayup terdengar suara dari dalam kamar yang ia lewati. Kamar pengantin pikirnya, ternyata bukan. Suara itu dari kamar abangnya. Mencoba memutar knop, ternyata di kunci. Ia mengetuknya beberapa kali. Namun tidak ada jawaban. Baru saja hendak pergi, terdengar pintunya dibuka."Hmm, menyesal?" ungkap Refan dengan nada sedikit mengejek.Syila hanya tertunduk membuat Refan tidak tega melihatnya. "Bang Zein nggak ke sini?" tanya Refan penasaran.Syila hanya menggelengkan kepala. Tangannya mengusap lelehan air mata yang sudah membasahi pipi. Wajahnya pasti sudah kusam dan jelek pikirnya."Sini, gue temani begadang." Kali ini Syila menurut. Ia bahkan lupa kalau keputusannya sudah seperti me
BAB 4 Sarapan"Zein, yang benar saja hari ini kamu mau ke kantor? Baru juga menikah kemarin," protes Hira yang melihat Zein sudah bersiap dengan kemeja rapinya. "Iya, kenapa harus buru-buru?" Ilyas sependapat dengan istrinya. Mereka lebih mendukung Zein menikmati bulan madu lebih dulu sebelum disibukkan dengan pekerjaan di kantor."Mi, Bi. Zein mau nunjukkin contoh yang baik ke karyawan. Zein memang bos di sana, tapi tidak mau sesuka hati mengambil libur kerja." Zein berusaha memberi pengertian pada umi dan abinya. Sementara itu, duduk di samping Zein, Syila yang hanya terdiam mencerna ucapan suaminya. Dia meneguk ludah saat melihat Sania juga rapi dengan pakaian yang cocok untuk ibu hamil ke kantor."Astaga, apa dia juga mau ikut ke kantor?" guman Syila. Ia memandang lekat penampilannya, lalu membandingkannya dengan penampilan Sania. Jelas, beda jauh. Kelihatan kalau Sani itu berkelas. Sangat elegan penampilannya mengikuti fashion."Lho, San. Kamu pakai baju rapi mau ke mana?" tanya
BAB 5 Bubur Ayam"Suaminya nggak dipesenin sekalian, Mbak?" tanya pelayan yang berdiri menanti pesanan. "What?! Suami?!" "Biar pesan sendiri. Tanya aja orangnya!" Syila masih bersikap tak acuh karena Refan selalu mengejeknya. "Bubur dan jeruk panas, Mas." "Baik silakan ditunggu dulu!" Syila terpaksa duduk bersisihan dengan Refan, karena warung bubur itu ramai di pagi hari. Banyak karyawan perusahan di ibukota yang mampir sarapan di situ. "Eh, pasangan serasi ya mereka." Syila sempat mendengar bisik-bisik wanita paruh baya yang duduk berselang satu meja dengannya. "Iya, biasanya Mbaknya yang cantik sendirian. Apa dia sudah menikah?" Syila semakin risih. Dia memang rajin sarapan di sana bersama teman kantornya sewaktu tinggal di kontrakan. "Itu mungkin suaminya. Ganteng banget kayak artis yang jadi brand ambasador kosmetik terkenal itu lho." "Komestik yan mana?" "Itu lhoh, kosmetik B ***?" "Oh, kosmetik yang lagi hitz?" Wanita satunya mengangguk dengan tatapan masih fokus ke
BAB 6A Bromo"Aku juga melayani Mas Zein dengan baik. Menyiapkan baju, menyiapkan sarapan tadi." "Bukan itu, Syila. Pelayanan plus-plus. Ini obrolan dewasa, bukan anak TK." "Apa?!" pekik Syila dengan mulut menganga. Refan justru membalas dengan kedipan alis. Menyebalkan. "Apa yang dimaksud Refan pelayanan di ranjang. Hufh, malam pertama aja kami nggak tidur sekamar. Gimana aku mau melayani." Refan menoyor kepala Syila hingga suara mengaduh Syila melengking. "Nggak usah piktor. Maksud gue apa lu pernah ciuman sama bang Zein gitu?" Syila terlonjak kaget. Ciuman, boro-boro ciuman, ngobrol bareng aja ada Sania kayak polisi sedang patroli. "Belum. Masak iya ada Sania mau ngelakuin kayak gitu." Refan terbahak mendengar kejujuran Syila. "Polos amat sih lu. Masak iya minta gue ajarin?" Refan mengedikkan alisnya. Mulailah keluar sifat playboynya. "Nggak perlu!" pekik Syila bercampur malu. "Gimana bisa cantik banget kayak Mbak Sania, Fan?"Syila menerawang jauh, bayangan Sania yang a
"Hufh, nasib mau liburan jauh-jauh dari bos dingin. Eh ketemu sama laki-laki tampang playboy gini," gerutunya dalam hati.Demi menghemat kantong biar ngga kering, Syila menyewakan satu kamarnya. Sayangnya, kamar mandi dan dapur dipakai bersama. Keduanya sepakat untuk menjadi penghuni saling asing. Artinya tidak ada dua orang di tempat yang sama. Saat salah satu menggunakan dapur, maka salah lainnya tidak berada di situ. Terdengar ribet, tapi demi keamanan bersama terutama Syila yang aslinya gadis polos lulusan pesantren. Di luarnya saja dia menjadi gadis bar-bar untuk tameng dari godaan playboy. Pria itu mengenalkan diri dengan nama panggilan Refan. Syila sempat membatin, pria itu mirip bosnya. Namun kelakuan mereka bertolak belakang. Apalagi penampilan Refan berambit gondrong, menambah kesan plaboynya.Menjelang malam, cacing di perut mulai berteriak protes. Syila mengeluarkan bahan untuk makan malam yang sudah menjadi bekal di tas. Keluar kamar dengan kerudung instan, kaos panjang d